Seminggu melesat dengan cepat.
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.
Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.
Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala ke lipatan tangan yang ia buat di atas meja. Sudahlah, pulang nanti tidak masalah. Ia bisa menghabiskan waktunya di perpusakaan sekolah sampai jam tiga, membaca buku disana. Lagipula ia perlu belajar extra untuk ujian pekan depan, mengulang-ulang materi sebelumnya.
"Ayo ikut, Sa." Baru merasa tenang sebentar, tiba-tiba seseorang datang dan duduk di kursi sebelah Lisa.
Lisa mendesah sebal di dalam lipatan tangannya sendiri. Suara itu... Lisa sedang badmood karena Ares sekarang, tapi pemuda itu malah datang dan mengusiknya. Padahal Lisa berharap waktu sebelum hari esok nanti adalah waktu tanpa Ares. Sedikit waktu saja, tidak usah muluk-muluk. Tapi sekarang? Sirna sudah harapan Lisa. Mengapa pemuda Reigara tidak langsung pulang ke rumah saja sih? Menyebalkan!
Lisa menegakkan kepala, menatap malas pemuda yang duduk di sebelahnya. "Ngapain? Males," jawab Lisa sekenanya.
"Badmood nggak boleh dipelihara. Ayo jalan-jalan," ajak Ares.
Lisa menghela napas. Mau seseru apapun jalan-jalannya, jika itu masih bersama Ares, tetap saja Lisa akan badmood nantinya.
"Nggak, makasih," ujar Lisa, menolak ajakan Ares.
Ares terdiam, lalu menyeringai beberapa detik kemudian. Ia langsung mengambil tas di belakang Lisa, memeluknya di depan dada lalu melangkah keluar kelas. Jadi ada dua tas yang pemuda itu bawa. Satu tas milik Lisa yang diambil tanpa izin. Satu tas lagi miliknya yang ia sampirkan di pundak.
"Balikin tasku, Res!" Lisa berseru sebal.
Ares tetap melangkah santai, tidak peduli dengan seruan Lisa barusan. "Makanya ayo ikut," katanya tanpa menoleh.
Lisa memukul meja di depannya gemas. Dasar, Ares! Sudah pengganggu, pemaksa pula! Rasanya Lisa ingin sekali menjitak kepala pemuda itu berkali-kali, memberinya pelajaran. Lisa sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya setelah satu rumah dengan pemuda Reigara itu nanti. Menyedihkan sekali hidupnya...
Meskipun sebal, pada akhirnya Lisa tetap mengikuti langkah Ares keluar kelas, tidak tahu akan pergi kemana. Entahlah, Lisa juga tidak mengerti mengapa pemuda Reigara itu selalu menang atasnya.
***
"Bonekanya cute banget kan? Kayak aku." Ares menoleh ke arah Lisa, tersenyum sembari menunjuk boneka jerapah yang ia bawa di tangan. Lisa memberi ekspresi jijik mendengarnya. Kalimat pertama pemuda itu benar, tapi setelahnya tidak.
Beberapa detik kemudian Lisa mengernyitkan dahi, berhenti melangkah. "Kok lewat sini? Motormu kan di basement?" tanyanya.
Lisa memang persis berada di depan pintu sebuah mall sekarang. Ares mengajak Lira ke tempat ini hanya untuk menghabiskan waktu dua jam lamanya di game center---tempat favorit pemuda itu. Boneka jerapah tadi juga didapatkan setelah Ares memenangkan sebuah permainan disana. Lumayan menyenangkan sih. Tapi tetap saja, Lisa tidak langsung merasa senang setelah itu.
"Emang kita mau pulang?" Ares balik bertanya.
Lisa melipat dahi. "Emang kita mau kemana lagi?"
"Jalan-jalanlah."
Lisa menatap lelah. Jika dijawab jalan-jalan, mereka berdua memang sudah jalan-jalan sejak tadi kali. Lagipula memangnya pemuda itu tidak risih pergi kemana-mana masih menggunakan seragam? Bawa tas pula. Lisa sendiri jadi merasa seperti siswa yang bolos tidak masuk sekolah karena belum berganti pakaian.
Ares tiba-tiba melambaikan tangan, menyapa seseorang yang berada di taman kota cukup jauh di depannya---mall yang Lisa datangi memang dekat dengan taman kota. Lisa pikir Ares baru saja melihat temannya. Tapi setelah mengikuti arah pandang pemuda itu, ternyata itu pak penjual es krim yang kemarin! Ya ampun, mereka berdua seperti orang yang sudah saling kenal sejak lama saja. Terlebih pak penjual es krim itu balas melambaikan tangan ke arah Ares yang berada di sebelahnya.
"Ayo beli es krim," ujar pemuda itu, menarik tangan Lisa agar mengikuti langkahnya. Lisa pasrah saja. Ia tidak akan nekat pulang jalan kaki ke rumah untuk kedua kalinya. Alasan pertama, tasnya terlalu berat. Kedua, Lisa sudah lelah.
"Wahh, ketemu lagi sama masnya. Jadwal mingguan, ya?" ujar pak penjual es krim itu setelah Lisa dan Ares mendekat.
Lisa mengernyitkan dahi, menatap tidak mengerti.
"Setelah ini pasti mau malam mingguan kan?"
Oke, Lisa paham sekarang.
Ares yang mendengarnya tersenyum, berkata, "Setelah ini kita langsung pulang kok, Pak. Lagi sibuk. Mau siap-siap buat acara pernikahan besok."
Lisa menoleh, menatap tajam Ares yang berdiri di sebelahnya. Tidak penting sekali sih! Apa faidahnya coba mengatakan hal itu pada pak penjual es krim? Dasar, penyebar aib!
Saking sebalnya, Lisa langsung menginjak kaki kanan Ares, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan namun tertawa senang seolah hal itu yang ia harapkan. Lisa menghembuskan napas. Kosakata 'Ares menyebalkan' selalu saja mengikuti jika pemuda itu berada di dekatnya.
"Siapa yang mau nikah?" Pak penjual es krim bertanya.
"Kitalah. Masa bapak?" Ares menjawab santai. Lisa menghela napas lelah. Bangga saja sana! Suaranya kurang keras! Lisa benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran pemuda di sebelahnya. Bisa tidak sih diam saja?
Pak penjual es krim yang mendengar hal itu melototkan mata kaget, menatap tidak percaya. "Kalian mau nikah? Besok?"
Ares hanya tersenyum. Lisa sendiri memutar bola mata jengah. Kenapa pak penjual es krim itu juga harus mempercayai ucapan Ares sih?
"Tapi kan kalian masih SMA?" Pria yang bekerja keliling menjual es krim menggunakan motor itu menatap seragam yang dikenakan Lisa dan Ares bergantian.
"Jangan bilang kalian..." Tiba-tiba pak es krim itu menatap horor ke arah Lisa.
Lisa mengernyitkan dahi, menatap tidak mengerti.
"Nggak kok, Pak. Bukan karena itu," ujar Ares, seperti tahu pemikiran yang sedang bersarang di kepala pak penjual es krim. "Kita dijodohin sama orangtua. Sejak sebelum lahir bahkan. Untung sewaktu lahir jenis kelaminnya beda," terang pemuda Reigara itu, tertawa.
Lisa melirik Ares di sebelahnya, menyipitkan mata. Pemuda itu mengarang cerita tidak, sih? Mengapa Lisa baru tahu jika mereka berdua sudah dijodohkan sejak sebelum lahir?
"Aduh, karena itu, ya? Maaf saya udah mikir aneh-aneh, Mas. Kelakuan anak jaman sekarang parah-parah soalnya. Saya jadi mikirnya kesitu. Tapi salah, ternyata mas mbanya dijodohin."
Lisa tersenyum tipis mendengar ucapan penjual es krim di depannya, mengingat seminggu yang lalu pria itu memanggil dirinya dengan sebutan 'dek' dan bukan 'mba'. Lisa sendiri hanya diam saja sedari tadi, tidak ikut mengobrol. Ia malas membahas sesuatu apapun tentang perjodohan. Mendengar hal itu saja sudah cukup membuat moodnya jatuh. Ilfeel lebih tepatnya.
"Bapak sekeluarga boleh dateng kok ke resepsi saya," ujar Ares tiba-tiba. Lisa menoleh, menatap tak paham. Bukan apa-apa sebenarnya. Ia senang-senang saja jika pak penjual es krim itu diundang. Yang Lisa bingungkan adalah, disaat dirinya berusaha menyimpan rapat-rapatperihal pernikahannya dari orang lain, mengapa Ares malah menyebarkan hal itu dan mengundang orang-orang untuk datang ke resepsinya.
Ck! Lisa benar-benar tidak paham dengan Ares. Mengapa pemuda Reigara itu bisa se-excited itu?
"Beneran, Mas? Dimana resepsinya?" Pak penjual es krim itu nampak tertarik.
"Nggak jauh dari sini, Pak. Gedung depan balai kota tahu kan?"
"Ohh, yang cat putih, gede tinggi itu?"
Ares mengangguk, "Iya. Itu punya papa saya."
Lisa menghela napas lelah. Mengapa dua orang di depan Lisa malah membahas hal tidak penting? Padahal niatnya hanya ingin membeli es krim tadi.
"Saya kira perjodohan udah nggak ada di jaman sekarang. Tapi ternyata masih ada. Setahu saya, biasanya kayak gitu karena bisnis orangtua. Kalian juga gara-gara itu?" tanya pak penjual es krim.
Lisa tersenyum getir. Dadanya mendadak sesak. Rasanya seperti bisnis lebih penting daripada perasaan anak. Please... mengapa Lisa jadi terbawa perasaan seperti ini?
"Bukan karena bisnis juga sih, Pak. Orangtua kita punya perjanjian dulunya."
Untuk kesekian kalinya ucapan Ares membuat Lisa menoleh, menatap pemuda itu tidak mengerti. Bukan karena bisnis? Lalu karena apa?
Astaga... Jangan pernah meremehkan Ares. Pemuda itu selalu banyak langkah lebih maju daripada Lisa dalam hal informasi. Ia sepertinya tahu banyak hal yang tidak Lisa ketahui.
Saat Lisa ingin bertanya tentang ucapan Ares barusan, tiba-tiba hpnya berbunyi di dalam tas. Ada panggilan masuk. Lisa segera mundur menjauh, mengernyit ketika tahu Vian yang menelfonnya.
"Assalamu'alaikum, Yan." Lisa segera menjawab panggilan tersebut.
Beberapa detik kemudian, suara sambungan terputus terdengar. Lisa berdecak sebal. Jangan bilang Vian hanya mengerjainya. Ia segera duduk di bangku taman di dekatnya, membuka aplikasi chatting. Ada 4 pesan masuk dari Vian.
Vian
Kak Lisa dmn? knp gk ada di rmh? ada byk pr:333oy cptn jwb.Lisa menggelengkan kepala jenaka. Ia pikir ada sesuatu yang penting sampai harus menelpon. Ternyata hanya PR. Dasar, bocah.
Anda
setengah jam lagi pulang. Tunggu aja.Vian
tp bntr lg mau ke rmh Kak Bayu.Anda
yaudah, tinggal minta ajarin Kak Bayu lah.Vian
mau main tpnyamls bljr dsna.bsk bs gk? Cmn bntr kokLisa terdiam cukup lama, merasa ada yang aneh dengan jawaban Vian. Menyadari sesuatu, ia langsung menelan saliva susah payah. Besok katanya? Astaga... Lisa lupa punya tetangga seperti Vian yang selalu datang ke rumahnya. Apa yang harus Lisa jawab jika Vian bertanya mengapa ia tidak pernah ada di rumah setelah hari ini? Apa Lisa harus jujur?
Anda
besok ada acara, Yan. Sori nggak bisa.Lisa memijit pelipis pelan setelah mengirimkan balasan pada Vian. Kepalanya mendadak pening. Ia perlu berpikir keras untuk mencari solusi hal ini.
Ck! Mengapa semua mendadak merepotkan?
Bersambung.
"Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu
Lisa menghempaskan tubuh ke tempat tidurnya, melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul lewat tengah malam. Ia membuka handphome di atas kasur sejenak, mengernyitkan dahi samar beberapa detik kemudian. VianKak Lisa!Ada acara apa tadi siang?!Kenapa Kak Lisa gak cerita:((Pokoknya jawab jujur sekarang.Aku udah tau semua.Kalau Kak Lisa nggak mau cerita, aku bakal sebarin ke semua orang. :||Lisa melototkan mata, terkejut bukan main membaca pesan dari Vian. Ia benar-benar menyesal membuka handphone sebelum tidur. Pasalnya Vian mengirimnya beberapa pesan yang sungguh mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba pemuda itu bertanya topik yang mengejutkan; pernikahannya. Mengancam pu
"Aku ke kelas duluan ya, Sa," ujar Dilla, teman sekelas Lisa.Lisa tersenyum, mengangguk, melambaikan tangan. Ia baru saja ganti baju setelah selesai pelajaran olahraga tadi. Mengingat sepatunya belum dibawa, Lisa segera melangkah ke lapangan sekolah, berniat mengambil sepatu yang tadi ia taruh di pinggir lapangan. Tapi sampai sana, ia langsung mengernyitkan dahi. Sepatu sebelah kirinya menghilang. Hanya tersisa satu yang sebelah kanan.Lisa menyapu pandang sekelilingnya, berdecak sebal. Matanya menangkap sosok Ares yang melangkah di koridor sekolah tak jauh darinya. Pemuda itu juga telah berganti baju, tidak lagi memakai seragam olahraga. Tanpa basa-basi Lisa langsung menghampirinya. Pemuda Reigara itu satu-satunya orang yang Lisa curigai menyembunyikan sepatunya sekarang."Mana sepatuku?" tanya Lisa pada Ares, menghentikan langkah pemuda itu.Bukannya menjawab, pemuda di depan Lisa malah menunduk ke bawah, memperl
Lisa mengusap peluh di dahi, menyerok setumpuk sampah plastik untuk dimasukkan ke dalam tong sampah di dekatnya.Benar apa yang sering diungkapkan para murid di sekolah Lisa. Pak Bambang itu tidak pernah main-main saat memberi hukuman. Buktinya Lisa dan Ares diberi hukuman membersihkan halaman belakang sekolah yang luasnya tiada tara. Yang jadi masalah tempat itu kotor sekali. Banyak sampah jajanan yang dibuang sembarangan oleh para murid yang sering nongkrong disana saat istirahat. Itu belum rumput liar yang tumbuh tinggi karena tidak pernah diurus. Seharusnya itu pekerjaan petugas kebersihan sekolah, tapi berhubung petugasnya sedang cuti, hal itu langsung diserahkan pada Lisa dan Ares sebagai hukuman.Karena lelah, Lisa akhirnya duduk di atas batu tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menghela napas, mengambil satu sampah plastik bekas snack, mengamatinya. Akhir-akhir ini Lisa sering mendengar berita betapa menumpuknya sampah di bumi. Di beberapa Te
Ares mengerem motornya di depan gerbang rumah. Lisa segera turun, membuka gerbang agar motor Ares bisa masuk. Pemuda itu menjalankan motornya memasuki pekarangan rumah, memarkirkannya di depan teras. Lisa langsung menutup gerbang rumah kembali setelahnya."Juniii..." Melihat kucing abu-abu gelap yang tidur di depan pintu rumah, Lisa langsung berlari ke arahnya, menggendongnya. Itu hewan kedua yang dipelihara di rumah bundanya setelah ikan-ikan di aquarium.Lisa memang pergi ke rumah bundanya sepulang sekolah. Niatnya ingin diantar Pak Udin tadi, tapi Ares datang dan memaksanya pulang bersama. Pemuda Reigara itu pemaksa tingkat tinggi. Lisa tidak menolak ajakannya karena hasilnya akan sama saja; Ares akan mengajaknya pulang bersama bagaimanapun juga."Kayaknya ayah bunda pergi. Rumahnya kosong. Pintunya dikunci," ujar Lisa, memutar kenop pintu rumah orangtuanya yang tidak bisa dibuka. Lisa yang masih menggendong Juni bergerak duduk d
Lisa membuka lemarinya, mencari handuk bersih yang ia tinggal di rumah lamanya. Tadi bundanya baru saja mengantar celana dan kaos milik ayahnya yang jarang dipakai. Untuk Ares tentu saja. Pemuda Reigara itu sedang mandi sejak setengah jam yang lalu. Yang pasti lama karena harus membersihkan cat yang menempel di tubuhnya terlebih dahulu.Setelah mengambil handuk, Lisa langsung menyender di dinding sebelah pintu kamar mandi kamarnya, tempat Ares mandi, lalu mengetuknya. "Res, ini handuk sama bajunya."Pintu kamar mandi di sebelah Lisa berdecit pelan, terbuka sedikit."Mana?" Suara Ares terdengar beberapa detik kemudian.Lisa mengulurkan handuk dan pakaian di tangannya tanpa menoleh. Ares segera menerimanya, lalu menutup pintu kamar mandi kembali."Thanks, my wife.""Najis!" Lisa berseru jijik. Ares di dalam sana tertawa seperti biasa. Jika pemuda Reigara itu tidak sedang mandi, Lisa p
Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Lisa yang barusan dari dapur naik ke lantai dua, melangkah menuju kamar pemuda yang berada tepat di sebelah kamarnya.Lisa mengetuk pintu kamar Ares beberapa kali. Tidak ada jawaban. Sesuai dugaannya, pemuda Reigara itu pasti masih tidur terlelap di atas ranjang empuknya.Tanpa basa-basi, Lisa segera memutar kenop pintu yang tidak pernah dikunci di depannya. Setelah masuk, ia langsung menekan saklar lampu utama, menerangi kamar yang awalnya gelap karena hanya lampu tidur yang hidup.Ini hari ketiga Lisa tinggal bersama Ares di rumah baru. Selama tiga hari itu juga Lisa mulai memiliki kebiasaan baru; membangunkan pemuda Reigara itu setiap pagi. Masalahnya Ares itu kebo sekali. Dia tidak akan bangun sebelum ada yang membangunkannya. Bangun sendiri sih bisa, tapi pemuda Reigara itu selalu kembali tidur setelah bangun. Jadi harus ada yang memerintahnya bangkit dari tempat tidur terlebih dahulu
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"