Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.
Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya.
"Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai.
"Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu kan. Ya, daripada mubazir," ucap Bu Indah seraya tertawa.
"Eh, nggak usah dulu, Bu. Kebetulan hamil besar begini, kadang saya malas masak. Malah kadang lebih sering beli, jadi takut nggak bisa ngolah dan nggak kepegang. Tapi, terima kasih banyak, ya, Bu, sudah diberi tawaran," kata Sari seraya mengangguk sopan.
"Ya, sama-sama! Yasudah kalau gitu, saya masuk dulu, ya! Mau bebersih rumah, mari!" pamit Bu Indah tersenyum ke arah Sari sehingga wanita cantik itu hanya mengangguk ramah.
Tepat saat itu, Aris keluar dengan wajah lesu. Dia menatap wajah Sari dengan santai, saat mata keduanya bertemu untuk saling memandang, Aris langsung saja merubah raut wajahnya.
"Kenapa, Mas?" tanya Sari dengan wajah penasaran. Dia tahu, suaminya itu berusaha untuk menyembunyikan rasa kesalnya.
"Nggak kok, nggak papa. Sudah ayo! Katanya kamu pengen makan daging sate, keburu malam dan kehabisan nanti," ajak Aris yang langsung saja menggandeng tangan Sari, menuju ke arah motor yang diparkir di halaman rumah.
Baru saja keduanya hendak naik ke atas motor, langkah mereka dikejutkan dengan suara seruan dari Bu Ning.
"Tunggu! Kalian mau beli sate dimana? Itu, adikmu mau nitip katanya! Bisa kan? Sesekali, kalau jajan enak itu mbok, ya, ingat keluarga. Nggak papa ibumu ini nggak usah dikasih. Yang penting, adikmu itu lho, belikan! Adik cuma satu aja kok, masak perhitungan!" kata Bu Ning.
Sari lagi-lagi hanya diam saja. Sementara Aris, tampak mengangguk perlahan. Sepertinya, lelaki itu tampak sekali keberatan. Hanya saja, karena tak ingin memancing keributan, dia mengiyakan saja.
"Halah, tadi juga katanya nggak mau, eh sekarang malah minta!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia sama sekali tak ingin berbasa-basi dengan ibu mertuanya.
Sudah cukup sakit hati, dia tadi mendengarkan suara Bu Ning yang tampak seperti menghinanya. Sari hanya mampu pasrah dan mengiyakan saja akhirnya.
Setelah membelah jalan raya, Sari mencoba untuk membuka obrolan. Rasanya tak enak, jika berduaan tapi malah terlihat seperti musuhan karena tak ada yang memulai percakapan.
"Mas, harusnya kamu bisa lho, lebih tegas sama Ibu. Bukannya aku mengajari kamu untuk bersikap durhaka. Tapi, ya, kamu tahu sendiri kan sikap Ibu itu gimana? Ajaib sekali, Mas. Jadi ya, nggak ada salahnya kalau sekali saja, kamu coba tolak dan jangan iya-iya saja! Apalagi Anggi. Aku lihat dia juga jadi menggantungkan harapan besar sama kamu, hanya karena kamu sering memberikannya uang jajan. Padahal, usia Anggi sama seperti Wulan kan? Wulan saja sudah bisa mandiri, walaupun dia masih duduk di bangku SMA. Bukannya mereka satu angkatan, ya, meskipun beda sekolah?" ujar Sari yang berusaha untuk memecah keheningan di antara mereka.
"Iya, tapi kan sifat atau karakter itu juga nggak bisa disamaratakan, Sar. Wulan memang anaknya mandiri, terbiasa hidup begitu. Bapakmu kan membiasakan anak-anaknya hidup sederhana, tak terbiasa memanjakan dan sepertinya ibumu juga fine-fine saja kan? Nah, sementara Anggi. Dia sudah terbiasa dimanjakan sama almarhum Ayah. Ayah senang dan bahagia sekali waktu Anggi lahir, karena memang pengen anak perempuan. Jadilah Anggi itu manja, lagipula Ibu juga mendukung. Kalau mau dirubah sekarang juga, ya, sepertinya nggak bisa.
Aku cuma minta doamu saja ya, Sayang. Semoga semua pekerjaanku dilancarkan, aku bisa lancar rejeki buat bahagiakan kamu, juga Ibu dan Anggi. Mau siapa lagi yang ngurus mereka kalau bukan aku, Sar," sahut Aris dengan napas tertahan.
Sari pun mengangguk seraya mengaminkan di dalam hatinya. Ya, dia sama sekali tak keberatan jika Aris membantu adik juga Ibunya. Hanya saja, itu semua patut dilakukan jika kebutuhan Sari semuanya sudah terpenuhi.
Aris kembali fokus dengan kemudi. Dia tak lagi banyak bicara, begitupun dengan Sari yang malah fokus dengan jalanan di malam hari.
Hingga keduanya sudah sampai di depot sate impian Sari. Dari kejauhan saja, tampak ramai. Sari antusias sekali, ingin segera mengantri dan memesan sate yang sudah dia tebak kenikmatannya tersebut. Setelah melepas helm, memberikannya pada Aris. Dia pun turun, Aris langsung saja memakirkan motornya.
Mata Sari berbinar-binar. Mendapati antrian yang panjang, ditambah lagi dengan kursi-kursi yang berjejer penuh. Warung itu benar-benar seperti lautan manusia saking ramainya. Apalagi, aroma dari asap sate yang dibakar menguar ke penjuru tempat. Sari sampai terlena dibuatnya.
"Kamu cari tempat saja, Sayang! Biar aku yang ngantri di sini! Duduklah! Jangan berdiri terlalu lama. Terserah cari tempat dimana, asal bisa buat kamu duduk. Aku gampang nanti," titah Aris yang langsung saja menyuruh istrinya mencari tempat.
Sari mengangguk, matanya mulai mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Hampir tak ada kursi kosong yang tersisa. Kebanyakan sudah dipakai dengan orang-orang yang memang membawa sanak saudara, atau bahkan keluarganya.
Akhirnya, setelah sambil berjalan dan mengintai seluruh tempat. Sari mendapat tempat duduk juga. Dia menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Matanya tampak berbinar kembali, saat melihat bahwa antrian di depan suaminya itu hanya tinggal dua orang lagi. Sudah tak sabar, perut buncitnya menikmati daging sate di tempat ini. Setiap waktu, selalu saja ada akun yang mereview tempat ini dan mengatakan betapa nikmatnya sate di tempat tersebut, sehingga sanggup membuat orang yang melihatnya menjadi penasaran.
Tiba giliran Aris maju ke depan. Dengan penuh percaya diri dia memesan. Namun, karyawan yang bertugas menyediakan menu itu hanya bisa melongo. Dia sempat beberapa kali menoleh ke belakang, lalu berbisik-bisik sehingga membuat Aris berdiri dan tetap menunggu. Hingga kemudian, seorang lelaki itu tersenyum ke arah Aris dengan wajah ramah.
"Mas nya mau pesan?" tanyanya basa-basi.
"Iya, sate daging tanpa lemak dua porsi ya, Mas. Minumannya teh hangat saja, makan di sini!" kata Aris yang sudah bersiap mengambil uang dari dalam dompet, di saku celananya.
"Aduh, mohon maaf, Mas! Sate daging tanpa lemaknya baru saja habis. Ini tinggal sisa sate karak, atau kalau mau sate kulit ayam saja. Bagaimana? Kalau mau menunggu re-stock bisa sih, Mas, tapi sekitar satu jam lagi karena rekan kami sedang mengambil bahan di rumah, apa bersedia menunggu?" tanya lelaki itu seraya memasang wajah sungkan.
"A-apa?" Wajah Aris langsung pasrah. Dia pucat, apalagi saat dirinya melirik ke arah Sari yang sudah duduk seraya menatapnya dengan penuh harap. Aris jadi tidak tega dan semakin merasa bersalah pada istrinya.
"Ah, andai saja aku tadi langsung membawa Sari ke sini, tanpa mengunjungi rumah Ibu dulu, pasti tak akan begini. Ibu juga nggak akan bertikai dengan Sari. Ah, lagipula juga … ujungnya tetap ke sini kan? Bagaimana ini, aku harus jelaskan apa sama Sari?" Aris menggaruk-garuk kepalanya. Sementara antrian di belakangnya semakin memanjang seperti ular.
Pegawai lelaki itu kembali menatap Aris dengan iba. "Bagaimana, Mas?"
***
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela