Dahi Kresna mengeryit saat melihat wanita berambut hitam itu masuk tergesa ke dapur dan mengambil air minum. Diteguknya air itu sampai tandas.
"Kamu kenapa, Neng?" Kresna masukkan Sukro ke dalam mulut. Sembari mengunyah ia lirik Tessa yang mengatur napas.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Kresna lagi meraih bungkus Sukro, menyimpannya di atas paha. Ia makan dengan anteng masih menatap Tessa yang hendak bicara.
"Ada perang dunia lagi." Tessa menaik turunkan napas karena capek. Jelas capek, dia baru saja berlari dari rumahnya ke sini.
Rumah Tessa dan Kresna tidak jauh sebenarnya. Jaraknya hanya melewati jalan. Dengan menyebrang maka akan langsung sampai.
"Wah, masa?" Wanita berjilbab syar'i itu menahan tawa. Ia masukkan lagi Sukro ke dalam mulut.
"Serius!" Tessa merebut Sukro dan mengambil isinya, lalu ikut makan dengan anteng.
"Kakak tahu, nggak?" tanya Tessa melihat Kresna.
"Nggak." Kresna bermuka masam karena Sukronya diambil paksa.
"Ih, Kakak! Kok nggak tahu, sih?" Tessa tidak peduli dengan Kresna yang cemberut. Santai saja memakan sukro.
"Nggak, Neneng!" Kresna ambil paksa lagi sukro itu. Tentu ia sebal karena makanan itu, makanan yang ia inginkan sejak kemarin. Baru hari ini dia mendapatkannya.
Maklum saja, Kresna tengah hamil muda. Sekitar dua bulanan. Jadi, bisa dibilang dia ngidam sukro. Namun, kemarin sudah malam tidak ada yang membelikan.
Hari ini juga karena Bi Roro yang membelikan. Pembantunya itu sungguh pengertian. Saat suami Kresna tidak ada, dialah yang selalu membelikan atau menyajikan apa yang Kresna inginkan. Lebih-lebih ketika sedang hamil begini.
"Ih, Kakak ya. Jadi, gini. Aku cerita, ya?" Tessa sedikit mencondongkan badan ke arah Kresna. "Kakak tahu kan gimana Mbak Kanti?" bisiknya serius.
"Ya, tahu. Bunda Peri." Pemilik close set eyes itu menahan tawa lagi. Bukan hal baru, istri kedua suaminya itu memang sudah sering berulah. Maksudnya bertengkar dengan Wanda.
"Kebiasaan, deh. Panggil Mbak Kanti gitu. Dia marah, lho. Kalau tahu." Jari telunjuk berkulit kuning langsat itu menjawil sedikit hidung mancung Kresna.
"Ya, emang kenapa? Kenyataannya emang gitu, kan? Mbak Kanti sama Nyonya emang nggak pernah akur. Kamu aja yang baru tahu," sahut Kresna tenang-tenang saja.
Dia memang sudah lebih lama menjalani pernikahan poligami ini. Tentu tidak asing jika ada pertikaian atau debat di dalam rumah tangga mereka.
Kresna mengamati Tessa yang tiba-tiba melamun. Ia menahan dagu dengan satu tangan seolah tengah berpikir.
"Hey!" seru Kresna mencubit hidung Tessa. "Kamu kenapa, sih? Mulai cemburu, ya? Cie-cie ada yang falling in love. Sama siapa? Mas Rendra, ya? Eheum ah."
"Apa sih, Kakak!" Tessa cemberut, mengambil telujuk madunya itu. Pasalnya, Kresna terus saja mencubiti hidung.
"Nggak!" sanggahnya. "Siapa juga yang jatuh cinta sama Mas Rendra? Sejak tahu aku bukan satu-satunya istri dia, aku tuh udah nggak cinta sama dia."
Kresna menaikan satu alis tebalnya. "Masa? Terus kenapa datang-datang curhat masalah Mbak Kanti sama Mbak Wanda. Kalau bukan cemburu apa namanya?"
"Bukan cemburu, Kak," tekan Tessa menyakinkan Kresna. "Aku sebel aja. Mbak Kanti itu aneh. Tahu kan aku mau ke rumah Mbak Wanda yang pasti di sana tuh bakal lihat Mbak Wanda sama Mas Rendra. Eh, dia ngeyel pengen ikut."
"Wah seru, nih! Terus gimana?" Kresna semakin penasaran. Ia selalu merasa perdebatan di rumah tangganya ini memang sesuatu hal yang menarik.
Mungkin awalnya Kresna merasa pernikahan ini akan sangat menyakitkan. Namun, setelah dijalani, tidak seburuk itu.
Bohong jika Kresna tidak sakit hati sebagai istri ketiga Rendra. Apalagi saat tahu suaminya menikah lagi dengan Tessa, model yang kini berada di depannya.
Kresna sakit hati, tetapi itu sudah berlalu begitu lama. Satu setengah tahun lamanya. Peristiwa di mana Rendra menikah lagi dengan Tessa tanpa sepengetahuan tiga istrinya yang lain.
"Kakak mau denger ceritanya?" Tessa menatap lekat.
"Iya, cerita dong! Menarik kalau Nyonya sama Bunda Peri udah bertengkar. Kaya kucing sama tikus." Kresna kembali menahan tawa, lalu makan lagi satu butir sukro.
"Kak ...," seru Tessa jadi lirih.
"Eh, kenapa kamu? Katanya mau cerita."
"Kakak tahu, nggak?"
"Nggak." Kresna menggeleng dengan santai. Kembali makan sukro.
"Kakak itu cewek yang aneh. Aneh banget," tekan Tessa. "Kakak nggak sakit hati, gitu? Lihat suami Kakak sama cewek lain?"
"Cewek lain mana maksud kamu? Mereka juga istri Mas Rendra, lho." Kresna menjungkir balikkan bungkus sukro, mengoyangkan, mencoba melihat isinya. Dia menghela napas saat tahu sukro itu habis.
"Yah ... habis."
"Udah kalau abis buang aja. Nanti kita beli lagi!" Tessa mengambil bungkus Sukro dan menaruh di atas meja.
"Beliin, lho." Kresna menunjuk wajah Tessa.
Tessa menarik telunjuk itu. "Iya, Kakak Manis. Nanti dibeliin. Mami Tessa bakal beliin satu dus buat dede utun. Ya, Sayang?" lanjutnya mengelus perut Kresna yang masih tampak rata.
Kresna tersenyum. "Boleh, deh. Satu dus, satu truk juga boleh."
"Kakak," panggil Tessa kembali menatap Kresna. "Kakak belum jawab pertanyaan aku, lho. Kenapa Kakak itu kaya santai aja dimadu sama Mas Rendra? Kakak nggak sakit hati, gitu?"
"Kepo, ya kamu? Okey, deh. Aku ngaku, aku sakit hati. Apalagi pas tahu Mas Rendra hamilin kamu. Aku sakit hati banget pengen bunuh diri rasanya." Wajah Kresna tiba-tiba sendu.
"Yang bener, Kak?" Tessa ikut-ikutan sedih mendengar jawaban Kresna. Matanya menatap penuh penyesalan. "Maafin aku, ya Kak," lirihnya menunduk.
"Aku mau bunuh diri aja waktu itu. Apalagi aku kan belum hamil. Serasa aku tuh cewek yang nggak berguna." Mata Kresna melirik Tessa yang mulai muram.
"Kakak, maafin aku ya? Jujur aku nggak maksud buat nyakitin perasaan Kakak. Dulu itu, Mas Rendra nggak pernah bilang kalau dia punya istri."
Kresna menahan tawa. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbahak. Ia masih amati wajah Tessa yang bagaikan kucing kecemplung air. Lesu dan sendu.
Tessa sendiri memang tidak pernah tahu. Rendra memiliki istri, bahkan sampai tiga. Pria blasteran itu tampak begitu tampan dan muda tidak memperlihatkan dia nyaris berusia empat puluh tahun.
"Tessa," panggil Kresna yang membuat Tessa mengangkat wajah. Mata bulat wanita itu sudah berkaca-kaca.
"Eh, nangis?" Kresna mulai panik. "Kakak bercanda, lho Sa. Kamu jangan nangis! Kakak bercanda, kamu sendiri tahu, kan? Kakak nggak cinta sama Mas Rendra. Mana mungkin Kakak sakit hati."
"Itu nggak mungkin. Nggak mungkin Kakak nggak cinta sama Mas Rendra. Aku nyesel, Kak. Aku minta maaf," ucap Tessa semakin lirih dan mengenggam tangan Kresna.
"Eh. Tessa Kakak bercanda. Sudah-sudah jangan nangis!" Kresna cepat memeluk Tessa. "Kakak nggak apa-apa, Sa. Lagian semuanya juga udah terjadi. Kakak udah biasa dimadu jadi nggak masalah. Kan kamu juga tahu Kakak sama Mas Rendra udah nikah berapa tahun. Jadi, nggak mungkinlah Kakak sakit hati."
"Kakak serius?" Tessa menengadah.
"Iya. Udah jangan nangis! Mending kamu cerita soal si Nyonya. Kepo tahu, aku tuh!"
Tessa melerai pelukan. "Jadi, gini ya. Tadi tuh, aku kan ke rumah Mbak Wanda. Nah, terus aku sama Mbak Kanti lihat, Mas Rendra lagi ciuman sama Mbak Wanda."
"Terus?" Kresna menatap serius. Tidak ingin melewatkan cerita.
"Ya, terus. Mbak Wanda lihat kita. Nah, dia sengaja bikin ciuman panas sama Mas Rendra. Posisi Mas Rendra yang munggungin kita nggak tahu kita ada di sana. Mbak Wanda makin liar aja tuh ciumannya. Aku sih biasa aja." Tessa mengangkat bahu acuh.
Cebikan ditunjukkan Kresna karena tidak percaya dengan ucapan Tessa. Tidak mungkin madunya itu tidak cemburu atau sakit hati. Kresna tahu betul Tessa sangat mencintai Rendra. Meskipun, Tessa selalu menutup-nutupinya.
"Terus gimana, kamu labrak mereka?" tanya Kresna berusaha tidak tertawa.
"Bukan aku!" Wajah Tessa terlihat memerah. "Mbak Kanti tuh yang labrak. Dia langsung marah-marah--"
"Bilang si Nyonya nggak tahu malu?" tebak Kresna.
"Nah, iya. Dia juga ngumpat-ngumpat. Aku sampai panas kuping, langsung aja aku menghindar. Ogah ikut perang dunia. Aski juga sampai nangis gara-gara terikan Mbak Kanti."
Tawa Kresna akhirnya pecah. Drama rumah tangga segilima mereka memang tidak pernah berakhir. Selalu saja ada hal unik yang terjadi.
"Ih, Kakak kok malah ketawa? Kebiasaan, deh." Tessa mencubit pipi Kresna.
"Lucu," ucap Kresna mengakhiri tawa. "Muka kamu tuh kaya kepiting rebus. Cemburu, ya? Gimana tadi ciumannya?"
Tessa cemberut lagi, meski tidak mengubah wajah memerahnya. "Ih, nggak Kakak. Ngapain aku cemburu sama mereka. Mas Rendra lebih romantis sama aku, kok."
"Wah, masa? Tahu warna sempak Mas Rendra apa?"
"Eh, kok nanya itu?" Tessa semakin bersemu.
"Yah ...," desah Kresna kecewa. "Kalau belum tahu, berarti belum romantis."
"Apaan sih, Kakak!" Tessa mengamati Kresna yang turun dari kursi. Ia melihat ibu hamil itu masih terkekeh.
"Pokonya belum romantis kalau belum tahu. Aku kasih tahu ya, sempak Mas Rendra itu warnanya--"
"Apa?"
Kresna diam seketika. Tubuh yang berjalan mundur sontak berhenti, saat punggungnya menubruk tubuh kekar seseorang.
Dia pun tahu siapa pemilik tubuh dan suara itu. Suara yang tiba-tiba membuat Kresna terkejut. Baik Kresna dan Tessa tahu siapa pemiliknya.
Ya, itu Rendra pria blasteran Indonesia-Inggris. Ia bertanya tegas dengan suara bariton khas miliknya.
"Warna apa, Na? Kok nggak dilanjutin? Mas kepo, nih?" Sekali lagi Rendra bertanya, namun nadanya kini berubah canda.
"Eh, Mas," sapa Kresna cengengesan.
"Iya, Sayang apa?" Rendra menunjukkan tatapan mesra.
"Apaan, sih sayang-sayang. Geli tahu!" Kresna refleks memukul dada bidang Rendra, tetapi Rendra malah terkekeh dan menarik tangan itu.
Dia lupa di sana bukan hanya ada dirinya dan Kresna. Dikecupnya punggung tangan Kresna dengan mesra. Tanpa disadari membuat Tessa yang duduk di belakang meja pantry segera beranjak pergi.
"Mas!" seru Kresna berusaha menarik pelan tangan.
"Kenapa sih, Sayang? Mas kangen, lho." Rendra masih menahan tangan Kresna. Menambah dengan tatapan mesra di kedua matanya.
"Lepas, Mas. Nggak lihat Tessa apa? Dia langsung kabur tuh. Mas nggak lihat situasi, sih. Dia itu udah sakit hati gara-gara kelakuan Mas sama Mbak Wanda tadi pagi, sekarang dia lihat Mas cium Ena. Kejar gih! Repot kalau dia ngambek, nggak jadi deh Ena dapat Sukro."
"Eh, Sukro? Kok jadi ke Sukro, kamu mau Sukro? Mas beliin, ya." Rendra malah fokus pada akhir kalimat Tessa.
"Nanti aja! Kejar dulu Tessa. Dia ngambek, tuh," pinta Kresna seraya menarik tangan dari genggaman Rendra. Ia pun segera berbalik badan untuk melangkah.
Akan tetapi, Rendra tidak begitu saja membiarkan Kresna pergi. Ia peluk Kresna dari belakang. Dengan mesra ia pun berbisik, "tapi malam ini jatah Mas bobo sama kamu, lho."
"Geli ih, Mas!" rengek Kresna merasakan gigitan kecil di leher.
"Nggak akan lepas, kalau kamu nggak cium Mas dulu!" Rendra makin erat memeluk.
"Mas, lepas ih bau Mas, tuh."
"Eh, kok bau?" Rendra refleks melepas pelukan. Ia lalu berjalan ke depan, membuatnya bisa menatap Kresna.
"Kok bau, sih? Tessa waktu hamil malah pengen dekat terus sama Mas. Mas nggak bau, kok," tukas Rendra sembari menciumi tubuhnya. Tidak bau, masih beraromakan parfum mahal yang ia gunakan.
"Ya, kan itu Tessa, Mas. Ena nggak gitu. Ena malah nggak mau deket sama Mas," kilah Kresna mencebikkan bibir.
"Ah, yang benar?" Rendra menggoda Kresna dengan mencubit dagu manis milik istrinya itu.
"Ih, Mas." Pipi Kresna mulai memerah dengan senyum tertahan, lalu pelan menunduk.
"Nah, kan malu-malu lagi. Okey, Mas kejar Tessa dulu, tapi nanti Mas minta cium, lho," goda Rendra lagi.
Lalu, tanpa disangka suaminya itu mencium pipi Kresna, membuat mata Kresna terbelalak. Rendra setelahnya beranjak perlahan meninggalkan Kresna.
Beginilah Rendra, sikapnya memang selalu manis. Bukan pada Kresna saja, namun pada semua istrinya. Rendra selalu pandai membujuk saat istrinya murung.
Rendra pengertian, perhatian, manis, juga bisa bersikap adil. Bisa dibilang Rendra sempurna. Meski ia punya satu kekurangan yang cukup menonjol. Rendra bukan pria yang setia.
"Tessa-Tessa, Sayang." Rendra mengejar langkah Tessa. Jalan cewek itu sudah seperti orang dikejar tukang kredit saja, cepat banget."Apa, sih, Mas?" sergah Tessa seraya menarik tangan. Rendra berhasil meraih, dan mencekal tangannya.Tentu langkah Rendra lebih lebar dari Tessa. Tingginya saja lebih tinggi Rendra. Jelas tinggi kakinya lebih tinggi Rendra."Sayang, mau kemana, sih? Mau naik bis apa? Sampe jalannya cepat banget." Rendra menatap Tessa yang masih cemberut."Naek bajai. Puas?" jawab Tessa agak sinis. Ia masih tunjukkan wajah cemburu.Fixs, cemburu, karena wajahnya memang bisa dibilang begitu. Rendra bisa membacanya. Pernikahan mereka sudah hampir dua tahun, sudah Rendra tahu bagaimana sikap dari istri-istrinya. Termasuk saat cemburu. Lagian cewekkan kalau cemburu nggak bisa disembunyikan. Ya, kan?Rendra pun genggam tangan Tessa dengan lembut. Tatap
"Mas mau minum apa?" Tessa berjalan ke arah dapur.Kini, setelah menyebrangi jalan dari rumah Kresna, Rendra dan Tessa sudah berada di rumah. Ya, ini rumah Tessa yang berseberangan dengan rumah Kresna.Rendra memang memberikan masing-masing satu rumah untuk istrinya. Jika, rumah Kresna berada di sebrang rumah Tessa. Maka, rumah Wanda dan Kanti berada di perumahan yang berbeda.Pria dengan setelan kaos dan jas navy itu mengamati Tessa yang membuka lemari es. "Mas mau susu, ada?""Susu apa? Ada susu ibu menyusui, susu Aski, atau susu beruang.""Beruang?" Rendra berjalan menghampiri. "Nggak ah, Mas nggak mau semua itu. Mas maunya ...."Tessa seketika membalik badan, saat mendengar Rendra menggantung kalimat. Bibir yang dilapisi lisptik mate merah muda itu tersenyum malu-malu, saat Rendra memeluk erat dari depan."Mau mau susu ka--"&n
"Popok?" Rendra sontak duduk tegak dengan membuat mata kecilnya melotot. "Popok kamu abis?" "Mas!" Rendra mengaduh mendapatkan pukulan dari Tessa. Meski pake bantal, tapi dia kaget beuh dapat pukulan tiba-tiba. "Bukan popok aku, tapi Aski," terangnya agak kesal, Tessa lalu melempar bantal tepat ke wajah Rendra. Untung Rendra berhasil menangkapnya. Ia malah cengengesan lalu kembali tersenyum jahil. "Kirain popok kamu." "Apaan, sih? Aku nggak pake popok. Ya kali aku pake popok." "Tiap bulan kamu pake popok, lho," goda Rendra, kini memeluk bantal. "Itu bukan popok!" "Terus apa? Sama aja, dipake di dalam celana." Rendra menahan tawa, membuatnya kembali mendapatkan cubitan di lengan. "Aw!" pekik Rendra merasakan cubitan Tessa. Kecil sih, tapi peri
Hentakan kaki terdengar setelah suara pintu dibuka. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, rumah Kresna memang sudah sepi.Dua pembantunya sudah tidur. Ya, secara otomatis mampu membuat suara hentakan kaki Tessa cetar membahana di ruang makan. Cewek berambut hitam itu langsung masuk begitu saja ke sana lalu duduk di samping Kresna."Kenapa kusut? Belum makan? Pucat banget kaya mayat idul?" tanya Kresna santai sambil membuka kulit jeruk. Matanya sesekali melirik Tessa yang cemberut."Pintu nggak dikunci, ya?" Bukan menjawab, Tessa malah balik tanya, pake tatapan setajam silet pula. Bikin Kresna mengeryitkan dahi."Kenapa, gitu?" Kresna masukkan jeruk sudah kupas ke dalam mulut."Nggak, kan Mas Rendra mau ke rumah," lanjut Kresna lalu meluahkan dan membuang biji jeruk ke dalam mangkuk."Oh." Lirikkan Tessa tertuju pada jeruk. Dan, no basa-basi dia
"Ngapain Tessa ke sini?" Rendra melangkah masuk rumah. Beberapa saat sebelumnya, ia telah mendapat salim dari Tessa. Hanya senyum kecil, lalu setelahnya istri ke empatnya itu segera pamit pulang.Kresna menutup pintu perlahan, lalu mengikuti langkah Rendra masuk rumah. "Dia minta makan.""Minta makan?" Rendra berhenti dan membalik badan. "Kenapa minta makan? Pembantu-pembantunya sakit?"Tangan Kresna menggaruk tekuk leher. Bukan gatal, cuma bingung aja mau bilang apa. Masa iya, bilang Tessa cemburu dan nangis-nangis? Kan, kasihan Tessanya. Dia juga bilang untuk jaga rahasia percakapan mereka tadi."Eu ... dia ... dia cuma pengen makan masakan aku, Mas," sahut Kresna berusaha setenang mungkin."Oh, gitu." Rendra sedikit menyelidiki wajah Kresna."Apa sih, Mas? Aku emang cantik nggak usah dilihatin gitu, nanti makin cinta lagi," celetuk Kresna, menarik dua sudu
Katakan Kresna munafik. Depan Rendra, Kresna tidak pernah mengungkapkan rasa cinta. Seakan dia memang tidak cinta pada Rendra. Namun, sebenarnya Kresna memiliki rasa sayang pada suaminya itu.Entahlah. Apa cinta dan sayang bisa dikategorikan dua hal berbeda? Kresna sendiri tidak memahaminya. Ia hanya selalu berusaha jadi istri baik untuk Rendra. Seperti yang ia bilang sebelumnya, Kresna berharap surga atas baktinya pada Rendra.Langka beuh cewek kaya gini, mungkin hampir punah. Udah kaya komodo aja hampir punah. Tapi Kresna bukan komodo, ya. Apalagi orang utan khas Sumatera.Okey, seperti kelangkaan dirinya dari kalangan kaum hawa. Perasaan Kresna detik ini pun perasaan langka yang jarang ia rasakan.Tepat di dapur, Kresna sedang mengaduk susu dalam gelas. Bibirnya senyum-senyum sendiri. Ia teringat apa yang terjadi semalam. Rendra berkata cape, giliran udah dikasih susu. Eh, dia nyosor juga. Susu as
"Tolong Mbak jaga ucapan Mbak. Di sini ada Tessa, Mbak nggak mikirin perasaan dia?!" geram Kresna, namun masih berusaha menahan emosi.Wanita bermata almond itu melirik Tessa sinis. Lantas duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. "Ya, emang bener, kan? Kamu aja yang suka bela-bela dia. Sadar dong, Na! Dia itu emang Cewek Murahan."Sudah tidak bisa Tessa bertahan dengan perkataan Wanda. Istri pertama Rendra itu memang selalu memandang benci pada Tessa. Jika Kanti masih kadang-kadang baik. Berbeda dengan Wanda, dia selalu saja mencari jalan menyudutkan Tessa.Dengan hidung mulai memerah, Tessa hentakkan kaki meninggalkan Wanda yang tersenyum sinis."Mbak!" ujar Kresna dengan mata melotot.Namun, lagi-lagi Wanda tidak peduli. Dia hanya memutar bola mata dan segera mengambil ponsel dalam tas.Napas Kresna sudah dibuang kasar. Meski begitu, hanya sika
"Kenapa kamu bilang gitu, hm?" tanya Rendra begitu lembut. "Kalau Mas nggak mau, gimana? Mas nggak mau kita pisah apapun itu alasannya." Lembut sentuhan Rendra semakin membuat Tessa terisak.Sakitnya hati Tessa, bukan hanya karena tidak rela kehilangan Rendra. Namun, ia pun merasakan perih sayatan dalam setiap kata Rendra. Seolah kata-kata itu semakin membuatnya sulit melepaskan.Semua kata itu pun, Tessa tahu tidak hanya diucapkan padanya. Melainkan diucapkan pada keempat istri Rendra. Menyakitkan sekali jadi yang kesekian.Melihat Tessa hanya diam terpaku, lekas Rendra dekap wanita berkulit putih bersih itu, menyenderkan kepalanya di dada.Tindakan Rendra semakin membuat Tessa terisak, bahkan tanpa sadar tangisnya membuat Aski terbangun. Tubuh Tessa yang berguncang mengusik tidur bayi tampan itu.Cepat-cepat Tessa melepas pelukan. "Stthh, Sayang ini Mami, Nak. Maaf ya, Sayang.
"Mas, aku capek kayak gini terus!" Tessa mengeluhkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Sejak kejadian Rendra yang mencurigakan, semakin banyak kejadian-kejadian aneh yang menurut Tessa tidak wajar. Lelaki itu sering pulang telat, kalau pulang kadang marah-marah. Sering pergi dengan alasan keluar kota. Dua tahun berlalu sejak Rendra mengumumkan istrinya sekarang hanya satu, yaitu Tessa. Namun, bagi Tessa lelaki itu tetap seperti memiliki lebih dari satu istri. Dia tidak punya banyak waktu untuk Tessa. "Mas!" Tessa menghentakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai dasi. "Mas dengerin aku enggak sih?!" "Hm." Rendra tetap fokus memakai dasi. "Mas kenapa sih enggak mau dengerin aku?! Aku bilang ini itu, Mas cuma jawab iya-iya aja, tapi kok Mas enggak melakukan yang aku bilang." "Mas harus apa?" Rendra tampak sedikit geram. Entahlah, suaminya itu kini lebih sering tampak masam, tidak seperti dulu. "Mas ke mana aja? Kenapa sekarang baru pulang? Satu bulan lebih lho, Ma
"Selamat pagi, Mbak." Senyum manis terbit dari laki-laki berparas tampan. Bukan membalas senyuman Oni, Tessa malah memutar bola mata, menunjukkan sikap yang benar-benar berbeda dari biasanya. "Bapak menyuruh saya untuk mengantar Mbak, katanya Mbak mau ke pasar pagi ini," tutur Oni lembut tanpa sedikitpun curiga dengan sikap Tessa. Belum Tessa menjawab, Rendra yang tiba-tiba keluar dari rumah langsung menimpali. "Iya, Sayang. Mas khawatir kalau kamu belanja sendirian. Biar Oni yang mengantar kamu." Rendra menyentuh bahu Tessa. Perempuan itu menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa harus Oni? Kan ada sopir lain?" "Kang Dodi lagi cuti, biar Mas nyetir sendiri, yang penting kamu ada yang nemenin." Tessa diam, dan raut wajahnya yang diamati Rendra, membuat laki-laki itu kebingungan. "Kamu kenapa, Sayang? Lagi berantem sama Oni?" tanya Rendra lembut. "Enggak." Tessa menghela napas. Rasanya gagal untuk dia bisa menjauhi asisten pribadi suaminya itu. "Ya udah." Rendra mengalihkan tatap
Tessa terus tertawa merasakan geli di pinggang karena sang suami yang terus menyentuh area tersebut dengan gelitikan. Sementara Rendra terus melakukan itu tanpa mempedulikan Tessa yang meminta berhenti. Untuk malam pertama mereka, keduanya menginap di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. "Mas, udah stop!" pinta Tessa yang tidak diindahkan oleh Rendra. "Enggak," sahut Rendra manja lalu memeluk Tessa, kembali mencubit pinggang sang istri. "Ih, Mas geli." Tessa mau beranjak dari ranjang kalau saja Rendra tidak kembali memeluknya. "Mas ih," seru Tessa kemudian kembali merasakan kegelian karena tingkah Rendra. Dia kembali tertawa kecil. "Kayak belut deh kamu, enggak mau diem," kata Rendra menjawil pipi Tessa. "Abis Masnya enggak mau diem, kan geli." Tessa jadi waspada dengan tangan Rendra yang sudah bersiap mencubitnya lalu. "Hayo-hayo, mau ke mana?" "Mas!" Tessa berusaha mengeluarkan tubuhnya dari kukungan Rendra. "Apa, Sayang?" Rendra melukis senyum lalu mengecup lembut dahi T
Oni masih terdiam di balik kemudi. Dia mendapatkan kepercayaan Rendra untuk menjaga sesuatu yang hatinya tidak ingin melakukan itu. Ini tentang perempuan yang dia cintai, namun tidak bisa dia jaga. Laki-laki bermata kecil itu menghembuskan napas lelah. Kenapa bisa seperti ini? Tessa yang seharusnya terluka bukan Oni. "Ayo kita berangkat!" Rendra masuk mobil. "Baik, Pak." Oni manut dan sampai beberapa menit mobil melaju, hatinya masih tidak nyaman mengingat rahasia yang sedang dia simpan bersama dengan sang majikan. "Iya-iya, Sayang. Ini Mas lagi di perjalanan kok." "Iya, Mas langsung ke butiknya." Suara majikannya membuat Oni kembali menghembuskan napas lelah. Bagaimana ini? Rasanya Oni tidak mungkin mengatakan semua rahasia ini pada Tessa. Bisa hilang perkerjaannya. Laki-laki itu ingin mengutuk diri sendiri. Ini masalah majikannya, kenapa harus Oni yang merasakan pusing? Tessa? Siapa Tessa? Perempuan itu adalah istri majikannya. Oni tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
Pelukan hangat sang istri membuat Rendra mengusap sudut mata yang perlahan terasa basah. Dia mengelus lembut kepala perempuan yang lemah itu. "Mas," panggilnya lirih. Rendra lalu menurunkan pandang, melihat perempuan yang mendongkak itu kini jadi bermata sayu. Dia mengulas senyum, lalu kembali memeluk erat. "Mas, jangan pernah tinggalkan aku, ya?" Suaranya lirih dan serak. Rendra tahu kalau perempuan itu menangis. Dengan sigap Rendra kembali memeluknya. "Iya, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, jangan sedih, ya?" Getaran tubuh perempuan dalam pelukannya semakin menambah perih di hati Rendra. Bagaimana ini? *** Sebelas tahun lalu, jalanan Amerika yang sudah sepi membuat seorang perempuan terpaksa berjalan sendiri malam itu. Di salah satu kota di negara tersebut malam-malam memang tidak seramai dalam film-film Hollywood. Rendra yang saat itu sedang mengendarai mobil menuju apartemen, dia melihat perempuan tersebut. Merasa khawatir karena melihatnya sendirian, Rendra sengaja me
Kresna menyusut air mata yang keluar dari sudut matanya. Perempuan itu baru saja tertawa melihat tingkah si Andi, wartawan menyebalkan itu pergi karena malu. Semuanya pertanyaan berhasil dijawab Oni. Bahkan, saat Aski bangun, bayi itu entah kenapa memanggil Oni papa.Wah, memang betul-betul suatu keajaiban. Kresna senang bisa melihat Tessa kembali tersenyum lagi. Keduanya juga memang merasa lega.Rendra mengambil pisang goreng. "Acting kamu bagus, On," ucapnya lalu memakan pisang goreng."Iya, apalagi pas kamu bilang mau bergaya pas difoto si Andi waktu di supermarket. Aku pengen buang air lho lihat kamu cium Tessa. Tessa kamu kaget, ya, dicium pipi sama Oni, itu mata kayak mau keluar. On, kamu mesum juga ternyata?" Kresna menimpali sambil kembali terkekeh kecil.Oni hanya mengulas senyum malu-malu. Dia bukan sengaja melakukan itu, tapi memang perintah Rendra. Ya, kalau pun Rendra tidak menyuruh, mungkin Oni akan sukarela melakukan
Tessa sedikit menerka-nerka orang yang sedang membelakangi Tessa tersebut. Sepertinya kenal, tapi Tessa kenal di mana?"Kakak tunggu di sini aja," pinta Tessa sambil melirik Kresna, "biar aku yang nyamperin dia.""Nanti kalau kamu diapa-apain, gimana?" Kresna tentu merasa khawatir, meski jarak laki-laki itu tidak sampai sepuluh meter dari mereka."Tenang aja, Kak. Deket kok. Kakak bisa teriak kalau aku di apa-apain. Lagian ini masih di depan rumah." Tessa menepuk pelan bahu Kresna.Perempuan di sampingnya pun membentuk bulat jari telunjuk dan jempolnya. "Oke," sahut Kresna pelan.Dari jarak yang sekitar satu meter Kresna mengawasi Tessa yang mendekati laki-laki berkemeja itu."Maaf," kata Tessa membuat laki-laki itu menoleh."Oh, Hallo, Mbak Tessa. Perkenalkan saya Andi wartawan dari televisi GEATv." Laki-laki itu langsung mengulurkan tangan.Dengan canggung Tessa meraihnya, denga
"Maaf, Pak Rendra, apa betul anda sudah menceraikan dua istri anda sekaligus?" Di acara konferensi pers yang di selenggarakan pihak Purnama Grup. Rendra betul-betul langsung dicecar masalah pribadinya.Rendra menahan Oni dengan tangannya saat laki-laki itu hendak berbicara. Rendra tahu, pertanyaan ini terlalu sensitif, karena sebetulnya konferensi pers diselenggarakan untuk peluncuran produk baru dari Purnama Grup."Baik, setelah tadi saya menjelaskan tentang produk baru yang kami luncurkan. Saya berharap produk baru ini bisa laris di pasaran. Pun bisa memberi manfaat terutama untuk konsumen dan perusahaan kami. Untuk pertanyaan yang sodara tanyakan kepada saya, saya akan jawab ...."Suara jepretan kamera terdengar, para wartawan bahkan ada yang saling berbisik, seolah gosip-gosip seperti ini memang nikmat untuk diperbincangkan."Saya dan istri-istri saya, hubungan kami baik-baik saja, dan perpisahan yang kami lakukan pun dil
"Mbak ...." Tessa berujar lirih sambil melihat istri pertama suaminya sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.Perempuan itu bisa ada di sini karena telah melakukan percobaan bunuh diri. Wanda mencoba menyilet pergelangan tangannya. Untung saja Rendra keburu datang dan melihat sang istri tergolek lemah dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah.Sementara, di sudut ruangan itu Rendra sedang mengamati pemandangan halaman rumah sakit di balik jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Tessa sendiri hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap Wanda. Pucat dan kurus, berbeda sekali dengan Wanda yang sering dia lihat selama ini."Mbak, Mbak harus sehat, ya? Aku kangen lho, kangen lihat Mbak yang selalu cantik." Tessa tidak kuasa menahan tangis melihat perempuan yang terbaring itu hanya bisa menatap kosong.Wanda sudah siuman sejak satu hari dia dirawat di rumah sakit. Baru saja perempuan itu keluar rumah sakit sekaran