"Popok?" Rendra sontak duduk tegak dengan membuat mata kecilnya melotot. "Popok kamu abis?"
"Mas!"
Rendra mengaduh mendapatkan pukulan dari Tessa. Meski pake bantal, tapi dia kaget beuh dapat pukulan tiba-tiba.
"Bukan popok aku, tapi Aski," terangnya agak kesal, Tessa lalu melempar bantal tepat ke wajah Rendra.
Untung Rendra berhasil menangkapnya. Ia malah cengengesan lalu kembali tersenyum jahil.
"Kirain popok kamu."
"Apaan, sih? Aku nggak pake popok. Ya kali aku pake popok."
"Tiap bulan kamu pake popok, lho," goda Rendra, kini memeluk bantal.
"Itu bukan popok!"
"Terus apa? Sama aja, dipake di dalam celana." Rendra menahan tawa, membuatnya kembali mendapatkan cubitan di lengan.
"Aw!" pekik Rendra merasakan cubitan Tessa. Kecil sih, tapi perihnya luar binasah.
"Salah sendiri! Dibilang bukan buat aku, ngeyel mulu!"
"Kan Mas kira--" Rendra diam seketika melihat tangan Tessa yang sudah naik bersiap mencubitnya lagi.
"Okey, Mas serius sekarang. Emang Mas lupa transfer sama kamu, ya?" Rendra menatap serius sekarang.
"Nggak, sih." Tessa menunduk, dengan tangan menggulung-gulung ujung kaos.
"Oh, uangnya kurang buat beli popok? Atau kamu abisin buat beli popok kamu?"
"Aduh!" Rendra kembali mengaduh mendapat cubitan lagi dari Tessa.
"Mas ketularan Kak Ena, ya? Nggak bisa diajak serius," rengek Tessa manyun.
"Okey-okey, sorry. Mas suka liat kamu manyun. Jadi, seneng aja jailin kamu. Hehe. Maaf ya, Yayang Tessa." Bujuk dan rayu Rendra mulai ia keluarkan lagi. Dengan lembut ia tarik tangan Tessa, kembali menggenggamnya.
"Udah tenang aja, nanti Mas transfer lagi buat beli popok. Tapi, Mas boleh tanya, kan? Uang yang Mas kasih kurang? Tumben minta."
"Bukan kurang, Mas." Mata Tessa menatap imut. "Tapi, aku kan mau beli eyeliner terbaru yang mau Mas luncurkan, jadi aku simpan uangnya buat itu. Ada baju lucu juga di Mall, uangnya kurang kalau aku beliin susu."
"Astaghfirullah!" Rendra senyum sambil geleng-geleng. "Jadi, itu masalahnya. Kamu mau eyeliner limited edition itu, sampai nabung segala?"
"Ya, abis harganya mahal banget 5 juta satu, belum lagi aku kan mau lipstik yang terbarunya juga."
For your impormation aja, Rendra adalah seorang CEO salah satu kosmetik terbesar di Indonesia. PT. Purnama Rose, sebuah perusahaan di bidang kosmetik yang bahkan produknya terkenal di Asia dan dunia.
Jadi, tidak salah jika dia mesem-mesem saat Tessa bilang nabung untuk membeli produk baru yang akan dia luncurkan.
"Sayang," desah Rendra halus, menatap kedua mata Tessa. "Kamu tenang aja. Untuk produk terbaru itu, Mas udah buat 9 yang limited edition. Dengan lapisan emas di wadahnya itu, kan?"
"He'em, Aku mau yang itu Mas. Bagus banget kalau dipajang di I*." Tessa tunjukkan jejeran gigi putihnya.
Rendra kembali tersenyum. "Iya, untuk yang itu Mas sengaja bikin sembilan buah. Yang lima untuk dijual di lelang, yang empat buat istri-istri Mas. Gimana, mau?"
"Wah, serius Mas?" Tessa refleks segera memeluk Rendra. "Asik! Makasih Mas. Mas the best pokoknya."
"Iya, Sayang. Sama-sama." Rendra balas memeluk erat.
"Tapi, sebelum itu Mas minta sesuatu sama kamu?"
"Apa?" Tessa lepas pelukan, berganti menatap penasaran.
"Pijitin Mas dulu!" Rendra menepuk-nepuk satu bahu. "Mas capek banget, Sa. Kamu tahu? Tadi si Oni malah molor di mobil. Jadi, Mas deh yang harus nyetir. Mana ada acara mogok lagi tu mobil."
"Mobil Oni?"
"Ya, mobil si Oni. Mas kan nggak bawa mobil ke rumah Wanda. Tadi juga di jemput." Rendra menarik, meletakkan telapak tangan Tessa di bahunya.
"Pijitin, ya?" pinta Rendra manja.
"Mas kalau pijit suka minta plus-plus." Wajah Tessa kembali cemberut sambil menarik tangan.
"Nggak apa-apa, dong. Mas nanti minta plus susu, ya. Yang seger," goda Rendra lagi, lalu menarik Tessa, membuat Tessa berada di atas tubuhnya.
Tessa bisa mencium aroma tubuh khas Rendra. Pria itu suka memakai parfum seharga 4,9 jutaan. Kombinasi wangi lemon, melati, mawar, oud, amber, dan tonka. Cuco banget wanginya, bikin Tessa deg-degan kalau dekat sama Rendra.
"Ma-s," desah Tessa dengan mata berkedip-kedip.
"Apa, Sayang?" Jemari Rendra manis bermain di antara helaian rambut Tessa.
"Mas, bau."
"Hah?" Mata Rendra kembali melotot. "Bohong, ya? Mas wangi lho, Sayang."
Tessa terkikik pelan. "Ya, bercanda. Aku cuma nggak mau deket-deket gini. Mas suka kebablasan ah!"
"Jangan bilang 'ah' nanti Mas kebablasan beneran lho, mau tanggung jawab?" Mata Rendra kembali menatap nakal.
"Ih, nggak ah." Tessa pelan beranjak dari tubuh Rendra, lalu duduk di sampingnya.
"Udah. Katanya mau dipijitin," ujar Tessa lagi lalu mulai memijit bahu Rendra.
Rendra pun membalikkan tubuh dan mulai menikmati sentuhan demi sentuhan dari sang istri. Tessa ini mirip dengan Kresna, sentuhannya selalu lembut dan menenangkan.
Jika Kresna istri yang begitu sabar dan telaten, maka Tessa adalah istri lembut dan polos. Tessa selalu nurut, sama seperti Kresna. Bahkan Tidak seperti Kresna yang pintar dan sulit dibohongi, Tessa justru sebaliknya. Dia mudah percaya.
"Nah, iya-iya, Sayang. Yang itu, ditekan, dong!" pinta Rendra merem melek mendapat pijitan Tessa.
"Diputar, Sayang." Rendra merasakan tangan lentik sang istri memijit punggung bagian bawah. Ya, di sanalah letak pegal Rendra sedari tadi, karena sempat mendorong mobil juga.
Setelah beberapa saat, Rendra benar-benar menikmati pijitan Tessa. Hampir tidur, namun dia merasa ada yang kurang.
"Diputar tangan kamunya, Sa," pinta Rendra malah membuat Tessa memberhenti memijit.
"Lho, Sayang kok berhenti, sih?" Rendra merasa heran. Perasaan dia tidak minta diputar, dijilat dicelupin deh, kok Tessa malah stop mijitin, sih?
"Mas!" Suara itu membuat Rendra mengeryitkan dahi.
"Mas! Aku mau ngomong!"
Rendra semakin merasa heran. Suara itu benar-benar beda, bukan suara Tessa. Mata Rendra membeliak saat ditekan bagian daging punggungnya.
Rendra membalik badan cepat. "Aw! Sayang suara kamu kok--"
"Apa, Mas? Beda ya suaranya? Atau Mas lupa suara aku?!" seru Kanti, istri kedua Rendra, wanita dengan mata belo yang indah.
"Eh, Kanti. Tessa kok berubah jadi kamu?" Tubuh Rendra ditegakkan dengan mata terkaget. Pasalnya, Rendra memang baru bertemu Kanti sejak tadi pagi. Belum minta maaf tepatnya.
"Kamu nggak adil, Mas!"
"Lho, nggak adil apa, Sayang?" tanya Rendra halus sambil tangan hendak meraih jemari Kanti, namun cepat Kanti tepis.
"Udahlah! Aku udah denger semua yang kalian omongin. Lain kali kalau mau ena-ena, jangan lupa tutup pintu, dong!" ketusnya, lalu lekas Kanti hentakkan kaki, keluar dari kamar.
"Kanti-Kanti! Hey, Kanti!" Rendra cepat mengejar wanita berparas ayu itu.
"Apa, Mas?! Udah jelas kok, kamu nggak bisa adil!" Terpaksa Kanti berhenti di bawah tangga, saat Rendra berhasil mencekal tangannya.
"Nggak bisa adil apa, sih? Tadi Mas ngomongin popok sama Tessa, kamu mau juga?"
"Astaga, Mas!" geram Kanti. Suaminya itu tidak mengerti sama sekali arti amarah di wajahnya.
"Terus apa, dong? Kamu marah karena apa?" Selalu dan seperti ini cara Rendra bicara di depan semua istrinya. Sehalus dan selembut mungkin.
"Mas mau ke Singapura, kan? Minggu depan Mas ke Singapura dan secara otomatis Mas nggak akan pulang ke rumah aku. Ini nggak adil, Mas! Minggu depan itu ulang tahun aku!" papar Kanti masih dengan nada menggebu.
"Astaghfirullah, iya Mas lupa, Sayang. Iya, Mas mau ke Singapura. Kan peluncuran produk baru itu di sana." Desahan suara Rendra amat pelan sarat akan penyesalan.
"Maaf ya, Sayang. Nanti kalau pulang, Mas langsung ke rumah, kok," bujuk Rendra berusaha meredakan amarah Kanti yang mulai menyerupai Tessa tadi. Manyun bersenti-senti.
"Nggak! Pokoknya Mas nggak adil!" Dua tangan Kanti disedekapkan dengan wajah tak sedap dipandang.
Rendra menghela napas. Kadang ia juga merasa lelah menghadapi empat kaum hawa yang sikapnya berbeda. Kanti dan Wanda adalah dua istrinya yang cukup keras kepala dan manja.
Begitulah wanita. Segala yang dia katakan, ungkapkan, dan lakukan selalu benar. Ye, kan? Setujulah!
Nah, dari itulah kadang Rendra merasakan pusing tujuh keliling, delapan putaran, sembilan tanjakan. Namun, meski begitu ia selalu bersikap sabar pada keempatnya. Ya, bisa dibilang sabar sudah mendarah daging di diri Rendra.
Di sela helaan napas itu, tiba-tiba suara manis Tessa membahana di ruang makan yang menyatu dengan dapur itu.
"Bukan nggak adil, Mbak. Mas Rendra itu sibuk. Kita harus bisa ngertiin dia. Lagi pula, Mas Rendra mau bagiin kita eyeliner limited edition itu, lho."
Kanti sontak melirik ke arah Tessa, begitu juga Rendra. Cewek manis itu menaruh dua minuman botol di atas meja, menimbulkan suara sentuhan kaca dan botol. Sejenak membuat suasana hening setelahnya.
"Mbak, Mbak jangan ngambek gitu. Aku sama Mas Rendra tadi nggak ngelakuin apa-apa, kok." Tessa perlahan mendekati.
"Aku cuma mijitin Mas Rendra sama minta popok, udah gitu aja. Mas Rendra tadi capek, katanya abis dorong mobil," sambung Tessa mengukir senyum manis.
"Jangan so-soan jadi Kresna, deh. Nggak cocok!" Tatapan Kanti mulai menusuk mata Tessa.
"Maaf, Mbak. Aku bukan maksud ceramahin Mbak. Ya cuma--"
"Udahlah! Diem kamu Bocil! Kamu nggak inget apa dulu kamu itu apa, hah?!" marah Kanti makin melorot.
"Mbak kok bahas itu, maksud Mbak apa?" Darah Tessa mendidih jika membahas masalah itu. Masa lalunya yang buruk, saat bersama Rendra.
"Halah! Pokoknya jangan so suci, deh!"
"Kanti cukup!" ujar Rendra tegas.
"Apa, Mas! Kamu mau bela cewek pela--"
Mulut Kanti sontak terbungkam. Rendra dengan segera membungkamnya dengan bibir, membuat Kanti terdiam seribu bahasa dengan ciuman dadakan yang dilakukan Rendra.
Kanti bisa merasakan, tangan Rendra meremas tangannya. Mengisyaratkan agar dia diam dengan perlakuan Rendra.
Tanpa Rendra tahu, tindakan tiba-tibanya itu mengiris satu hati. Seseorang yang berdiri di antara mereka membeliakkan mata, cepat menunduk.
Tessa hendak menghindar dan lekas pergi meninggalkan keduanya. Namun, Rendra tampaknya sadar apa yang akan Tessa lakukan. Dengan cepat ia cekal tangan Tessa. Meninggalkan Tessa yang terpaku di belakang tubuh Rendra, masih dengan Rendra yang melakukan ciuman dengan Kanti.
Tessa tertunduk. Inikah sakit poligami itu? Dulu ia tidak pernah melihat adegan mengerikan ini. Rendra selalu berhasil menyembunyikan keromantisan di hadapan istrinya yang lain.
Namun hari ini, Tessa sampai melihat adegan sama dua kali. Hatinya yang tiba-tiba memanas, hanya bisa menyimpan rasa. Cemburu itu seakan menyatu dengan rasa lain, saat Rendra menggenggamnya erat.
°°°
Mulaikan penulis ngupas bawang :'( Monmaf, inilah sisi melankolis penulis, kan udah dibilang bukan orang humoris. Lanjut, kan? Lanjut, ya? Kepo, nggak? Kepo, dongs B-)
Hentakan kaki terdengar setelah suara pintu dibuka. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, rumah Kresna memang sudah sepi.Dua pembantunya sudah tidur. Ya, secara otomatis mampu membuat suara hentakan kaki Tessa cetar membahana di ruang makan. Cewek berambut hitam itu langsung masuk begitu saja ke sana lalu duduk di samping Kresna."Kenapa kusut? Belum makan? Pucat banget kaya mayat idul?" tanya Kresna santai sambil membuka kulit jeruk. Matanya sesekali melirik Tessa yang cemberut."Pintu nggak dikunci, ya?" Bukan menjawab, Tessa malah balik tanya, pake tatapan setajam silet pula. Bikin Kresna mengeryitkan dahi."Kenapa, gitu?" Kresna masukkan jeruk sudah kupas ke dalam mulut."Nggak, kan Mas Rendra mau ke rumah," lanjut Kresna lalu meluahkan dan membuang biji jeruk ke dalam mangkuk."Oh." Lirikkan Tessa tertuju pada jeruk. Dan, no basa-basi dia
"Ngapain Tessa ke sini?" Rendra melangkah masuk rumah. Beberapa saat sebelumnya, ia telah mendapat salim dari Tessa. Hanya senyum kecil, lalu setelahnya istri ke empatnya itu segera pamit pulang.Kresna menutup pintu perlahan, lalu mengikuti langkah Rendra masuk rumah. "Dia minta makan.""Minta makan?" Rendra berhenti dan membalik badan. "Kenapa minta makan? Pembantu-pembantunya sakit?"Tangan Kresna menggaruk tekuk leher. Bukan gatal, cuma bingung aja mau bilang apa. Masa iya, bilang Tessa cemburu dan nangis-nangis? Kan, kasihan Tessanya. Dia juga bilang untuk jaga rahasia percakapan mereka tadi."Eu ... dia ... dia cuma pengen makan masakan aku, Mas," sahut Kresna berusaha setenang mungkin."Oh, gitu." Rendra sedikit menyelidiki wajah Kresna."Apa sih, Mas? Aku emang cantik nggak usah dilihatin gitu, nanti makin cinta lagi," celetuk Kresna, menarik dua sudu
Katakan Kresna munafik. Depan Rendra, Kresna tidak pernah mengungkapkan rasa cinta. Seakan dia memang tidak cinta pada Rendra. Namun, sebenarnya Kresna memiliki rasa sayang pada suaminya itu.Entahlah. Apa cinta dan sayang bisa dikategorikan dua hal berbeda? Kresna sendiri tidak memahaminya. Ia hanya selalu berusaha jadi istri baik untuk Rendra. Seperti yang ia bilang sebelumnya, Kresna berharap surga atas baktinya pada Rendra.Langka beuh cewek kaya gini, mungkin hampir punah. Udah kaya komodo aja hampir punah. Tapi Kresna bukan komodo, ya. Apalagi orang utan khas Sumatera.Okey, seperti kelangkaan dirinya dari kalangan kaum hawa. Perasaan Kresna detik ini pun perasaan langka yang jarang ia rasakan.Tepat di dapur, Kresna sedang mengaduk susu dalam gelas. Bibirnya senyum-senyum sendiri. Ia teringat apa yang terjadi semalam. Rendra berkata cape, giliran udah dikasih susu. Eh, dia nyosor juga. Susu as
"Tolong Mbak jaga ucapan Mbak. Di sini ada Tessa, Mbak nggak mikirin perasaan dia?!" geram Kresna, namun masih berusaha menahan emosi.Wanita bermata almond itu melirik Tessa sinis. Lantas duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. "Ya, emang bener, kan? Kamu aja yang suka bela-bela dia. Sadar dong, Na! Dia itu emang Cewek Murahan."Sudah tidak bisa Tessa bertahan dengan perkataan Wanda. Istri pertama Rendra itu memang selalu memandang benci pada Tessa. Jika Kanti masih kadang-kadang baik. Berbeda dengan Wanda, dia selalu saja mencari jalan menyudutkan Tessa.Dengan hidung mulai memerah, Tessa hentakkan kaki meninggalkan Wanda yang tersenyum sinis."Mbak!" ujar Kresna dengan mata melotot.Namun, lagi-lagi Wanda tidak peduli. Dia hanya memutar bola mata dan segera mengambil ponsel dalam tas.Napas Kresna sudah dibuang kasar. Meski begitu, hanya sika
"Kenapa kamu bilang gitu, hm?" tanya Rendra begitu lembut. "Kalau Mas nggak mau, gimana? Mas nggak mau kita pisah apapun itu alasannya." Lembut sentuhan Rendra semakin membuat Tessa terisak.Sakitnya hati Tessa, bukan hanya karena tidak rela kehilangan Rendra. Namun, ia pun merasakan perih sayatan dalam setiap kata Rendra. Seolah kata-kata itu semakin membuatnya sulit melepaskan.Semua kata itu pun, Tessa tahu tidak hanya diucapkan padanya. Melainkan diucapkan pada keempat istri Rendra. Menyakitkan sekali jadi yang kesekian.Melihat Tessa hanya diam terpaku, lekas Rendra dekap wanita berkulit putih bersih itu, menyenderkan kepalanya di dada.Tindakan Rendra semakin membuat Tessa terisak, bahkan tanpa sadar tangisnya membuat Aski terbangun. Tubuh Tessa yang berguncang mengusik tidur bayi tampan itu.Cepat-cepat Tessa melepas pelukan. "Stthh, Sayang ini Mami, Nak. Maaf ya, Sayang.
Apa yang didengar di telepon waktu itu masih terngiang di telinga Kresna. Suara itu bukan suara Rendra, namun pria lain.Anehnya, suara itu tidak asing bagi Kresna. Tetapi, siapa cowok yang menelepon Wanda dengan embel-embel sayang?"Kak." Suara Tessa berbisik sambil menyenggol lengan Kresna.Kresna mengalihkan pandang dari jejeran rumah-rumah yang seolah mundur. "Hm," sahutnya singkat."Kakak kenapa, sih? Jangan bilang mabok! Dari tadi diem mulu," tanya Tessa heran. Dari awal keberangkatan ke Bogor ini, Kresna memang hanya diam saja. Tessa tidak tahu kenapa dengannya. Dari wajahnya, Tessa kira dia bukan lagi mabok deh. Adem aja mukanya."Nggak apa-apa." Kresna kembali memandangi pemandangan di balik kaca mobil. Seperti biasa, ada rumah-rumah, toko, dan hal lain pada umumnya. Tidak ada yang menarik sebenarnya."Kakak bohong! Apa jangan-jangan Kakak lagi mikir
Saat pertama masuk, villa yang Kresna dan Tessa tempati ini memang nyaman sekali. Desainnya mewah dengan dominan kayu.Bangunan yang menampilkan gaya Bohemian ini berwarna dominan cokelat dan hitam yang terkesan elegan. Saat datang dan mobil diparkir di samping villa, aroma sejuklah yang pertama dirasa ketika keluar dari mobil.Masih banyaknya pepohonan hijau menjadi alasan mengapa tempat itu bisa begitu sejuk. Kesejukan itu bisa dirasakan setiap hari, tanpa ada bising kendaraan atau asap polusinya. Sepoi angin mampu membuat diri menjadi tenang.Seperti pagi ini, Kresna tengah memasak di dapur. Letak dapur berdekatan dengan parkiran mobil dan memiliki akses langsung ke taman depan villa."Kakak!" panggil Tessa agak berteriak.Kresna menyemburkan kembali sayur sop yang baru ia coba. Emang nggak ada akhlak cewek satu ini. Kresna sedang mencicipi sop, dia malah dengan santainya pukul pundak. Nyemburkan jadinya."Kakak, kok dibuang? Sayang, kan?
"Sayang, kan Mas pernah bilang kamu tuh jangan capek-capek. Kamu lagi hamil lho," nasihat Rendra mengelus dahi Kresna.Ibu hamil itu tadi nyaris pingsan karena merasa pusing. Untung saja Kanti turun tangga dan melihat Kresna duduk terkulai di samping tangga.Kini, Kresna sudah dibawa ke kamar. Di sebelahnya Rendra duduk setia mengelus dahinya. Tangan Rendra juga memijit-mijit tangan Kresna yang dingin."Aku cuma pusing, Mas. Kadang itu emang suka terjadi. Pas pusing suka gelap gitu, tadi aja aku enggak tahu ada Mbak Kanti cuma denger suaranya aja," sahut Kresna lemah."Tahu gitu, kamu jangan masak. Biar aku aja yang masak." Kanti masuk membawa nampan berisi semangkuk bubur dan air putih, menaruhnya di atas meja."Makan dulu, kamu pasti belum makan, kan?" lanjut Kanti masih berdiri di samping ranjang.Kresna menoleh, tersenyum lirih. "Makasih, Mbak. Eh, si Tes
"Mas, aku capek kayak gini terus!" Tessa mengeluhkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Sejak kejadian Rendra yang mencurigakan, semakin banyak kejadian-kejadian aneh yang menurut Tessa tidak wajar. Lelaki itu sering pulang telat, kalau pulang kadang marah-marah. Sering pergi dengan alasan keluar kota. Dua tahun berlalu sejak Rendra mengumumkan istrinya sekarang hanya satu, yaitu Tessa. Namun, bagi Tessa lelaki itu tetap seperti memiliki lebih dari satu istri. Dia tidak punya banyak waktu untuk Tessa. "Mas!" Tessa menghentakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai dasi. "Mas dengerin aku enggak sih?!" "Hm." Rendra tetap fokus memakai dasi. "Mas kenapa sih enggak mau dengerin aku?! Aku bilang ini itu, Mas cuma jawab iya-iya aja, tapi kok Mas enggak melakukan yang aku bilang." "Mas harus apa?" Rendra tampak sedikit geram. Entahlah, suaminya itu kini lebih sering tampak masam, tidak seperti dulu. "Mas ke mana aja? Kenapa sekarang baru pulang? Satu bulan lebih lho, Ma
"Selamat pagi, Mbak." Senyum manis terbit dari laki-laki berparas tampan. Bukan membalas senyuman Oni, Tessa malah memutar bola mata, menunjukkan sikap yang benar-benar berbeda dari biasanya. "Bapak menyuruh saya untuk mengantar Mbak, katanya Mbak mau ke pasar pagi ini," tutur Oni lembut tanpa sedikitpun curiga dengan sikap Tessa. Belum Tessa menjawab, Rendra yang tiba-tiba keluar dari rumah langsung menimpali. "Iya, Sayang. Mas khawatir kalau kamu belanja sendirian. Biar Oni yang mengantar kamu." Rendra menyentuh bahu Tessa. Perempuan itu menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa harus Oni? Kan ada sopir lain?" "Kang Dodi lagi cuti, biar Mas nyetir sendiri, yang penting kamu ada yang nemenin." Tessa diam, dan raut wajahnya yang diamati Rendra, membuat laki-laki itu kebingungan. "Kamu kenapa, Sayang? Lagi berantem sama Oni?" tanya Rendra lembut. "Enggak." Tessa menghela napas. Rasanya gagal untuk dia bisa menjauhi asisten pribadi suaminya itu. "Ya udah." Rendra mengalihkan tatap
Tessa terus tertawa merasakan geli di pinggang karena sang suami yang terus menyentuh area tersebut dengan gelitikan. Sementara Rendra terus melakukan itu tanpa mempedulikan Tessa yang meminta berhenti. Untuk malam pertama mereka, keduanya menginap di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. "Mas, udah stop!" pinta Tessa yang tidak diindahkan oleh Rendra. "Enggak," sahut Rendra manja lalu memeluk Tessa, kembali mencubit pinggang sang istri. "Ih, Mas geli." Tessa mau beranjak dari ranjang kalau saja Rendra tidak kembali memeluknya. "Mas ih," seru Tessa kemudian kembali merasakan kegelian karena tingkah Rendra. Dia kembali tertawa kecil. "Kayak belut deh kamu, enggak mau diem," kata Rendra menjawil pipi Tessa. "Abis Masnya enggak mau diem, kan geli." Tessa jadi waspada dengan tangan Rendra yang sudah bersiap mencubitnya lalu. "Hayo-hayo, mau ke mana?" "Mas!" Tessa berusaha mengeluarkan tubuhnya dari kukungan Rendra. "Apa, Sayang?" Rendra melukis senyum lalu mengecup lembut dahi T
Oni masih terdiam di balik kemudi. Dia mendapatkan kepercayaan Rendra untuk menjaga sesuatu yang hatinya tidak ingin melakukan itu. Ini tentang perempuan yang dia cintai, namun tidak bisa dia jaga. Laki-laki bermata kecil itu menghembuskan napas lelah. Kenapa bisa seperti ini? Tessa yang seharusnya terluka bukan Oni. "Ayo kita berangkat!" Rendra masuk mobil. "Baik, Pak." Oni manut dan sampai beberapa menit mobil melaju, hatinya masih tidak nyaman mengingat rahasia yang sedang dia simpan bersama dengan sang majikan. "Iya-iya, Sayang. Ini Mas lagi di perjalanan kok." "Iya, Mas langsung ke butiknya." Suara majikannya membuat Oni kembali menghembuskan napas lelah. Bagaimana ini? Rasanya Oni tidak mungkin mengatakan semua rahasia ini pada Tessa. Bisa hilang perkerjaannya. Laki-laki itu ingin mengutuk diri sendiri. Ini masalah majikannya, kenapa harus Oni yang merasakan pusing? Tessa? Siapa Tessa? Perempuan itu adalah istri majikannya. Oni tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
Pelukan hangat sang istri membuat Rendra mengusap sudut mata yang perlahan terasa basah. Dia mengelus lembut kepala perempuan yang lemah itu. "Mas," panggilnya lirih. Rendra lalu menurunkan pandang, melihat perempuan yang mendongkak itu kini jadi bermata sayu. Dia mengulas senyum, lalu kembali memeluk erat. "Mas, jangan pernah tinggalkan aku, ya?" Suaranya lirih dan serak. Rendra tahu kalau perempuan itu menangis. Dengan sigap Rendra kembali memeluknya. "Iya, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, jangan sedih, ya?" Getaran tubuh perempuan dalam pelukannya semakin menambah perih di hati Rendra. Bagaimana ini? *** Sebelas tahun lalu, jalanan Amerika yang sudah sepi membuat seorang perempuan terpaksa berjalan sendiri malam itu. Di salah satu kota di negara tersebut malam-malam memang tidak seramai dalam film-film Hollywood. Rendra yang saat itu sedang mengendarai mobil menuju apartemen, dia melihat perempuan tersebut. Merasa khawatir karena melihatnya sendirian, Rendra sengaja me
Kresna menyusut air mata yang keluar dari sudut matanya. Perempuan itu baru saja tertawa melihat tingkah si Andi, wartawan menyebalkan itu pergi karena malu. Semuanya pertanyaan berhasil dijawab Oni. Bahkan, saat Aski bangun, bayi itu entah kenapa memanggil Oni papa.Wah, memang betul-betul suatu keajaiban. Kresna senang bisa melihat Tessa kembali tersenyum lagi. Keduanya juga memang merasa lega.Rendra mengambil pisang goreng. "Acting kamu bagus, On," ucapnya lalu memakan pisang goreng."Iya, apalagi pas kamu bilang mau bergaya pas difoto si Andi waktu di supermarket. Aku pengen buang air lho lihat kamu cium Tessa. Tessa kamu kaget, ya, dicium pipi sama Oni, itu mata kayak mau keluar. On, kamu mesum juga ternyata?" Kresna menimpali sambil kembali terkekeh kecil.Oni hanya mengulas senyum malu-malu. Dia bukan sengaja melakukan itu, tapi memang perintah Rendra. Ya, kalau pun Rendra tidak menyuruh, mungkin Oni akan sukarela melakukan
Tessa sedikit menerka-nerka orang yang sedang membelakangi Tessa tersebut. Sepertinya kenal, tapi Tessa kenal di mana?"Kakak tunggu di sini aja," pinta Tessa sambil melirik Kresna, "biar aku yang nyamperin dia.""Nanti kalau kamu diapa-apain, gimana?" Kresna tentu merasa khawatir, meski jarak laki-laki itu tidak sampai sepuluh meter dari mereka."Tenang aja, Kak. Deket kok. Kakak bisa teriak kalau aku di apa-apain. Lagian ini masih di depan rumah." Tessa menepuk pelan bahu Kresna.Perempuan di sampingnya pun membentuk bulat jari telunjuk dan jempolnya. "Oke," sahut Kresna pelan.Dari jarak yang sekitar satu meter Kresna mengawasi Tessa yang mendekati laki-laki berkemeja itu."Maaf," kata Tessa membuat laki-laki itu menoleh."Oh, Hallo, Mbak Tessa. Perkenalkan saya Andi wartawan dari televisi GEATv." Laki-laki itu langsung mengulurkan tangan.Dengan canggung Tessa meraihnya, denga
"Maaf, Pak Rendra, apa betul anda sudah menceraikan dua istri anda sekaligus?" Di acara konferensi pers yang di selenggarakan pihak Purnama Grup. Rendra betul-betul langsung dicecar masalah pribadinya.Rendra menahan Oni dengan tangannya saat laki-laki itu hendak berbicara. Rendra tahu, pertanyaan ini terlalu sensitif, karena sebetulnya konferensi pers diselenggarakan untuk peluncuran produk baru dari Purnama Grup."Baik, setelah tadi saya menjelaskan tentang produk baru yang kami luncurkan. Saya berharap produk baru ini bisa laris di pasaran. Pun bisa memberi manfaat terutama untuk konsumen dan perusahaan kami. Untuk pertanyaan yang sodara tanyakan kepada saya, saya akan jawab ...."Suara jepretan kamera terdengar, para wartawan bahkan ada yang saling berbisik, seolah gosip-gosip seperti ini memang nikmat untuk diperbincangkan."Saya dan istri-istri saya, hubungan kami baik-baik saja, dan perpisahan yang kami lakukan pun dil
"Mbak ...." Tessa berujar lirih sambil melihat istri pertama suaminya sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.Perempuan itu bisa ada di sini karena telah melakukan percobaan bunuh diri. Wanda mencoba menyilet pergelangan tangannya. Untung saja Rendra keburu datang dan melihat sang istri tergolek lemah dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah.Sementara, di sudut ruangan itu Rendra sedang mengamati pemandangan halaman rumah sakit di balik jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Tessa sendiri hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap Wanda. Pucat dan kurus, berbeda sekali dengan Wanda yang sering dia lihat selama ini."Mbak, Mbak harus sehat, ya? Aku kangen lho, kangen lihat Mbak yang selalu cantik." Tessa tidak kuasa menahan tangis melihat perempuan yang terbaring itu hanya bisa menatap kosong.Wanda sudah siuman sejak satu hari dia dirawat di rumah sakit. Baru saja perempuan itu keluar rumah sakit sekaran