"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.
Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat.
"Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah.
"Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya.
"Pak, ojek! Ke kawasan X ya!" ujar Sari sekenanya. Dia hendak meminta helm dari pria berkulit legam tersebut.
"Maaf, Mbak! Bukannya saya nggak mau mengantarkan. Tapi, harus pesan lewat aplikasi dulu lho, Mbak! Saya nggak terima offline," sahut tukang ojek itu dengan senyuman ramah.
Melihat pemandangan itu, Aris pun akhirnya tersenyum. Dari tadi, dia masih memperhatikan tingkah istrinya. Aris mencoba untuk memahami saja, bahwa itu merupakan hormon bawaan dari bayi yang sedang dikandung oleh istrinya. Jadi, sebisa mungkin Aris akan tetap sabar menghadapi istrinya.
"Ayo, Dek! Pulang sama Mas aja, ayo! Mau kemana sih, kamu? Mau langsung pulang dan nggak mau ke tempat Ibu? Sudahlah, ayo! Mas antarkan kamu pulang dulu. Tapi lepas itu, Mas izin ke rumah Ibu ya, jenguk Ibu sebentar? Adek nggak papa kan di rumah sendirian?" Aris berkata dengan lembut. Dia menghampiri istrinya yang sedang merajuk di dekat motor milik tukang ojek online.
"Eh, lagi marahan toh! Iya, dirayu itu bininya, Bang! Lagi hamil, kasihan. Tingkahnya orang hamil memang kadang-kadang bikin frustasi. Tapi, mau gimana lagi? Bukan inginnya seperti itu! Selamat berjuang, Bang! Hahaha!" celetuk tukang ojek itu tadi seraya menggelengkan kepalanya.
Sari masih saja bergeming di tempatnya. Dia membuang pandangan, sama sekali tak mau menatap atau bahkan melirik ke arah Aris. Akhirnya, lelaki bergelar suami itu memperluas kesabarannya kembali dalam membujuk istrinya.
"Ayo, Sayang! Mas antar pulang langsung, janji deh. Setelah itu, Mas ke rumah Ibu dan kamu nggak usah ikut nggak papa. Mas cuma sebentar kok, kamu mau dibungkus aja satenya? Biar Mas bilang, kita tunggu dulu sampai satenya selesai, ya? Maaf, tadi sempat kasar dan bentak-bentak kamu, ya! Reflek aja Mas kaget, soalnya dengar Ibu sakit," ujar Aris dengan suara sendu.
Melihat suaminya berjuang seperti itu, akhirnya membuat Sari merasa tak tega. Dia menganggukkan kepala dan kembali tersenyum, hingga membuat Aris ikutan tersenyum.
"Yuk!" Aris langsung saja menggandeng tangan istrinya. Sari menunggu di kursi, sementara Aris memastikan ke pelayan kedai itu, meminta agar sate mereka dibungkus saja.
Beberapa menit berlalu, pesanan sate juga sudah siap. Akhirnya Sari bisa membawa pulang satenya dengan posisi hati gembira. Tak apa, meskipun tak bisa makan di tempatnya secara langsung. Yang penting dia bisa makan dan mencicipi sate tersebut.
Aris melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dia tak peduli meskipun harus bolak-balik, demi menuruti keinginan istrinya.
Dia menurunkan sang istri di depan rumah. Kemudian berpamitan menuju ke rumah Ibunya.
"Mas berangkat dulu, pintu dikunci ya, Dek! Mas bawa kunci cadangannya kok. Biar kamu langsung tidur aja habis makan nanti. Spesial ini dua porsi buat kamu, habiskan ya!" kata Aris dengan wajah tersenyum.
"Iya, Mas!" Sari mengangguk hingga kemudian dia masuk ke dalam rumah, setelah memastikan jika punggung suaminya sudah tak lagi terlihat.
Sari mulai menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia mencharger ponselnya yang tadi kehabisan daya. Setelah itu, menuju ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki lalu berganti pakaian dengan daster santai. Barulah dia menata piring dan mengambil sendok, serta menyiapkan air putih. Sari sudah duduk di kursi, berhadapan dengan meja makan. Matanya berbinar saat mendapati sate dengan bumbunya yang pekat, aroma nikmat langsung saja memanjakan indera penciumannya.
Setelah mengucapkan doa, Sari mulai menyantap sate-sate itu satu per satu, hanya dibarengi dengan lontong yang tak banyak. Masih ada setengah lagi dan Sari benar-benar menikmatinya. Dia juga mengakui, bahwa sate tersebut memang betul-betul nikmat dan terasa pas di lidahnya.
Satenya masih tersisa beberapa lagi, Sari beranjak berdiri untuk mengisi air putih yang habis di gelasnya. Dia berniat untuk mengambilnya kembali di dapur, yang tak jauh dari meja makan.
Saat dirinya kembali dan hendak duduk di kursi, ponsel Sari pun berbunyi. Dia buru-buru menghampiri ponselnya yang sedang di-charger. Melihat nama Anggi tertera di sana, membuat Sari langsung saja mengangkatnya tanpa menunggu waktu lagi. Dia hanya takut, jika nantinya mendapat kabar yang penting, apapun itu.
"Halo, Assalamualaikum!" Baru saja Sari mengangkat panggilan tersebut. Suara cempreng Anggi terdengar dari seberang.
"Halo, Waalaikumsalam! Mbak, Mas Aris kemana sih? Kenapa lama banget? Apa nggak lihat kalau Ibunya sakit, kok masih sempatnya enak-enakan makan sate sama istrinya. Keterlaluan ya!" kata Anggi seraya marah-marah.
"Lho, tapi kan Mas Aris juga su–"
Kalimat Sari lantas terpotong saat ada suara lain yang ikut tertangkap di dalam ponsel, berhasil membuatnya berhenti berbicara.
"Bawa sini, Nggi! Biar Ibu yang ngomong!" Suara itulah yang berhasil menjeda kalimat Sari begitu saja.
Sari sudah siap dan bisa menebak kira-kira serangan dari ibu mertuanya.
"Halo!" ujar suara yang lebih lembut dari suara Anggi terdengar di telinga Sari.
"Iya, Halo, Bu!" sahut Sari menghela napas dalam. Dia sekuat mungkin mencoba untuk menerima, siap mendengar segala ocehan atau ceramah dari sang mertua.
"Kamu pasti yang nahan-nahan anakku buat bertemu Ibunya? Iya, kan? Masih kurang aja ya, kamu! Setiap hari, setiap waktu bersama Aris, masih kurang sampai kamu harus nahan-nahan dia buat menemui saya? Iya? Keterlaluan! Ponselnya juga ditelepon nggak diangkat lagi! Pasti kamu kan, yang sudah menahan Aris? Wanita nggak tau diri kamu itu dasar! Lihat aja ya, kamu! Saya akan bikin perhitungan sama kamu! Kalau sampai terjadi apa-apa sama saya, kamu pasti menyesal dan saya nggak akan biarin kamu hidup dengan tenang, bahagia … atau bahkan damai! Jangan mimpi! Pakai alasan kehamilan aja yang kamu jadikan senjata! Wanita kurang ajar kamu, ya!" Bu Ning tak henti-hentinya memaki Sari.
Hingga tak ada kesempatan dari Sari untuk sekedar menjelaskan, atau menyahut kalimatnya. Sama sekali, tak diberikan waktu untuk membela diri.
"Bu, tapi Mas Aris itu sudah ke sa–"
"Apa kamu? Mau alasan apalagi? Kamu memang harus diberi pelajaran! Wanita miskin, nggak tau diri! Kecentilan kamu itu jadi orang!"
"Bu, siapa yang centil? Ibu teleponan sama sih, Nggi? Serius dan tegang banget?" Tiba-tiba saja suara yang sangat dikenalnya, masuk juga di telepon. Sari bernapas lega, namun sedetik kemudian dia langsung saja mematikan sambungan telepon tersebut.
"Itu Mas Aris pasti sudah datang. Biar dia saja yang menjelaskan," gumam Sari seraya melanjutkan makannya. Dia kembali meletakkan ponsel itu untuk di-charger.
Sementara itu, di kediaman Bu Ning. Wanita dengan usia lanjut usia itu pun hanya bisa tersenyum salah tingkah.
"Katanya Ibu sakit? Telponan sama siapa, sih? Kenapa?" tanya Aris dengan wajah penasaran.
"Oh, nggak, Nak. Anu, itu … ehm, cuma salah sambung," sahut Bu Ning kelabakan. Namun sayangnya, Aris tak mudah percaya begitu saja.
***
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
"Kamu pulang aja duluan, Mas! Biar aku pesan ojek aja nanti dari sini. Aku masih pengen sate. Lagipula, Ibumu kan nggak suka kalau ada aku? Nanti, bisa-bisa dia marah dan malah nggak sembuh-sembuh kalau aku ikutan ke sana. Sudahlah, aku baik-baik aja. Pergilah!" ujar Sari dengan suara bergetar.Sebisa mungkin dia menahan tangisnya, menahan air matanya agar tak tumpah. Sari langsung saja berdiri, dia menghampiri tukang ojek yang ada beberapa nangkring di sekitar kedai sate. Aris menggelengkan kepalanya. Dia malu, jika perdebatan mereka harus disaksikan oleh khalayak umum begini. Aris meraih pergelangan tangan Sari dan mencekalnya dengan erat."Sakit, Mas! Lepasin! Kamu nggak mau aku teriak kan?" ujar Sari dengan mata memerah."Maaf," sahut Aris yang langsung saja mengendurkan cekalan di tangan istrinya.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sari. Dia langsung saja berlari menuju ke salah satu tukang ojek dengan jaket hijau, yang sedang mengobrol bersama dengan teman-temannya."Pak, ojek
"Kenapa, Mas?" tanya Sari saat memperhatikan wajah suaminya kini terlihat lesu."Satenya abis, Sayang!" sahut Aris. Wajahnya benar-benar kuyu. Dia merasa bersalah sekali karena tak bisa menuruti kemauan istrinya."Oh," gumam Sari singkat. Tentu saja kecewa rasanya dia. Apa mungkin saja, dia belum ditakdirkan untuk mencicipi sate viral yang diinginkan?"Maaf ya, Sayang!" kata Aris dengan wajah sendu. Teriris sekali hatinya saat menatap wajah kecewa yang dipasang oleh Sari.Sari hanya mengangguk singkat. Dia mengusap perutnya dengan lembut, hingga kemudian dia beranjak berdiri."Ayo, Mas! Kita pulang aja. Mau ngapain juga nunggu di sini kalau satenya nggak ada?" kata Sari yang sudah siap berjalan menuju ke arah parkiran."Tapi, kata Masnya tadi sih, masih bisa restock, Sayang! Mungkin sekitar satu jaman, lah. Apa mau menunggu saja? Kasihan, udah sampai sini tapi kamu malah gagal buat nikmati satenya," ujar Aris."Ehm, gimana ya? Satu jam ya, Mas?" Sari mulai mempertimbangkan. Sepertinya
Ingin rasanya dia jujur saja, bahwa dirinya sama sekali tak suka lemah. Apalagi yang meninggalkan bekas mengganjal tiap kali tersiram air dinging. Meninggalkan kerak-kerak yang lumayan membandel dan susah dibersihkan. Membayangkannya saja, membuat Sari bergidik ngeri.Andai tak memikirkan perasaan ibu mertuanya, tentu saja Sari akan berkata jujur yang sesungguhnya. Hanya saja, dia masih punya hati untuk tak menjelek-jelekkan keluarga suaminya."Iya, sudah saya incip tadi. Tapi, sayang sekali. Perut saya rasanya begah, jadi nggak habis, Bu. Untung saja ada Mas Aris, tempatnya menampung," sahut Sari dengan wajah berusaha terlihat santai."Hahaha, iya kamu benar! Memang itu biasanya dibuang, ya, makanya saya merasa aneh. Kok kamu malah suka. Ya sudah kalau gitu, saya mau bersih-bersih warung dulu. Alhamdulillah sudah habis, kalau kamu mau lemak-lemak seperti itu. Mulai besok, saya titipkan saja ke ibu mertuamu. Bisa suruh Aris mampir ke sini buat ambil, gratis kok saya kasih buat kamu ka
"Enak aja! Kamu pikir aku babu gratisan di rumah ini? Aku baru sadar, kalau selama aku di sini pasti dimanfaatkan. Hanya saja, dulu aku berpikir itu hal yang wajar dan aku fine-fine aja, sebab itu kuanggap sebagai bentuk berbakti pada sang mertua. Tapi, makin ke sini, aku jadi makin sadar. Ternyata, kalian hanya memeras tenagaku saja. Masih mending babu dibayar, lah aku? Ck, ck, ck," sahut Sari memasang wajah sinis ke arah Anggi.Gadis yang meletakkan tas sekolahnya dengan asal itu tampak mengerutkan kening. Kaget saat mendapati Sari berbicara ketus tak seperti biasanya."Lah, Mbak Sari ini kenapa? Kok malah marah-marah begitu? Apa bawaan bayi, ya? Aneh banget, sih!" ujar Anggi melirik sekilas ke arah Sari, lalu kembali fokus ke layar ponsel yang kini dipegangnya."Nggak papa! Pikir aja sendiri! Ayo, Mas, pokoknya aku mau pulang. Kamu nggak mau kan, kalau aku jadi stres dan malah berdampak sama anak dalam kandunganmu ini? Aku mau pulang pokoknya!" kata Sari merengek seraya menarik-nar
"Lho, kenapa? Kok malah dilihatin aja? Nggak dimakan? Ini enak, lho!" ujar Aris seraya menunjuk bungkusan sate yang masih utuh di depan Sari."Aku tiba-tiba nggak mood makan, Mas! Kamu habiskan aja ya, ini punyaku!" ujar Sari dengan suara lirih. Dia langsung saja menyandarkan punggungnya ke kursi. Perutnya tiba-tiba saja terasa kram, Sari dengan cepat mengusapnya perlahan untuk menenangkan."Kok gitu? Kamu nggak ngehargain ibuku banget, sih, Sar? Dia langsung gercep lho waktu dengar kamu pengen makan sate! Udah dia bela-belain beli juga, kok kamu malah kayak gini! Belajarlah untuk menghargai sesuatu dari pemberian orang lain, Sar! Jangan dilihat dari rupanya, barangnya apalagi nilai harganya. Tapi, lihatlah betapa Ibu tulus, pengen nuruti semua yang kamu mau, ayolah, jangan seperti ini!" kata Aris dengan wajah tenang.Sari menatap suaminya tak percaya. Segitu teganya lelaki yang sudah menikahinya itu berbicara seperti tak ada beban, apalagi tanggung jawab padanya."Mas, coba kamu liha
Aris dan Sari mengunjungi rumah Bu Ning, dengan perasaan yang berbeda masing-masing.Sementara itu di kediaman Bu Ning. Wanita yang beberapa helai rambutnya sudah memutih itupun langsung saja berhenti di warung tetangga. Seberang rumahnya. Warung Bu Indah, yang menjual sate karak. Alias sate jeroan sapi yang disajikan dengan ketan hitam dan bumbu rempah lainnya."Eh, Bu Ning. Mau beli? Berapa porsi ini?" tanya Bu Indah menyapa Bu Ning dengan ramah."Dua porsi, buat anakku sama istrinya. Tolong yang satu, kamu kasih usus full tanpa lemak, ya! Satu lagi, kamu kasih usus setusuk, sisanya lemak semua, pilihkan yang kecil-kecil saja, biasanya juga kan nggak bisa kamu jual. Daripada kamu kasihkan pengemis, atau pengamen jalan yang biasa minta-minta kan, mending kamu kasih ke aku, Bu! Gratis, kan?" kata Bu Ning seraya mengedipkan sebelah matanya pada Bu Indah."Oalah dala, jadi beli seporsi aja ini ceritanya? Seporsi lagi, minta jatah gratis dari sisa-sisa dan lemak, yang nggak bisa dijual?
Sate Lemak Sisa Untukmu!"Mas, boleh nggak aku makan sate daging yang dilumuri kelapa? Aku lagi pengen banget!" kata Sari kini seraya mengusap perutnya yang buncit."Jangan boros! Biaya buat persiapan lahiran itu besar, Sari! Mending kita makan di rumah Ibu, di depan rumah Ibu kan ada juga yang jual sate, sama aja! Kita beli itu ya?" sahut Aris dengan wajah datar."Tapi, itu kan sate karak, Mas?" Mata Sari mulai berkaca-kaca."Sama aja satenya, Sar. Bumbu kacangnya juga sama, lho! Apa bedanya? Sama-sama dari sapi, ya, walaupun sate karak itu isinya lemak dan jeroan sapi aja." Aris masih saja ngeyel, untuk merayu sang istri agar mau makan di tempat ibunya."Terserah kamu lah, Mas!" Sari pasrah, keinginan menikmati sate daging tanpa lemak, menggigitnya langsung dari lidi, ditambah gurihnya bumbu kacang dan rempah parutan kelapa, seketika menguap. Hilang selera begitu saja.Dari hamil dua bulan, hingga sampai saat ini kehamilannya menginjak tujuh bulan. Sari menginginkan sate daging kela