Bolehkah Amar seputus asa ini????? đ Mohon maaf author banyak typo. Sedikit demi sedikit sudah diperbaiki. Masih menuggu lolos tinjauan. đđ
Sebuah mobil berhenti di dekat jembatan itu setelah pengemudinya mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Amar. Ia berlari menghampiri lelaki itu. "Hentikan, Amar! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Delvin seraya menarik tangan Amar. Lelaki paruh baya itu baru pulang dari lembur di perusahaannya. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk. Bahkan orang lain tidak bisa menggantikan tugasnya. Amar terduduk lemas di tanah. Kali ini ia meneteskan air mata. Sekuat tenaga lelaki itu berusaha setia kepada Tisa. Tetapi apa yang ia dapatkan? Hanya sebuah pengkhianatan. Rasanya hatinya begitu sakit. Mungkin itulah yang dirasakan Rania di saat masih menjadi istrinya. "Aku terlalu banyak dosa, Paman. Harusnya Paman biarkan aku mati saja. Pasti semua ini karena aku terlalu jahat kepada Rania. Sekarang aku mendapatkan karmanya." Delvin menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sangat menyayangkan tindakan Amar yang begitu ceroboh. Beruntung ia segera datang. Kalau tidak, bagaimana nasib Amar selanjutnya?
"Aluna? Kenapa kamu terlihat tegang seperti itu? Oh, maaf. Aku ke sini tidak mengabari kamu terlebih dahulu." Bayu menghampiri Aluna yang masih diam tak bergerak di tempatnya. Bahkan untuk menyembunyikan testpack yang berjatuhan pun terasa berat baginya. "Itu apa Lun?" Tiba-tiba Bayu telah melihat benda-benda itu. Lelaki itu segera mengambilnya satu persatu. "Lun ... jangan bilang kamu hamil?" tanya Bayu penuh selidik. Entah mengapa dada Bayu menjadi sesak. Ia tak mengharapkan ini semua terjadi kepada Aluna. Sedangkan dirinya masih sangat mencintai gadis itu. "Bay ... Akuâ" Aluna jatuh terduduk. Air mata pun seketika keluar dari sudut matanya. "Aku memang hamil, Bayu. Dan aku tidak tahu siapa ayah dari calon bayi yang aku kandung ini. Aku sudah sangat kotor Bay. Aku ingin mati saja!" Aluna berteriak histeris. Membuat Bayu kebingungan dan segera memeluk tubuh Aluna. "Tolong kamu tenang dulu, Lun. Kita cari jalan keluar. Kamu tidak boleh mati, Lun." "Bagaimana aku bisa tenang, Bay?
Keesokan harinya Rania mempersiapkan diri untuk keberangkatannya ke luar negeri. Ia meyakinkan diri bahwa pilihannya adalah hal yang sangat tepat. "Kamu yakin, Rania? Kamu tidak akan menyesal dengan pilihan kamu? Seharusnya hari ini kamu menghadiri undangan pernikahan Rafka," ucap Romi yang sebenarnya merasa sedih karena ditinggalkan oleh putrinya. "Rania yakin, Pak. Rania tidak kuat jika harus menyaksikan Rafka menikah dengan perempuan lain. Rania masih sangat mencintai Rafka, Pak. Lebih baik Rania pergi sejauh-jauhnya dan tidak menampakkan diri lagi di hadapan Rafka." Air mata Rania jatuh berlinang. Walau bagaimanapun juga ia tidak bisa menutupi kesedihannya. "Bapak hargai keputusan kamu. Semoga kamu menjadi anak yang sukses dan semua cita-cita kamu segera terwujud." "Terima kasih, Pak." Rania menunggu kedatangan pamannya. Delvin telah berjanji untuk menjemput dan mengantarkan keponakannya tersebut sampai ke bandara. Sementara di tempat lain, Cindy sudah siap dengan pakaian te
Cindy menatap Mita dan Devan secara bergantian. Jika dipikir-pikir Devan tidak terlalu buruk. Lelaki itu juga tidak pernah berbuat yang aneh-aneh apalagi mempermainkan perasaan wanita. Akhirnya Cindy mengangguk pelan sambil berkata, "Ya ... aku mau menikah dengan Devan, Tante." Tanpa sadar Devan bersorak kegirangan sambil melakukan selebrasi seolah mencetak gol. Membuat semua orang yang ada di sana ikut tertawa. Tak terkecuali dengan tim support Devan. Karena diam-diam lelaki tampan itu telah membawa rombongan sendiri dari para sahabatnya. "Horeeee ....!!!" Mereka berteriak secara serentak. Pengucapan ijab kabul telah selesai diucapkan. Cindy dan Devan duduk saling berdampingan. Keduanya terlihat salah tingkah sambil tersenyum malu. Devan membimbing Cindy agar mau dikecup keningnya. Kemudian gadis itu mencium punggung tangan suaminya. Semua orang bertepuk tangan. Setelah ini akan dilanjutkan acara resepsi di sebuah gedung mewah yang sudah ditetapkan. "Kamu curang Dev," protes Ci
Julio menghentikan langkahnya sejenak. Ia menatap sang mama dengan tatapan yang teduh. "Bapak baik, Ma. Dan Bapak tidak pernah menjelek-jelekkan Mama. Apakah Mama begitu membenci Bapak?" tanya Julio berterus terang. Rosita menggeleng perlahan. "Mama tidak membenci Bapakmu Jio. Justru Mama merasa bersalah kepadanya. Mama takut jika dia berusaha memisahkan kamu dengan Mama." Rosita kembali terlihat sedih. Kini ia ingin menjadi manusia yang lebih baik. Wanita paruh baya itu tidak ingin lagi dibenci oleh orang lain. "Jangan bersedih lagi, Ma. Lebih baik kita segera menemui Tante Mita." "Kamu benar, Julio." Mereka berdua pun segera masuk ke dalam rumah Mita. Terlihat rumah itu sudah cukup sepi. Mita dan Cindy bersiap-siap untuk acara resepsi mereka di sebuah gedung mewah. Namun aktivitas terhenti sejenak saat melihat Rosita dan Julio menemui mereka. "Ada apa kalian datang ke sini? Tidak puaskan sudah berhasil membohongi kami selama ini?" ujar Mita ketus. "Tante ... sudahlah. Tidak
"Rafka? Apakah itu kamu?" Tanpa berpikir lagi Rania memutar tubuhnya. Ia bisa melihat Rafka berdiri pada jarak yang cukup jauh dengannya. Rafka melambaikan tangannya. Kemudian memberikan kode âI Love Youâ dari gerakan tangannya. "Apa maksudnya?" tanya Rania tidak mengerti. "Marilah, Ran. Mendekatlah," pinta Rafka. Dengan polosnya Rania melangkah maju. Ia penasaran apa yang hendak diucapkan oleh Rafka yang sebenarnya. "Maaf, Raf. Aku harus segera naik pesawat." Rania terlihat resah. Menyaksikan raga sang kekasih yang kini berada di hadapannya. Tentu wanita itu merasa lemah saat bertemu langsung dengan Rafka. Ia tak mengerti mengapa lelaki tampan itu kini menyusulnya sampai ke bandara. Bukankah seharusnya Rafka bersenang-senang dengan istri barunya? "Aku mencintaimu, Ran. Tolong jangan pergi." Akhirnya Rafka berteriak. Tidak peduli dengan petugas di dekatnya yang hendak membawanya pergi. Untung saja ada Delvin yang siap sedia menghadang pak petugas itu. Dengan gaya penuh elegan
"Terima kasih telah merestui hubungan Rania dengan Rafka. Aku bisa melakukan hal yang tidak wajar jika kamu hanya berpura-pura baik," bisik Delvin lembut di dekat telinga Rosita. Wanita paruh baya itu bergedik ngeri. Kali ini perbuatannya tidak main-main. Ia benar-benar telah menyayangi Rania dan memimpikan seorang cucu perempuan. Julio datang dari arah toilet. Tadi tiba-tiba perutnya sakit. Sehingga ia tidak melihat saat Delvin berbicara hal yang serius dengan mamanya. "Ma, bagaimana?" tanya Julio. "Semua akan baik-baik saja, Sayang. Itu kakak kalian ingin jalan-jalan berduaan. Sebaiknya kita pulang saja." Rosita pun segera pamit kepada Rafka dan Rania. Ia tidak mau mengganggu kencan mereka. "Maafkan kami ya, Ma. Mama dan Julio naik apa?" tanya Rafka merasa tidak enak hati. "Kamu tidak perlu khawatir, Rafka. Kami naik taksi saja tidak apa-apa kok," ungkap Rosita berterus terang. Delvin kembali berdehem. Ia melihat jam di tangannya. "Biar saya yang mengantarkan kalian pulang s
Setelah cukup puas menonton film romantis yang menjadi pilihan Rania, Rafka sengaja mengajak kekasihnya berbelanja terlebih dahulu. Ia juga menanyakan segala yang disukai oleh wanita itu untuk rencana seserahan nantinya. Rania sangat bahagia menikmati momen bersama Rafka. Hingga ia terkejut saat lelaki tampan itu membawanya ke sebuah danau indah di malam hari. "Raf ... apa ini?" Rania menghentikan langkahnya. "Apakah kamu menyukainya?" tanya Rafka dengan tatapan dalamnya. Rania mengangguk saja. Tidak ada yang tidak ia sukai jika sudah bersama Rafka. Apapun itu, ia akan menjalaninya dengan penuh suka cita. "Aku bahagia asalkan bersamamu, Raf. Tolong, jangan pernah tinggalkan aku lagi." "Tentu saja, Sayang." Rafka mengelus lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. Rafka menggenggam tangan Rania dan membawanya untuk lebih dekat dengan danau indah tersebut.Malam itu mereka menikmati malam yang romantis berhiaskan bulan purnama di atas langit dengan menaiki sebuah perahu kecil. Tak lupa