"ARES!!!"
Lisa berteriak marah pada pemuda di depannya, melotot tajam. Ia sungguh emosi. Rasanya Lisa ingin sekali menendang kaki Ares agar pemuda itu berhenti mengacak-acak sampah ruang kelas yang telah ia sapu dan kumpulkan di depan pintu. Sudah menyapu sendiri, ia malah membuat Lisa mengulang tugasnya lagi. Menyebalkan!
"Sorry. Nggak liat kalau ada sampah," ujarnya santai, kembali melangkah tetapi dengan kaki yang menendang beberapa sampah sehingga kembali berserakan.
Lisa menghela napas. Darah di tubuhnya sudah mendidih sebenarnya, tapi ia mencoba sabar. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan tingkah Ares yang menyebalkan. Dia memang perusuh dan pengganggu tingkat akut. Terlebih dalam urusan menganggu Lisa sang ketua kelas.
"Mau kemana?!" Lisa merentangkan sebelah tangannya, menghadang tubuh Ares yang akan keluar pintu.
"Pulanglah. Mau ikut?"
"Nggak! Kamu piket hari ini, Res! Jangan main kabur! Nih serokin sampahnya terus buang." Lisa mengulurkan sapu beserta serok yang ia pegang pada Ares.
Bukannya menerima uluran Lisa, pemuda bernama lengkap Ares Reigara itu malah merogoh saku celananya, mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan.
"Nih. Denda. Sepuluh ribu kan? Sisanya buat sumbangan kas kelas." Ares menaruh uang tadi ke atas meja di dekatnya, kembali melangkah. Lisa langsung merentangkan tangan, mencegah Ares pergi untuk kedua kalinya.
"Nggak bisa, Res! Kalau piket ya piket. Nggak peduli kamu mau denda dua ratus ribu atau satu juta," ujar Lisa. Dia tidak suka anak orang kaya yang seenaknya bertingkah. Menukar segala yang ia inginkan dengan kekayaan milik orangtuanya.
Jika saja Ares tahu, Lisa mungkin lebih kaya darinya. Perusahaan ayahnya makin membesar hingga memiliki cabang di beberapa luar kota. Tapi bundanya selalu mengingatkannya agar tidak sombong dengan harta yang dimiliki. Jadilah orang yang biasa-biasa saja. Dari situlah Lisa tidak pernah menonjolkan kekayaannya pada teman-teman sekelasnya. Bahkan nyaris tidak ada yang tahu apa pekerjaan ayahnya sebenarnya.
"Yang lain nggak. Kenapa aku harus?" Ares masih bersikeras tidak mau piket.
"Karena mereka udah kabur duluan. Makanya aku nggak bisa paksa mereka," jawab Lisa. Tadi ia harus menyalin catatan Sejarah yang luar biasa banyaknya terlebih dahulu, lalu diperintah Miss Kyra mengantar buku tulis Bahasa ke meja gurunya di kantor. Maklum, tugas ketua kelas. Sekembalinya dari kantor, kelasnya sudah kosong. Hanya menyisakan banyak sampah yang berserakan di lantai serta Ares yang asik bermain game. Empat orang lain yang piket hari ini sudah menghilang entah kemana.
"Yaudah, aku kabur sekarang, ya," ujarnya.
Lisa menghela napas lelah. "Nggak boleh. Kamu harus piket. Apa susahnya sih serokin sampah terus buang ke tempatnya? Cuma sebentar. Nggak sampai semenit juga."
Ares malah ikut menghela napas lelah. "Iya-iya, aku piket. Sini sapunya," ujar pemuda di depan Lisa pada akhirnya. Lisa tersenyum, mengulurkan sapu dan serok pada Ares. Ia bersedekap dada di depan pintu, menunggui Ares agar sungguhan piket. Kenapa tidak sedari tadi?
Ares menyeringai, "Kalau mau berduaan bilang aja kali. Nggak perlu marah-marah kayak tadi."
Lisa menyeringai jijik, tetapi tetap diam tidak menggubris ucapan pemuda yang lebih tinggi darinya itu. Ares itu sebenarnya tampan. Jika kelakuan dan sifatnya waras sedikit, mungkin Lisa tidak akan sering marah-marah bahkan sampai membentak seperti tadi. Tetapi Ares tetaplah Ares. Dia itu pengganggu sekali.
"SA, DI KELAS SEBELAH, SA!" Ares tiba-tiba berseru seraya menunjuk sesuatu di belakang Lisa. Lisa menoleh ke belakang, mencari sesuatu yang ditunjuk pemuda itu hingga tiba-tiba badannya terdorong ke depan karena tersenggol Ares yang bergerak cepat keluar dari kelas. Sial! Lisa baru menyadari jika dirinya dibohongi.
Ares yang berdiri beberapa meter cukup jauh dari Lisa tertawa keras, berteriak, "ADA DINDING MAKSUDNYA!!" ia kembali tertawa kencang, mengejek Lisa karena dengan mudahnya dikelabuhi olehnya.
"AKU PULANG DULU, SAA! DAAHH!!" Ares melambaikan tangan, lalu melayangkan flying kiss pada Lisa sebelum akhirnya sosoknya hilang karena menuruni tangga.
Lisa mengepalkan tangan, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
Sial.
Ares itu benar-benar menyebalkan. Lisa pikir ia sudah mengalahkannya!
***
Satu-satunya hal yang membuat Lisa menyesal terlahir menjadi anak orang kaya adalah perjodohan.
Lisa menghela napas panjang, menyenderkan punggungnya ke kursi belajar. Ia mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya yang dicat warna biru.
Baru sehari yang lalu bundanya datang ke kamar, memberitahu perihal perjodohannya dengan anak rekan bisnis papa yang akan disegerakan. Jika dipikir-pikir, rasanya ia seperti barang yang diperjualbelikan demi kepentingan bisnis orangtuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Lisa bukan anak yang suka membangkang. Jadi ia menuruti segala permintaan kedua orangtuanya tanpa penolakan.
Sebenarnya Lisa juga tidak terlalu kaget mendengar kabar itu. Bundanya telah mewanti-wantinya sejak dulu. Lebih tepatnya sejak ia menginjak bangku SMP. Itu perjodohan yang telah direncanakan lama sekali. Lisa hanya mengangguk mengiyakan saat itu. Tidak bertanya lebih lanjut siapa yang akan dijodohkan dengannya. Lagipula Lisa bukan tipe gadis yang suka menjalin hubungan khusus dengan seseorang. Jadi dari segi hati tidak ada yang terlalu dipermasalahkan. Jika takdirnya memang berjodoh dengan seseorang yang telah dipilih kedua orangtuanya, yasudah. Ia tidak akan ambil susah dengan kabur, bunuh diri, atau melakukan tindakan tak bermutu semacamnya.
Tapi tetap saja, rasanya geli jika memikirkan ia akan bertunangan di umur tujuh belas. Itu terlalu muda! Yang Lisa ingin lakukan sekarang hanyalah belajar sungguh-sungguh, naik ke kelas tiga, lalu lulus SMA dengan nilai memuaskan. Hanya itu. Tapi yasudahlah...
Karena pening, Lisa menutup buku Sejarah di depannya. Rencananya ia ingin mengerjakan PR dan belajar. Tapi memikirkan masalah perjodohan tadi membuatnya jadi tidak mood. Kepala dan tubuhnya penat. Sepertinya ia perlu refreshing sebentar untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya.
Dapat ide, Lisa segera beranjak berdiri, melangkah keluar kamar menuju garasi rumah. Ia mengeluarkan sepeda warna biru yang terparkir di pojokkan, tidak lupa memakai helmnya. Ia tersenyum lalu menaiki sepeda itu. Jalan-jalan di sore hari sepertinya menyenangkan.
Bersambung.
Hai, aku penulis cerita Satu Atap ini! Mohon dukungannya untuk cerita ini, ya!
"Pak, strawberry satu, ya." Lisa berucap pada penjual es krim di depannya."Siap, dek."Lisa tersenyum simpul, duduk di kursi taman sembari menunggu es krimnya jadi. Ia menatap sekitar. Suasana taman kota cukup ramai. Banyak anak bermain di dekat air mancur di tengah taman. Ada juga orangtua yang sedang bermain kejar-kejaran bersama anaknya dengan riang. Sedangkan di sepanjang kursi pinggir taman, beberapa pasang kekasih duduk berdua dan terlihat mengobrol mesra. Mirip seperti Lisa, hanya saja ia sendirian. Sempat mengobrol hanya dengan pak penjual es krim tadi, dan itu tidak mesra.Setelah tadi bersepedaan mengelilingi kota, Lisa memilih untuk berhenti di taman dan berjalan kaki sebentar mengelilinginya. Kurang kerjaan memang. Tapi begitulah Lisa. Ia akan melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan. Setelahnya, ia membeli es krim keliling kemudian duduk di kursi taman seperti saat ini. Penatnya juga sudah sedikit menghilang. Ref
"Ares, balikin kuncinya!" Lisa berseru marah. Ares malah mengangkat tangan kanannya lebih ke atas, meninggikan kunci gembok sepeda Lisa agar ia tidak bisa menggapainya. Menyebalkan!Baru saja tadi Lisa berpikir hari ini momen terlangka karena ia tidak marah-marah pada Ares seperti biasanya. Tapi ternyata pemikiran itu salah. Tidak ada momen terlangka! Ares tetap menyebalkan setiap saat. Dia kembali berulah.Tadi saat Lisa akan pulang, kunci gembok sepedanya yang diparkir di pinggir jalan hilang. Lisa panik. Pasalnya ia memang teledor dengan hanya menggenggam kunci itu di tangan, tidak memasukkannya ke saku atau tempat semacamnya. Saat Lisa sedang bingung-bingungnya mencari, tiba-tiba Ares datang sembari mengangkat tangan, memperlihatkan kunci yang ia pegang. Rupanya kunci itu jatuh dan ditemukan olehnya. Lisa hampir berterimakasih dan mengambil kunci itu sebelum akhirnya Ares menarik kembali tangannya, menganggu Lisa seperti hobi sehari-harinya.
Ares mengambil smartphone di atas meja di depannya, mengklik salah satu ikon game disana. Ia menyenderkan punggung, menekuk satu kakinya lalu meletakkannya di atas kaki yang lain.Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih lima menit. Tidak ada tanda-tanda datangannya tamu seperti yang orangtuanya bicarakan. Tapi mereka sudah menyuruhnya bersiap-siap di bawah. Daripada bosan, akhirnya Ares memilih memainkan game di smartphonenya."Gimana sekolahmu? Baik-baik aja kan?" Tiba-tiba mamanya menyeletuk, mengambil minuman di dekatnya.Ares mengangkat kepala, menjeda game di hpnya. "Hmm... Baik." Ia memaksakan senyum.Ares tahu nada bicaranya memang kaku. Tujuh tahun jauh dari orangtuanya membuat mereka terasa asing jika berada di dekatnya. Lebih menyebalkannya lagi, sekembalinya mereka dari luar negeri sebulan yang lalu kemudian tinggal bersamanya, hanya untuk mengadakan acara perjodohannya yang akan dilakukan sebentar la
Pagi ini hujan membasahi bumi. Langit mendung. Matahari urung menampakkan diri. Lisa memandangi jendela mobil yang berembun. Ada titik-titik air hujan di luarnya. Rasanya seperti alam mengerti suasana apa yang mendukung perasaannya yang sedang berkabut ini.Waktu menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya ia sudah sampai sekolah sekarang. Tapi entahlah, hari ini Lisa sedang malas. Sebenarnya semua sudah siap sejak sebelum jam enam tadi. Hanya tinggal memanggil Pak Udin supir di rumah Lisa untuk mengantarnya ke sekolah. Tapi ia malah tiduran di kamar malas sampai jam enam lebih. Mungkin ia akan lupa berangkat jika ayahnya tidak mengetuk pintu kamarnya tadi.Ck! Ini semua gara-gara tadi malam. Moodnya masih saja buruk sampai sekarang."Sekolahmu baik kan, Sa? Nggak ada masalah?" Ayah Lisa di sebelah kanannya tiba-tiba bertanya, menatap ke arahnya sekilas, lalu balik menatap jalanan. Ayahnya memang yang mengantar Lisa ke s
Sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi. Lisa menyenderkan punggung ke kursi di belakangnya, meregangkan otot di tubuh. Dia baru saja menyelesaikan PR 10 soal determinan dan invers matriks yang tadi diberikan oleh Bu Rika. Setidaknya tugasnya di rumah nanti sedikit berkurang. Pasalnya ada banyak PR menumpuk yang belum ia kerjakan. Alasannya? Hmm... Apalagi jika bukan karena masalah perjodohan. Satu-satunya hal yang akhir-akhir ini Lisa kambing hitamkan atas seluruh perilaku negatifnya.Lisa menoleh ke samping, menatap Ares yang sedang serius mengerjakan soal. Ia pikir pemuda itu akan cepat jenuh ketika belajar. Tapi ternyata tidak, Ares nampak berusaha keras menyelesaikan soalnya. Sempat beberapa kali bertanya pada Dimas dan Lisa bagian yang belum ia pahami tadi.Dimas sendiri pergi ke perpustakaan beberapa menit yang lalu. Bilang kelupaan jika akan meminjam sebuah buku disana. Jadi ia izin pergi sebentar. Lagipula Lisa sudah paham bab invers matriks
Angka di jam dinding menunjukkan pukul empat. Suasana di luar rumah cerah. Matahari bersinar lembut. Tidak seperti tadi pagi, kali ini langit bersih dari mendung yang menggelayut. Angin sore segar berhembus sepoi-sepoi, menggerakkan dedaunan di depan rumah.Lisa menyerut jus mangga, duduk lesehan di teras rumahnya. Ia menatap buku tugas yang ia pegang, mengecek jawaban seseorang. Beberapa detik kemudian dahinya langsung terlipat. Ada jawaban yang salah."Positif kali negatif kok positif sih, Yan? Itu pelajaran anak SD tahu. Masih aja salah." Lisa berucap sebal pada pemuda blasteran di depannya. Ia ingin mengikuti teladan Dimas yang sabar ketika mengajari orang. Tetapi sepertinya gagal. Lisa gemas sekali dengan jawaban pemuda di depannya yang nyaris salah perhitungan keseluruhannya. Terlebih moodnya sedang tidak baik sekarang."Tadi yang bilang hasilnya plus siapa? Aku cuma ngikut," ujar pemuda bermarga Miller itu santai.
"Lisa sama Ares nggak papa satu rumah, Mas. Tapi harus dalam pengawasan kita."Lisa berhenti melangkah ketika tidak sengaja mendengar ucapan bundanya di dalam kamar. Niatnya ia ingin mengambil buku-buku Vian yang tertinggal di atas meja teras tadi. Tapi urung, Lisa malah ganti halauan jadi menguping percakapan kedua orangtuanya."Mereka belum bisa tinggal berdua tanpa kita. Kalau nggak tinggal disini, mereka bisa tinggal di rumah papa Ares. Jangan tinggal satu rumah tanpa siapa-siapa," lanjut bundanya. Lisa yang sudah mendekat ke dinding kamar orangtuanya menelan ludah, menunggu jawaban ayahnya."Jadi itu yang Bunda takutin?" Ayahnya terkekeh di dalam sana. "Lisa Ares itu masih kecil. Kemarin denger sendiri kan mereka suka berantem di kelas? Nggak mungkin mereka saling suka. Kenapa Bunda bisa mikir sampai sejauh itu? Lagian bakal ada Bi Inah sama Pak Udin juga yang tinggal disana," jawab ayahnya."Mas, cinta itu dat
Seminggu melesat dengan cepat.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Lisa membereskan peralatan tulisnya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mengambil smartphone di kolong meja, berniat menghubungi Pak Udin agar segera menjemputnya, tapi urung ketika ia mengingat sesuatu.Lisa mendadak malas pulang ke rumah. Kedua orangtuanya pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi jika bukan sibuk mengurusi 'hal itu'? Hal yang tidak ingin Lisa pikirkan sama sekali sekarang. Lagipula ayah bundanya memang menyuruh Lisa duduk manis saja. Segala sesuatu yang berkaitan tentang 'hal itu' akan dipersiapkan sendiri oleh mereka nantinya. Lisa sendiri tidak terlalu peduli akan bagaimana hasilnya.Menghela napas panjang, Lisa menenggelamkan kepala
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"