Satu hari itu Salwa hanya membereskan rumah dan mempersiapkan makanan untuknya. Saat dia sedang duduk sambil membaca buku, terdengar ada mobil yang berhenti di depan rumahnya dan itu ternyata Zidan pulang. Mata Salwa langsung menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan jam empat sore.
“Kamu dari mana saja, Mas?” tanya Salwa setelah menjawab salam dari suaminya itu.
“Aku sudah bilang jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Aku mau ke mana dan sama siapa atau apa pun itu, kamu tidak berhak mempertanyakan semuanya. “Aku serba salah di mata kamu. Sebaiknya begini saja, kamu bilang sama orang tua kita kalau kita tidak bisa melanjutkan rumah tangga ini. Aku bisa mati berdiri kalau harus terus di siksa dengan sifat kamu itu. Raga ini mungkin tidak terluka, tetapi hati ini punya banyak luka bahkan dalam waktu yang singkat.”
“Aku sudah bilang kalau aku tidak akan mau berpisah sama kamu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau bukan karena istriku mati, aku tidak akan pernah menikah lagi sampai kapan pun.”
Mendengar hal itu, Salwa hanya menatap suaminya sambil menangis. Setelah itu dia langsung masuk kamar dan mengunci dirinya sendiri. Saat menjelang malam, Salwa keluar dan kini Salwa tidak menangis lagi. Dia seolah sudah membatu hatinya hingga kini dia tidak peduli lagi dengan Zidan dan sifatnya.
“Besok kamu ikut aku untuk bertemu dengan orang tuaku. Kita belum ke rumah mereka, kan,” ajak Zidan sambil menatap Salwa yang sedang mengambil minum dari kulkas.
“Baiklah,” jawab Salwa dengan sangat singkat dan langsung masuk kamarnya kembali.
Malam itu berlalu tanpa ada komunikasi lagi di antara mereka berdua. Raut wajah Salwa juga kini seolah dingin dan tidak mau banyak bicara dengan suaminya itu dan begitu juga sebaliknya. Keesokan harinya saat jam delapan pagi, Salwa dan Zidan telah siap untuk pergi menuju rumah orang tuanya Zidan.
“Nanti saat di rumah orang tua aku, kamu harus bersikap selayaknya istriku yang baik dan jangan bilang apa pun tentang masalah rumah tangga kita,” ucap Zidan sambil melirik Salwa yang telah duduk di sampingnya di dalam mobil.
“Baik,” sahut Salwa dengan datar.
Saat sampai di depan rumah orang Zidan, mereka langsung turun dan tiba-tiba Zidan menggenggam tangan Salwa. “Tidak perlu kamu pegang tangan aku ini. Kita mau masuk rumah bukan mau menyeberang,” ucap Salwa sambil menepis tangan suaminya itu.
“Aku sudah peringatkan kamu untuk tidak bertingkah saat di depan orang lain. Kalau mau marah atau mau meluapkan rasa kesal kamu dan aku, nanti saja di rumah.”
Mendengar hal itu, Salwa hanya memalingkan wajahnya dan langsung menghampiri mertuanya. Dari situ pembicaraan mulai mereka lakukan dan beberapa pertanyaan serta jawaban saling mereka berikan hingga terasa tidak ada yang curiga dengan keadaan rumah tangga mereka.
“Kalian mau bukan madu kapan?” tanya ibunya Zidan di tengah-tengah pembicaraan.
“Bulan madu, Umi? Kami tidak bulan madu karena di rumah saja kami berdua, kan. Lalu untuk apa pergi ke luar kota ataupun luar negeri,” jawab Salwa sambil tersenyum.
“Beda, Nak. Kalau kalian bulan madu kan kalian bisa jauh lebih romantis dan lebih dekat lagi.”
“Sepertinya nanti saja, Umi. Lagian Salwa ini masih capek karena kemarin baru sampai dari Jakarta.”
“Kamu sampai jam berapa, Nak?” tanya ayahnya Zidan sambil menatapnya.
“Kemarin kira-kira aku sampai jam satu atau dua dini hari. Makannya tubuh Salwa terasa remuk mungkin karena angin malam,” tutur Salwa sambil tersenyum.
“Kamu sudah minum obat atau Umi saja yang belikan obat buat kamu ya,” ujar mertua perempuannya itu sambil memegang tangan Salwa.
“Tidak perlu, Umi. Ini hanya masuk angin biasa sepertinya. Salwa hanya perlu istirahat saja.”
“Kamu kenapa tidak jemput istri kamu?” tanya pak Ilyas sambil menatap anaknya itu.
“Aku kemarin mau jemput dia kok, Abi, tetapi Salwa yang melarang aku. Katanya jangan menjemputnya karena dia mau datang sendiri.”
Mendengar jawaban dari suaminya itu membuat Salwa kaget hingga melirik Zidan yang duduk di sampingnya. ‘Kamu berbohong, Mas. Kamu bahkan berani membohongi orang tua kamu sendiri. Aku tidak sangka kalau kamu punya sifat seperti ini,' tutur Salwa dalam hatinya.
Saat menjelang sore, mereka pamit pulang karena Zidan ada ceramah saat malam nanti. Sesampainya mereka di rumah, Salwa langsung masuk kamar karena tubuhnya yang terasa mengigil, tetapi saat dia memegang tubuhnya itu panas. “Sepertinya aku masuk angin deh. Tubuh aku terasa sakit semua dan suhu badan aku juga rasanya meningkat,” tutur Salwa sambil membuka kerudungnya.
Saat dia mau berbaring, terdengar Zidan memanggil namanya dan seketika Salwa langsung keluar kamar dan lupa untuk memakai kerudungnya. “Kamu itu apa-apaan? Kenapa tidak pakai kerudung kamu?” tanya Zidan yang langsung balik badan saat melihat Salwa yang tidak pakai kerudung.
“Aku lupa. Sudahlah, lagian kamu itu suami aku. Kamu mau bicara apa?” ujar Salwa sambil menahan rasa sakit tubuhnya.
“Ambil dan pakai dulu kerudung kamu. Aku tunggu di ruang tamu,” pinta Zidan yang langsung pergi. Setelah itu Salwa memakai kerudungnya dan langsung menemui Zidan.
“Malam nanti ada pengajian di pesantren dan aku minta kamu bersiap dan ikut bersama aku. Aku mau kamu datang memperkenalkan diri sebagai istriku,” ujar Zidan sambil menatap Salwa yang telah duduk di hadapannya.
“Aku tidak bisa ikut, Mas. Aku kurang enak badan dan aku merasa sakit kepala dan agak pusing. Lain kali saja, ya.”
“Tadi kamu kan baik-baik saja. Kenapa sekarang mengeluh kalau kamu sedang sakit? Kamu berbohong? Pokoknya aku tidak mau tahu, kamu harus ikut nanti malam. Nanti itu akan banyak orang penting dan aku mau memperkenalkan kamu.”
“Aku benaran sakit, Mas. Aku tidak bisa ikut.”
“Kamu tidak boleh menolak ajakan aku. Nanti malam jam delapan kita berangkat bersama dan kamu harus siap.”
Usai mengatakan itu, Zidan langsung pergi, sedangkan Salwa masih duduk dengan kondisinya yang sedang sakit. “Aku harus beli obat dulu kalau begini. Aku tidak mungkin tidak ikut nanti malam. Aku bicara salah sedikit saja dia marahnya luar biasa bahkan sampai tega mengunci aku di luar rumah padahal masih malam. Lalu apa yang akan terjadi jika aku tidak ikut nanti malam? Aku pasti akan dapat hukuman yang jauh lebih buruk lagi. Sebenarnya yang aku nikahi ini laki-laki seperti apa? Kenapa didata dan sikapnya seperti malaikat ketika di depan orang, tetapi seperti penjahat kejam ketika bersamaku,” tutur Salwa sambil beranjak keliar untuk membeli obat.
Sesudah Salwa minum obat, dia langsung istirahat dan berharap supaya sembuh saat dia bangun nanti. Tidak terasa terdengar suara azan Magrib. Salwa langsung bangun dan bukannya sembuh, tetapi sakitnya makin menjadi-jadi. “Kenapa malah sesak napas? Apa penyakit asma aku kambuh, ya? Aku harus cari obat sesak napas dan aku harap obat itu tidak tertinggal,” ujar Salwa yang ternyata menderita penyakit asma akut.
Setelah mencarinya, ternyata obat itu tidak ada. “Mas!” teriak Salwa ingin minta bantuan.
“Mas, tolong aku. Mas!” Panggilan itu beberapa kali terucap dari Salwa yang mulai kehabisan napas. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Zidan sama sekali. Dengan jalan yang sempoyongan, Salwa keluar kamar dan ternyata Zidan malah asyik baca buku.
“Mas, bisa ... Mas, bisa tolong ... a ... ku?” tanya Salwa terpotong-potong.
Sekali lagi Zidan tidak menghiraukannya. Dia masih tetap membaca bukunya dengan sangan santai tanpa menoleh sama sekali. Seketika Salwa mengambil pas bunga dan membantingkannya ke lantai bersamaan dengan dirinya yang jatuh.
“Kamu itu apa-apaan, sih? Kenapa kamu banting pas bunga itu?” tanya Zidan sambil menatap ke arah Salwa yang sudah duduk di lantai. “Tolong aku ..., aku sesak napas dan tolong belikan aku obat. Aku tidak kuat,” ujar Salwa sambil meremas bagian dadanya yang terasa sangat sakit. Seketika Zidan menghampiri Salwa dan menggendongnya ke kamar. Dia menyandarkan Salwa dan memberikan air hangat. Setelah itu Zidan dengan raut wajahnya yang cemas langsung berangkat membelikan obat sesak napas yang biasa Salwa gunakan dan untung saja apotek tidak jauh jaraknya dari situ dan akhirnya Salwa bisa mendapatkan obat itu dengan cepat. Setelah makan obat tersebut akhirnya Salwa mendapatkan kembali napasnya yang barusan terasa hilang. “Terima kasih, Mas. Satu hal lagi, kalau orang panggil itu setidaknya kamu jawab. Kalau tadi aku tidak membanting pas bunga itu, mungkin aku sudah tiada karena kehabisan oksigen, tetapi tidak apa-apa aku sangat berterima kasih untuk
Setelah itu Salwa mencoba menenangkan dirinya di dapur. Harinya benar-benar terluka dengan sikap suaminya yang tidak simpati padanya. Saat dia sudah mulai tenang, Salwa bergegas masak dan beres-beres rumah dan tepat setelah dia selesai beres-beres, Zidan datang sambil membawa kantong keresek hitam. “Tolong siapkan makanan ini untuk aku sarapan,” pinta Zidan pada Salwa yang sedang berdiri di depan teras usai menyapu. “Aku sudah masak, Mas. Kenapa kamu malah membeli makanan dari luar?” tanyanya sambil menatap Zidan. “Kamu makan saja masakan kamu karena aku mau makan makanan yang aku beli itu. Sekarang tolong siapkan, ya. Aku mau mandi dulu.” Mendengar hal itu Salwa terlihat pasrah. Dia tidak bisa memaksa suaminya untuk makan makanan yang dia buat. ‘Jika tahu dia tidak mau makan masakan aku, aku tidak akan memasak sebanyak itu,' tutur Salwa sambil masuk. Setelah itu Salwa
Saat malam tiba Zidan terus menatap pintu Salwa yang masih tertutup. “Dia itu kenapa, sih? Kenapa jadi cuek begitu? Harusnya aku yang dingin sama dia. Kenapa sekarang malah dia juga dingin sama aku? Apa sebenarnya yang ada dalam kepala wanita itu?” ujar Zidan terlihat sangat kesal.Setelah itu Zidan langsung beranjak mendekati pintu kamarnya Salwa dan saat mau mengetuk pintunya, tiba-tiba pintunya terbuka dan terlihat Salwa yang masih memakai mukena keluar sambil menutup pintunya kembali.“Mau apa, Mas? Kenapa kamu berdiri depan kamar aku? Butuh sesuatu?” tanya Salwa sambil melewati Zidan.Seketika Zidan memegang tangan Salwa hingga membuat jantung Salwa berdetak kencang. “Kamu itu kenapa? Kenapa cuek sama aku?” tanyanya sambil memegang kedua pangkal tangan Salwa.Seketika mata Salwa melirik tangan suaminya yang menyentuh tangannya itu. Melihat tatapan itu membuat Zidan langsung menurunkan tangannya da
“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun.“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.&rdqu
Di sisi lain, di rumah mewah dan megah di daerah Jawa Timur ada seorang laki-laki yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan dialah yang akan di jodohkan dengan Salwa. “Abi mau bicara sama kamu dan temui Abi di ruangan kerja Abi,” ucap ayahnya Zidan saat pertama kali melihat Zidan yang baru datang.“Sekarang akan ada apa lagi, ya? Kenapa Abi terlihat sangat serius?” tanya Zidan sambil menuju ruangan ayahnya.“Ada apa, Abi?” tanya Zidan yang langsung menyelonong masuk.“Usia kamu sekarang sudah dua puluh lima tahun. Itu artinya kamu siap untuk menikah,” ujar ayahnya sambil berdiri di hadapannya.“Maksud Abi apa?” tanya Zidan sambil menatap ayahnya dengan sangat tajam“Abi sudah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan seorang wanita pilihan Abi. Dia tinggal di Jakarta saat ini dan Abi yakin kalian akan menjadi pasangan yang cocok banget.”
Saat menjelang sore, Zidan dan keluarganya pamit pulang dan pertemuan mereka selanjutnya adalah di hari pernikahan antara Zidan dan Salwa. “Dari mulai sekarang kamu izin cuti kuliah dan kamu persiapkan semua keperluan kamu untuk menikah. Kamu bisa langsung ke butik untuk pesan baju pengantin dan baju untuk keluarga saat resepsi nanti,” ucap pak Ahmad sambil menatap Salwa yang dari tadi hanya diam.“Kenapa Abi kok bisa mengatakan dan menyetujui pernikahan dua Minggu lagi? Aku bahkan baru kenal dengannya. Apa Abi punya jaminan kalau dia itu orang baik dan aku akan mencintai dia?” tanya Salwa yang akhirnya angkat bicara.“Abi ini adalah ayah kamu, orang tua kamu, dan Abi adalah laki-laki yang sangat mencintai kamu bahkan sebelum kamu lahir ke dunia ini. Abi tentunya akan memberikan yang terbaik buat kamu dan masa depan kamu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir karena dia itu orang baik dan untuk urusan cinta atau tidak cinta, nanti ju
Setelah selesai salat Tahajud, Salwa langsung pergi ke luar kamarnya untuk mengambil minum dan saat dia masuk kembali, ternyata Zidan sedang salat.‘Rasanya sangat aneh, aku sudah menikah, tetapi salat saja kami terpisah. Kapan dua sujud ini berada dalam satu waktu? Kapan doa dia akan aku aminkan?’ tutur Salwa dalam hatinya.Saat terdengar suara azan Subuh, Zidan tanpa mengatakan apa pun pada Salwa langsung mengambil kain sarung dan sajadah lalu pergi begitu saja. “Apakah dia tidak melihat aku yang duduk di sini? Seenaknya banget dia pergi tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Salwa sambil beranjak wudu.Saat jam lima pagi, terdengar suara pintu kamar terbuka dan Salwa yang sedang mengaji langsung berhenti dan menatap orang yang masuk dalam kamarnya itu. “Aku akan duluan pulang kalau kamu mau tinggal di rumahku, datang saja satu minggu lagi,” ucap Zidan sambil mengeluarkan kopernya.“Tunggu, Mas