Hallo, readers.... Masih tetap lanjut baca nggak nih??? ☺️
Meski Julio baru memasuki masa pubertas dan baru kelas satu SMP, tetapi ia sudah memiliki sikap yang dewasa. Remaja satu itu merasa rindu dengan Rania. Entah mengapa ia merasa peduli terhadap perasaan wanita itu. Apalagi Rafka akan menikah dengan wanita pilihan sang mama. "Katakan saja, Ma. Julio tidak akan marah, kok. Terus apa benar Kak Rania keguguran? Julio pengen jengukin Kak Rania. Julio kangen," ungkap remaja itu polos. "Sudahlah, Julio. Kenapa sih kamu itu selalu mikirin Rania. Apa karena dia kakak tiri kamu?" Rosita keceplosan. "Maksud Mama apa?" Julio semakin penasaran. "Sudah, Ma. Ceritakan saja semuanya," celetuk Amar sudah tidak sabar. Rosita pun mengangguk saja. Ia menghembuskan nafas beratnya. Mencari alasan yang tepat tanpa menyakiti perasaan Julio. "Sebenarnya Pak Romi itu bapak kandung kamu Julio." Rosita berbicara pelan dan ragu-ragu. Ia takut jika Julio marah besar kepadanya. "Apa? Pak Romi, bapak Julio?" tanya Julio kaget. Pantas saja ia merasa punya ikata
Julio merasa malu. Rupanya pemilik rumah belum tidur. Remaja SMP itu pun hanya bisa tersenyum lalu menunduk. "Tidak apa-apa, Jio. Paman Delvin tidak akan marah kok." Rania mengedipkan matanya. Memberikan isyarat kepada Julio agar ikut masuk ke dalam rumah bersamanya. Tidak ada pilihan lain, Julio pun mengikuti ke mana langkah kaki Rania akan membawanya pergi. Mereka bertiga duduk di kursi ruang tamu. Julio tampak terdiam di dekat Delvin. Sementara Rania membuatkan minuman untuk Julio dan pamannya. "Tumben kamu ke sini Julio. Apalagi sekarang sudah malam. Bagaimana kalau mama kamu mencarimu nanti? Apakah kamu sudah minta izin?" tanya Delvin membuka percakapan. "Julio kabur dari rumah Paman. Julio kecewa sama Mama." "Apa yang terjadi, Julio? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan dari Tante Rosita?" Rania seolah paham akan perasaan Julio. Membuatnya mengingat kembali akan peristiwa yang menyebabkan ibunya meninggal dunia. Kalau Rosita bercerita tentang dirinya yang berpelukan deng
Lelaki paruh baya itu mendekap erat Julio hingga baru sadar jika di hadapannya juga ada Rania. Seketika ia merenggangkan pelukannya. "Rania, kamu datang ke sini? Bagaimana kabarmu, Ran?" tanya Romi antusias sambil berjalan mendekati putrinya. Kedua mata Rania sudah berkaca-kaca. Ia segera memeluk bapaknya. "Maafkan, Rania Pak. Maaf jika Rania selama ini bersikap egois." Wanita itu terisak. Walau bagaimanapun juga Romi adalah bapak terbaik untuknya. "Seharusnya bapak yang meminta maaf. Terima kasih telah membawa Julio ke sini. Tapi bagaimana bisa?" tanya Romi penasaran. "Sebaiknya kita duduk dulu, Pak. Julio akan menjelaskan semuanya." Romi mengangguk pasti. Ia mengajak Rania untuk duduk di kursi. Sementara Rania pergi ke luar sebentar, Julio mulai bercerita kepada Romi. Kini ia sangat bahagia karena bertemu dengan ayah kandungnya. "Maafkan bapakmu ini Julio. Bapak salah. Bapak tidak bisa membahagiakan kamu." "Sudahlah, Pak. Bapak tidak perlu meminta maaf. Julio senang melihat
Kehadiran Rafka mengejutkan Romi dan Julio. Mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk dan mungkin sebentar lagi akan pulang. Rafka tersenyum lebar, tetapi seketika redup saat menyadari tidak ada Rania di sana. Lelaki itu mendekat dan menyalami Romi. "Nak Rafka kamu apa kabar? Pasti disuruh jemput Julio ya?" terka Romi yang bisa menebak maksud kedatangan dari lelaki tampan itu. "Saya baik, Pak Romi. Tebakan Bapak benar. Mama menyuruh saya untuk menjemput Julio. Dia harus lanjut sekolah, Pak." "Duduklah, Rafka. Kita makan sama-sama." Romi menyuruh Rafka untuk duduk. Lelaki tampan itu terlihat ragu-ragu. Namun melihat makanan yang tampak lezat, ia jadi tergoda. "Kalau nanti saya makan, jadinya Bapak dan Julio nggak kenyang dong." Rafka menahan diri agar tidak ikut makan. "Kak Rafka tenang saja. Julio makannya dikit kok. Ini cobain deh, Kak." Rafka tidak bisa berbohong. Akhirnya ia mengganggu makan sang adik. Lelaki itu mencoba satu sendok dan rasanya begitu familiar di lidah. 'A
Romi dan Julio saling berpandangan. Hening untuk beberapa saat. Kemudian mereka tertawa bersamaan. Membuat Rafka dan Rania merasa heran. "Kalian seperti anak kecil saja." Rafka dan Rania terlihat salah tingkah. Tapi tak dapat dipungkiri jika mereka sangat bahagia. Menjadi anak kecil adalah hal yang Rania inginkan saat ini. Ia tidak perlu pusing memikirkan semua masalah yang ada. "Sebaiknya Kak Rania segera mandi dan ganti baju. Nanti sakit," celetuk Julio berkata serius. "Em, mana mungkin Kakak kamu sakit. 'Kan ada Kak Rafka di sini," sahut Rafka cepat. Lelaki tampan itu menaik-turunkan kedua alisnya. Sambil memandangi sang kekasih hati. "Raf ....!!!!" Kedua mata Rania melotot tajam. "Awas ya, kamu!" Akhirnya Rania masuk ke dalam kamarnya untuk mencari handuk dan pakaian ganti. Sementara Rafka pun mengganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Karena memang di rumah itu hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. "Pak, saya izin untuk mengajak Rania berbelanja. Katanya dia m
Tiada jawaban. Hanya sebuah tindakan tanda keduanya masih saling mencintai. Seperti itu untuk beberapa menit lamanya. "Ran, kenapa menangis?" Rafka menghentikan aksinya. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku tanpa kamu, Raf? Apakah kita memang tidak berjodoh? Kenapa kita harus dipertemukan jika akhirnya tidak saling memiliki?" Rania menundukkan kepalanya. Seketika membuat Rafka ikut menangis dan merengkuh tubuh Rania agar kembali didekapnya. "Jika kita memang berjodoh, pasti akan ada jalannya, Sayang. Aku percaya itu." Rafka mencoba meyakinkan Rania. Meski kenyataannya ia tidak tahu dengan cara apalagi untuk menggagalkan pernikahannya dengan Cindy. "Kalau begitu sebaliknya kita segera pulang. Nanti keburu malam. Kasihan Bapak dan Julio di rumah. Pasti mereka sudah lapar." "Memangnya hanya mereka saja yang lapar? Aku juga lapar, Satang," goda Rafka kemudian. "Hmmm ...." Rania sengaja tak menanggapi godaan dari Rafka. "Iya, iya, kita pulang." Rafka segera melajukan mobilnya. Wa
Di rumah Rosita, Amar tampak gelisah. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak. Terlalu lama ia meninggalkan Tisa. Dan istrinya tersebut sama sekali tidak khawatir atau mencoba menghubunginya. Lelaki itu duduk di kursi seorang diri. Pikirannya bercabang kemana-mana. Antara ingin pulang dan tetap di sana untuk menemani sang mama. "Amar, kamu kenapa? Kok belum tidur? Kepikiran Tisa, ya?" tanya Rosita yang juga kesulitan untuk tidur malam itu. Tentu ia paham akan perasaan anaknya. Amar menoleh ke arah mamanya. Ia pikir Rosita sudah tidur di kamarnya. "Perasaan Amar tidak enak, Ma. Amar takut terjadi apa-apa dengan Tisa. Apalagi ia di rumah juga sendirian. ART di rumah kami tiba-tiba kabur. Tidak tahu apa sebabnya." Amar memegangi kepalanya. "Coba kamu telepon dulu. Siapa tahu dia juga belum tidur." Rosita mencoba mencari solusi yang tepat. Amar mengangguk setuju. Ia tidak kepikiran untuk menelepon istrinya. Lelaki itu segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel untuk menc
Sebuah mobil berhenti di dekat jembatan itu setelah pengemudinya mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Amar. Ia berlari menghampiri lelaki itu. "Hentikan, Amar! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Delvin seraya menarik tangan Amar. Lelaki paruh baya itu baru pulang dari lembur di perusahaannya. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk. Bahkan orang lain tidak bisa menggantikan tugasnya. Amar terduduk lemas di tanah. Kali ini ia meneteskan air mata. Sekuat tenaga lelaki itu berusaha setia kepada Tisa. Tetapi apa yang ia dapatkan? Hanya sebuah pengkhianatan. Rasanya hatinya begitu sakit. Mungkin itulah yang dirasakan Rania di saat masih menjadi istrinya. "Aku terlalu banyak dosa, Paman. Harusnya Paman biarkan aku mati saja. Pasti semua ini karena aku terlalu jahat kepada Rania. Sekarang aku mendapatkan karmanya." Delvin menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sangat menyayangkan tindakan Amar yang begitu ceroboh. Beruntung ia segera datang. Kalau tidak, bagaimana nasib Amar selanjutnya?