"Pak, strawberry satu, ya." Lisa berucap pada penjual es krim di depannya.
"Siap, dek."
Lisa tersenyum simpul, duduk di kursi taman sembari menunggu es krimnya jadi. Ia menatap sekitar. Suasana taman kota cukup ramai. Banyak anak bermain di dekat air mancur di tengah taman. Ada juga orangtua yang sedang bermain kejar-kejaran bersama anaknya dengan riang. Sedangkan di sepanjang kursi pinggir taman, beberapa pasang kekasih duduk berdua dan terlihat mengobrol mesra. Mirip seperti Lisa, hanya saja ia sendirian. Sempat mengobrol hanya dengan pak penjual es krim tadi, dan itu tidak mesra.
Setelah tadi bersepedaan mengelilingi kota, Lisa memilih untuk berhenti di taman dan berjalan kaki sebentar mengelilinginya. Kurang kerjaan memang. Tapi begitulah Lisa. Ia akan melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan. Setelahnya, ia membeli es krim keliling kemudian duduk di kursi taman seperti saat ini. Penatnya juga sudah sedikit menghilang. Refreshing Lisa itu simpel saja. Tidak perlu repot-repot ke mall, bioskop, atau game center seperti yang dilakukan kebanyakan orang.
"Ini dek." Pak penjual tadi mengulurkan es krim strawberry pesanan Lisa. Lisa menerima es krim itu, ganti mengulurkan uang yang sejak tadi telah ia siapkan.
"Makasih, Pak," ujar Lisa.
"Oke, sama-sama."
Saat Lisa sedang enak-enaknya menikmati es krim miliknya, tiba-tiba seseorang datang lalu dengan santainya duduk di sebelah Lisa. Lisa mengkerutkan dahi, menatap pemuda di sebelahnya tidak suka. Mengapa mereka harus bertemu lagi di tempat ini? Sudah cukup Lisa naik darah karena kelakuan Ares tadi siang. Ia sungguh tidak ingin terkena darah tinggi karena bertemu pemuda menyebalkan itu lagi.
"Pak, saya coklat, ya," ujarnya pada penjual es krim.
"Ngapain disini?" Lisa bertanya ketus. Bawaannya selalu ingin marah jika bertemu pemuda di sampingnya.
"Bernapas, berkedip, duduk, terus ngeliatin kamu." Ares tersenyum sembari menatap Lisa.
Lisa berdecak sebal, bergeser menjauh dari Ares. Jika sudah ada pemuda itu seperti ini, ia harus mengantisipasi kemungkinan mendidih lalu meledak di keramaian seperti saat ini.
Ares itu makhluk luar biasa. Lisa ingat sekali saat ia pertama kali masuk SMA dulu, pemuda Reigara itu datang dan mengajaknya berkenalan. Lira pikir Ares bisa jadi teman yang baik dan menyenangkan. Tapi ternyata tidak. Hari pertama berkenalan Lisa bercerita panjang lebar tentang dirinya pada Ares. Bahkan bercerita tentang ketakutan terbesarnya pada cicak. Dan hari selanjutnya, dengan cerita yang mudah ditebak, Ares datang ke sekolah dengan membawa cicak, lalu memasukkan hewan menggelikan itu ke tas Lisa saat ia sedang jajan di kantin. Jam pelajaran selanjutnya Lisa langsung histeris. Hampir menangis jika saja ia tidak ingat baru saja dinobatkan menjadi ketua kelas kemarin. Dimana mukanya akan ditaruh?
"Aku tahu hari ini kamu lagi badmood. Bahkan hari-hari selanjutnya mungkin kamu bakalan tetep badmood," ujar Ares tiba-tiba. Lisa menoleh, menyipitkan mata. Kenapa tiba-tiba Ares jadi sok peduli seperti itu?
"Sok tahu. Aku aja lagi seneng. Kalaupun badmood itupun karena liat mukamu." Nada bicara Lisa masih terdengar tidak bersahabat.
Ares mengangguk-angguk mengerti. "Berarti kamu bakalan badmood terus setelah ini."
Lisa menatap tidak paham. "Maksudnya?"
"Maksudnya... satu ditambah satu sama dengan jendela."
Ekspresi wajah Lisa langsung berubah. Ia menatap Ares tidak bersahabat. Bodoamatlah!!
"Ini mas es krimnya."
Pak es krim menyodorkan pesanan Ares pada pemuda itu. Lira jadi teringat sesuatu. Kenapa dirinya dipanggil 'dek' sedangkan Ares dipanggil 'mas'? Apa ia terlihat sekecil itu sehingga dipanggil demikian?
"Ini uangnya, Pak. Kembaliannya buat bapak aja." Ares mengulurkan uang seratus ribu rupiah pada penjual es krim itu. Lisa hanya bisa melongo. Padahal harga es krim itu tidak sampai dua puluh ribu. Hanya sepuluh ribu bahkan. Ares-pun hanya membelinya satu. Lisa jadi bingung. Pemuda itu berniat sedekah atau sombong sih?
"Ada kembaliannya kok, Mas. Ini diambil aja." Pak penjual es krim yang masih tidak percaya dengan perkataan Ares segera menyodorkan kembalian padanya.
"Nggak, Pak. Buat bapak aja. Saya masih banyak uang di saku celana."
Hmm... Jika ucapannya yang ini jelas sudah kesombongannya. Dasar, Ares tidak ikhlas!
"Wah, makasih, ya, Mas. Saya doain Mas sama pacarnya langgeng jaya abadi deh."
Lisa melebarkan mata, berseru ingin mengoreksi, tetapi Ares sudah lebih dulu membekap mulutnya. Lisa menarik tangan Ares, berteriak minta dilepaskan, tetapi tidak juga dilepaskan olehnya. Alhasil dengan kekuatan seribu kaki, Lisa menginjak kaki Ares sampai pemuda Reigara itu mengaduh kesakitan dan melepaskan bekapannya.
"Jijik. Nggak usah pegang-pegang. Jauh-jauh sana." Lisa berucap kesal, menjilat es krimnya yang hampir saja jatuh karena bekapan Ares tadi. Pemuda Reigara itu malah tertawa menatap wajah sebalnya.
"Anak jaman sekarang itu pada soswit-soswit, ya. Kalah saya sama mereka." Pak penjual es krim bermonolog. Lisa menghela napas lelah. Sudahlah... Biarkan saja bapak es krim itu bersalah paham ria. Lisa juga sudah malas mengoreksinya.
Hening sejenak. Lisa sibuk menghabiskan es krim strawberrynya yang mulai meleleh. Ares di sebelahnya juga sama saja. Saat itu juga, samar-samar Lisa mendengar percakapan dua orang anak yang berdiri tak jauh darinya. Pakaian mereka lusuh dan kotor. Bolong-bolong juga di beberapa tempat.
"Kak, mau es krim." Anak perempuan yang berusia sekitar lima tahun itu menarik baju kakak laki-lakinya, merengek.
"Nggak bisa, Dek. Uangnya nggak cukup. Kita cuma punya dua ribu. Beli yang lain aja, ya?" Si kakak yang berusia kurang lebih delapan tahun itu mencoba membujuk sang adik. Lisa yang melihatnya jadi tergerak untuk menghampiri mereka.
"Kalian berdua mau es krim?" tanyanya setelah sampai, kemudian dibalas anggukan oleh keduanya.
"Yaudah, kakak beliin. Kalian mau rasa apa?"
"Coklat!" Mereka berdua menjawab bersamaan.
Lisa tersenyum, segera memesankan dua es krim coklat ke pak penjual es krim. Saat es krim telah jadi dan Lisa ingin memberikannya pada dua anak tadi, tiba-tiba anak-anak lain sepantaran mereka berdatangan satu persatu. Baju mereka sama-sama kotor dan lusuh. Lisa sendiri tidak tahu mereka berasal dari mana. Kemungkinan terbesarnya, mereka adalah anak-anak tuna wisma yang akhirnya tinggal di jalanan. Lisa jadi trenyuh. Harusnya ia sangat bersyukur terlahir di keluarga berkecukupan, bahkan berlebih. Meskipun ada beberapa hal yang cukup mengganggunya seperti perjodohan yang tak berperike-Lisa-an.
Awalnya ada tiga anak datang, lalu empat, kemudian tujuh. Dan yang terakhir, sepuluh. Wajah mereka melas sekali. Pastinya ingin es krim seperti yang kedua teman mereka dapat. Lisa hanya bisa menggaruk kepalanya bingung. Pasalnya ia hanya membawa uang lima puluh ribu tadi. Tiga puluh ribu sudah terpakai dan hanya tersisa dua puluh ribu. Tidak mungkin cukup membelikan es krim mereka semua. Jika tahu akan seperti ini, Lisa akan membawa uang banyak sebelum pergi.
"Mana temen kalian yang lain? Panggil mereka semua ya. Kakak traktir es krim sepuasnya deh." Ares tiba-tiba sudah berdiri di belakang Lisa, berucap pada anak-anak di depannya. Lisa hanya bisa melongo untuk kedua kalinya. Jika Lisa pernah berpikir kalau ia lebih kaya dari Ares, sepertinya Lisa harus menarik kembali pemikiran itu.
Ares itu benar-benar kaya---kedua orangtunya maksudnya. Baru saja tadi siang ia mengeluarkan uang dua ratus ribu untuk denda kelas. Sore ini, Lisa melihatnya mengeluarkan uang dengan jumlah banyak lagi. Itu yang Lisa lihat. Selainnya entah berapa uang yang ia habiskan. Uang saku Lisa sendiri tidak pernah sebanyak itu perharinya.
Tapi walaupun begitu, Lisa tersenyum pada akhirnya. Meskipun Ares agak sombong, setidaknya pemuda itu menghabiskan uangnya untuk membantu sesama. Tidak menghamburkan-hamburkan untuk diri sendiri apalagi untuk membeli barang-barang haram seperti rokok dan narkoba.
Mungkin satu-satunya momen terlangka itu hari ini. Lisa tidak mendidih dan meledak ketika bertemu dengan Ares seperti yang terjadi biasanya. Justru sebaliknya, ada sesuatu yang baru Lisa sadari dari diri pemuda itu. Tidak selamanya orang menyebalkan itu menyebalkan. Terkadang dari sifat menyebalkan mereka itulah kita tahu bahwa mereka tidak selamanya menyebalkan. Jadi mereka itu kadang menyebalkan dan kadang tidak menyebalkan. Sekian.
Bersambung.
"Ares, balikin kuncinya!" Lisa berseru marah. Ares malah mengangkat tangan kanannya lebih ke atas, meninggikan kunci gembok sepeda Lisa agar ia tidak bisa menggapainya. Menyebalkan!Baru saja tadi Lisa berpikir hari ini momen terlangka karena ia tidak marah-marah pada Ares seperti biasanya. Tapi ternyata pemikiran itu salah. Tidak ada momen terlangka! Ares tetap menyebalkan setiap saat. Dia kembali berulah.Tadi saat Lisa akan pulang, kunci gembok sepedanya yang diparkir di pinggir jalan hilang. Lisa panik. Pasalnya ia memang teledor dengan hanya menggenggam kunci itu di tangan, tidak memasukkannya ke saku atau tempat semacamnya. Saat Lisa sedang bingung-bingungnya mencari, tiba-tiba Ares datang sembari mengangkat tangan, memperlihatkan kunci yang ia pegang. Rupanya kunci itu jatuh dan ditemukan olehnya. Lisa hampir berterimakasih dan mengambil kunci itu sebelum akhirnya Ares menarik kembali tangannya, menganggu Lisa seperti hobi sehari-harinya.
Ares mengambil smartphone di atas meja di depannya, mengklik salah satu ikon game disana. Ia menyenderkan punggung, menekuk satu kakinya lalu meletakkannya di atas kaki yang lain.Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih lima menit. Tidak ada tanda-tanda datangannya tamu seperti yang orangtuanya bicarakan. Tapi mereka sudah menyuruhnya bersiap-siap di bawah. Daripada bosan, akhirnya Ares memilih memainkan game di smartphonenya."Gimana sekolahmu? Baik-baik aja kan?" Tiba-tiba mamanya menyeletuk, mengambil minuman di dekatnya.Ares mengangkat kepala, menjeda game di hpnya. "Hmm... Baik." Ia memaksakan senyum.Ares tahu nada bicaranya memang kaku. Tujuh tahun jauh dari orangtuanya membuat mereka terasa asing jika berada di dekatnya. Lebih menyebalkannya lagi, sekembalinya mereka dari luar negeri sebulan yang lalu kemudian tinggal bersamanya, hanya untuk mengadakan acara perjodohannya yang akan dilakukan sebentar la
Pagi ini hujan membasahi bumi. Langit mendung. Matahari urung menampakkan diri. Lisa memandangi jendela mobil yang berembun. Ada titik-titik air hujan di luarnya. Rasanya seperti alam mengerti suasana apa yang mendukung perasaannya yang sedang berkabut ini.Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya ia sudah sampai sekolah sekarang. Tapi entahlah, hari ini Lisa sedang malas. Sebenarnya semua sudah siap sejak sebelum jam enam tadi. Hanya tinggal memanggil Pak Udin supir di rumah Lisa untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi ia malah tiduran di kamar malas sampai jam enam lebih. Mungkin ia akan lupa berangkat jika ayahnya tidak mengetuk pintu kamarnya tadi.Ck! Ini semua gara-gara tadi malam. Moodnya masih saja buruk sampai sekarang."Sekolahmu baik kan, Sa? Nggak ada masalah?" Ayah Lisa di sebelah kanannya tiba-tiba bertanya, menatap ke arahnya sekilas, lalu balik menatap jalanan. Ayahnya memang yang mengantar Lisa ke s
Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks
Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.
"Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat
Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala
"Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares."Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya."Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.Lis
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"