Seneng nggak nih pemirsa???? Sudah SAH kaan..... Em, tapi siapa ya yang datang???? Kenapa pada pangling gitu ya..... 🤔 Ada yang bisa tebak????
"Hallo, Bu Rania. Bu Rania sangat cantik." Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah Rafka. "Bos Rafka. Selamat atas pernikahannya. Akhirnya kalian dipersatukan." "Rendi? Ini benar kamu? Kamu sangat tampan dan terlihat gagah." Ehem! Rafka berdehem. Ia terlihat cemburu karena sang istri memuji pria lain di hadapannya. "Kamu lebih tampan, Sayang," ujar Rania cepat. Wanita itu merasa gemas dengan sikap Rafka. Rafka mencoba tersenyum kembali. Ia menepuk pelan pundak Rendi. "Terima kasih sudah mau datang ke sini. Jadi sekarang kamu sudah menjadi Pak Aryan, ya?" celetuk Rafka. Rendi tertawa senang. Ia berterima kasih kepada Rafka. Berkat lelaki itu kini ia menjadi sukses dan tak lagi menjadi seorang sopir. "Selamat ya, Ren. Cita-citamu terkabul. Aku ikut bahagia mendengarnya." "Sekarang saya tidak perlu menjadi Aryan, Bu Rania. Karena Pak Rafka lah, saya bisa menjadi aktor tampan. Bagaimana? Saya sudah seperti Shah Rukh Khan dong?!" canda Rendi. Mereka bertiga pun tertawa bahagia
"Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha mengikhlaskan Amar. Aku yakin dia sudah menjadi lelaki yang baik. Dan Tuhan Maha Pengampun kepada hamba-Nya." Melihat sang bapak yang telah menemani Rosita, Rania memilih untuk meninggalkan makam itu. Ia mencari keberadaan Rafka dan ingin menghiburnya. Di saat Rania hendak masuk ke dalam kamar, di sana sudah ada Rendi yang menjaga di depan pintu. "Ren ... Rafka ada di dalam?" tanya Rania berusaha bersikap tenang. "Iya, Bu Rania. Dari tadi Pak Rafka tidak mau ke luar. Pak Rafka mengurung diri di kamar," jawab Rendi. Rendi terlihat khawatir. Ia takut jika Rafka berbuat nekat dan melukai dirinya sendiri di dalam ruangan itu. "Aku akan mencoba berbicara kepadanya." Rania mengetuk pintu beberapa kali dan memanggil nama Rafka. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Wanita memegang gagang pintu kamar. Dan ternyata pintunya tidak dikunci. Rania membukanya secara perlahan. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan suaminya. "Sayang, kamu di
"Boleh Paman masuk?" tanya Delvin dari luar. "Masuklah Paman," jawab Rania. Lelaki paruh baya itu masuk dan menghampiri Rafka. Ia menepuk pelan pundak keponakannya. "Paman turut berduka atas kematian Amar. Padahal dia bersungguh-sungguh dalam bekerja dan tidak pernah mengecewakan. Paman tidak pernah menyangka jika Amar akan pergi secepat ini. Kamu yang sabar ya, Raf. Paman dengar semua berita tentangmu." Delvin melihat ke arah Rania yang hanya diam mendengarkan ucapannya. "Kamu harus tetap semangat. Kamu baru saja memperistri Rania. Tolong jangan kecewakan keponakan kesayanganku." "Paman?!" Rania memprotes. Ia tahu Rafka masih sedih. Kehadiran Paman Delvin malah membuat keadaan bertambah runyam. "Paman bercanda, Ran. Paman pulang dulu, ya? Kalian yang akur." Delvin pun pergi meninggalkan mereka berdua. Saat tiba di dekat pintu, Rafka baru mau berbicara. "Saya berjanji akan selalu menjaga Rania. Paman tenang saja." Delvin menoleh. Lalu tersenyum tipis. "Paman percaya sama kamu
"Itu masalahnya, Bu. Tiba-tiba perut saya sakit. Belum lagi banyak sekali panggilan masuk di hp saya." Rania menoleh ke arah Rafka. "Mas, bagaimana ini? Apa perlu kita selidiki Aluna?" tanya Rania kemudian. Rafka manggut-manggut. "Ya, tentu saja kita akan menyelidikinya." Sekali lagi Rania dan Rafka berterima kasih kepada Rendi. Mereka akan menyelidikinya nanti di saat yang tepat. Rendi akhirnya pamit untuk pulang. Ia harus segera kembali untuk melanjutkan pekerjaannya yang terbengkalai. "Hati-hati ya, Ren. Kapan-kapan kita atur waktu lagi untuk bertemu," ungkap Rafka. "Siap, Bos!" Rendi melihat ke arah Rania dan Julio. "Mari Bu Rania dan Julio." Rania dan Julio langsung mengangguk. Mereka kembali mengobrol sebentar. Rosita ikut penasaran dengan apa yang disampaikan oleh Rendi. Tetapi ia tidak ingin gegabah dalam bertindak. Wanita paruh baya itu memilih untuk mengajak Julio masuk ke kamar. "Lebih baik kita istirahat, Sayang. Kita tidur yuk?" ajak Rafka setelah memastikan pint
Setelah beberapa menit lamanya, Rafka keluar dari kamar mandi. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur. Tidak ada Rania di sana. Lelaki tampan itu mengedarkan pandangannya. "Sayang, kamu di mana?" lirih Rafka khawatir. Pintu kamar terbuka. Menampilkan sosok Rania yang telah mengganti pakaiannya dengan sebuah lingerie seksi pemberian mamanya. Rafka terdiam di tempatnya. Ia menelan berat saliva-nya. Tiba-tiba ingatannya tertuju pada malam panas yang pertama kali mereka lakukan saat itu. Rania tampak tersipu malu. Ia membawakan sebuah nampan dengan dua gelas berisi minuman di atasnya. "Minum dulu Sayang," lirih Rania setelah meletakkan nampan itu dan mengambil minuman untuk diberikan kepada suaminya. "I–iya Sayang. Terima kasih," balas Rafka terbata. Kedua netranya tak berhenti menatap keindahan dua benda padat dan kenyal yang menyembul dari balik pakaian tipis itu. Lelaki itu tanpa sadar menghabiskan minuman di tangan kanannya. Setelah itu tubuhnya mulai berkeringat dingin.
Rafka menggeleng lemah. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menangkap penjahat itu. "Maaf, aku tidak berhasil membawanya ke sini." "Tidak apa-apa, Mas. Jangan sedih." Rania berusaha menghibur suaminya. "Apakah Aluna mengenalnya? Atau jangan-jangan lelaki itu adalah Riko?" Rafka berjalan mendekati Aluna. Ia melihat gadis hanya tertunduk dan tidak berani menatapnya. "Tolong katakan sesuatu, Aluna. Apakah benar orang yang menembak Mas Amar adalah Riko? Apa benar ia telah mengancam kamu? Kamu mengetahui semuanya, bukan?" tanya Rafka menyelidik. Aluna tidak menjawab pertanyaan dari Rafka. Ia malah menangis kencang. "Sudahlah, Mas. Cukup! Aluna hampir saja diperkosa. Lelaki tadi memakai penutup wajah. Jadi Aluna tidak mengenalinya." Rania mulai terbawa emosi. Ia merasa kasihan dengan adiknya. "Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Aluna." Semua orang terdiam. Rumah itu mendadak hening. Sedangkan Rania berusaha menenangkan Aluna dengan memeluk dan menge
Kedua mata Rafka menatap tajam ke arah tangan Aluna. Ia tidak suka jika gadis itu bertindak melampaui batas. Aluna segera melepaskan genggamannya. Sebenarnya ia sedikit merasa takut jika Rafka akan memarahinya. "Bantuin Aluna bawa semua barang ini ke kamar ya, Kak? Barang-barangnya cukup banyak. Please." Aluna menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Rafka. Memohon agar lelaki itu mau membantunya lagi. "Astaga!" Sebenarnya Rafka merasa kesal. Tetapi ia tahu jika Aluna baru saja mendapatkan kemalangan. Sungguh ia merasa sangat jahat jika membiarkan adik dari wanita yang sangat dicintainya kesulitan. Apalagi sekarang Aluna ada di rumahnya. Rafka menghembuskan nafas kasar. Tidak ada pilihan lain. Terpaksa ia harus menolong Aluna terlebih dahulu daripada mengejar istrinya ke kamar. "Baiklah. Maaf jika Kakak bersikap keterlaluan kepadamu." Rafka pun segera membawa barang-barang Aluna ke dalam kamar gadis itu. Ia bisa melihat seulas senyuman terbit di bibir adik iparnya tersebut.
"Iya?" Rania menekankan ucapannya. "Maaf ya, Mbak. Jadi Aluna pengen banget makan pizza. Jadi aku memesan tiga kotak sekalian untuk Mbak Rania dan Kak Rafka," ungkap Aluna kemudian. Rania sedikit terkejut. Ia tidak menyangka jika Aluna ternyata memesan makanan. Wanita itu jadi merasa bersalah karena belum menyiapkan makanan untuk adiknya. "Oh, jadi begitu." Rania segera menghampiri Aluna dan merangkulnya. "Maafkan Mbak ya, Lun. Tidak masakin yang enak-enak buat kamu. Mbak jadi merasa bersalah." "Tidak apa-apa, Mbak. Santai saja. Kalau begitu kita bikin minuman aja yuk, Mbak?" ajak Aluna kemudian. Ia merasa lega karena Rania percaya dengan ucapannya. Gadis itu mengelus dadanya beberapa kali. Sementara Rafka mencuri pandang ke arah gadis itu. Ia masih belum sepenuhnya percaya dengan Aluna. Tetapi lelaki itu berusaha untuk tidak memfitnah adik Rania. Sementara Rania dan Aluna ke dapur, Rafka memilih duduk di kursi ruang makan. Batinnya sedikit kecewa karena gagal bermesraan dengan
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i