Setelah selesai salat Tahajud, Salwa langsung pergi ke luar kamarnya untuk mengambil minum dan saat dia masuk kembali, ternyata Zidan sedang salat.
‘Rasanya sangat aneh, aku sudah menikah, tetapi salat saja kami terpisah. Kapan dua sujud ini berada dalam satu waktu? Kapan doa dia akan aku aminkan?’ tutur Salwa dalam hatinya.
Saat terdengar suara azan Subuh, Zidan tanpa mengatakan apa pun pada Salwa langsung mengambil kain sarung dan sajadah lalu pergi begitu saja. “Apakah dia tidak melihat aku yang duduk di sini? Seenaknya banget dia pergi tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Salwa sambil beranjak wudu.
Saat jam lima pagi, terdengar suara pintu kamar terbuka dan Salwa yang sedang mengaji langsung berhenti dan menatap orang yang masuk dalam kamarnya itu. “Aku akan duluan pulang kalau kamu mau tinggal di rumahku, datang saja satu minggu lagi,” ucap Zidan sambil mengeluarkan kopernya.
“Tunggu, Mas. Aku tahu pernikahan ini tidak diinginkan, tetapi bukan seperti ini caranya. Aku ini istri kamu. Apa tidak bisa kamu ajak aku berangkat sekarang bersama kamu?” tanya Salwa dengan matanya yang berbinar menahan air mata.
“Kamu kan punya mobil, datang saja sendiri. Lagian aku itu saat ini mau ke luar kota dulu dan aku juga satu minggu lagi baru pulang ke rumahku. Makannya, kalau kamu mau datang ke rumahku, kamu datang saja sendiri dan ini alamatnya.”
“Ke liar kota? Ke mana dan ada urusan apa?”
“Kamu tidak perlu tahu. Lagian untuk apa aku menjawab pertanyaan kamu itu. Sudahlah, sekarang aku mau membereskan bajuku yang akan aku bawa. Aku juga mau berpamitan sama keluarga kamu dan ingat hal ini. Jangan biarkan mereka tahu tentang keadaan dalam hubungan kita ini.”
Mendengar hal itu, Salwa bagaikan dihantam oleh batu keras dan membuat hatinya hancur. Saat jam delapan pagi, Zidan benar-benar berpamitan kepada keluarga Salwa. Dia juga menyertakan alasan yang begitu sangat meyakinkan kenapa dia tidak mengajak Salwa.
“Aku tunggu kamu hari Selasa di rumahku. Kalau kamu tidak datang aku tidak akan menjemput kamu dan terserah kamu mau bagaimana juga,” bisik Zidan sambil melirik Salwa.
“Tunggu, Mas. Kamu lihat keluarga aku. Lihat! Mereka begitu menyayangi kamu, sedang aku? Kamu lihat mereka memperlakukan aku seperti apa kan? Masa kamu tega, Mas. Kamu tega melihat aku serba salah. Jujur, kalau bisa kita akhiri saja pernikahan ini. Aku berasa mati kalau harus di perlakukan layaknya boneka sama kalian. Aku diminta untuk jadi anak penurut dan juga istri yang baik, tetapi apa balasannya untuk aku? Rasa sakit? Aku mohon, Mas, kita sudah membicarakan semua ini semalam dan kamu yang bilang di mata dunia kita harus bersikap layaknya suami istri. Maka lakukanlah!”
Mendengar ucapan istrinya itu, Zidan hanya terdiam dan langsung pergi. Saat Salwa melirik ke arah belakang, keluarganya juga sudah kembali ke rutinitasnya masing-masing. ‘Ya Allah, ujian apa ini? Kenapa semua ini menimpa diriku?’ tanyanya dalam hati.
Hari demi hari berlalu. Kini satu Minggu telah Salwa lewati di rumah orang tuanya. “Nak, kenapa kamu belum bersiap? Bukannya Zidan minta kamu datang ke rumah kalian hari ini?” tanya Ibu Aisyah sambil menghampiri Salwa yang sedang menyiram tanaman.
“Apa pantas Bu, jika istri datang dengan sendirinya ke rumah suaminya tanpa di ajak langsung oleh suaminya itu? Aku malu, Bu. Lagian ada juga dia datang menjemput aku ke sini.”
“Nak, kamu adalah istrinya dan kamu dengar sendiri kata Zidan kalau dia tidak bisa jemput kamu karena dia akan capek pulang dari luar kota.”
“Kenapa Ibu inginkan aku kelas pergi? Aku beban keluarga, ya? Baiklah, Bu. Jika Ibu ingin aku pergi, maka aku akan pergi sekarang juga. Kalian menyayangi menantu kalian itu, tetapi lupa kalau anak kalian juga butuh sedikit perhatian dari kalian.”
“Kenapa kamu mengatakan hal itu, Nak? Kami sangat menyayangi kamu dan kami hanya ingin kamu dan suami kamu itu jauh lebih dekat. Apalagi kamu dan Zidan baru satu hari menikah sudah berjauhan begini. Kamu harus ingat tanggung jawab kamu.”
Mendengar hal itu, Salwa tidak mengatakan apa pun lagi dan dia langsung masuk kamar dan bersiap untuk pergi ke rumah Zidan. Saat jam sepuluh, Salwa berpamitan untuk berangkat dan tanpa tanpa ada yang menemaninya, Salwa menempuh perjalanan jauh ke alamat yang asing baginya.
Saat malam tiba, Salwa baru sampai di rumah Zidan dan kondisi rumahnya sangat hening. “Assalamualaikum. Mas!” panggil Salwa sambil mengetuk pintunya.
Ucapan dalam itu sama sekali tidak ada yang menanggapinya. Bahkan hingga beberapa kali ucapan salam dan ketukan pintu itu di lakukan, masih tetap saja tidak ada jawaban.
Badan Salwa rasanya sangat lelah hingga akhirnya dia duduk di kursi di depan terasnya dan tanpa dia sadari kalau dia tertidur lelap hingga menjelang subuh. Dia terbangun karena ada suara pintu yang terbuka.
“Kamu? Dari kapan kamu datang ke sini?” tanya Zidan yang ternyata ada di dalam rumah.
“Tidak usah pura-pura, Mas. Aku tahu kok kalau kamu semalam ada di rumah dan kamu dengar aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tetapi kamu pura-pura tidak mendengarnya. Kenapa, Mas? Kalau semisalnya aku tidak kamu inginkan tinggal di sini, aku akan pergi. Terima kasih atas sambutan yang luar biasa. Oh iya satu hal lagi. Aku baru menemukan orang yang alim di luar dan jago akting baik seperti kamu ini. Aku pamit. Assalamualaikum,” tutur Salwa sambil menarik kopernya.
Saat dia mau pergi, tiba-tiba Zidan memegang kopernya Salwa dengan sangat erat hingga membuat Salwa menoleh dan menghentikan langkahnya.
“Ada apa lagi, Mas?” tanya Salwa dengan tangisan yang tanpa suara.
“Masuk ke rumah. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengusir kamu.”
Mendengar hal itu, Salwa hanya menatap Zidan dengan sangat tajam. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan untuk menanggapi ucapannya itu. “Ayo masuk,” lanjut Zidan sambil masuk kembali.
‘Ya Allah, aku seakan seekor burung yang terlihat nyaman duduk dalam sangkar mewah, padahal aku benar-benar tersiksa,' tutur Salwa sambil masuk dalam rumah itu.
“Itu kamar kamu dan itu kamar aku,” ucap Zidan sambil menunjuk dua kamar yang bersebelahan satu sama lain.
“Jadi maksud kamu kita pisah kamar?” tanya Salwa sambil melirik Zidan.
“Iya, aku tidak mau kalau nanti kamu menggoda aku.”
“Astagfirullah, Mas. Sebenarnya kamu itu berpikir aku wanita seperti apa? Kamu tidak mengenal aku, tetapi kamu berani mengatakan hal buruk tentang aku. Perasaan, aku tidak pernah menyakiti hati kamu dari awal kita bertemu. Kenapa kamu jahat sekali, Mas? Hati-hati Mas, lidah kamu itu terlalu tajam untuk hati seorang wanita.”
Usai mengatakan itu, Salwa langsung menarik kopernya dan masuk dalam kamarnya. Dia langsung mengunci kamarnya dan menangis sejadi-jadinya di balik pintu tersebut. “Bagaimana nantinya, ya? Seperti apa takdir milikku ini? Dari rumah orang tuaku, aku diminta untuk ke sini dan setelah di sini aku diperlakukan seperti sebuah patung yang tidak punya hati,” tuturnya sambil terus menangis.
Setelah dia selesai menangis, dia langsung membersihkan tubuhnya dan langsung keluar kamar. “Ini uang buat kamu. Kamu bebas membeli apa saja yang kamu mau dan kamu tidak perlu bersikap seperti istri aku. Kamu masak makanan hanya untuk kamu saja dan makanan untuk aku biar aku sendiri. Aku juga akan cuci piring dan bajuku sendiri. Kamu hanya perlu membereskan rumah ini dan jangan ikut campur untuk keperluan diriku,” ujar Zidan sambil memberikan uang beberapa uang seratus ribuan.
“Mas simpan saja uang itu. Aku punya uang kok.”
“Aku bilang ambil. Aku tidak mau disebut sebagai suami yang tidak memberikan istrinya makan.”
“Mas, pernikahan itu bukan hanya tentang memberikan istri makan, tetapi tolong hargai aku. Semalaman aku tidur di luar. Kamu anggap aku itu apa? Sakit tahu, Mas. Sakit ... banget. Kamu tidur dengan nyaman di kamar kamu, sedangkan aku di luar hanya bersiluet angin malam. Sebaiknya kamu simpan saja uang itu. Aku tidak butuh dan apa yang kamu katakan barusan aku akan ikuti. Kita akan melakukan semuanya masing-masing,” ujar Salwa yang langsung pergi ke dapur.
Saat Salwa sedang menyapu di dapur, terdengar suara mobil yang meninggalkan halaman rumahnya.
Saat Salwa melihat mobil tersebut, ternyata itu mobil Zidan dan tidak tahu dia mau pergi ke mana. “Baru satu hari aku di sini, rasanya sudah satu tahun. Ini bukan pernikahan, ini hanya sebuah ikatan yang terlihat indah di luar namun, memberikan luka di dalam,” tutur Salwa sambil menghapus air matanya.Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore.“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu.“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau
“Kamu itu apa-apaan, sih? Kenapa kamu banting pas bunga itu?” tanya Zidan sambil menatap ke arah Salwa yang sudah duduk di lantai. “Tolong aku ..., aku sesak napas dan tolong belikan aku obat. Aku tidak kuat,” ujar Salwa sambil meremas bagian dadanya yang terasa sangat sakit. Seketika Zidan menghampiri Salwa dan menggendongnya ke kamar. Dia menyandarkan Salwa dan memberikan air hangat. Setelah itu Zidan dengan raut wajahnya yang cemas langsung berangkat membelikan obat sesak napas yang biasa Salwa gunakan dan untung saja apotek tidak jauh jaraknya dari situ dan akhirnya Salwa bisa mendapatkan obat itu dengan cepat. Setelah makan obat tersebut akhirnya Salwa mendapatkan kembali napasnya yang barusan terasa hilang. “Terima kasih, Mas. Satu hal lagi, kalau orang panggil itu setidaknya kamu jawab. Kalau tadi aku tidak membanting pas bunga itu, mungkin aku sudah tiada karena kehabisan oksigen, tetapi tidak apa-apa aku sangat berterima kasih untuk
Setelah itu Salwa mencoba menenangkan dirinya di dapur. Harinya benar-benar terluka dengan sikap suaminya yang tidak simpati padanya. Saat dia sudah mulai tenang, Salwa bergegas masak dan beres-beres rumah dan tepat setelah dia selesai beres-beres, Zidan datang sambil membawa kantong keresek hitam. “Tolong siapkan makanan ini untuk aku sarapan,” pinta Zidan pada Salwa yang sedang berdiri di depan teras usai menyapu. “Aku sudah masak, Mas. Kenapa kamu malah membeli makanan dari luar?” tanyanya sambil menatap Zidan. “Kamu makan saja masakan kamu karena aku mau makan makanan yang aku beli itu. Sekarang tolong siapkan, ya. Aku mau mandi dulu.” Mendengar hal itu Salwa terlihat pasrah. Dia tidak bisa memaksa suaminya untuk makan makanan yang dia buat. ‘Jika tahu dia tidak mau makan masakan aku, aku tidak akan memasak sebanyak itu,' tutur Salwa sambil masuk. Setelah itu Salwa
Saat malam tiba Zidan terus menatap pintu Salwa yang masih tertutup. “Dia itu kenapa, sih? Kenapa jadi cuek begitu? Harusnya aku yang dingin sama dia. Kenapa sekarang malah dia juga dingin sama aku? Apa sebenarnya yang ada dalam kepala wanita itu?” ujar Zidan terlihat sangat kesal.Setelah itu Zidan langsung beranjak mendekati pintu kamarnya Salwa dan saat mau mengetuk pintunya, tiba-tiba pintunya terbuka dan terlihat Salwa yang masih memakai mukena keluar sambil menutup pintunya kembali.“Mau apa, Mas? Kenapa kamu berdiri depan kamar aku? Butuh sesuatu?” tanya Salwa sambil melewati Zidan.Seketika Zidan memegang tangan Salwa hingga membuat jantung Salwa berdetak kencang. “Kamu itu kenapa? Kenapa cuek sama aku?” tanyanya sambil memegang kedua pangkal tangan Salwa.Seketika mata Salwa melirik tangan suaminya yang menyentuh tangannya itu. Melihat tatapan itu membuat Zidan langsung menurunkan tangannya da
“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun.“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.&rdqu
Di sisi lain, di rumah mewah dan megah di daerah Jawa Timur ada seorang laki-laki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan dialah yang akan di jodohkan dengan Salwa. “Abi mau bicara sama kamu dan temui Abi di ruangan kerja Abi,” ucap ayahnya Zidan saat pertama kali melihat Zidan yang baru datang.“Sekarang akan ada apa lagi, ya? Kenapa Abi terlihat sangat serius?” tanya Zidan sambil menuju ruangan ayahnya.“Ada apa, Abi?” tanya Zidan yang langsung menyelonong masuk.“Usia kamu sekarang sudah dua puluh lima tahun. Itu artinya kamu siap untuk menikah,” ujar ayahnya sambil berdiri di hadapannya.“Maksud Abi apa?” tanya Zidan sambil menatap ayahnya dengan sangat tajam“Abi sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan seorang wanita pilihan Abi. Dia tinggal di Jakarta saat ini dan Abi yakin kalian akan menjadi pasangan yang cocok banget.”
Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara.“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti ju