Huaaaa, bagaimana nih????? Gas nggak?
Julio menghentikan langkahnya sejenak. Ia menatap sang mama dengan tatapan yang teduh. "Bapak baik, Ma. Dan Bapak tidak pernah menjelek-jelekkan Mama. Apakah Mama begitu membenci Bapak?" tanya Julio berterus terang. Rosita menggeleng perlahan. "Mama tidak membenci Bapakmu Jio. Justru Mama merasa bersalah kepadanya. Mama takut jika dia berusaha memisahkan kamu dengan Mama." Rosita kembali terlihat sedih. Kini ia ingin menjadi manusia yang lebih baik. Wanita paruh baya itu tidak ingin lagi dibenci oleh orang lain. "Jangan bersedih lagi, Ma. Lebih baik kita segera menemui Tante Mita." "Kamu benar, Julio." Mereka berdua pun segera masuk ke dalam rumah Mita. Terlihat rumah itu sudah cukup sepi. Mita dan Cindy bersiap-siap untuk acara resepsi mereka di sebuah gedung mewah. Namun aktivitas terhenti sejenak saat melihat Rosita dan Julio menemui mereka. "Ada apa kalian datang ke sini? Tidak puaskan sudah berhasil membohongi kami selama ini?" ujar Mita ketus. "Tante ... sudahlah. Tidak
"Rafka? Apakah itu kamu?" Tanpa berpikir lagi Rania memutar tubuhnya. Ia bisa melihat Rafka berdiri pada jarak yang cukup jauh dengannya. Rafka melambaikan tangannya. Kemudian memberikan kode “I Love You” dari gerakan tangannya. "Apa maksudnya?" tanya Rania tidak mengerti. "Marilah, Ran. Mendekatlah," pinta Rafka. Dengan polosnya Rania melangkah maju. Ia penasaran apa yang hendak diucapkan oleh Rafka yang sebenarnya. "Maaf, Raf. Aku harus segera naik pesawat." Rania terlihat resah. Menyaksikan raga sang kekasih yang kini berada di hadapannya. Tentu wanita itu merasa lemah saat bertemu langsung dengan Rafka. Ia tak mengerti mengapa lelaki tampan itu kini menyusulnya sampai ke bandara. Bukankah seharusnya Rafka bersenang-senang dengan istri barunya? "Aku mencintaimu, Ran. Tolong jangan pergi." Akhirnya Rafka berteriak. Tidak peduli dengan petugas di dekatnya yang hendak membawanya pergi. Untung saja ada Delvin yang siap sedia menghadang pak petugas itu. Dengan gaya penuh elegan
"Terima kasih telah merestui hubungan Rania dengan Rafka. Aku bisa melakukan hal yang tidak wajar jika kamu hanya berpura-pura baik," bisik Delvin lembut di dekat telinga Rosita. Wanita paruh baya itu bergedik ngeri. Kali ini perbuatannya tidak main-main. Ia benar-benar telah menyayangi Rania dan memimpikan seorang cucu perempuan. Julio datang dari arah toilet. Tadi tiba-tiba perutnya sakit. Sehingga ia tidak melihat saat Delvin berbicara hal yang serius dengan mamanya. "Ma, bagaimana?" tanya Julio. "Semua akan baik-baik saja, Sayang. Itu kakak kalian ingin jalan-jalan berduaan. Sebaiknya kita pulang saja." Rosita pun segera pamit kepada Rafka dan Rania. Ia tidak mau mengganggu kencan mereka. "Maafkan kami ya, Ma. Mama dan Julio naik apa?" tanya Rafka merasa tidak enak hati. "Kamu tidak perlu khawatir, Rafka. Kami naik taksi saja tidak apa-apa kok," ungkap Rosita berterus terang. Delvin kembali berdehem. Ia melihat jam di tangannya. "Biar saya yang mengantarkan kalian pulang s
Setelah cukup puas menonton film romantis yang menjadi pilihan Rania, Rafka sengaja mengajak kekasihnya berbelanja terlebih dahulu. Ia juga menanyakan segala yang disukai oleh wanita itu untuk rencana seserahan nantinya. Rania sangat bahagia menikmati momen bersama Rafka. Hingga ia terkejut saat lelaki tampan itu membawanya ke sebuah danau indah di malam hari. "Raf ... apa ini?" Rania menghentikan langkahnya. "Apakah kamu menyukainya?" tanya Rafka dengan tatapan dalamnya. Rania mengangguk saja. Tidak ada yang tidak ia sukai jika sudah bersama Rafka. Apapun itu, ia akan menjalaninya dengan penuh suka cita. "Aku bahagia asalkan bersamamu, Raf. Tolong, jangan pernah tinggalkan aku lagi." "Tentu saja, Sayang." Rafka mengelus lembut pipi Rania dengan ibu jarinya. Rafka menggenggam tangan Rania dan membawanya untuk lebih dekat dengan danau indah tersebut.Malam itu mereka menikmati malam yang romantis berhiaskan bulan purnama di atas langit dengan menaiki sebuah perahu kecil. Tak lupa
Bagai seorang bidadari, Rania sudah siap dengan pakaian serba putih. Ia terlihat sangat cantik dan anggun. Aura wajahnya memancarkan kebahagiaan yang benar-benar nyata. "Mbak Rania cantik sekali. Aluna sampai pangling lihatnya," ungkap gadis itu yang sedari tadi menemani kakaknya. Ia juga menyiapkan makanan dan dengan sabar menyuapi kakaknya. "Makasih, Aluna. Rasanya sangat deg-degan. Padahal ini bukan kali pertama Mbak menikah." "Pasti Mbak nervous, ya? Lucu sekali sih, Mbak Rania." Aluna meminta foto bersama kakaknya untuk mengurangi kegugupan Rania. Gadis itu terlihat semangat meski di dalam hatinya ada rasa khawatir. "Kamu juga harus di make up, ya? Nanti foto bareng lagi sama Mbak. Pasti kamu sangat cantik jika dirias." Baru saja hendak menjawab, tiba-tiba Aluna merasa mual. Cepat-cepat ia pergi ke toilet untuk mengeluarkan segala isi dalam perutnya. Melihat hal itu, Rania merasa khawatir. Ia takut jika Aluna kenapa-napa. "Apa yang terjadi dengan Aluna? Kenapa tiba-tiba di
Rania tidak mengerti mengapa Aluna bersikap seperti itu. Ia melihat sekilas ke arah Rafka. Lelaki tampan itu menggeleng lemah. Ia juga tidak paham apa tujuan Aluna yang sebenarnya. Aluna segera merapatkan tubuhnya. Ia memeluk Rania sambil menangis. "Maafkan Aluna, Mbak. Aluna merasa kehilangan Mbak Rania." "Kenapa kamu bilang seperti itu sih, Lun. Aku akan tetap menjadi kakak kamu." Aluna sedikit merasa tenang. Ia duduk di samping Rania dan meminta agar acaranya dilanjutkan. Rafka memaklumi sikap Aluna. Ia segera menegakkan tubuhnya kembali dan menatap ke arah depan. Pengucapan ijab kabul pun segera dimulai. Rafka mengucapkan dengan lantang dan penuh rasa percaya diri. Sehingga dalam satu kali pengucapan, ia telah berhasil. "Bagaimana saksi, sah?" "SAH." "Alhamdulillah." Bacaan hamdalah menggema di seluruh ruangan tempat di mana berlangsungnya pernikahan Rania dan Rafka. Dengan perlahan Rafka mengangkat kepala Rania yang masih tertunduk. Air mata jatuh perlahan. Namun bibir
"Hallo, Bu Rania. Bu Rania sangat cantik." Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Rafka. "Bos Rafka. Selamat atas pernikahannya. Akhirnya kalian dipersatukan." "Rendi? Ini benar kamu? Kamu sangat tampan dan terlihat gagah." Ehem! Rafka berdehem. Ia terlihat cemburu karena sang istri memuji pria lain di hadapannya. "Kamu lebih tampan, Sayang," ujar Rania cepat. Wanita itu merasa gemas dengan sikap Rafka. Rafka mencoba tersenyum kembali. Ia menepuk pelan pundak Rendi. "Terima kasih sudah mau datang ke sini. Jadi sekarang kamu sudah menjadi Pak Aryan, ya?" celetuk Rafka. Rendi tertawa senang. Ia berterima kasih kepada Rafka. Berkat lelaki itu kini ia menjadi sukses dan tak lagi menjadi seorang sopir. "Selamat ya, Ren. Cita-citamu terkabul. Aku ikut bahagia mendengarnya." "Sekarang saya tidak perlu menjadi Aryan, Bu Rania. Karena Pak Rafka lah, saya bisa menjadi aktor tampan. Bagaimana? Saya sudah seperti Shah Rukh Khan dong?!" canda Rendi. Mereka bertiga pun tertawa bahagia
"Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha mengikhlaskan Amar. Aku yakin dia sudah menjadi lelaki yang baik. Dan Tuhan Maha Pengampun kepada hamba-Nya." Melihat sang bapak yang telah menemani Rosita, Rania memilih untuk meninggalkan makam itu. Ia mencari keberadaan Rafka dan ingin menghiburnya. Di saat Rania hendak masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Rendi yang menjaga di depan pintu. "Ren ... Rafka ada di dalam?" tanya Rania berusaha bersikap tenang. "Iya, Bu Rania. Dari tadi Pak Rafka tidak mau ke luar. Pak Rafka mengurung diri di kamar," jawab Rendi. Rendi terlihat khawatir. Ia takut jika Rafka berbuat nekat dan melukai dirinya sendiri di dalam ruangan itu. "Aku akan mencoba berbicara kepadanya." Rania mengetuk pintu beberapa kali dan memanggil nama Rafka. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Wanita memegang gagang pintu kamar. Dan ternyata pintunya tidak dikunci. Rania membukanya secara perlahan. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan suaminya. "Sayang, kamu di
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i