"Ares, balikin kuncinya!" Lisa berseru marah. Ares malah mengangkat tangan kanannya lebih ke atas, meninggikan kunci gembok sepeda Lisa agar ia tidak bisa menggapainya. Menyebalkan!
Baru saja tadi Lisa berpikir hari ini momen terlangka karena ia tidak marah-marah pada Ares seperti biasanya. Tapi ternyata pemikiran itu salah. Tidak ada momen terlangka! Ares tetap menyebalkan setiap saat. Dia kembali berulah.
Tadi saat Lisa akan pulang, kunci gembok sepedanya yang diparkir di pinggir jalan hilang. Lisa panik. Pasalnya ia memang teledor dengan hanya menggenggam kunci itu di tangan, tidak memasukkannya ke saku atau tempat semacamnya. Saat Lisa sedang bingung-bingungnya mencari, tiba-tiba Ares datang sembari mengangkat tangan, memperlihatkan kunci yang ia pegang. Rupanya kunci itu jatuh dan ditemukan olehnya. Lisa hampir berterimakasih dan mengambil kunci itu sebelum akhirnya Ares menarik kembali tangannya, menganggu Lisa seperti hobi sehari-harinya.
"Makanya yang tinggi. Masa ambil kunci segampang ini nggak bisa?" ujar Ares, tersenyum mengejek. Lisa menatap sebal. Dasar, sok! Mentang-mentang dirinya tinggi sedangkan Lisa pendek!
"Balikin, Res. Aku mau pulang." Lisa berjinjit, masih berusaha mengambil kunci dari tangan Ares. Ares malah memundurkan tangannya, membuat Lisa harus maju mendekat ke arah pemuda itu.
Saking gemasnya, akhirnya Lisa memilih cara lain. Ia meloncat setinggi mungkin, lalu menyampar tangan Ares keras agar kunci itu lepas dan terjatuh. Dan benar saja, kunci itu terlepas dari tangan pemuda itu. Tapi yang membuat Lisa melototkan mata, kunci itu terjatuh ke lubang selokan yang tertutupi jeruji besi di samping Lisa.
Dada Lisa langsung kembang kempis demi melihat hal itu. Ia menoleh ke Ares, menatapnya tajam. Ini sudah keterlaluan. Ares benar-benar menyebalkan. Terlebih saat ia hanya memasang wajah sok terkejut melihatnya.
"Serahlah! Bodo amat!" Lisa melangkah pergi dengan rasa sebal menggerumul di hati. Tidak peduli jika ia harus berjalan kaki dua kilometer untuk sampai ke rumahnya. Tidak peduli dengan sepedanya yang masih terparkir di pinggir jalan sana. Curi saja sana sepeda kesayangannya! Lisa sudah lelah. Ia tipe orang yang tidak peduli apapun ketika emosinya sudah sampai puncak.
Baru melangkah sebentar, senja semakin menghilang di ufuk barat sana. Sebentar lagi malam akan datang. Lisa mendengus sebal, teringat tingkah menyebalkan Ares yang membuatnya harus berjalan kaki seperti ini. Lisa langsung menepuk dahinya ketika teringat sesuatu. Ia tidak membawa ponsel tadi! Bagaimana caranya memesan taksi online?!
"Buruan naik."
Lisa melirik seseorang di sampingnya. Itu Ares dengan sepeda hitamnya. Sejak kapan ia memakai sepeda? Lisa tidak salah lihat kan? Biasanya pemuda itu membawa motor kemana-mana.
"Nggak usah." Lisa menjawab ketus, tetap berjalan memandang lurus ke depan. Ia sebal melihat wajah Ares. Tidak peduli dengan perkataan banyak orang bahwa dia tampan. Apa gunanya tampan jika menyebalkan?
Ares yang masih mengayuh sepeda berujar, "Jangan ngambek. Nanti ada orang yang bakal bawa kunci duplikatnya terus anter sepedanya ke rumah. Buruan naik. Nggak takut jalan kaki sendirian jam segini?"
Tidak ada gunanya. Lisa tetap tidak peduli. Ia malah menyeringai meremehkan. Memangnya Ares bisa sepeduli dan sebertanggungjawab itu padanya? Kerjaannya saja hanya membuat Lisa sebal.
"Kalau aku bilang nggak usah, ya, nggak usah," ucap Lisa sebal, mempercepat langkah kakinya. Tapi tiba-tiba Ares memberhentikan sepedanya di depan Lisa, menghela napas menatapnya.
"Pokoknya naik."
Lisa menatap tajam ke arah Ares sejenak, lalu berakhir menghela napas lelah. Dasar, pemaksa! Lisa baru sadar ucapannya sedari tadi sia-sia. Mana mau Ares mendengarkan ucapannya, meskipun Lisa juga sama tidak mau mendengarkannya sih. Tapi setidaknya ego Lisa tidak setinggi pemuda itu.
"Aku naik dimana?" tanya Lisa, masih menekuk wajah sebal. Ia mengernyitkan dahi ketika tidak ada pijakan kaki di belakang sepeda.
"Di depanlah, Sa. Mana bisa di belakang. Coba aja kalau mau."
"Yakali di depan!" seru Lisa. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib pantatnya jika duduk di besi sesempit itu.
"Daripada jalan?" ujarnya.
Lisa menghela napas untuk kesekian kalinya, bergerak duduk di depan Ares. Pemuda Reigara itu tersenyum. Ia mencondongkan tubuh ke depan, meraih stang, mempertipis jarak antara Lisa dengannya. Lisa menelan saliva, lebih menundukkan badannya. Ini terlalu dekat. Pasalnya ia merasa tubuh Ares sampai menyentuh pundaknya. Bahkan hembusan napas pemuda itu terasa hangat di tengkuk Lisa.
"Jangan deket-deket. Risih." Lisa berucap pada akhirnya.
Ares terkekeh, "Harusnya kamu yang agak nunduk. Kepalamu nutupin jalan ngerti nggak," ucapnya.
Lisa mendengus sebal, segera menundukkan kepalanya sampai nyaris menyentuh stang. Jika saja ia membawa ponsel, ia pasti tidak akan mau berada di posisi paling tidak mengenakkan ini bersama Ares. Sudah pantatnya sakit, badannya juga harus menekuk tidak jelas. Itu belum kakinya yang nanti harus menyingkir agar tidak terkena sedel yang dikayuh Ares.
Dasar, Ares menyebalkan!
Sepertinya Lisa memang harus menarik kata-katanya tentang momen terlangka tadi. Hari ini sama sekali bukan momen terlangka, melainkan momen yang biasa terjadi saat Ares mengganggunya sampai taraf 'benar-benar sangat menyebalkan' dan membuat emosi Lisa memuncak. Anehnya, ia selalu memaafkan Ares tidak lama setelah itu. Pemuda itu yang membuat Lisa kesal, tapi ia juga yang membuat Lisa melupakan kekesalannya. Entahlah... Lisa juga tidak tahu mengapa bisa begitu.
"Lewat jalan mana?" tanya Ares.
"Lurus aja dulu. Nanti aku kasih tahu," jawabnya.
Ares mengangguk, menggenggam kuat pegangan di stang. Sedetik kemudian, Lisa merasa sepeda yang ia naiki bergerak. Ares mulai mengayuh sepedanya dengan Lisa yang masih berada di posisi tidak mengenakkan seperti sebelumnya.
Yang terpenting, Lisa harap ia tidak akan menemui jalanan berlubang nanti.
***
"Stop!" Lisa berseru tiba-tiba. Ares yang mendengarnya mengerem sepeda mendadak. Payahnya, Lisa yang belum bersiap-siap harus menanggung akibatnya. Kepalanya terantuk besi stang di depannya cukup kencang.
"Santai dikit bisa nggak sih, Res." Lisa turun dari sepeda, mengelus-elus dahinya yang sakit karena menabrak stang.
"Tadi yang tiba-tiba teriak suruh berhenti siapa?" Ares bertanya retoris, nampak tidak merasa bersalah. Dia memang selalu seperti itu. Bahkan Lisa belum mendengar kata maaf terucap darinya setelah kejadian kunci gembok sepedanya yang masuk selokan. Dia itu sok dan menyebalkan sekali kan?
"Rumahmu yang ini?" Ares bertanya, menoleh ke rumah di sampingnya.
"Kepo." Lisa menjawab singkat.
Sebenarnya rumahnya masih jauh. Sekitar tiga puluh meter lagi untuk sampai sana. Tapi mana mau Lisa menunjukkan rumahnya pada Ares? Yang ada pekerjaan mengganggu dan merusuhnya itu bisa melebar sampai ke rumah Lisa. Lebih baik mencegah sesuatu yang tidak baik sebelum sesuatu itu terjadi.
Hmm... semua orang tahu hal itu, Author.
Lisa sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana ngerinya jika suatu hari Ares menyebar satu klan cicak ke rumahnya lalu cicak itu menginvasi kamarnya. Bisa-bisa Lisa mati ketakutan saat itu juga. Bahkan suara cicak yang berdecak bahkan langsung terngiang di kepala Lisa hanya dengan memikirkannya. Sial! Kapan rasa takutnya akan hilang?
"Nanti malem ada acara?" Ares tiba-tiba bertanya.
Lisa menyipitkan mata, menatap pemuda di depannya penuh selidik. "Jam 8 malam nanti ada acara keluarga. Mungkin selesai jam sepuluh kalau nggak jam sebelas." Lisa teringat ada acara makan malam bersama keluarganya di rumah keluarga rekan ayahnya nanti. Disana Lisa akan bertemu dan berkenalan dengan calon tunangannya untuk pertama kali. Jadi... Lisa memang sedikit deg-degan sekarang. Itu wajar saja kan?
"Kenapa? Mau ngajak pergi? Sori, tapi males banget," lanjut Lisa.
Ares terkekeh, mengembangkan senyum. Pemuda itu melipat tangan di atas stang, menatap Lisa di depannya. "Sejak kapan bisa ke-PD-an? Nggak ada yang ngajak kamu jalan. Nanti malem aku juga ada acara."
"Ngapain nanya kalau gitu?" Lisa berdecak sebal, memutar bola mata jengah. "Sana pulang. Ngapain disini terus? Buang-buang waktu tahu nggak ngobrol sama kamu."
"Nunggu kamu masuk rumah," kata Ares.
"Nggak usah. Udah sana pulang!" Lisa mendorong stang sepeda Ares tidak sabaran, menyuruhnya segera pergi. Pasalnya ia sudah menahan BAK sejak tadi. Tapi pemuda di depannya malah seperti mengulur-ulur waktu agar ia tidak jua pulang ke rumah.
"Nggak bilang makasih?" ujarnya.
Lisa tesenyum miring, menggeleng. "Nggak, makasih."
"Jadi itu bilang makasih atau nggak?"
"BODOAMATLAH! BURUAN SANA PERGI!" Lisa berteriak kesal.
Ares tertawa, segera membelokkan stang untuk berbalik pulang. "Daahh, Sa..." katanya. Pemuda itu melambaikan tangan, lalu melayangkan flying kiss seperti biasa. Lisa hanya menyeringai jijik. Kebiasaan pemuda Reigara itu tidak pernah berubah. Apa ia selalu ber-flying kiss ria sebelum pergi meninggalkan seseorang?
"Hati-hati. Nanti di kamar ada cicak!"
Lisa melotot tajam. Ares sudah mengayuh sepedanya cepat menjauh darinya. Sekali-kali ia memang harus melempar Ares dengan sandal miliknya agar ia berhenti bermain-main dengannya jika masalahnya bersangkutan dengan cicak. Awas saja!
Setelah pemuda Reigara itu menghilang di kelokan jalan, Lisa segera melangkah cepat menuju rumahnya. Tidak lama, kurang lebih lima menit untuk sampai sana. Sampai rumahnya, suatu hal membuat Lisa terkejut. Ia melihat sepeda biru miliknya sudah ada di depan rumah. Ares memang mengatakan akan mengantarkan sepeda miliknya tadi. Tapi sejak kapan ia tahu rumahnya?
Ck! Berarti sedari tadi pemuda Reigara itu hanya sok-sokan tidak tahu rumahnya. Dasar, licik! Sepertinya Lisa memang harus berjaga-jaga jika pemuda itu benar-benar menyebar satu klan cicak ke rumahnya. Merepotkan!
Bersambung.
Ares mengambil smartphone di atas meja di depannya, mengklik salah satu ikon game disana. Ia menyenderkan punggung, menekuk satu kakinya lalu meletakkannya di atas kaki yang lain.Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih lima menit. Tidak ada tanda-tanda datangannya tamu seperti yang orangtuanya bicarakan. Tapi mereka sudah menyuruhnya bersiap-siap di bawah. Daripada bosan, akhirnya Ares memilih memainkan game di smartphonenya."Gimana sekolahmu? Baik-baik aja kan?" Tiba-tiba mamanya menyeletuk, mengambil minuman di dekatnya.Ares mengangkat kepala, menjeda game di hpnya. "Hmm... Baik." Ia memaksakan senyum.Ares tahu nada bicaranya memang kaku. Tujuh tahun jauh dari orangtuanya membuat mereka terasa asing jika berada di dekatnya. Lebih menyebalkannya lagi, sekembalinya mereka dari luar negeri sebulan yang lalu kemudian tinggal bersamanya, hanya untuk mengadakan acara perjodohannya yang akan dilakukan sebentar la
Pagi ini hujan membasahi bumi. Langit mendung. Matahari urung menampakkan diri. Lisa memandangi jendela mobil yang berembun. Ada titik-titik air hujan di luarnya. Rasanya seperti alam mengerti suasana apa yang mendukung perasaannya yang sedang berkabut ini.Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya ia sudah sampai sekolah sekarang. Tapi entahlah, hari ini Lisa sedang malas. Sebenarnya semua sudah siap sejak sebelum jam enam tadi. Hanya tinggal memanggil Pak Udin supir di rumah Lisa untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi ia malah tiduran di kamar malas sampai jam enam lebih. Mungkin ia akan lupa berangkat jika ayahnya tidak mengetuk pintu kamarnya tadi.Ck! Ini semua gara-gara tadi malam. Moodnya masih saja buruk sampai sekarang."Sekolahmu baik kan, Sa? Nggak ada masalah?" Ayah Lisa di sebelah kanannya tiba-tiba bertanya, menatap ke arahnya sekilas, lalu balik menatap jalanan. Ayahnya memang yang mengantar Lisa ke s
Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks
Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.
"Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat
Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala
"Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"