“Sekarang akan ada apa lagi, ya? Kenapa Abi terlihat sangat serius?” tanya Zidan sambil menuju ruangan ayahnya.
“Ada apa, Abi?” tanya Zidan yang langsung menyelonong masuk.
“Usia kamu sekarang sudah dua puluh lima tahun. Itu artinya kamu siap untuk menikah,” ujar ayahnya sambil berdiri di hadapannya.
“Maksud Abi apa?” tanya Zidan sambil menatap ayahnya dengan sangat tajam
“Abi sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan seorang wanita pilihan Abi. Dia tinggal di Jakarta saat ini dan Abi yakin kalian akan menjadi pasangan yang cocok banget.”
“Abi jodohkan aku dengan orang yang bahkan tidak aku tahu siapa dia, nama dia, ataupun asal-usulnya. Aku tidak mau.”
“Dengarkan Abi baik-baik. Mau tidak mau, duka tidak suka, dan kenal tidak kenal, kamu harus menikah dengannya. Abi tidak butuh persetujuan kamu sama sekali. Lebih baik kamu siap-siap saja buat datang melamarnya.”
“Tidak busa begitu dong, Abi. Aku ini punya pemilihan tersendiri. Aku tidak mau kalau harus di jodohkan seperti ini. Abi tidak bisa memaksa aku. Aku pokoknya tidak mau!”
“Kalau kamu tidak mau, itu artinya kamu siap untuk kehilangan fasilitas yang kamu miliki saat ini. Kamu akan kehilangan jabatan ataupun barang-barang dan uang kamu semuanya karena semua itu milik Abi.”
“Siapa wanita yang mau di jodohkan dengan aku itu sehingga dia dapat buat Abi memaksa aku bahkan sampai mengancam aku seperti ini?”
“Dia adalah anak teman baik Abi. Abi sudah sangat dekat dengan ayahnya dan dia itu sangat baik. Abi yakin kalau anaknya juga anak yang baik dan pastinya dia akan sangat cocok jika bersanding bersama kamu. Intinya Minggu besok kita akan pergi melamar dia dan Abi tidak mau tahu, kamu harus mau menikahi dia.”
“Aku jelas tidak mau. Aku tidak mau menikah dengan wanita yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Lagian Abi ini aneh-aneh saja, masa tiba-tiba meminta aku menikahi anak orang yang bahkan aku tahu sendiri kalau dia itu baru Abi kenal.”
“Sekali lagi kamu membantah atau bahkan menolak keinginan Abi, maka silakan angkat kaki dari rumah ini dan anggap saja kamu sudah tidak punya keluarga.”
Seketika tatapan Zidan terangkat dan menatap lurus ayahnya itu. Tubuhnya mematung seakan dia tidak percaya dengan yang dia dengar barusan. “Abi meminta aku pergi dari rumah ini hanya karena aku tidak mau menikah dengan anak teman Abi itu? Apa hebatnya dia sehingga bisa membuat Abi melepaskan ikatan keluarga dengan anak Abi sendiri?”
“Ini adalah keputusan Abi. Abi mau yang terbaik buat kamu. Kamu adalah anak Abi satu-satunya dan Abi mau kamu dapatkan yang terbaik. Sekarang sebaiknya kamu pikirkan keputusan kamu itu. Menikah dengan wanita pilihan Abi atau kamu boleh menikah dengan wanita yang lain, tapi keluar dari rumah ini!”
Mendengar hal itu, Zidan berada dalam dilema. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dia pilih. Dia tidak mungkin menolak untuk di jodohkan dengan wanita pilihan ayahnya itu karena dia tidak mau kehilangan keluarga dan juga fasilitas kemewahannya, sedangkan kalau dia menerimanya, itu artinya dia harus siap untuk hidup seumur hidupnya dengan orang yang bahkan baru dia kenal dan tidak dia cintai.
Setelah perdebatan itu, Zidan memutuskan untuk memikirkan semuanya itu dalam kamarnya. Pikiran Zidan yang sangat kacau itu membuat dia tidak fokus untuk memikirkan pekerjaannya hingga di dalam kamarnya juga kerajaannya hanya mondar-mandir saja.
“Aku yakin kalau ayah dari wanita itu telah meracuni pikiran Abi. Mana mungkin dia bisa mengancam aku seperti tadi kalau ayahnya wanita itu tidak membujuk dengan rayuan yang aneh-aneh. Sekarang aku harus memutuskan semuanya hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Lalu keputusan yang mana yang mesti aku ambil!” gerutu Zidan sambil melempar bantalnya.
Satu hari satu malam itu adalah waktu yang membuat dua insan yang tidak pernah saling bertemu berada dalam dilema yang besar. Dalam satu sisi mereka tidak mau kalau harus pergi dari rumah mereka dan memutuskan ikatan darah dengan keluarganya, tapi di satu sisi mereka juga tidak mau menerima perjodohan yang dadakan itu. Hingga akhirnya setelah perdebatan panjang dengan pikiran mereka masing-masing, Zidan dan Salwa mengambil keputusan untuk menerima perjodohan itu yang mereka sampaikan pada keluarga mereka masing-masing.
Mendengar hal itu, ayah mereka begitu sangat gembira dan akhirnya keluarga Salwa memberikan kabar atas penerimaan lamaran itu pada keluarga Zidan. Satu minggu berlalu setelah mereka berdua dengan terpaksa menerima perjodohan itu dan akhirnya sampailah pada saat takdir mempertemukan mereka berdua.“Mari masuk Pak Ilyas dan keluarga,” ajak pak Ahmad beserta keluarganya yang menyambut kedatangan keluarga pak Ilyas di depan rumahnya.
“Umi, tolong panggilkan Salwa,” lanjut pak Ahmad sambil menatap istrinya.
Setelah itu, ibu Aisyah memanggil Salwa. ‘Apakah ini pria yang akan jadi suamiku nantinya?’ tanya Salwa setelah dia menyapa pak Ilyas dan keluarganya.
‘Jadi ini gadis yang akan Abi jodohkan dengan aku?’ tanya hati Zidan sambil menatap Salwa yang memakai baju gamis berwarna biru.
“Nak, kenalkan ini adalah Zidan. Dia putra tunggal dari Pak Ilyas dan Ibu Maryam,” tutur pak Ahmad sambil menatap ke arah putrinya.
“Salam kenal, Mas,” ucap Salwa mensetting raut wajahnya menjadi ramah.
Mendengar hal itu, Zidan hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.
“Jadi ini yang namanya Salwa? Persis seperti namanya, dia sangat cantik,” ujar ibunya Zidan sambil tersenyum.
“Jadi, bagaimana jika pernikahan mereka kita lakukan sebelum bulan Ramadan saja?” tanya pak Ilyas sambil menatap semua orang.
“Apa, Abi bilang? Sebelum bulan Ramadan? Itu artinya bulan ini atau bulan besok?” sahut Zidan memotong pembicaraan.
“Iya, Nak. Kenapa? Kamu keberatan?” tanya ayahnya dengan sedikit penekanan pada ucapannya.
Mendengar hal itu, Zidan hanya menggeleng dan mengalihkan pandangan.
“Kalau kami setuju-setuju saja, Pak. Terserah mau bulan kapan pun kami setuju,” ucap pak Ahmad sambil tersenyum.
Mendengar hal itu, Salwa dan ibunya hanya terdiam. Mau bagaimana juga dia menolak, dia pasti malah akan mendapatkan masalah baru nantinya. ‘Aku serahkan semuanya pada-Mu, Ya Allah. Jika ini yang terbaik, aku ikhlas, tetapi jika bukan, maka aku yakin Engkau tahu caranya untuk menggagalkan semuanya,' tutur Salwa dalam hatinya.
Setelah itu mereka berdiskusi untuk masalah tanggal yang akan mereka jadikan sebagai tanggal untuk mempersatukan dua insan yang tidak saling mengenal itu. Hingga pada akhirnya disetujui kalau dua Minggu setelah pertemuan itu mereka akan menikah.
“Abi jangan bercanda, dalam waktu dua Minggu aku harus menikah dengan gadis yang bahkan aku gak tahu sikap dan sifat aslinya itu. Jangan mau beli kucing dalam karu, Abi,” bisik Zidan sambil menolehkan kepalanya menghadap belakang kepala ayahnya.
“Kamu nurut saja apa susahnya, sih? Lagian kamu tidak lihat anak itu sangat ramah dan juga sangat cantik. Kamu mau cari yang bagaimana lagi?” tutur pak Ilyas sambil melirik Zidan dengan tajam.
Mendengar hal itu, Zidan kembali bungkam dengan tatapannya yang kini beralih ke Salwa yang hanya terdiam sambil tersenyum ramah. ‘Aku merasa tidak yakin akan sifat aslinya dia itu. Apakah sifat yang saat ini dia tunjukan itu adalah memang sifat aslinya?’ tanya Zidan dalam hatinya.
Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara.“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti ju
Setelah selesai salat Tahajud, Salwa langsung pergi ke luar kamarnya untuk mengambil minum dan saat dia masuk kembali, ternyata Zidan sedang salat.‘Rasanya sangat aneh, aku sudah menikah, tetapi salat saja kami terpisah. Kapan dua sujud ini berada dalam satu waktu? Kapan doa dia akan aku aminkan?’ tutur Salwa dalam hatinya.Saat terdengar suara azan Subuh, Zidan tanpa mengatakan apa pun pada Salwa langsung mengambil kain sarung dan sajadah lalu pergi begitu saja. “Apakah dia tidak melihat aku yang duduk di sini? Seenaknya banget dia pergi tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Salwa sambil beranjak wudu.Saat jam lima pagi, terdengar suara pintu kamar terbuka dan Salwa yang sedang mengaji langsung berhenti dan menatap orang yang masuk dalam kamarnya itu. “Aku akan duluan pulang kalau kamu mau tinggal di rumahku, datang saja satu minggu lagi,” ucap Zidan sambil mengeluarkan kopernya.“Tunggu, Mas
Saat Salwa melihat mobil tersebut, ternyata itu mobil Zidan dan tidak tahu dia mau pergi ke mana. “Baru satu hari aku di sini, rasanya sudah satu tahun. Ini bukan pernikahan, ini hanya sebuah ikatan yang terlihat indah di luar namun, memberikan luka di dalam,” tutur Salwa sambil menghapus air matanya.Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore.“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu.“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau
“Kamu itu apa-apaan, sih? Kenapa kamu banting pas bunga itu?” tanya Zidan sambil menatap ke arah Salwa yang sudah duduk di lantai. “Tolong aku ..., aku sesak napas dan tolong belikan aku obat. Aku tidak kuat,” ujar Salwa sambil meremas bagian dadanya yang terasa sangat sakit. Seketika Zidan menghampiri Salwa dan menggendongnya ke kamar. Dia menyandarkan Salwa dan memberikan air hangat. Setelah itu Zidan dengan raut wajahnya yang cemas langsung berangkat membelikan obat sesak napas yang biasa Salwa gunakan dan untung saja apotek tidak jauh jaraknya dari situ dan akhirnya Salwa bisa mendapatkan obat itu dengan cepat. Setelah makan obat tersebut akhirnya Salwa mendapatkan kembali napasnya yang barusan terasa hilang. “Terima kasih, Mas. Satu hal lagi, kalau orang panggil itu setidaknya kamu jawab. Kalau tadi aku tidak membanting pas bunga itu, mungkin aku sudah tiada karena kehabisan oksigen, tetapi tidak apa-apa aku sangat berterima kasih untuk
Setelah itu Salwa mencoba menenangkan dirinya di dapur. Harinya benar-benar terluka dengan sikap suaminya yang tidak simpati padanya. Saat dia sudah mulai tenang, Salwa bergegas masak dan beres-beres rumah dan tepat setelah dia selesai beres-beres, Zidan datang sambil membawa kantong keresek hitam. “Tolong siapkan makanan ini untuk aku sarapan,” pinta Zidan pada Salwa yang sedang berdiri di depan teras usai menyapu. “Aku sudah masak, Mas. Kenapa kamu malah membeli makanan dari luar?” tanyanya sambil menatap Zidan. “Kamu makan saja masakan kamu karena aku mau makan makanan yang aku beli itu. Sekarang tolong siapkan, ya. Aku mau mandi dulu.” Mendengar hal itu Salwa terlihat pasrah. Dia tidak bisa memaksa suaminya untuk makan makanan yang dia buat. ‘Jika tahu dia tidak mau makan masakan aku, aku tidak akan memasak sebanyak itu,' tutur Salwa sambil masuk. Setelah itu Salwa
Saat malam tiba Zidan terus menatap pintu Salwa yang masih tertutup. “Dia itu kenapa, sih? Kenapa jadi cuek begitu? Harusnya aku yang dingin sama dia. Kenapa sekarang malah dia juga dingin sama aku? Apa sebenarnya yang ada dalam kepala wanita itu?” ujar Zidan terlihat sangat kesal.Setelah itu Zidan langsung beranjak mendekati pintu kamarnya Salwa dan saat mau mengetuk pintunya, tiba-tiba pintunya terbuka dan terlihat Salwa yang masih memakai mukena keluar sambil menutup pintunya kembali.“Mau apa, Mas? Kenapa kamu berdiri depan kamar aku? Butuh sesuatu?” tanya Salwa sambil melewati Zidan.Seketika Zidan memegang tangan Salwa hingga membuat jantung Salwa berdetak kencang. “Kamu itu kenapa? Kenapa cuek sama aku?” tanyanya sambil memegang kedua pangkal tangan Salwa.Seketika mata Salwa melirik tangan suaminya yang menyentuh tangannya itu. Melihat tatapan itu membuat Zidan langsung menurunkan tangannya da
“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun.“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.&rdqu