"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu.
"Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya.
"Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?
"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.
Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri.
"Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran.
"Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris.
"Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya tak ada salahnya kalau hanya satu jam saja dia menunggu. Lagipula, dengan kondisi dan posisi ramai begitu, dia yakin tak akan bosan nanti sembari menunggu. Sari pun akhirnya mengangguk, setelah berpikir cukup panjang.
"Oke, deh, Mas! Sari mau menunggu," kata Sari yang kini kembali duduk.
Dia memperhatikan ke arah sekeliling, banyak sekali orang-orang yang hadir. Ada yang masih menikmati makanan sembari mengobrol, ada yang membuat konten dan masih banyak yang menunggu sembari berdiri. Benar mungkin, mereka semua rela menunggu antrian hingga sate itu restock kembali. Melihat hal itu, tentu saja Sari kembali penasaran. Dia betul-betul ingin mencoba sate yang fenomenal tersebut.
"Baiklah, Sayang! Kamu tunggu di sini aja, ya? Aku ngantri dulu," kata Aris yang langsung saja beranjak berdiri.
Sari mengangguk. Dia masih asyik menikmati angin segar yang mulai terasa dingin menyapa kulitnya. Sementara di sisi lain, Aris sedang mengantre lagi. Bahkan, antriannya sudah cukup panjang saat ini.
Sari kembali menatap ke arah kanan dan kirinya. Betul sekali sepertinya, jika rasa sate di tempat ini tak bisa lagi diragukan enaknya. Sebab, beberapa orang yang terlihat makan di tempat, saat ini sedang menikmati dengan wajah puas. Sari tentu saja tau, sudah jelas masakan di tempat makan ini tak perlu diragukan lagi. Ah, Sari rasanya tak sabar. Sebentar lagi hendak mencicipi sate yang akan memanjakan lidahnya.
Aris memesan dua porsi sate, dia juga menambahkan sepiring lontong dan dua teh hangat. Dia hanya ingin menuruti keinginan istrinya saja. Meskipun Ibunya itu akan marah, jika sampai tau nantinya.
"Sudah aku pesankan, Sayang! Ditunggu, ya!" ujar Aris dengan lembut.
Dia menyimpan nota pembelian ke dalam saku celana, sebab nota itu nantinya akan ditukarkan saat namanya dipanggil. Mengingat, nomor antrean juga sudah panjang dan sate belum juga siap. Jadi, untuk menyiasati tentu saja menggunakan cara nomor antrean seperti itu.
"Beneran ramai banget ya, Sayang, tempatnya? Pasti enak, sih!" ujar Aris seraya memperhatikan sekeliling. Dia manggut-manggut dan tampak memperhatikan tempat yang menjadi rekomendasi istrinya itu. Sementara Ratih, masih asyik menikmati suasana di kedai sate. Dia tak banyak menyahut pertanyaan dari Aris. Sesekali hanya mengiyakan, atau juga mengedikkan bahu sebagai jawaban kurang tau.
"Ini pasti ramainya karena diviralkan sama blogger kuliner itu ya, Sayang? Sepertinya, sebelum itu nggak banyak yang tau," kata Aris mencoba untuk mencari obrolan bersama dengan Sari.
"Iya, bener! Padahal katanya enak, tapi sayang sih, nggak banyak orang yang tahu, sampai akhirnya ya ada seseorang yang mengenalkan ini ke masyarakat luas. Jadilah ramai sampai sekarang," balas Sari sekenanya. Dia masih sibuk menikmati euforia angin luar.
Maklum saja, sejauh ini Sari hanya berdiam di dalam rumah saja. Jadi ya, menikmati dunia luar seakan-akan menyenangkan baginya. Hiburan Sari sebetulnya hanya sereceh itu.
"Anggi nggak kamu bungkusin, Mas?" tanya Sari mencoba mengganti obrolan mereka. Dia masih ingat tadi, sebelum berangkat Bu Ning menyuruh suaminya itu untuk membelikan adik iparnya juga.
"Nggak!" sahut Aris singkat.
"Lho, kok nggak? Nanti kalau Ibu tanya gimana? Bukannya tadi bilang, kalau kita ke sini, kamu harus bungkusin Anggi juga, Mas?" Kening Sari pun kembali mengernyit.
"Ya, uangnya nggak ada, Sar. Biarlah, soalnya apa-apa nggak harus dituruti kan? Nanti dia bisa lah makan sate yang lain. Dia juga biasa makan di luar sama teman-temannya. Sesekali jangan dimanja, biar aja dia beli sendiri. Lagipula, uang Mas menipis, udah buat persiapan biaya lahiran kamu ini. Takut ada sesuatu yang tak terduga, Mas harus siapkan dananya kan?" Aris tersenyum lembut.
"Iya, Mas!" Hanya itu yang diucapkan Sari sebagai jawaban. Entah kenapa, hatinya menghangat. Untuk kesekian kali, lelakinya itu mampu menenangkan dan membuatnya hatinya luluh kembali.
Hal sesederhana seperti itulah yang Sari butuhkan. Apalagi, dia sedang menjalani kehamilan pertama saat ini. Tentu dia membutuhkan support terbanyak dari suaminya.
"Kok lama ya, Sayang? Apa sudah satu jam?" tanya Aris menatap ke arah jam yang kini berada di pergelangan tangannya.
"Ehm, belum deh kayaknya, Mas!" Sari ikut-ikutan menoleh ke arah antrean yang bahkan masih memanjang. Rupanya, bukan hanya dia saja yang menanti dan tak sabar untuk mencicipi sate viral tersebut.
"Ya sudah nggak papa, ditunggu aja! Eh, iya, itu orang yang antre di depan Mas juga belum diantar pesanannya. Mejanya masih kosong!" tunjuk Aris pada meja yang berada di belakang Sari.
Istrinya itu hanya manggut-manggut saja. Euforia senang masih menyelimuti hati Sari, sebab sang suami itu mau menurutinya dan bahkan tak segan bersikap tegas pada Ibu serta adiknya tadi.
Keduanya kembali melanjutkan mengobrol, hingga beberapa kemudian ponsel milik Aris berdering. Sari juga reflek menoleh ke arah suaminya. Dengan sekali gerakan, Aris langsung saja mengambil ponsel dari sakunya. Dia mengernyitkan kening saat melihat nomor Anggi yang menghubunginya sekarang.
"Siapa, Mas?" tanya Sari menatap penuh curiga pada suaminya.
"Anggi!" jawab Aris sembari menunjuk ponselnya. Dia menatap istrinya dengan wajah penasaran.
"Angkat aja, Mas, siapa tau penting!" titah Sari, membuat Aris langsung saja menggeser layar ponselnya ke atas.
"Ya, halo!" sapa Aris.
Sari sendiri masih memperhatikan raut wajah suaminya yang terlihat serius, bahkan juga beberapa kali menghembuskan napas panjang. Sari jadi khawatir sekaligus penasaran dibuatnya.
Aris sudah bersiap mengakhiri panggilan hingga memasukkan ponselnya itu kembali ke dalam saku. Melihat hal itu, Sari langsung cepat-cepat bertanya.
"Kenapa, Mas?"
"Ibu jatuh di kamar mandi. Kepeleset katanya, ayo kita ke sana, Sayang! Tetangga sudah pada nolong, cuma aku belum lega kalau belum nengok!" ujar Aris dengan wajah sendu.
"Astagfirullahaladzim," sahut Sari sembari menutup bibirnya dengan kedua tangan.
"Ayo, cepat, Sayang!"
"Lho, tapi satenya gimana, Mas?" tanya Sari menyimpan banyak kekecewaan yang mendalam. Bukannya dia tak perhatian dengan kondisi sang mertua. Tapi, bolehkah dia berprasangka buruk sedikit, bahwa ibu mertuanya itu pasti sedang berdrama saja?
"Ayo, Sari! Kesehatan Ibuku lebih penting, nggak bisa ditukar dengan apapun! Apalagi cuma sepiring sate!" kata Aris dengan nada tinggi.
Mendengar bentakan dari suaminya, mata Sari kembali berkaca-kaca.
***
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela