Pagi ini hujan membasahi bumi. Langit mendung. Matahari urung menampakkan diri. Lisa memandangi jendela mobil yang berembun. Ada titik-titik air hujan di luarnya. Rasanya seperti alam mengerti suasana apa yang mendukung perasaannya yang sedang berkabut ini.
Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya ia sudah sampai sekolah sekarang. Tapi entahlah, hari ini Lisa sedang malas. Sebenarnya semua sudah siap sejak sebelum jam enam tadi. Hanya tinggal memanggil Pak Udin supir di rumah Lisa untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi ia malah tiduran di kamar malas sampai jam enam lebih. Mungkin ia akan lupa berangkat jika ayahnya tidak mengetuk pintu kamarnya tadi.
Ck! Ini semua gara-gara tadi malam. Moodnya masih saja buruk sampai sekarang.
"Sekolahmu baik kan, Sa? Nggak ada masalah?" Ayah Lisa di sebelah kanannya tiba-tiba bertanya, menatap ke arahnya sekilas, lalu balik menatap jalanan. Ayahnya memang yang mengantar Lisa ke sekolah pada akhirnya. Katanya sedang tidak sibuk. Akhir-akhir ini ayahnya memang jarang menghabiskan waktu bersamanya. Lisa maklum, ayahnya punya beberapa proyek besar yang menyibukkannya bulan ini.
"Baik kok, Yah. Nggak ada masalah." Lisa tersenyum tipis, menjawab pertanyaan ayahnya. Ia menyenderkan punggung ke belakang, menatap traffic light yang berubah warna menjadi merah. Ayahnya segera mengerem mobil.
"Kapan kamu UTS?" Kali ini ayahnya sempurna menoleh menatapnya.
Lisa tertegun sejenak, "Masih dua pekan lagi kok. Ayah tenang aja. Pernikahannya nggak akan ganggu UTS-ku," jawab Lisa.
Ayahnya menghela napas panjang, nampak merasa bersalah. Sebenarnya niat Lisa berucap biasa saja, tapi kedengarannya seperti menohok ayahnya sekali. Tapi sungguh, ia tidak berniat seperti itu. Lisa hanya berkata sesuai kenyataan. Pernikahannya akan diadakan seminggu lagi. Dan ia rasa itu tidak akan menganggu. Yang berubah antara Lisa dengan Ares hanyalah status. Keadaannya akan sama seperti biasa. Lisa tinggal di rumahnya sendiri, begitu juga dengan pemuda Reigara itu. Lebih simpelnya, orang-orang menyebut hal itu dengan 'nikah gantung'. Dan Lisa masih tidak menyangka akan melakukan hal gila itu. Jika dipikir-pikir, apa gunanya coba? Lebih baik tidak usah menikah saja!
Mobil yang dikendarai ayahnya kembali berjalan ketika traffic light berubah warna menjadi hijau. Hujan telah berhenti di luar sana. Lewat satu kelokan lagi Lisa akan sampai ke sekolahnya. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, Lisa segera bersalaman dengan ayahnya. Ia keluar dari mobil, melirik jam tangannya sekilas. Waktu menunjukkan pukul setengah enam kurang. Keadaan depan gerbang cukup sepi. Belum ada banyak murid yang berangkat.
"Lisa, sebentar." Baru dua langkah berjalan, tiba-tiba ayahnya keluar dari mobil, memanggil namanya.
"Ya?" Lisa berbalik, menghadap ayahnya yang berjarak satu setengah meter dari tempatnya berpijak. Matanya berkedip beberapa kali, menunggu ayahnya berbicara.
Ayah Lisa menghela napas pelan. "Maafin Ayah ya, Sa. Ayah tahu kamu pasti terpaksa terima perjodohan itu. Dan ayah baru sadar sekarang, ayah udah tukar kebahagiaan anak ayah sendiri dengan ikatan bisnis. Kamu pasti nggak bahagia kan, Sa? Tapi itu perjanjian yang harus ditepati. Ayah nggak bisa langgar perjanjian itu. Maaf... Ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu."
Lisa tersenyum, bergerak memeluk ayahnya. Mendengar permintaan maaf ayahnya sudah cukup membuatnya bahagia. Setidaknya ayahnya masih sama menyayanginya seperti dulu. Masih memikirkan kebahagiaannya, meskipun tidak merubah apapun. Lisa tahu, hidup tidak selalu berada di satu keadaan. Menyalahkan ayahnya bukanlah pilihan yang tepat. Menyalahkan takdirpun juga sama saja.
"Jangan bilang kayak gitu, Yah. Lisa bahagia kok kalau ayah bahagia," ujar Lisa, masih berada di posisi yang sama. Entah kapan terakhir kali ia memeluk seerat ini pria yang nyaris berusia setengah abad di depannya. Pria yang ia panggil dengan sebutan ayah. Pria yang membuatnya tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang jika berada di dekatnya.
"Ayah sendiri masih nggak ngerti kenapa kamu bisa terima perjodohan itu tanpa penolakan sekalipun. Anak lain di luar sana pasti udah marah-marah, bahkan kabur dari rumah karena nggak mau." Ayahnya menerangkan. Lisa merenggangkan pelukan, kembali tersenyum menatap pria di depannya.
"Ayah harusnya bersyukur punya anak yang nggak seribet anak-anak di luar sana. Lisa itu simpel," ucapnya. Ayah Lisa hanya tersenyum mendengar perkataannya.
"Yaudah. Lisa masuk dulu, Yah. Kayaknya hujan mau turun lagi." Lisa mendongakkan kepala, merasakan beberapa titik air mengenai wajahnya.
Ayahnya mengangguk, berkata seperti kebanyakan orangtua biasanya. "Belajar yang rajin ya, Sa. Jangan lupa makan siang tepat waktu," nasihat ayahnya. Lisa mengangguk, segera bersalaman dengan ayahnya untuk kedua kalinya.
"Assalamu'alaikum, Yah."
"Wa'alaikumussalam."
Hujan turun semakin deras. Lisa segera berbalik menuju sekolahnya, berlari kecil. Selama perjananan menuju kelas, ia tersenyum tipis. Percakapan dengan ayahnya tadi membuat beban di hatinya sedikit berkurang. Hanya sedikit, tapi mampu membuatnya kembali tersenyum. Seperti itulah kekuatan seorang orangtua; memberi rasa nyaman. Tak peduli hal apapun yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
***
"Dimas, kamu mau ke kantin?" Lisa menoleh ke samping, bertanya pada pemuda bernama lengkap Dimas Mahardika yang duduk tak jauh darinya.
Pemuda kurus tinggi itu menggeleng, "Nggak. Emang kenapa, Sa?"
"Boleh minta tolong jelasin ulang bab invers matriks barusan? Aku tadi nggak terlalu merhatiin Bu Rika, jadi kurang paham. Mau kan?" tanya Lisa.
Sebenarnya tempat duduk Lisa ada di barisan paling depan. Bahkan ia menyimak penjelasan Bu Rika di depannya dari awal sampai akhir. Tapi tetap saja, tidak ada pemahaman yang masuk ke otaknya. Rasanya seperti yang ia dengarkan sedari tadi lewat begitu saja di telinganya. Terlebih guru matematikanya itu hanya menjelaskan tanpa memberi latihan. Mungkin Lisa sedang tidak fokus dan terlalu memikirkan hal lain tadi. Biasanya ia tidak sebodoh ini dalam memahami dan meresapi Matematika. Yasudahlah, sepertinya Lisa memang butuh pencerahan. Lebih baik bertanya pada Dimas si juara kelas sekarang daripada kebingungan saat ujian nanti.
Dimas mengangguk. "Boleh. Kita kerjain PR yang tadi dikasih Bu Rika sekalian," katanya.
Lisa tersenyum, segera duduk di samping bangku Dimas yang berada di barisan kedua. itu anak baik. Supel dan tidak pelit ilmu. Jika ada seseorang yang bertanya pelajaran padanya, ia akan menjelaskannya dengan sabar sampai seseorang itu bisa. Pelajaran yang paling ia kuasai adalah Matematika, meskipun pelajaran-pelajaran lain dia sama menguasainya. Hal itu juga yang membuat pemuda itu selalu peringkat pertama dua semester berturut-turut. Rival ketat Lisa yang menduduki peringkat kedua di kelasnya. Tapi sungguh, butuh usaha extraordinary bagi Lisa untuk mengalahkan pemuda itu.
"Bagian mana yang belum paham?" tanya Dimas di sebelah Lisa.
Lisa menunjuk poin pembahasan di bukunya. "Invers matriks yang berordo 2x2 udah paham. Cuma yang berordo 3x3 masih bingung. Cara nyari minor matriksnya gimana?"
"Oh, metode kofaktor, ya?" Dimas mengangguk mengerti, segera mengambil buku coret-coretan di depannya. Ia menulis satu contoh matriks, lalu menjelaskan bagian yang belum Lisa pahami.
Suasana kelas yang awalnya tenang-tenang saja berubah sedikit rusuh ketika seseorang masuk ke dalam kelas. Itu Ares dengan membawa beberapa makanan di tangan. Ia melirik sekilas ke arah Dimas dan Lisa yang sedang belajar, lalu duduk di kursinya yang berada di barisan paling belakang.
"Dim, hati-hati ada cicak jatuh."
"Cicak?!" Lisa melebarkan mata, langsung histeris. Ia reflek mundur ke belakang. Karena tidak seimbang, kursi yang ia duduki nyaris jatuh jika saja Dimas tidak segera menahannya. Lisa tidak mengerti mengapa ia bisa seheboh ini. Padahal Ares berucap sangat santai tadi. Seharusnya ia tahu pemuda Reigara itu hanya ingin mengerjainya. Ia sungguh sensitif dengan kata cicak.
"Kamu nggak papa, Sa?" Dimas bertanya memastikan.
Lisa tidak menjawab. Ia menoleh ke belakang, menatap tajam seseorang yang terkekeh cukup jauh darinya. Alih-alih berteriak marah, Lisa malah mendengus tidak peduli, mengabaikan Ares yang baru saja mengerjainya.
"Tadi gimana?" Lisa berucap ke Dimas, mendekat ke arahnya. Ia sengaja memangkas jarak, menempelkan bahunya ke bahu pemuda itu. Jika niat pemuda Reigara tadi untuk menjauhkan Lisa dengan Dimas, kali ini Lisa juga berniat balas dendam dengan menambah kedekatan dengan pemuda di sebelahnya. Ia tidak akan sepasrah itu kali setelah dikerjai oleh Ares.
Beberapa detik kemudian, saat Dimas mulai menjelaskan bab invers matriks kembali, tiba-tiba Ares naik ke atas meja di belakang Lisa, lalu turun dan duduk menyempil di bangku di antara Dimas dengan dirinya. Lisa berdecak sebal, otomatis bergeser menjauh ketika Ares datang. Mengapa pemuda di sebelah Lisa bisa setengil ini? Bisa tidak Lisa dibiarkan hidup tenang beberapa hari saja? Kepalanya sendiri langsung pening ketika mengingat dirinya akan menikah dengan pemuda menyebalkan di sebelahnya. Mengapa cobaan hidup Lisa bisa seberat ini?
"Aku ikut belajar." Ares berucap, menaruh buku Matematika yang ia bawa di atas meja. Lisa menyipitkan mata. Jarang-jarang ia melihat Ares ingin belajar. Lisa lebih sering melihat pemuda itu membawa smartphone dan bermain game daripada membawa buku pelajaran, apalagi membacanya.
"Yaudah, kita coba kerjain PR bertiga," ujar Dimas pada akhirnya. Ia bangkit berdiri, membalik kursi di depannya dan menghadapkannya ke belakang. Pemuda itu segera duduk disana, membiarkan Ares menduduki kursinya. Tanpa basa basi ia segera memulai sesi pengajaran pada kedua anak didiknya. "Kalau ada yang belum paham bilang, kita pelajarin ulang," katanya.
Ares mengangguk di sebelah Lisa, memegang pena dan menatap buku di depannya. Lisa hanya pasrah saja diajari berdua bersama Ares.
Hmm... Lagipula Lisa ingin tahu seberapa tahan pemuda itu berkutat dengan pena dan angka.
Bersambung.
Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks
Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.
"Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat
Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala
"Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu
Lisa menghempaskan tubuh ke tempat tidurnya, melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul lewat tengah malam. Ia membuka handphome di atas kasur sejenak, mengernyitkan dahi samar beberapa detik kemudian. VianKak Lisa!Ada acara apa tadi siang?!Kenapa Kak Lisa gak cerita:((Pokoknya jawab jujur sekarang.Aku udah tau semua.Kalau Kak Lisa nggak mau cerita, aku bakal sebarin ke semua orang. :||Lisa melototkan mata, terkejut bukan main membaca pesan dari Vian. Ia benar-benar menyesal membuka handphone sebelum tidur. Pasalnya Vian mengirimnya beberapa pesan yang sungguh mengganggu pikirannya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba pemuda itu bertanya topik yang mengejutkan; pernikahannya. Mengancam pu
"Aku ke kelas duluan ya, Sa," ujar Dilla, teman sekelas Lisa.Lisa tersenyum, mengangguk, melambaikan tangan. Ia baru saja ganti baju setelah selesai pelajaran olahraga tadi. Mengingat sepatunya belum dibawa, Lisa segera melangkah ke lapangan sekolah, berniat mengambil sepatu yang tadi ia taruh di pinggir lapangan. Tapi sampai sana, ia langsung mengernyitkan dahi. Sepatu sebelah kirinya menghilang. Hanya tersisa satu yang sebelah kanan.Lisa menyapu pandang sekelilingnya, berdecak sebal. Matanya menangkap sosok Ares yang melangkah di koridor sekolah tak jauh darinya. Pemuda itu juga telah berganti baju, tidak lagi memakai seragam olahraga. Tanpa basa-basi Lisa langsung menghampirinya. Pemuda Reigara itu satu-satunya orang yang Lisa curigai menyembunyikan sepatunya sekarang."Mana sepatuku?" tanya Lisa pada Ares, menghentikan langkah pemuda itu.Bukannya menjawab, pemuda di depan Lisa malah menunduk ke bawah, memperl
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"