Sate Lemak Sisa Untukmu!
"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit.
"Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar.
"Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca.
"Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya.
"Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.
Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kelapa, yang videonya sudah marak di sosial media. Sate yang dibanderol dengan harga empat puluh ribu rupiah satu porsinya itu, sanggup membuatnya terus menerus meneguk ludah. Sebab, Aris, suami dari Sari tak bisa membelikannya.
Ralat, tak mau membelikannya. Karena sebetulnya Aris cukup mampu jika hanya membelikan satu porsi saja. Gaji Aris sebagai tukang las di sebuah pabrik, berkisar antara seratus hingga seratus lima puluh ribu setiap harinya. Tentu saja lebih dari cukup, jika disisihkan empat puluh ribu saja untuk Sari. Namun, Aris tak pernah menurutinya sebab lebih menurut perkataan dari Ibu kandungnya. Ngidam wanita hamil itu hanya akal-akalan saja. Begitu lah yang selalu dibilang oleh Bu Ning, selaku ibu kandung dari Aris.
Kalimat itu yang lebih terekam di kepala Aris, hingga sejauh ini dia lebih senang mengabaikan permintaan sang istri. Padahal, itu baru kehamilan anak pertama mereka, selama kurang lebih setahun menikah. Allah menitipkan amanah, saat usia pernikahan mereka baru berjalan empat bulan. Termasuk cepat memang. Tentu kehamilan itu disambut dengan penuh bahagia dan suka cita.
"Sana kamu mandi dulu! Habis itu kita ke rumah Ibu, kalau kesorean nanti satenya habis! Lagipula, kamu ini ibu hamil, kok nggak ada gerah-gerahnya sih, nggak mandi gitu! Wajahmu kusam, mana di bagian leher dan lipatan lainnya jadi menghitam. Jorok lho, Sar!" ujar Aris seraya menggelengkan kepalanya.
Sari hanya bisa menghela napas panjang, tak mau mendebat ucapan suaminya. Wanita dengan rambut panjang sepinggang itupun mengangguk saja, lalu menuju ke kamar mandi.
Selama menikah dengan Aris. Semua biaya dapur dan kehidupan ditanggung sepenuhnya oleh Aris. Sari hanya kebagian membeli lauk saja, itupun tak pasti habisnya berapa. Semua totalan akan masuk dan dibayar oleh Aris. Jadi, Sari hanya mendapat hak istimewa memilih sayur dan juga lauk, di tukang sayur keliling yang biasanya lewat depan rumah.
Untuk biaya sabun, pembalut, dan kebutuhan toilet lainnya. Aris juga sudah memperhitungkan. Mereka akan pergi ke toserba bersama sebulan sekali, untuk membeli itu semua. Pakaian Sari pun sama, jika menginginkan sesuatu, maka Sari tinggal meminta dan Aris akan membelikan untuknya. Biasanya, jatah daster hanya diberikan satu bulan sekali, juga gamis satu set dengan kerudung. Aris akan menawarkan sebulan sekali juga. Sebetulnya Sari juga tak kekurangan apa-apa, jika Aris bekerja. Lelaki itu juga meninggalkan uang sebanyak sepuluh, sampai dua puluh ribu rupiah saja setiap harinya untuk Sari jajan, atau membeli sesuatu lainnya. Sari yang terbiasa hidup hemat dan sederhana, menabung uang-uang tersebut di dalam celengan kaleng, yang dia beli dari toserba.
"Masak … untuk beli sate idaman, aku harus mencongkel uang dari celengan sih! Kamu masih menginginkan sate itu kah, Nak?" Sari berucap sendiri sembari mengusap-usap perutnya yang kian membuncit. Dia sudah berada di kamar mandi, dan bersiap untuk menyegarkan tubuh dengan guyuran air.
Padahal, dia sudah mandi sekitar dua jam yang lalu. Hanya saja, semenjak usia kandungannya semakin besar. Dia juga merasakan gerah dan mudah berkeringat. Apalagi, rambut panjangnya. Sudah dia kuncir dan gelung sedemikian rupa, masih saja terasa gerah, hingga membuatnya banjir keringat.
Berulang kali dia meminta izin potong rambut pada Aris. Namun, suaminya itu malah melarang. Ibu hamil tak boleh potong katanya. Sari hanya diam saja menurutinya. Dari semenjak menikah, bahkan sampai sekarang hamil besar, Sari belum pernah potong rambut.
Ditambah lagi, sering rontok dan mudah bau. Membuat penampilannya terlihat acak-acakan meskipun sudah mandi.
"Masih lama ya, Sar? Ayo, gantian!" seru Aris di depan pintu.
"Ya, Mas!" Sari hanya mengangguk singkat, hingga kemudian membilas rambut dan badannya sebelum memutuskan untuk menyudahinya.
Setelah mandi, Sari langsung saja mengambil pakaian dari lemari. Daster panjang dengan ukuran yang lebar untuk ibu hamil. Tak lupa, Sari menggulung rambutnya ke atas dalam keadaan setengah basah. Lalu, dia mengenakan jilbab instan dengan warna senada dengan dasternya. Sari menunggu sang suami di ruang tamu.
Untuk membunuh kebosanan. Sari memainkan ponselnya. Dia membuka aplikasi video yang biasanya menampilkan adegan-adegan viral, atau mereview sebuah barang, produk dan dagangan. Lagi-lagi, video warung sate yang ada di kotanya itu muncul di berandanya. Air liur Sari tak mampu lagi ditahan, hingga tiba-tiba saja menetes.
"Aduh, pengen banget ya, kamu, Nak? Nanti kita beli, ya! Ibu siapkan uang dulu buat kamu, kita akan beli naik ojol nanti!" ujar Sari kembali mengusap perutnya sambil berangan-angan.
Sengaja, dia menikmati detik demi detik video yang terputar. Dari mulai konten kreator itu sampai di parkiran, hingga ke warung makan dan mulai menyantap sate daging yang besar-besar dicocol bumbu rempah sedap, lagi-lagi membuat Sari menahan keinginannya, sampai beberapa kali meneguk ludah.
"Ayo, kita berangkat! Aku udah telepon Ibu tadi dan dia udah pesankan satu porsi sate buat kamu!" ujar Aris yang merapikan rambutnya, seraya berdiri di depan Sari.
"Iya, Mas!" Sari buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas kecilnya. Dia berdiri, mengunci pintu dan mengekor Aris hingga keluar dari halaman rumah. Tak lupa, Sari juga mengunci pagar rumahnya yang sederhana. Dia naik ke boncengan motor Aris secara perlahan, lalu berpegangan pada pinggang sang suami.
"Udah siap?" tanya Aris dari spion sebelah kanan. Memastikan bahwa posisi istrinya sudah aman dan nyaman.
Mendapat anggukand dari Sari, membuat Aris langsung saja menancap gas dan meninggalkan pelataran.
Jarak rumah mereka dari Bu Ning tak seberapa jauh. Hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas hingga dua puluh menit jika ditempuh menggunakan motor.
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.
***
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela