“Kamu itu apa-apaan, sih? Kenapa kamu banting pas bunga itu?” tanya Zidan sambil menatap ke arah Salwa yang sudah duduk di lantai.
“Tolong aku ..., aku sesak napas dan tolong belikan aku obat. Aku tidak kuat,” ujar Salwa sambil meremas bagian dadanya yang terasa sangat sakit.
Seketika Zidan menghampiri Salwa dan menggendongnya ke kamar. Dia menyandarkan Salwa dan memberikan air hangat. Setelah itu Zidan dengan raut wajahnya yang cemas langsung berangkat membelikan obat sesak napas yang biasa Salwa gunakan dan untung saja apotek tidak jauh jaraknya dari situ dan akhirnya Salwa bisa mendapatkan obat itu dengan cepat.
Setelah makan obat tersebut akhirnya Salwa mendapatkan kembali napasnya yang barusan terasa hilang. “Terima kasih, Mas. Satu hal lagi, kalau orang panggil itu setidaknya kamu jawab. Kalau tadi aku tidak membanting pas bunga itu, mungkin aku sudah tiada karena kehabisan oksigen, tetapi tidak apa-apa aku sangat berterima kasih untuk bantuan kamu barusan,” tutur Salwa sambil mengatur napasnya yang masih belum normal.
“Aku minta maaf. Aku kira kamu mau apa karena terus memanggil aku,” jawab Zidan sambil beranjak dari tempat tidur Salwa.
“Maaf banget, Mas. Kamu itu punya telinga dan telinga kamu masih normal. Kenapa kamu sangat enggan mendengar panggilan aku terhadap kamu? Apakah kamu sangat benci aku? Kamu kira pernikahan ini terjadi karena kesalahan aku? Kalau kamu tidak mau aku tinggal di sini. Aku akan pergi, Mas. Besok pagi, aku akan mengontrak rumah dan sebaiknya kita tinggal terpisah saja. Kalau nanti orang tua kita datang, aku akan kembali ke rumah ini dan bersikap seperti istri kamu. Kalau aku terus di sini, aku seperti patung. Aku ada, tetapi kamu anggap aku itu tidak punya hati. Maka dari itu, aku putuskan untuk pisah rumah dengan kamu.”
Tanpa menjawab apa pun, Zidan malah langsung pergi. Melihat sikap Zidan itu membuat Salwa benar-benar sangat menderita dan sedih. “Bahkan kamu tidak menanggapi ucapan aku itu, Mas. Mungkin benar kalau dia mau aku pergi dan besok aku akan cari kontrakan saja untuk aku tinggal. Aku tidak mungkin bilang semua ini pada mertuaku atau pada orang tuaku. Aku sayang sama mereka dan kalau mereka tahu kondisi aku saat ini, aku takut nanti mereka malah khawatir,” ucap Salwa sambil menghapus air matanya.
Saat jam delapan malam, Zidan tiba-tiba masuk dalam kamar Salwa dan menyimpan baju gamis yang memiliki warna senada dengan bajunya. “Pakai itu dan kita berangkat malam ini ke pesantren,” pinta Zidan sambil menatap Salwa yang masih terlihat lemas.
“Aku tidak bisa ikut, Mas. Kamu saja yang pergi dan aku titipkan salam saja pada mereka. Aku sangat pusing soalnya dan dada aku juga belum sehat dengan benar. Aku masih merasa sakit dada karena asma aku barusan kambuh.”
“Aku tunggu lima belas menit untuk kamu bersiap dan aku akan menunggu kamu di mobil.”
Akhirnya Salwa mencoba menguatkan tubuhnya untuk memaksakan pergi. “Kenapa tubuhku rasanya sakit banget, ya? Apa karena aku kemarin malam tidur di luar, ya?” tanyanya sambil memakai kerudung.
Saat Salwa mau meninggalkan kamarnya, kepalanya benaran terasa pusing hingga dia akhirnya bersandar di tiang pintu. “Kamu harus kuat, Sal. Ayo kita pergi. Bismillah, aku mohon kuatkan aku, Ya Allah,” tuturnya sambil pergi.
Setelah itu mereka pergi dan Zidan melakukan mobilnya sangat cepat. “Mas, tolong pelankan sedikit saja laju mobil ini. Selain bahaya, aku lagi kurang sehat dan aku takut malah muntah nanti karena pusing,” pinta Salwa sambil melirik Zidan.
“Kita sudah telat,” sahut Zidan singkat.
Saat menerobos kegelapan jalan dengan kecepatan tinggi, tanpa Zidan lihat kalau di depan tepat di arah yang sama dengan posisi Salwa berada ada lubang dan akhirnya mobilnya itu terasa oleng dan akhirnya Salwa terbentur ke depan tempat duduknya. “Cukup, Mas. Aku minta turun di sini saja. Kamu sangat membenci aku, ya? Seberapa besar rasa benci kamu itu? Aku turun, ya. Aku lebih baik cari kendaraan lain untuk pergi ke sana. Assalamualaikum!” ucap Salwa saat mobil itu berhenti dan dia langsung keluar.
Tanpa menghiraukan Salwa, Zidan benar-benar pergi dan meninggalkan Salwa di tengah jalan yang sepi dan gelap. “Umi, Abi, lihat menantu kalian itu. Dia kan menantu idaman kalian. Perlakuannya luar biasa dan bahkan dia tega meninggalkan aku sendirian,” ujar Salwa sambil menatap mobil suaminya yang mulai hilang di telan kegelapan.
Saat itu tubuh Salwa yang sakit dan kondisi jalan yang sepi membuat Salwa ketakutan. Dia tidak tahu dia sedang ada di mana dan harus pergi ke arah mana. “Aku harus tanya pada siapa, ya? Kenapa di sini sangat sepi?” tanya Salwa sambil menatap sekelilingnya.
Dengan tubuh yang dia paksakan untuk berjalan, akhirnya ada mobil yang lewat. “Tunggu!” teriak Salwa sambil berdiri di tengah jalan.
Seketika mobil itu berhenti di hadapannya. “Ada apa, Bu?” tanya seorang laki-laki yang menatapnya dari jendela mobilnya yang dia buka.
“Mas, saya mau bertanya. Ini nama daerahnya apa, ya? Saya tersesat,” tanya Salwa sambil menghampiri orang tersebut.
“Ibu mau ke mana?”
“Saya mau ke ...,”
“Ke mana, Bu?” timpal laki-laki itu sambil menatap Salwa yang malah bengong.
‘Aku tidak tahu alamat pesantren itu. Lalu aku harus ke mana?’ tanyanya dalam hati.
“Bu?” ujar laki-laki itu sambil melambaikan tangan pada Salwa.
“Tidak jadi, Mas. Maaf, saya mau pulang saja. Soalnya saya lupa membawa alamatnya.”
“Kalau begitu saya pergi ya, Bu.”
Salwa langsung mengangguk dan membiarkan mobil itu pergi. Kini kakinya kembali melangkah menuju arah pulang. Dengan tubuhnya yang sakit, Salwa terus jalan tanpa lelah. “Aku harap aku akan segera sampai di rumah. Rasanya tubuhku semakin tidak enak dan kepalaku yang terbentur tadi juga malah menambah pusing ini,” tuturnya sambil terus berjalan.
Saat sampai di rumah, Salwa langsung masuk ke dalam kamarnya dan dia mengobati luka yang memar di kepalanya. “Kamu benar-benar tega, Mas. Bukannya minta maaf dan membujuk aku supaya tetap diam dalam mobil, tetapi kamu malah sengaja meninggalkan aku. Ya Allah, terbuat dari apa hati suamiku itu. Aku tahu kalau dia tidak terima dengan pernikahan ini, tetapi kenapa sifatnya sangat keterlaluan padaku?” tanyanya sambil menangis.
Saat tengah malam, Salwa yang telah tidur terbangun dengan suara orang yang mengetuk pintu dengan sangat kencang. Saat Salwa buka pintunya, ternyata itu Zidan tanpa bertanya atau bicara apa pun, Zidan malah langsung masuk dalam kamar.
Melihat kelakuan suaminya itu, Salwa hanya menarik napas dalam dan langsung masuk dalam kamar. Dia terlihat sangat lelah dengan semua yang terjadi pada hari itu. Keesokan harinya, Salwa yang baru selesai salat Subuh melihat Zidan yang telah siap dengan seragam untuk olahraga.
“Aku mau pergi dulu buat olahraga,” pamit Zidan sambil menatap istrinya yang berdiri di sampingnya.
“Iya!” jawab Salwa sambil pergi ke dapur.
Tanpa mengatakan maaf atau bertanya keadaan Salwa, Zidan malah langsung berangkat. Zidan terlihat seolah tidak terjadi apa pun di antara dia dan istrinya. ‘Bahkan kamu tidak bertanya tentang kondisi aku saat ini, Mas. Aku di sini, Mas. Aku ada di dekat kamu, tetapi kamu tidak menganggap keberadaan aku. Jika ini yang kamu inginkan, sebaiknya aku benar-benar pergi dari sini,' tutur Salwa sambil menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir deras.
Setelah itu Salwa mencoba menenangkan dirinya di dapur. Harinya benar-benar terluka dengan sikap suaminya yang tidak simpati padanya. Saat dia sudah mulai tenang, Salwa bergegas masak dan beres-beres rumah dan tepat setelah dia selesai beres-beres, Zidan datang sambil membawa kantong keresek hitam. “Tolong siapkan makanan ini untuk aku sarapan,” pinta Zidan pada Salwa yang sedang berdiri di depan teras usai menyapu. “Aku sudah masak, Mas. Kenapa kamu malah membeli makanan dari luar?” tanyanya sambil menatap Zidan. “Kamu makan saja masakan kamu karena aku mau makan makanan yang aku beli itu. Sekarang tolong siapkan, ya. Aku mau mandi dulu.” Mendengar hal itu Salwa terlihat pasrah. Dia tidak bisa memaksa suaminya untuk makan makanan yang dia buat. ‘Jika tahu dia tidak mau makan masakan aku, aku tidak akan memasak sebanyak itu,' tutur Salwa sambil masuk. Setelah itu Salwa
Saat malam tiba Zidan terus menatap pintu Salwa yang masih tertutup. “Dia itu kenapa, sih? Kenapa jadi cuek begitu? Harusnya aku yang dingin sama dia. Kenapa sekarang malah dia juga dingin sama aku? Apa sebenarnya yang ada dalam kepala wanita itu?” ujar Zidan terlihat sangat kesal.Setelah itu Zidan langsung beranjak mendekati pintu kamarnya Salwa dan saat mau mengetuk pintunya, tiba-tiba pintunya terbuka dan terlihat Salwa yang masih memakai mukena keluar sambil menutup pintunya kembali.“Mau apa, Mas? Kenapa kamu berdiri depan kamar aku? Butuh sesuatu?” tanya Salwa sambil melewati Zidan.Seketika Zidan memegang tangan Salwa hingga membuat jantung Salwa berdetak kencang. “Kamu itu kenapa? Kenapa cuek sama aku?” tanyanya sambil memegang kedua pangkal tangan Salwa.Seketika mata Salwa melirik tangan suaminya yang menyentuh tangannya itu. Melihat tatapan itu membuat Zidan langsung menurunkan tangannya da
“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun.“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.&rdqu
Di sisi lain, di rumah mewah dan megah di daerah Jawa Timur ada seorang laki-laki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan dialah yang akan di jodohkan dengan Salwa. “Abi mau bicara sama kamu dan temui Abi di ruangan kerja Abi,” ucap ayahnya Zidan saat pertama kali melihat Zidan yang baru datang.“Sekarang akan ada apa lagi, ya? Kenapa Abi terlihat sangat serius?” tanya Zidan sambil menuju ruangan ayahnya.“Ada apa, Abi?” tanya Zidan yang langsung menyelonong masuk.“Usia kamu sekarang sudah dua puluh lima tahun. Itu artinya kamu siap untuk menikah,” ujar ayahnya sambil berdiri di hadapannya.“Maksud Abi apa?” tanya Zidan sambil menatap ayahnya dengan sangat tajam“Abi sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan seorang wanita pilihan Abi. Dia tinggal di Jakarta saat ini dan Abi yakin kalian akan menjadi pasangan yang cocok banget.”
Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara.“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti ju
Setelah selesai salat Tahajud, Salwa langsung pergi ke luar kamarnya untuk mengambil minum dan saat dia masuk kembali, ternyata Zidan sedang salat.‘Rasanya sangat aneh, aku sudah menikah, tetapi salat saja kami terpisah. Kapan dua sujud ini berada dalam satu waktu? Kapan doa dia akan aku aminkan?’ tutur Salwa dalam hatinya.Saat terdengar suara azan Subuh, Zidan tanpa mengatakan apa pun pada Salwa langsung mengambil kain sarung dan sajadah lalu pergi begitu saja. “Apakah dia tidak melihat aku yang duduk di sini? Seenaknya banget dia pergi tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Salwa sambil beranjak wudu.Saat jam lima pagi, terdengar suara pintu kamar terbuka dan Salwa yang sedang mengaji langsung berhenti dan menatap orang yang masuk dalam kamarnya itu. “Aku akan duluan pulang kalau kamu mau tinggal di rumahku, datang saja satu minggu lagi,” ucap Zidan sambil mengeluarkan kopernya.“Tunggu, Mas
Saat Salwa melihat mobil tersebut, ternyata itu mobil Zidan dan tidak tahu dia mau pergi ke mana. “Baru satu hari aku di sini, rasanya sudah satu tahun. Ini bukan pernikahan, ini hanya sebuah ikatan yang terlihat indah di luar namun, memberikan luka di dalam,” tutur Salwa sambil menghapus air matanya.Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore.“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu.“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau