Share

6. Ours

Penulis: IamBlueRed
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.

Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.

Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks yang diterangkan oleh Dimas tadi. Jadi jika Ares bertanya, Lisa bisa menjelaskannya.

"Selesai," kata pemuda di sebelah Lisa tiba-tiba, lalu menghempaskan tubuh ke kursi di belakangnya. Lisa mengernyitkan dahi, menatap Ares tidak percaya. Ia tidak menyangka pemuda itu bisa menyelesaikan PR-nya secepat itu. Bahkan kecepatan mengerjakannya nyaris menyaingi kecepatan Lisa.

"Beneran? Sini coba kukoreksi." Lisa mengambil buku tugas dari tangan Ares, segera mencocokkan jawabannya dengan jawaban pemuda itu. Tidak ada yang berbeda. Cara pencarian hasilnya pun nyaris sama seperti yang Dimas ajarkan pada pemuda itu tadi. Dan jika dilihat-lihat, tulisan Ares lumayan rapi jika dibandingkan dengan tulisan murid laki-laki pada umumnya.

"Nyelesain ini bisa cepet, tapi kenapa latihan-latihan yang dikasih Bu Rika sebelumnya nggak?" tanya Lisa. Ia tahu sebenarnya Ares itu pintar. Kekurangannya hanya malas mengasah otak saja. Tidak masalah jika malas tapi selalu mendapat nilai bagus. Lah Ares? Sudah malas, lama mengerjakan, nilainya juga tidak jauh seperti mic yang sedang dicoba. Kalau tidak satu, dua, ya tiga. Beruntungnya kemarin dia bisa naik ke kelas dua.

"Mungkin karena ngerjainnya berdua sama kamu," jawab Ares santai, tersenyum menatap Lisa. Lisa yang ditatap hanya menyeringai jijik. Apa hubungannya coba? Ares selalu saja tidak jelas ketika menjawab sesuatu.

"Mungkin karena itu juga kita disuruh nikah. Biar aku pinter."

"Ha?" Lisa menatap tidak mengerti, lagi-lagi dibuat bingung oleh ucapan pemuda Reigara di sebelahnya. Jika itu tujuannya, tentu saja Lisa lebih memilih membuat Ares pintar tanpa harus menikah dengannya, meskipun ia harus berjuang mati-matian nantinya. Lagipula pemuda itu pintar sekali, ya? Disaat Lisa berusaha melupakan sejenak tentang acara tadi malam dan segala pembahasannya, Ares malah dengan santai mengungkit hal itu kembali. Memangnya dia tidak merasa geli apa? Dasar, menyebalkan.

"Nanti kita pulang bareng kan?"

Lisa menoleh ke Ares, mengernyitkan dahi, menatap tidak mengerti. Itu sebuah pertanyaan, pernyataan, atau permintaan sih?

"Males. Buat apa? Nanti aku dijemput." Lisa menjawab apa adanya. Katanya, jika ayahnya tidak sibuk, ia akan menggantikan tugas Pak Udin untuk menjemputnya nanti siang. Lisa sendiri paham, ayahnya melakukan hal itu sebagai bentuk permintaan maaf padanya. Sama seperti yang dilakukan ayahnya tadi pagi. Atau jika tidak begitu, ayahnya memang berniat ingin menghabiskan banyak waktu dengan anak semata wayangnya, mengingat akhir-akhir ini ayah Lisa lebih sering berada di luar kota karena urusan pekerjaan. Di keluarga Lisa, sesibuk apapun pekerjaan orangtuanya, prioritas utama mereka tetap dirinya. Selalu begitu sejak ia kecil. 

"Mau pergi liat rumah kita," jawab Ares.

Lisa menyipitkan mata, lalu berekspresi jijik beberapa detik kemudian. "Ngimpi aja sana."

Ares terkekeh, menatap jenaka ke arah Lisa. "Iya, emang. Sekarang masih mimpi, tapi seminggu lagi jadi kenyataan. Kita bakal punya rumah sendiri," ujar pemuda itu, tersenyum lebar seolah itu kabar gembira. Lisa masih berekspresi jijik. Tentu saja tidak langsung percaya dengan ucapan Ares.

"Nggak mungkin. Kalaupun itu rumah kita, pasti dipakainya beberapa tahun kemudian, bukan sekarang," ujar Lisa. Ia langsung terdiam setelah berbicara, mencerna kalimatnya sendiri. Perkataannya barusan memaksa Lisa membayangkan hal-hal di masa depan. Apa ia dan Ares masih menikah? Apa ia akan tinggal serumah dengan pemuda Reigara itu? Apa ia dan Ares akan jadi suami-istri sungguhan? Lisa menelan saliva, berusaha membuang bermacam-macam pikiran tidak jelas yang berkecamuk di otaknya.

Sudahlah. Itu masih jauh di depan sana. Biarkan saja waktu yang menjawab. Lisa geli sendiri memikirkannya.

Ares tersenyum penuh arti. "Belum dikasih tahu, ya, Sa? Rencana diubah. Setelah ni-"

"Sssttt! Jangan keras-keras!" Lisa menaruh telunjuknya di depan bibir ketika suara Ares mulai mengencang. Rasanya Lisa ingin sekali menepuk bibir pemuda di sebelahnya agar peka terhadap situasi kondisi. Ini masih di kelas dan ada beberapa murid di dalamnya. Bisa tidak sih ia bersuara lebih pelan jika berbicara tentang pernikahan?

Lisa sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika teman sekelasnya tahu perihal perjodohan dirinya dengan Ares. Apalagi pernikahannya yang akan dilangsungkan sepekan lagi. Tamat sudah riwayat Lisa! Mau ditaruh mana wajahnya?

"Lisa Alisia si ketua kelas yang suka diganggu menikah muda dengan Ares Reigara si penganggu. Benci-benci jadi cinta!"

Ck! Headline laknat. Hanya dengan membayangkannya saja membuat Lisa sebal.

Ares yang tadi terinterupsi segera melanjutkan ucapannya, lebih mengecilkan suara. "Baru tadi pagi kesepakatannya diambil. Setelah nikah, kita disuruh tinggal bareng. Papa udah siapin tiga rumah di beda-beda lokasi, kita tinggal pilih mau tinggal dimana."

Lisa menyipitkan mata, menatap Ares penuh selidik. Dia tidak ingin mempercayai hal itu. TIDAK INGIN! Ayahnya juga sama sekali tidak memberitahu apapun padanya tadi pagi. Lagipula mengapa keputusannya mendadak sekali? Parahnya Lisa sama sekali tidak diajak berkompromi. Sudah bagus ia dan Ares tinggal terpisah, mengapa harus susah-susah disatu rumahkan?

Ck! Lira berniat tidak ingin mempercayainya tadi. Tetapi mengapa segala pemikiran yang keluar di otaknya malah terasa seperti ia mempercayai perkataan Ares?

"Nggak mungkin. Aku nggak percaya." Lisa berujar pada akhirnya.

"Nggak harus percaya sekarang. Kita liat rumahnya besok juga nggak papa." Ares mengeluarkan IPhone-nya dari saku celananya, membuka aplikasi chatting. "Gambarnya bakal kukirim lewat whatsapp. Kamu bisa liat model rumahnya dulu, Sa," lanjut pemuda Reigara itu.

Lisa mengernyitkan dahi. "Tahu nomerku dari mana?"

"Siapa sih yang nggak tau nomer ketua kelas?"

Lisa terdiam, menyadari pertanyaannya barusan memang tidak berfaidah. Nomernya itu penting, dibutuhkan beberapa teman sekelasnya untuk bertanya sesuatu berkaitan dengan pelajaran dan kegiatan sekolah. Jadi semua temannya pasti tahu. Yang jadi masalah, Lisa tidak pernah chatting apapun dengan Ares semester ini. Jadi ia merasa pemuda itu tidak pernah tahu nomernya. Terakhir Ares mengirim pesan saja tiga bulan yang lalu saat liburan kenaikan kelas. Lalu berakhir dengan Lisa yang memblock nomernya karena ia beberapa kali menspam foto cicak. Kurang kerjaan sekali bukan? Lisa sendiri tidak habis pikir mengapa Ares bisa sekonsisten itu menjahilinya. Salahnya juga sih tidak pernah bertindak tegas pada pemuda Reigara itu.

Beberapa detik kemudian, suara vibrasi singkat sebuah hp terdengar. Lisa melirik smartphone-nya yang berada di kolong meja tak jauh darinya, menelan saliva. Ares sungguhan mengirimkan foto rumah padanya? Astaga... Lisa harap itu hanya gambar yang diunduh asal dari google atau pinterest.

"Kamu tahu nggak agenda apa yang bakal aku lakuin setelah kita satu rumah?" Ares membalik tubuh, sempurna menghadap Lisa.

Lisa menoleh ke Ares, menjawab singkat, "Nggak peduli."

Ares terkekeh. "Tapi kamu harus peduli, Sa. Soalnya..." Pemuda Reigara itu mencondongkan wajahnya ke depan, tersenyum menatap Lisa seperti baru saja mendapat ide-ide jahat. Lisa mengkerutkan dahi, menunggu Ares melanjutkan bicaranya.

"Soalnya aku bakal pelihara cicak tujuh keluarga di rumah kita," ujarnya.

Lisa melotot tajam, langsung melayangkan tinju ke bahu Ares karena sebal. Pemuda itu mengaduh pelan, tertawa keras. Ia segera pergi kabur ke tempat duduknya sendiri. Lisa berniat melepas sepatunya dan melempar ke Ares, tapi urung ketika Bu Aya guru Bahasa Inggrisnya tiba-tiba sudah ada di depan pintu kelas dan mengucap salam. Padahal waktu masih kurang empat menit lagi sebelum istirahat selesai dan masuk ke pelajaran selanjutnya.

Melihatnya Lisa segera bergerak pulang ke tempat duduknya sendiri. Ia menghela napas, menahan sebal dalam hati. Ia tidak tahu harus berbuat apa agar Ares berhenti menakut-nakutinya dengan kata cicak. Andai saja pemuda itu tahu betapa traumanya Lisa pada hewan itu...

Argh! Lisa itu payah! Dia sungguh benci ketakutan tidak wajar yang ia rasakan.

Bersambung.

Bab terkait

  • Satu Atap   7. Fake Little Brother

    Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   8. Later (a)

    "Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   9. Later (b)

    Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   10. Together

    "Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   11. New Home

    Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   12. Cunning

    Lisa menghempaskan tubuh ke tempat tidurnya, melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul lewat tengah malam. Ia membuka handphome di atas kasur sejenak, mengernyitkan dahi samar beberapa detik kemudian. VianKak Lisa!Ada acara apa tadi siang?!Kenapa Kak Lisa gak cerita:((Pokoknya jawab jujur sekarang.Aku udah tau semua.Kalau Kak Lisa nggak mau cerita, aku bakal sebarin ke semua orang. :||Lisa melototkan mata, terkejut bukan main membaca pesan dari Vian. Ia benar-benar menyesal membuka handphone sebelum tidur. Pasalnya Vian mengirimnya beberapa pesan yang sungguh mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba pemuda itu bertanya topik yang mengejutkan; pernikahannya. Mengancam pu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   13. Always, Endless

    "Aku ke kelas duluan ya, Sa," ujar Dilla, teman sekelas Lisa.Lisa tersenyum, mengangguk, melambaikan tangan. Ia baru saja ganti baju setelah selesai pelajaran olahraga tadi. Mengingat sepatunya belum dibawa, Lisa segera melangkah ke lapangan sekolah, berniat mengambil sepatu yang tadi ia taruh di pinggir lapangan. Tapi sampai sana, ia langsung mengernyitkan dahi. Sepatu sebelah kirinya menghilang. Hanya tersisa satu yang sebelah kanan.Lisa menyapu pandang sekelilingnya, berdecak sebal. Matanya menangkap sosok Ares yang melangkah di koridor sekolah tak jauh darinya. Pemuda itu juga telah berganti baju, tidak lagi memakai seragam olahraga. Tanpa basa-basi Lisa langsung menghampirinya. Pemuda Reigara itu satu-satunya orang yang Lisa curigai menyembunyikan sepatunya sekarang."Mana sepatuku?" tanya Lisa pada Ares, menghentikan langkah pemuda itu.Bukannya menjawab, pemuda di depan Lisa malah menunduk ke bawah, memperl

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Satu Atap   14. Plastique

    Lisa mengusap peluh di dahi, menyerok setumpuk sampah plastik untuk dimasukkan ke dalam tong sampah di dekatnya.Benar apa yang sering diungkapkan para murid di sekolah Lisa. Pak Bambang itu tidak pernah main-main saat memberi hukuman. Buktinya Lisa dan Ares diberi hukuman membersihkan halaman belakang sekolah yang luasnya tiada tara. Yang jadi masalah tempat itu kotor sekali. Banyak sampah jajanan yang dibuang sembarangan oleh para murid yang sering nongkrong disana saat istirahat. Itu belum rumput liar yang tumbuh tinggi karena tidak pernah diurus. Seharusnya itu pekerjaan petugas kebersihan sekolah, tapi berhubung petugasnya sedang cuti, hal itu langsung diserahkan pada Lisa dan Ares sebagai hukuman.Karena lelah, Lisa akhirnya duduk di atas batu tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menghela napas, mengambil satu sampah plastik bekas snack, mengamatinya. Akhir-akhir ini Lisa sering mendengar berita betapa menumpuknya sampah di bumi. Di beberapa Te

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Satu Atap   80. Let Him Go

    Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan

  • Satu Atap   79. Thing Called First Kiss

    "Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek

  • Satu Atap   78. Graduation

    Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.

  • Satu Atap   77. New Home pt. 3

    "Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n

  • Satu Atap   76. Forgive and Keep Going

    "Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes

  • Satu Atap   75. After That

    Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.

  • Satu Atap   74. Falling For You

    "Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"

  • Satu Atap   73. Heart For Takeaway

    Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga

  • Satu Atap   72. Hugging Pain

    "Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"

DMCA.com Protection Status