"Mas mau minum apa?" Tessa berjalan ke arah dapur.
Kini, setelah menyebrangi jalan dari rumah Kresna, Rendra dan Tessa sudah berada di rumah. Ya, ini rumah Tessa yang berseberangan dengan rumah Kresna.
Rendra memang memberikan masing-masing satu rumah untuk istrinya. Jika, rumah Kresna berada di sebrang rumah Tessa. Maka, rumah Wanda dan Kanti berada di perumahan yang berbeda.
Pria dengan setelan kaos dan jas navy itu mengamati Tessa yang membuka lemari es. "Mas mau susu, ada?"
"Susu apa? Ada susu ibu menyusui, susu Aski, atau susu beruang."
"Beruang?" Rendra berjalan menghampiri. "Nggak ah, Mas nggak mau semua itu. Mas maunya ...."
Tessa seketika membalik badan, saat mendengar Rendra menggantung kalimat. Bibir yang dilapisi lisptik mate merah muda itu tersenyum malu-malu, saat Rendra memeluk erat dari depan.
"Mau mau susu ka--"
"Syut," sela Tessa menyimpan telunjuk di bibir Rendra. Membuat suaminya itu tersenyum.
Tessa menarik tangan dengan bibir yang kembali manyun lima senti. Nggak tahu lima senti atau berapa, Rendra nggak bawa penggaris soalnya. Yang jelas saat dipeluk itu, Tessa tiba-tiba manyun.
"Eh, kenapa? Kok monyong, gitu?
"Manyun, Mas! Kok monyong, sih. Aku nggak moyong, ya. Bibir aku seksi tahu," ralat Tessa dengan sengaja memaju-majukan bibir seksi itu. Ya emang seksi, terbukti Rendra langsung nyantok tu bibir, pake acara di lama-lamain lagi.
Membuat Tessa refleks memegang tekuk leher Rendra. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Rendra semakin memperdalam tautan mereka.
Tessa menarik diri karena mulai kehilangan udara. Emang ya, si Rendra ini jago masalah kaya ginian. Tessa sampe engap-engapan kaya ikan cupang kehabisan napas.
"Gimana?" desah Rendra, berganti memegang tekuk Tessa. Kedua dahi mereka sengaja Rendra satukan. Romantis deh pokonya ni cowok kalau udah deket sama istrinya. Nggak salah kalau Kresna julukin dia 'Bule Playboy'.
"Gimana apa?" tanya Tessa malu-malu meong.
"Gimana, masih mau cemberut di depan Mas?"
"Nggak ah, nanti disosor lagi. Aku habis napas tahu." Tessa menunduk masih dengan malu-malu meong.
Jari Rendra mengelus halus bibir bawah tebal Tessa, lalu beralih mengusap bibir atasnya yang tipis. "Tapi suka, kan?"
Semakin Tessa menunduk. Meongnya udah berubah jadi singa sekarang. Saking malunya.
Dagu Tessa diangkat perlahan. Rendra daratan lagi satu kecupan di bibirnya. "Jangan cemberut, kenapa cemberut coba?"
"Salah Mas sendiri, waktu minggu kemarin ke sini, Mas nggak bobo sama Tessa jadi nggak dapet susu." Jangan ngeres, maksud Tessa susu yang sering dia buatkan untuk Rendra sebelum bobo. Itu maksud dia.
"Ya, maaf. Mas kan buru-buru. Salahin si Oni tuh, dia nelpon Mas pas baru sampe. Jadinya Mas harus balik lagi." Dengan lembut, jari-jari Rendra menyampirkan rambut lurus Tessa ke belakang daun telinga.
"Iya, dimaafin. Ya udah sekarang aja aku bikinin susu," sahut Tessa hendak menarik diri dari pelukan, namun Rendra justru malah memeluk semakin erat.
Dengan sengaja pula, ia menenggelamkan wajah di dada Tessa. Persis kaya anak kecil minta disusuin emaknya.
"Nggak mau! Mas maunya pelukan sama Yayang Tessa," renggeknya manja.
"Ih, Mas! Katanya mau susu."
"Mau peluk." Rendra semakin manja saja. Ia menengadah menunjukkan mata imut. Diimut-imutkan tepatnya.
"Katanya mau susu."
"Mau peluk."
Tessa menghela napas dan senyum-senyum. Ia elus rambut agak ikal milik Rendra. "Mas, tadikan waktu pagi aku mau ngomong sesuatu."
"Iya, ngomong apa?" Jahilnya Rendra dia sengaja mencubit pinggang Tessa, masih dengan melingkarkan tangan di sana.
"Aw, Mas! Ih, sakit tahu!" pekik Tessa memukul bahu Rendra.
"Mas nggak tuh."
"Udah ah, lepas! Mas jahil, ketularan Kak Ena kayanya."
"Siapa bilang? Kamu baru tahu aja Mas kaya gini."
Tessa kembali tersenyum, saat merasakan jari Rendra yang gulung-gulung rambutnya yang tergerai. Kurang kerjaan emang ni suami satu. Dikiranya mie kali tuh rambut.
"Udah, sekarang kamu cerita. Apa yang mau kamu omongin tadi pagi? Kanti langsung tarik kamu gitu aja, jadikan Mas nggak tahu kamu mau apa datang ke rumah Wanda."
"Mas, berat tahu jangan nyender terus kaya gini!" Tessa melirik Rendra. Suaminya itu memang masih ngedusel aja di dadanya. Ets dah, berasa bantal kali, ya. Empuk cyin.
"Mas nyaman kaya gini, kok," sahutnya santai.
"Mas nyaman aku berat."
"Ya udah." Rendra lepas pelukan. "Kita pindah kamar, yuk!"
"Hah? Ini siang, Mas!"
"Emang kenapa kalau siang, cuma mau bobo aja, kan."
"Ini hari Jumat, lho. Mas mau jumatan, kan?"
Rendra lekas menarik tangan Tessa. "Nggak apa-apa bentar aja. Kita ngobrol dulu masalah tadi pagi."
Kembali seperti tadi, Tessa pun ikhlas diseret sang suami menuju kamar. Di kamar itu sendiri, selain ada satu kasur big size. Ada juga kotak bayi. Ya, itu tempat Aski tidur.
Aski adalah anak Rendra dan Tessa. Usianya baru 14 bulan. Anak itu hasil kecolongan mereka. Karena kehadiran Aski jugalah Rendra menikahi Tessa.
Jika ditanya, saat itu terjadi, apa istri-istri Rendra marah? Tentu saja, mereka marah, Kanti bahkan sempat jambak-jambakan sama Tessa. Namun, amarah mereka reda setelah Rendra dan Kresna bisa menjelaskan situasi yang terjadi.
Bahkan, Tessa masih bisa melihat pahatan indah di dahinya akibat ulah Wanda yang melempar sepatu hak tinggi, hingga mengenai pelipis. Tessa sampai meraung merasakan sakit. Namun, sekali lagi itu sudah berlalu lama.
Sekarang, rumah tangga mereka baik-baik saja, meski memang masih ada cekcok atau salah paham seperti tadi pagi.
"Ayo, duduk dulu!" Rendra yang pertama duduk di kasur dan meminta Tessa segera ikut duduk juga.
Tessa turuti keinginan Rendra. Duduk di sampingnya.
"Sekarang cerita, kamu mau ngomong apa, hm?" tanya Rendra dengan senyum manis.
"Jangan senyum, bisa nggak? Diabet aku."
"Okey, Mas cemberut." Rendra mengganti ekspresi dengan wajah serius.
"Jadi gini, Emak mau ke rumah. Makanya, aku nekad ke rumah Mbak Wanda. Mau minta Mas pulang. Sore ini aja, gitu?" jelas Tessa pake penekan di akhir kalimat. Ia tidak mau Rendra menolak permintaannya ini. Soalnya, Emak Tessa ini jauh-jauh dari Bogor emang cuma buat ketemu sama Rendra dan cucunya.
"Oh, itu." Rendra kembali mengenggam tangan Tessa. "Boleh, Mas bakal ke sini. Sore, kan ya? Bisa, bisa diatur. Nanti Mas bilang ke Oni buat beli sesuatu buat Emak. Emak mau apa katanya?"
"Emak nggak mau apa-apa katanya, cuma mau ketemu sama Mas sama Aski aja," jelas Tessa dengan lugas.
"Ya udah nggak apa-apa. Mas tetep minta Oni buat beli sesuatu untuk Emak, Okey?" Rendra menjawil dagu Tessa, lalu perlahan berdiri.
"Eh, Mas kok buka baju, mau apa?"
"Kan mau bobo," sahut Rendra santai dengan senyum jahil.
"Ih, dibilangin masih siang."
Rendra menaruh kemeja dan kaosnya di kaitan kapsok. Dengan bertelanjang dada, ia rebahkan tubuh kekar itu di atas kasur.
"Ah, ademnya. Mas gerah tahu, tadi sempet lari juga ngejar kalian," gumamnya pelan
Rendra lalu melirik Tessa yang masih duduk. "AC-nya, Sayang. Bisa dinyalain, kan?"
"Boleh, Mas." Tessa berdiri. "Bentar, ya."
Tessa segera menyalakan AC di ruang kamar. Setelahnya, ia taruh remote-nya di atas meja. Tessa duduk di samping Rendra yang tengkurap.
"Mas."
"Hm."
"Mas, aku mau minta sesuatu."
"Apa itu?" Rendra membetulkan posisi tidur, memilih duduk di kasur.
"Minta popok."
°°°
Asli, aku tuh bukan orang humoris tapi romantis. Hihi. Lanjut lagi, ya? Yuk, komentar juga. ^_^
"Popok?" Rendra sontak duduk tegak dengan membuat mata kecilnya melotot. "Popok kamu abis?" "Mas!" Rendra mengaduh mendapatkan pukulan dari Tessa. Meski pake bantal, tapi dia kaget beuh dapat pukulan tiba-tiba. "Bukan popok aku, tapi Aski," terangnya agak kesal, Tessa lalu melempar bantal tepat ke wajah Rendra. Untung Rendra berhasil menangkapnya. Ia malah cengengesan lalu kembali tersenyum jahil. "Kirain popok kamu." "Apaan, sih? Aku nggak pake popok. Ya kali aku pake popok." "Tiap bulan kamu pake popok, lho," goda Rendra, kini memeluk bantal. "Itu bukan popok!" "Terus apa? Sama aja, dipake di dalam celana." Rendra menahan tawa, membuatnya kembali mendapatkan cubitan di lengan. "Aw!" pekik Rendra merasakan cubitan Tessa. Kecil sih, tapi peri
Hentakan kaki terdengar setelah suara pintu dibuka. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, rumah Kresna memang sudah sepi.Dua pembantunya sudah tidur. Ya, secara otomatis mampu membuat suara hentakan kaki Tessa cetar membahana di ruang makan. Cewek berambut hitam itu langsung masuk begitu saja ke sana lalu duduk di samping Kresna."Kenapa kusut? Belum makan? Pucat banget kaya mayat idul?" tanya Kresna santai sambil membuka kulit jeruk. Matanya sesekali melirik Tessa yang cemberut."Pintu nggak dikunci, ya?" Bukan menjawab, Tessa malah balik tanya, pake tatapan setajam silet pula. Bikin Kresna mengeryitkan dahi."Kenapa, gitu?" Kresna masukkan jeruk sudah kupas ke dalam mulut."Nggak, kan Mas Rendra mau ke rumah," lanjut Kresna lalu meluahkan dan membuang biji jeruk ke dalam mangkuk."Oh." Lirikkan Tessa tertuju pada jeruk. Dan, no basa-basi dia
"Ngapain Tessa ke sini?" Rendra melangkah masuk rumah. Beberapa saat sebelumnya, ia telah mendapat salim dari Tessa. Hanya senyum kecil, lalu setelahnya istri ke empatnya itu segera pamit pulang.Kresna menutup pintu perlahan, lalu mengikuti langkah Rendra masuk rumah. "Dia minta makan.""Minta makan?" Rendra berhenti dan membalik badan. "Kenapa minta makan? Pembantu-pembantunya sakit?"Tangan Kresna menggaruk tekuk leher. Bukan gatal, cuma bingung aja mau bilang apa. Masa iya, bilang Tessa cemburu dan nangis-nangis? Kan, kasihan Tessanya. Dia juga bilang untuk jaga rahasia percakapan mereka tadi."Eu ... dia ... dia cuma pengen makan masakan aku, Mas," sahut Kresna berusaha setenang mungkin."Oh, gitu." Rendra sedikit menyelidiki wajah Kresna."Apa sih, Mas? Aku emang cantik nggak usah dilihatin gitu, nanti makin cinta lagi," celetuk Kresna, menarik dua sudu
Katakan Kresna munafik. Depan Rendra, Kresna tidak pernah mengungkapkan rasa cinta. Seakan dia memang tidak cinta pada Rendra. Namun, sebenarnya Kresna memiliki rasa sayang pada suaminya itu.Entahlah. Apa cinta dan sayang bisa dikategorikan dua hal berbeda? Kresna sendiri tidak memahaminya. Ia hanya selalu berusaha jadi istri baik untuk Rendra. Seperti yang ia bilang sebelumnya, Kresna berharap surga atas baktinya pada Rendra.Langka beuh cewek kaya gini, mungkin hampir punah. Udah kaya komodo aja hampir punah. Tapi Kresna bukan komodo, ya. Apalagi orang utan khas Sumatera.Okey, seperti kelangkaan dirinya dari kalangan kaum hawa. Perasaan Kresna detik ini pun perasaan langka yang jarang ia rasakan.Tepat di dapur, Kresna sedang mengaduk susu dalam gelas. Bibirnya senyum-senyum sendiri. Ia teringat apa yang terjadi semalam. Rendra berkata cape, giliran udah dikasih susu. Eh, dia nyosor juga. Susu as
"Tolong Mbak jaga ucapan Mbak. Di sini ada Tessa, Mbak nggak mikirin perasaan dia?!" geram Kresna, namun masih berusaha menahan emosi.Wanita bermata almond itu melirik Tessa sinis. Lantas duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. "Ya, emang bener, kan? Kamu aja yang suka bela-bela dia. Sadar dong, Na! Dia itu emang Cewek Murahan."Sudah tidak bisa Tessa bertahan dengan perkataan Wanda. Istri pertama Rendra itu memang selalu memandang benci pada Tessa. Jika Kanti masih kadang-kadang baik. Berbeda dengan Wanda, dia selalu saja mencari jalan menyudutkan Tessa.Dengan hidung mulai memerah, Tessa hentakkan kaki meninggalkan Wanda yang tersenyum sinis."Mbak!" ujar Kresna dengan mata melotot.Namun, lagi-lagi Wanda tidak peduli. Dia hanya memutar bola mata dan segera mengambil ponsel dalam tas.Napas Kresna sudah dibuang kasar. Meski begitu, hanya sika
"Kenapa kamu bilang gitu, hm?" tanya Rendra begitu lembut. "Kalau Mas nggak mau, gimana? Mas nggak mau kita pisah apapun itu alasannya." Lembut sentuhan Rendra semakin membuat Tessa terisak.Sakitnya hati Tessa, bukan hanya karena tidak rela kehilangan Rendra. Namun, ia pun merasakan perih sayatan dalam setiap kata Rendra. Seolah kata-kata itu semakin membuatnya sulit melepaskan.Semua kata itu pun, Tessa tahu tidak hanya diucapkan padanya. Melainkan diucapkan pada keempat istri Rendra. Menyakitkan sekali jadi yang kesekian.Melihat Tessa hanya diam terpaku, lekas Rendra dekap wanita berkulit putih bersih itu, menyenderkan kepalanya di dada.Tindakan Rendra semakin membuat Tessa terisak, bahkan tanpa sadar tangisnya membuat Aski terbangun. Tubuh Tessa yang berguncang mengusik tidur bayi tampan itu.Cepat-cepat Tessa melepas pelukan. "Stthh, Sayang ini Mami, Nak. Maaf ya, Sayang.
Apa yang didengar di telepon waktu itu masih terngiang di telinga Kresna. Suara itu bukan suara Rendra, namun pria lain.Anehnya, suara itu tidak asing bagi Kresna. Tetapi, siapa cowok yang menelepon Wanda dengan embel-embel sayang?"Kak." Suara Tessa berbisik sambil menyenggol lengan Kresna.Kresna mengalihkan pandang dari jejeran rumah-rumah yang seolah mundur. "Hm," sahutnya singkat."Kakak kenapa, sih? Jangan bilang mabok! Dari tadi diem mulu," tanya Tessa heran. Dari awal keberangkatan ke Bogor ini, Kresna memang hanya diam saja. Tessa tidak tahu kenapa dengannya. Dari wajahnya, Tessa kira dia bukan lagi mabok deh. Adem aja mukanya."Nggak apa-apa." Kresna kembali memandangi pemandangan di balik kaca mobil. Seperti biasa, ada rumah-rumah, toko, dan hal lain pada umumnya. Tidak ada yang menarik sebenarnya."Kakak bohong! Apa jangan-jangan Kakak lagi mikir
Saat pertama masuk, villa yang Kresna dan Tessa tempati ini memang nyaman sekali. Desainnya mewah dengan dominan kayu.Bangunan yang menampilkan gaya Bohemian ini berwarna dominan cokelat dan hitam yang terkesan elegan. Saat datang dan mobil diparkir di samping villa, aroma sejuklah yang pertama dirasa ketika keluar dari mobil.Masih banyaknya pepohonan hijau menjadi alasan mengapa tempat itu bisa begitu sejuk. Kesejukan itu bisa dirasakan setiap hari, tanpa ada bising kendaraan atau asap polusinya. Sepoi angin mampu membuat diri menjadi tenang.Seperti pagi ini, Kresna tengah memasak di dapur. Letak dapur berdekatan dengan parkiran mobil dan memiliki akses langsung ke taman depan villa."Kakak!" panggil Tessa agak berteriak.Kresna menyemburkan kembali sayur sop yang baru ia coba. Emang nggak ada akhlak cewek satu ini. Kresna sedang mencicipi sop, dia malah dengan santainya pukul pundak. Nyemburkan jadinya."Kakak, kok dibuang? Sayang, kan?
"Mas, aku capek kayak gini terus!" Tessa mengeluhkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Sejak kejadian Rendra yang mencurigakan, semakin banyak kejadian-kejadian aneh yang menurut Tessa tidak wajar. Lelaki itu sering pulang telat, kalau pulang kadang marah-marah. Sering pergi dengan alasan keluar kota. Dua tahun berlalu sejak Rendra mengumumkan istrinya sekarang hanya satu, yaitu Tessa. Namun, bagi Tessa lelaki itu tetap seperti memiliki lebih dari satu istri. Dia tidak punya banyak waktu untuk Tessa. "Mas!" Tessa menghentakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai dasi. "Mas dengerin aku enggak sih?!" "Hm." Rendra tetap fokus memakai dasi. "Mas kenapa sih enggak mau dengerin aku?! Aku bilang ini itu, Mas cuma jawab iya-iya aja, tapi kok Mas enggak melakukan yang aku bilang." "Mas harus apa?" Rendra tampak sedikit geram. Entahlah, suaminya itu kini lebih sering tampak masam, tidak seperti dulu. "Mas ke mana aja? Kenapa sekarang baru pulang? Satu bulan lebih lho, Ma
"Selamat pagi, Mbak." Senyum manis terbit dari laki-laki berparas tampan. Bukan membalas senyuman Oni, Tessa malah memutar bola mata, menunjukkan sikap yang benar-benar berbeda dari biasanya. "Bapak menyuruh saya untuk mengantar Mbak, katanya Mbak mau ke pasar pagi ini," tutur Oni lembut tanpa sedikitpun curiga dengan sikap Tessa. Belum Tessa menjawab, Rendra yang tiba-tiba keluar dari rumah langsung menimpali. "Iya, Sayang. Mas khawatir kalau kamu belanja sendirian. Biar Oni yang mengantar kamu." Rendra menyentuh bahu Tessa. Perempuan itu menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa harus Oni? Kan ada sopir lain?" "Kang Dodi lagi cuti, biar Mas nyetir sendiri, yang penting kamu ada yang nemenin." Tessa diam, dan raut wajahnya yang diamati Rendra, membuat laki-laki itu kebingungan. "Kamu kenapa, Sayang? Lagi berantem sama Oni?" tanya Rendra lembut. "Enggak." Tessa menghela napas. Rasanya gagal untuk dia bisa menjauhi asisten pribadi suaminya itu. "Ya udah." Rendra mengalihkan tatap
Tessa terus tertawa merasakan geli di pinggang karena sang suami yang terus menyentuh area tersebut dengan gelitikan. Sementara Rendra terus melakukan itu tanpa mempedulikan Tessa yang meminta berhenti. Untuk malam pertama mereka, keduanya menginap di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. "Mas, udah stop!" pinta Tessa yang tidak diindahkan oleh Rendra. "Enggak," sahut Rendra manja lalu memeluk Tessa, kembali mencubit pinggang sang istri. "Ih, Mas geli." Tessa mau beranjak dari ranjang kalau saja Rendra tidak kembali memeluknya. "Mas ih," seru Tessa kemudian kembali merasakan kegelian karena tingkah Rendra. Dia kembali tertawa kecil. "Kayak belut deh kamu, enggak mau diem," kata Rendra menjawil pipi Tessa. "Abis Masnya enggak mau diem, kan geli." Tessa jadi waspada dengan tangan Rendra yang sudah bersiap mencubitnya lalu. "Hayo-hayo, mau ke mana?" "Mas!" Tessa berusaha mengeluarkan tubuhnya dari kukungan Rendra. "Apa, Sayang?" Rendra melukis senyum lalu mengecup lembut dahi T
Oni masih terdiam di balik kemudi. Dia mendapatkan kepercayaan Rendra untuk menjaga sesuatu yang hatinya tidak ingin melakukan itu. Ini tentang perempuan yang dia cintai, namun tidak bisa dia jaga. Laki-laki bermata kecil itu menghembuskan napas lelah. Kenapa bisa seperti ini? Tessa yang seharusnya terluka bukan Oni. "Ayo kita berangkat!" Rendra masuk mobil. "Baik, Pak." Oni manut dan sampai beberapa menit mobil melaju, hatinya masih tidak nyaman mengingat rahasia yang sedang dia simpan bersama dengan sang majikan. "Iya-iya, Sayang. Ini Mas lagi di perjalanan kok." "Iya, Mas langsung ke butiknya." Suara majikannya membuat Oni kembali menghembuskan napas lelah. Bagaimana ini? Rasanya Oni tidak mungkin mengatakan semua rahasia ini pada Tessa. Bisa hilang perkerjaannya. Laki-laki itu ingin mengutuk diri sendiri. Ini masalah majikannya, kenapa harus Oni yang merasakan pusing? Tessa? Siapa Tessa? Perempuan itu adalah istri majikannya. Oni tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
Pelukan hangat sang istri membuat Rendra mengusap sudut mata yang perlahan terasa basah. Dia mengelus lembut kepala perempuan yang lemah itu. "Mas," panggilnya lirih. Rendra lalu menurunkan pandang, melihat perempuan yang mendongkak itu kini jadi bermata sayu. Dia mengulas senyum, lalu kembali memeluk erat. "Mas, jangan pernah tinggalkan aku, ya?" Suaranya lirih dan serak. Rendra tahu kalau perempuan itu menangis. Dengan sigap Rendra kembali memeluknya. "Iya, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, jangan sedih, ya?" Getaran tubuh perempuan dalam pelukannya semakin menambah perih di hati Rendra. Bagaimana ini? *** Sebelas tahun lalu, jalanan Amerika yang sudah sepi membuat seorang perempuan terpaksa berjalan sendiri malam itu. Di salah satu kota di negara tersebut malam-malam memang tidak seramai dalam film-film Hollywood. Rendra yang saat itu sedang mengendarai mobil menuju apartemen, dia melihat perempuan tersebut. Merasa khawatir karena melihatnya sendirian, Rendra sengaja me
Kresna menyusut air mata yang keluar dari sudut matanya. Perempuan itu baru saja tertawa melihat tingkah si Andi, wartawan menyebalkan itu pergi karena malu. Semuanya pertanyaan berhasil dijawab Oni. Bahkan, saat Aski bangun, bayi itu entah kenapa memanggil Oni papa.Wah, memang betul-betul suatu keajaiban. Kresna senang bisa melihat Tessa kembali tersenyum lagi. Keduanya juga memang merasa lega.Rendra mengambil pisang goreng. "Acting kamu bagus, On," ucapnya lalu memakan pisang goreng."Iya, apalagi pas kamu bilang mau bergaya pas difoto si Andi waktu di supermarket. Aku pengen buang air lho lihat kamu cium Tessa. Tessa kamu kaget, ya, dicium pipi sama Oni, itu mata kayak mau keluar. On, kamu mesum juga ternyata?" Kresna menimpali sambil kembali terkekeh kecil.Oni hanya mengulas senyum malu-malu. Dia bukan sengaja melakukan itu, tapi memang perintah Rendra. Ya, kalau pun Rendra tidak menyuruh, mungkin Oni akan sukarela melakukan
Tessa sedikit menerka-nerka orang yang sedang membelakangi Tessa tersebut. Sepertinya kenal, tapi Tessa kenal di mana?"Kakak tunggu di sini aja," pinta Tessa sambil melirik Kresna, "biar aku yang nyamperin dia.""Nanti kalau kamu diapa-apain, gimana?" Kresna tentu merasa khawatir, meski jarak laki-laki itu tidak sampai sepuluh meter dari mereka."Tenang aja, Kak. Deket kok. Kakak bisa teriak kalau aku di apa-apain. Lagian ini masih di depan rumah." Tessa menepuk pelan bahu Kresna.Perempuan di sampingnya pun membentuk bulat jari telunjuk dan jempolnya. "Oke," sahut Kresna pelan.Dari jarak yang sekitar satu meter Kresna mengawasi Tessa yang mendekati laki-laki berkemeja itu."Maaf," kata Tessa membuat laki-laki itu menoleh."Oh, Hallo, Mbak Tessa. Perkenalkan saya Andi wartawan dari televisi GEATv." Laki-laki itu langsung mengulurkan tangan.Dengan canggung Tessa meraihnya, denga
"Maaf, Pak Rendra, apa betul anda sudah menceraikan dua istri anda sekaligus?" Di acara konferensi pers yang di selenggarakan pihak Purnama Grup. Rendra betul-betul langsung dicecar masalah pribadinya.Rendra menahan Oni dengan tangannya saat laki-laki itu hendak berbicara. Rendra tahu, pertanyaan ini terlalu sensitif, karena sebetulnya konferensi pers diselenggarakan untuk peluncuran produk baru dari Purnama Grup."Baik, setelah tadi saya menjelaskan tentang produk baru yang kami luncurkan. Saya berharap produk baru ini bisa laris di pasaran. Pun bisa memberi manfaat terutama untuk konsumen dan perusahaan kami. Untuk pertanyaan yang sodara tanyakan kepada saya, saya akan jawab ...."Suara jepretan kamera terdengar, para wartawan bahkan ada yang saling berbisik, seolah gosip-gosip seperti ini memang nikmat untuk diperbincangkan."Saya dan istri-istri saya, hubungan kami baik-baik saja, dan perpisahan yang kami lakukan pun dil
"Mbak ...." Tessa berujar lirih sambil melihat istri pertama suaminya sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.Perempuan itu bisa ada di sini karena telah melakukan percobaan bunuh diri. Wanda mencoba menyilet pergelangan tangannya. Untung saja Rendra keburu datang dan melihat sang istri tergolek lemah dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah.Sementara, di sudut ruangan itu Rendra sedang mengamati pemandangan halaman rumah sakit di balik jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Tessa sendiri hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap Wanda. Pucat dan kurus, berbeda sekali dengan Wanda yang sering dia lihat selama ini."Mbak, Mbak harus sehat, ya? Aku kangen lho, kangen lihat Mbak yang selalu cantik." Tessa tidak kuasa menahan tangis melihat perempuan yang terbaring itu hanya bisa menatap kosong.Wanda sudah siuman sejak satu hari dia dirawat di rumah sakit. Baru saja perempuan itu keluar rumah sakit sekaran