“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun.
“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.
“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”
“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”
“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.”
“Lalu maksud Abi, aku yang harus langsung mau menerima perjodohan ini? Enggak! Aku tidak mau menerimanya. Aku tidak mengenal dia, bahkan aku tidak tahu namanya siapa.”
“Dia Zidan. Dia adalah laki-laki tampan yang bekerja di sebuah perusahaan besar dan juga pengelola pesantren. Abi yakin nanti jika kalian sudah bertemu, pasti kamu akan jatuh cinta padanya.”
“Aku tetap tidak mau, Abi. Aku belum siap untuk menikah saat ini. Aku masih mau melanjutkan kuliah aku dan aku juga masih ingin meraih mimpi aku. Aku tidak mau semua itu berakhir hanya karena aku memutuskan untuk menikah muda.”
“Abi tidak minta kamu untuk berhenti kuliah dan menghancurkan mimpi kamu. Abi hanya meminta kamu menikah dulu. Lagian kamu masih bisa kuliah setelah kamu menikah dan nanti kamu juga bisa gapai mimpi kamu.”
“Tidak semudah itu, Abi. Aku itu tidak mungkin bisa membagi waktu aku untuk kuliah dan juga menjadi ibu rumah tangga. Aku akan kewalahan dan aku takut kalau nanti yang menjadi suami aku tidak mengizinkan aku untuk kuliah. Bagaimana kalau seperti itu?”
“Kamu pokoknya harus tetap menikah dengannya. Abi tidak mau mendengar alasan kamu supaya bisa menolak pernikahan ini. Kalau tidak mau menikah dengan dia, maka sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan kamu lupakan Abi dan keluarga ini. Abi tidak butuh anak yang suka membangkang seperti kamu ini!”
Seketika air mata Salwa mengalir deras. Ancaman yang diberikan oleh ayahnya itu benar-benar membuat hatinya hancur. “Kenapa Abi tega mengusir aku hanya karena Abi mau aku menikah dengan anak teman Abi itu?” tanyanya sambil menatap ayahnya yang masih terlihat kesal.
“Abi mah kamu dapat yang terbaik dan menurut Abi dia itu anak yang pantas menjadi menantu Abi dan sebagai suami kamu. Abi mohon sama kamu untuk menerima perjodohan ini.”
Seketika Salwa terdiam sambil menundukkan kepalanya. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Pikirannya kini telah kacau dan hatinya juga telah hancur.
“Abi tidak punya banyak waktu untuk mendengar penolakan kamu itu. Abi mau kamu jadi anak yang baik dan menurut pada permintaan Abi ini. Abi tidak akan mungkin membiarkan kamu jatuh pada orang yang salah. Abi yakin kamu akan bahagia jika menerima perjodohan ini.”
“Aku tetap tidak mau, aku tidak mau!” tolak Salwa sambil beranjak pergi dari ruang keluarga itu menuju ke dalam kamarnya.
“Salwa, dengarkan Abi dulu. Kalau dalam waktu dua puluh empat jam kamu tidak menerima perjodohan ini, Abi akan meminta kamu untuk pergi dari rumah ini. Dengarkan itu!” teriak pak Ahmad dari lantai pertama itu.
Tangan Salwa langsung menutup telinganya dan duduk di balik pintu kamarnya yang dia kunci rapat-rapat. Baru pertama kalinya ayahnya bersikap seperti itu padanya dan itu membuatnya sangat hancur. Salwa tidak melihat cahaya lagi untuk masa depannya setelah dia tahu kalah ayahnya menjodohkan dia dengan laki-laki yang bahkan dia tidak kenal sama sekali.
“Apa ini, Ya Allah? Kenapa Engkau memberikan aku mimpi yang sangat tinggi untuk masa depanku, tapi Engkau sendiri yang membuat aku jatuh hingga semangat aku hancur seperti ini. Kenapa semua ini harus aku yang mengalaminya? Kenapa? Kenapa harus aku?” cerca Salwa sambil melempar semua benda yang ada dalam kamarnya.
Usai pembicaraan dengan ayahnya mengenai perjodohan itu, Salwa sama sekali tidak menampakkan wajahnya di depan ayahnya ataupun keluarganya. Hampir satu hari satu malam dia mengurung diri seorang diri dalam kamarnya. Pada saat itu pikirannya tidak karuan. Dia tidak bisa berpikir yang baik-baik mengenai perjodohan itu. Dia hanya membayangkan jika nanti dia menikah maka dia akan hidup selamanya dalam rasa tertekan, dalam rasa terpaksa, dan akan terasa terkurung seperti seekor burung dalam sebuah sangkar.
“Nak, buka pintunya, sayang. Ini Umi.” Ucapan itu terdengar sangat jelas menggema di depan kamarnya dan disertai dengan pintu yang terus diketuk namun, Salwa tidak menjawab apalagi membuka pintunya.
“Salwa, dengarkan ini. Kalau kamu masih bersikap seperti anak kecil seperti ini, Abi tidak akan segan-segan untuk mengusir kamu dari rumah ini. Kamu itu hanya diminta untuk menikah saja, bukan untuk kerja keras. Lagian sekarang ataupun nanti, kamu akan tetap menikah dan itu tidak akan ada bedanya,” ucap pak Ahmad yang ternyata juga ada bersama dengan istrinya itu.
“Abi bisa saja bicara seperti itu, tapi yang menjalani rumah tangga itu aku. Aku yang akan merasakan bagaimana menikah dengan orang yang tidak aku cintai, bahkan tidak aku kenal sama sekali. Menikah itu satu kali seumur hidup dan menikah itu adalah ibadah paling panjang. Bukankah itu yang Abi ajarkan padaku tentang pernikahan?” sahut Salwa dengan diiringi tangis yang tersedu-sedu.
“Nak, dengarkan kami. Kami itu hanya ingin memberikan kamu yang paling baik dan menurut kami, Zidan itu anak yang paling baik dan dia pantas untuk menjadi suami kamu,” sahut ibunya dengan nada yang begitu lirih.
“Aku mohon jangan paksa aku, Umi. Aku tidak mau menikah saat ini. Aku akan menikah kalau aku sudah menyelesaikan kuliah. Aku mau mencari jalan dulu untuk meraih mimpi aku dulu. Aku mohon!” pinta Salwa sambil terus menangis.
“Kalau kamu bersikukuh tidak mau menikah dengan laki-laki pilihan Abi, maka kamu bisa membereskan pakaian kamu malam ini dan besok pagi kamu bisa angkat kaki dari rumah ini,” ujar ayahnya dengan nada yang sangat kesal.
Setelah mengatakan itu orang tuanya langsung pergi dan seolah mereka tidak menghiraukan bagaimana perasaan anaknya saat itu. “Apa aku harus nekat pergi dari sini? Kalau aku pergi dari sini, aku harus pergi ke mana?” Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Salwa hingga dia merasa kalau kepalanya mau pecah saat itu juga.
Di sisi lain, di rumah mewah dan megah di daerah Jawa Timur ada seorang laki-laki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan dialah yang akan di jodohkan dengan Salwa. “Abi mau bicara sama kamu dan temui Abi di ruangan kerja Abi,” ucap ayahnya Zidan saat pertama kali melihat Zidan yang baru datang.“Sekarang akan ada apa lagi, ya? Kenapa Abi terlihat sangat serius?” tanya Zidan sambil menuju ruangan ayahnya.“Ada apa, Abi?” tanya Zidan yang langsung menyelonong masuk.“Usia kamu sekarang sudah dua puluh lima tahun. Itu artinya kamu siap untuk menikah,” ujar ayahnya sambil berdiri di hadapannya.“Maksud Abi apa?” tanya Zidan sambil menatap ayahnya dengan sangat tajam“Abi sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan seorang wanita pilihan Abi. Dia tinggal di Jakarta saat ini dan Abi yakin kalian akan menjadi pasangan yang cocok banget.”
Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara.“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti ju
Setelah selesai salat Tahajud, Salwa langsung pergi ke luar kamarnya untuk mengambil minum dan saat dia masuk kembali, ternyata Zidan sedang salat.‘Rasanya sangat aneh, aku sudah menikah, tetapi salat saja kami terpisah. Kapan dua sujud ini berada dalam satu waktu? Kapan doa dia akan aku aminkan?’ tutur Salwa dalam hatinya.Saat terdengar suara azan Subuh, Zidan tanpa mengatakan apa pun pada Salwa langsung mengambil kain sarung dan sajadah lalu pergi begitu saja. “Apakah dia tidak melihat aku yang duduk di sini? Seenaknya banget dia pergi tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Salwa sambil beranjak wudu.Saat jam lima pagi, terdengar suara pintu kamar terbuka dan Salwa yang sedang mengaji langsung berhenti dan menatap orang yang masuk dalam kamarnya itu. “Aku akan duluan pulang kalau kamu mau tinggal di rumahku, datang saja satu minggu lagi,” ucap Zidan sambil mengeluarkan kopernya.“Tunggu, Mas
Saat Salwa melihat mobil tersebut, ternyata itu mobil Zidan dan tidak tahu dia mau pergi ke mana. “Baru satu hari aku di sini, rasanya sudah satu tahun. Ini bukan pernikahan, ini hanya sebuah ikatan yang terlihat indah di luar namun, memberikan luka di dalam,” tutur Salwa sambil menghapus air matanya.Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore.“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu.“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau
“Kamu itu apa-apaan, sih? Kenapa kamu banting pas bunga itu?” tanya Zidan sambil menatap ke arah Salwa yang sudah duduk di lantai. “Tolong aku ..., aku sesak napas dan tolong belikan aku obat. Aku tidak kuat,” ujar Salwa sambil meremas bagian dadanya yang terasa sangat sakit. Seketika Zidan menghampiri Salwa dan menggendongnya ke kamar. Dia menyandarkan Salwa dan memberikan air hangat. Setelah itu Zidan dengan raut wajahnya yang cemas langsung berangkat membelikan obat sesak napas yang biasa Salwa gunakan dan untung saja apotek tidak jauh jaraknya dari situ dan akhirnya Salwa bisa mendapatkan obat itu dengan cepat. Setelah makan obat tersebut akhirnya Salwa mendapatkan kembali napasnya yang barusan terasa hilang. “Terima kasih, Mas. Satu hal lagi, kalau orang panggil itu setidaknya kamu jawab. Kalau tadi aku tidak membanting pas bunga itu, mungkin aku sudah tiada karena kehabisan oksigen, tetapi tidak apa-apa aku sangat berterima kasih untuk
Setelah itu Salwa mencoba menenangkan dirinya di dapur. Harinya benar-benar terluka dengan sikap suaminya yang tidak simpati padanya. Saat dia sudah mulai tenang, Salwa bergegas masak dan beres-beres rumah dan tepat setelah dia selesai beres-beres, Zidan datang sambil membawa kantong keresek hitam. “Tolong siapkan makanan ini untuk aku sarapan,” pinta Zidan pada Salwa yang sedang berdiri di depan teras usai menyapu. “Aku sudah masak, Mas. Kenapa kamu malah membeli makanan dari luar?” tanyanya sambil menatap Zidan. “Kamu makan saja masakan kamu karena aku mau makan makanan yang aku beli itu. Sekarang tolong siapkan, ya. Aku mau mandi dulu.” Mendengar hal itu Salwa terlihat pasrah. Dia tidak bisa memaksa suaminya untuk makan makanan yang dia buat. ‘Jika tahu dia tidak mau makan masakan aku, aku tidak akan memasak sebanyak itu,' tutur Salwa sambil masuk. Setelah itu Salwa
Saat malam tiba Zidan terus menatap pintu Salwa yang masih tertutup. “Dia itu kenapa, sih? Kenapa jadi cuek begitu? Harusnya aku yang dingin sama dia. Kenapa sekarang malah dia juga dingin sama aku? Apa sebenarnya yang ada dalam kepala wanita itu?” ujar Zidan terlihat sangat kesal.Setelah itu Zidan langsung beranjak mendekati pintu kamarnya Salwa dan saat mau mengetuk pintunya, tiba-tiba pintunya terbuka dan terlihat Salwa yang masih memakai mukena keluar sambil menutup pintunya kembali.“Mau apa, Mas? Kenapa kamu berdiri depan kamar aku? Butuh sesuatu?” tanya Salwa sambil melewati Zidan.Seketika Zidan memegang tangan Salwa hingga membuat jantung Salwa berdetak kencang. “Kamu itu kenapa? Kenapa cuek sama aku?” tanyanya sambil memegang kedua pangkal tangan Salwa.Seketika mata Salwa melirik tangan suaminya yang menyentuh tangannya itu. Melihat tatapan itu membuat Zidan langsung menurunkan tangannya da