Beranda / Fiksi Remaja / Satu Atap / 4. The Craziest Thing Ever

Share

4. The Craziest Thing Ever

Penulis: IamBlueRed
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ares mengambil smartphone di atas meja di depannya, mengklik salah satu ikon game disana. Ia menyenderkan punggung, menekuk satu kakinya lalu meletakkannya di atas kaki yang lain.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih lima menit. Tidak ada tanda-tanda datangannya tamu seperti yang orangtuanya bicarakan. Tapi mereka sudah menyuruhnya bersiap-siap di bawah. Daripada bosan, akhirnya Ares memilih memainkan game di smartphonenya.

"Gimana sekolahmu? Baik-baik aja kan?" Tiba-tiba mamanya menyeletuk, mengambil minuman di dekatnya.

Ares mengangkat kepala, menjeda game di hpnya. "Hmm... Baik." Ia memaksakan senyum.

Ares tahu nada bicaranya memang kaku. Tujuh tahun jauh dari orangtuanya membuat mereka terasa asing jika berada di dekatnya. Lebih menyebalkannya lagi, sekembalinya mereka dari luar negeri sebulan yang lalu kemudian tinggal bersamanya, hanya untuk mengadakan acara perjodohannya yang akan dilakukan sebentar lagi. Jika saja Ares tidak tahu siapa orang yang akan dijodohkan dengannya, ia pasti sudah memberontak dan menolak perjodohan itu sejak awal.

"Kamu nggak kepo siapa yang bakal dijodohin sama kamu?" tanya mamanya lagi.

Ares tertegun sebentar. "Lumayan," bohongnya. Padahal ia sudah tahu siapa orangnya. Bukan Ares namanya jika tidak langsung mencari informasi tentang hal itu setelah neneknya keceplosan berbicara setahun yang lalu. Terimakasih, Oma. Ia jadi tahu segala rencana yang mama dan papanya rahasiakan selama ini darinya dan juga tahu orang yang sejak dulu sudah direncanakan akan dijodohkan dengannya.

Lisa Alisia.

Ares selalu tersenyum mengingat nama gadis itu. Wajahnya ketika sebal, wajahnya ketika marah. Ada rasa senang tersendiri saat melihat Lisa berseru marah padanya. Ares masokis? Tidak juga. Mungkin karena tingkat kemanisan gadis itu akan melonjak naik saat sedang marah.

"Kayaknya mereka udah datang," ucap papanya. Mamanya yang mendengar langsung bangkit berdiri, bergerak menyambut tamu yang ditunggu di depan pintu.

Ares sendiri hanya menyendarkan tubuh ke punggung sofa, merilekskan tubuh, tidak jadi bermain game. Di otaknya sekarang sedang memutar bayangan betapa terkejutnya Lisa mengetahui sosok yang selalu menggangunya tinggal di rumah calon tunangannya. Bahkan Ares sudah membayangkan ekspresi sebal dan tidak suka gadis itu setelahnya.

Hmm... manis sekali.

"Ya ampun... Kamu udah besar ya, Sa. Makin cantik. Dulu tante liat kamu masih kecil." Suara mamanya terdengar dari depan pintu.

Ares menoleh ke belakang, mengintip dari balik sofa. Lisa nampak tersenyum, anggun dengan pakaian yang ia kenakan. Di sebelah kanan kirinya ada kedua orangtuanya yang sedang berdiri. Jarang-jarang Ares melihat gadis itu tersenyum. Bukan langka, tapi Lisa memang jarang tersenyum padanya. Ia itu gadis ceria jika tidak ada dirinya di sisinya. Dan hal itu yang membuat Ares bangga. Lisa tidak pernah sebal dan marah-marah selain dengan dirinya. Dia begitu spesial kan?

Di depan pintu, mamanya terlihat berpelukan sebentar dengan wanita di samping kanan Lisa, lalu mempersilahkan mereka masuk. Setelah itu suara banyak langkah mendekat ke ruang tamu terdengar. Sebelum mamanya memanggil namanya, Ares segera bangkit berdiri. Ia berbalik menghadap tamu yang masuk, tersenyum sebaik mungkin.

Seperti dugaannya, empat meter dari tempatnya berpijak, Lisa tiba-tiba berhenti melangkah. Gadis itu melebarkan mata, menatap ke arahnya tidak percaya. Wajah terkejutnya sama persis seperti yang ia bayangkan tadi. Tangan gadis itu gemetar menunjuk ke arahnya.

"Ares?!"

Supaya terlihat seperti orang yang tidak tahu apa-apa, akhirnya Ares ikut melebarkan mata, sok-sokan terkejut. Padahal sebenarnya ia ingin tertawa keras sekarang. Ekspresi gadis di depannya benar-benar sesuai dengan ekspektasinya.

Ares tahu, mungkin setelah ini tingkat kekesalan Lisa padanya bertambah. Siap-siap saja untuk melihat wajah tertekuknya setiap kali bertemu.

***

Lisa menghela napas panjang, berusaha mati-matian menahan rasa sebal di dalam hati. Jika Lisa tidak punya sopan santun, pasti ia sudah berteriak tidak terima dan mengacak-acak meja di depannya sekarang. Tapi berhubung ia orang yang sangat menjaga sikap, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah duduk dan mendengarkan orang-orang di sekitarnya berbicara. Bayangkan saja, sudah dijodohkan, Lisa juga harus menanggung derita dengan melihat pemuda Reigara itulah yang berdiri di hadapannya.

Lisa sendiri tidak habis pikir mengapa hal ini bisa terjadi. Ia akan bertunangan dengan Ares? Yang benar saja! Cobaan apalagi ini... Apa sudah kaidah dunia sesuatu yang tidak disukai lebih sering mengelilingi? Sial. Dari puluhan anak rekan bisnis ayahnya, mengapa harus Ares yang dijodohkan dengannya?

"Kalian kenal satu sama lain sejak kapan?" Ayah Lisa yang baru saja mengobrol tentang bisnis dengan Tuan Reigara bertanya di sebelahnya.

"Lisa nggak pernah cerita kalau punya temen namanya Ares," timpal bundanya.

Lisa tidak mood menjawab. Ia hanya diam mendengarkan sedari tadi. Bahkan ia tidak nafsu sama sekali ketika melihat beberapa piring makanan mulai dihidangkan oleh para pelayan, meski itu merupakan makanan favoritnya. Moodnya sudah anjlok sampai dasar.

"Kita kenal dari awal masuk SMA, temen sekelas," Ares yang menjawab. Lisa tidak habis pikir. Pemuda Reigara itu tidak terlihat terusik sama sekali dengan kenyataan bahwa mereka berdua akan bertunangan. Ia malah tersenyum, santai mengobrol dengan dua pasang orangtua di sekitarnya. Astaga... Lidah Lisa saja masih kelu sampai sekarang.

Sebenarnya firasat Lisa sudah tidak enak ketika memasuki pekarangan rumah rekan kerja ayahnya yang luasnya luar biasa untuk pertama kali. Di sisi kiri rumah, terdapat garasi yang terbuka dan memperlihatkan sebuah sepeda hitam terparkir di dalamnya. Lisa tidak asing dengan sepeda itu. Rasanya ia pernah melihat sepeda seperti sepeda itu sebelumnya. Tapi dimana? Dan milik siapa?

Tepat saat tuan rumah-istri rekan bisnis ayah-keluar untuk menyambut di depan pintu, sebuah kesadaran merasuki  Lisa. Ia berhenti melangkah, terhenyak beberapa saat. Bundanya yang menyadari ia berhenti melangkah sampai harus menggandeng tangannya, menariknya agar berjalan di sisinya kembali. Setelahnya Lisa senantiasa berdoa dalam hati agar pemikiran yang baru saja bersarang di otaknya itu salah. Tapi beberapa detik kemudian, setelah ia memasuki rumah rekan kerja ayahnya.... deg! 

Pemandangan yang Lisa khawatirkan terjadi malah nampak jelas di penglihatannya. Ares berdiri di hadapan Lisa dengan ekspresi sama terkejutnya seperti dirinya. Saat itu juga Lisa menyadari, mungkin hidupnya tidak lagi tenang setelah ini.

"Gimana Ares di kelas? Dia nggak males kan?" Nyonya Reigara bertanya pada Lisa.

Lisa yang sedari tadi diam langsung menegakkan badan, menatap bingung. Tadi Nyonya Reigara bertanya apa?

"Nggak kok, Ma. Aku anak rajin. Kenaikan kelas kemarin aja dapet peringkat lima." Akhirnya pemuda itu lagi yang menjawab. Lisa mencibir dalam hati. Iya benar peringkat lima, tapi dari belakang. Ares itu anak malas. Padahal sebenarnya Lisa yakin ia sangat pintar. Saat UKK kemarin saja pemuda itu malah bermain di game center berjam-jam. Lisa tahu hal itu karena sempat datang ke mall tempat Ares bermain. Bundanya meminta Lira menemaninya berbelanja. Tapi ia hanya melihat dari jauh, tidak beniat menyapa. Yang ada Ares malah membuatnya mendidih jika Lisa menghampirinya. Dan ia sedang malas berteriak marah pada Ares waktu itu.

"Lisa itu pendiam, ya?" Nyonya Reigara kembali bertanya. Lisa yang disebut namanya hanya tersenyum kikuk. Dia pendiam? Sejak kapan?

"Sebenernya Lisa nggak sediem ini di rumah. Mungkin dia masih shock setelah tahu calonnya itu temen sekelasnya sendiri." Ayahnya yang menjawab. Bundanya di sebelah kiri tersenyum menatapnya, mengusap bahu Lisa menenangkan.

Rasanya Lisa ingin menghilang dari tempatnya duduk sekarang. Ia merasa menjadi satu-satunya orang yang canggung dan duduk tidak nyaman di ruangan ini. Tidak seperti Ares yang bisa duduk setenang itu. Kalau bisa, Lisa ingin jadi anak pembangkang saja sekarang. Ia ingin mengamuk dan membatalkan acara perjodohannya dengan pemuda Reigara itu. Tapi sayangnya, itu hanya sebuah keinginan tak terealisasikan. Lisa tidak mampu. Ia tidak bisa melawan kedua orangtuanya.  

"Kalian memang saling suka, ya?" Kini Tuan Reigara atau papa Ares yang bertanya. Dahi Lisa langsung terlipat mendengar pertanyaan itu. Ares yang duduk di seberangnya terkekeh pelan.

"Lisa itu galak. Sering marah-marah ke aku. Nggak mungkin kita saling suka," ujar Ares, menyerut minuman di depannya. Lisa mendengus sebal. Jika keadaannya tidak seperti ini, ia pasti sudah melotot marah ke arah pemuda itu sekarang.

"Ohh... Jadi kalian sering tengkar ternyata?" Nyonya Reigara bertanya. Lisa tersenyum samar di tempat.

Tuan Reigara tersenyum, berkata, "Nggak papa. Pasti lebih sering baikannya setelah kalian menikah nanti."

UHUK!

Lisa dan Ares tersedak bersamaan. Ares tersedak air minumnya, sedangkan Lisa tersedak udara.

"Nikah?" tanya Ares, melototkan mata.

Lisa rasa kupingnya sedang bermasalah. Ia pasti salah dengar tadi. Tidak mungkin Tuan Reigara mengatakan sesuatu tentang pernikahan. Tapi setelah mendengar kalimat Ares barusan, harapan Lisa tentang kupingnya yang bermasalah hancur sudah. Siapapun, katakan pada Lisa jika pertemuan ini hanya sebuah joke belaka.

Tuan Reigara mengangguk, menjawab pertanyaan anaknya. "Sesuai yang papa sepakati sama Om Ferald, kalian berdua nggak akan tunangan, tapi langsung menikah."

Lisa melebarkan mata, membuka mulut tak percaya. Rasanya ia ingin mengumpat, menolak rencana tidak masuk akal para orangtua di sekelilingnya. Lisa pikir ia hanya akan bertunangan dengan Ares---setidaknya untuk sekarang. Tapi ternyata... apa-apaan ini?

Sesungguhnya hal tergila yang pernah Lisa hadapi seumur hidupnya adalah hal ini. Dia harus menikah? Di umur tujuh belas tahun? Dan dengan Ares?

Ya Tuhan, maafkan Lisa yang tidak bersyukur ini. Tapi ia berharap jadi orang miskin saja sekarang.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Habibi Zulkarnain Amir
suck, sudah ku duga, ni novel mudah k tebak, kek drama2 FTV yang d SCTV
goodnovel comment avatar
Kikiw
poor u lisa 🤣🤣🤣🤣
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Satu Atap   5. Inverse Matrix

    Pagi ini hujan membasahi bumi. Langit mendung. Matahari urung menampakkan diri. Lisa memandangi jendela mobil yang berembun. Ada titik-titik air hujan di luarnya. Rasanya seperti alam mengerti suasana apa yang mendukung perasaannya yang sedang berkabut ini.Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya ia sudah sampai sekolah sekarang. Tapi entahlah, hari ini Lisa sedang malas. Sebenarnya semua sudah siap sejak sebelum jam enam tadi. Hanya tinggal memanggil Pak Udin supir di rumah Lisa untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi ia malah tiduran di kamar malas sampai jam enam lebih. Mungkin ia akan lupa berangkat jika ayahnya tidak mengetuk pintu kamarnya tadi.Ck! Ini semua gara-gara tadi malam. Moodnya masih saja buruk sampai sekarang."Sekolahmu baik kan, Sa? Nggak ada masalah?" Ayah Lisa di sebelah kanannya tiba-tiba bertanya, menatap ke arahnya sekilas, lalu balik menatap jalanan. Ayahnya memang yang mengantar Lisa ke s

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   6. Ours

    Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   7. Fake Little Brother

    Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   8. Later (a)

    "Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   9. Later (b)

    Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   10. Together

    "Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   11. New Home

    Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   12. Cunning

    Lisa menghempaskan tubuh ke tempat tidurnya, melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul lewat tengah malam. Ia membuka handphome di atas kasur sejenak, mengernyitkan dahi samar beberapa detik kemudian. VianKak Lisa!Ada acara apa tadi siang?!Kenapa Kak Lisa gak cerita:((Pokoknya jawab jujur sekarang.Aku udah tau semua.Kalau Kak Lisa nggak mau cerita, aku bakal sebarin ke semua orang. :||Lisa melototkan mata, terkejut bukan main membaca pesan dari Vian. Ia benar-benar menyesal membuka handphone sebelum tidur. Pasalnya Vian mengirimnya beberapa pesan yang sungguh mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba pemuda itu bertanya topik yang mengejutkan; pernikahannya. Mengancam pu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Satu Atap   80. Let Him Go

    Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan

  • Satu Atap   79. Thing Called First Kiss

    "Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek

  • Satu Atap   78. Graduation

    Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.

  • Satu Atap   77. New Home pt. 3

    "Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n

  • Satu Atap   76. Forgive and Keep Going

    "Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes

  • Satu Atap   75. After That

    Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.

  • Satu Atap   74. Falling For You

    "Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"

  • Satu Atap   73. Heart For Takeaway

    Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga

  • Satu Atap   72. Hugging Pain

    "Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"

DMCA.com Protection Status