Renata mengacak-acak kasurnya dengan brutal. Ujung spreinya sampai terlepas. Wanita itu melempar bantal dengan asal ke arah meja rias hingga beberapa barang-barang make upnya terjatuh dari sana. Dengan emosi yang mengumpul di dadanya, wanita itu berteriak kesal.
Dadanya naik turun, napasnya menderu kesal, matanya menatap tajam lurus ke depan. "Danas sialan," desisnya tajam.
Ia mengepalkan kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Orang yang melihat Renata saat ini pun dapat mengetahui dengan jelas seberapa besar rasa benci yang mengumpul di dadanya saat ini.
"Kenapa kau selalu menghancurkan kebahagiaanku, Danas," gumamnya kesal.
Renata berdiri, ia berjalan ke arah jendelanya. Menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Aku akan menyingkirkanmu, Danas. Secepatnya aku akan menyingkirkanmu," bisiknya.
Lalu ia memukul dinding di depannya dengan keras. Denyutan di tangannya saat ini bahkan tak terasa karena rasa sakit di hatinya yang san
Bi Surti menutup pintu kamar itu dengan pelan. Wanita itu bernapas lega saat pikiran buruk yang bersemayam di otaknya tidak benar-benar terjadi. Bi Surti kembali menatap pintu kayu yang tertutup di depannya. Ia merasa kasihan dengan Danas. Terperangkap pada kehidupan yang tidak tenang. Andaikan dirinya bisa membantu Danas mengungkapkan semua kejahatan Renata. Namun, ia sadar diri. Ia tak mampu melawan power yang dimiliki Renata.Lalu pandangan Bi Surti beralih lurus ke depan. Ia menjadi curiga dengan sikap Renata itu. Wanita itu masuk ke dalam kamar Danas tanpa melakukan apapun."Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan?" gumam Bi Surti seraya melirik ke tangga menuju lantai dua. Di mana kamar wanita itu berada.Bi Surti sangat yakin. Pastinya ada sesuatu yang Renata sudah rencanakan kepada Danas. Dan yang pasti itu bukanlah hal baik. Wanita paruh baya itu pun dengan berani melangkahkan kakinya menuju tangga itu. Ia berjalan ke lantai dua. Lebih tepatnya tempat
Renata keluar dari dapur itu dengan dada mengembang senang. Wanita itu tersenyum lebar. Ia bersiul sepanjang jalan menuju kamarnya. Ia harus menaruh botol obat itu kembali ke dalam kamar. Renata tak mau ceroboh dengan menaruh asal-asalan. Ia tak ingin rencananya kali ini gagal.Ditambah lagi para pelayan muda di mansion ini pasti sedang menggosipkannya karena dirinya sempat bersikap kasar kepada mereka. Rencananya kali ini harus berhasil. Ia tak boleh ketahuan oleh siapa pun di mansion ini.Wanita itu menutup rapat pintu kamarnya. Lantas ia membuka lemari bajunya dan memasukkan botol obat itu ke sela-sela tumpukan baju di dalam lemarinya. Lalua ia menutupnya kembali.Renata tersenyum sangat lebar. Hari kemenangannya terasa semakin dekat. Renata tak sabar menjadi nyonya di rumah ini. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku tidak mengira akan semudah ini menyingkirkan Danas, hahaha!"Lantas Renata pun keluar dari kamarnya. Ia tak sabar menjadi saksi
Renata segera masuk ke dalam kamarnya. Ia melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia hanya perlu menunggu mendengar suara teriakan Danas disusul isak tangis wanita itu. Kemudian semua orang di rumah ini akan berkumpul di dalam kamar wanita itu. Semua skenario itu sudah berjalan di otaknya. Renata tak sabar untuk berpura-pura menaruh simpati nantinya. Ia pun segera bangkit dari kasurnya. Lalu mengambil ponsel dan mengirimkan sejumlah uang kepada kaki tangannya itu. Setelah itu ia melempar ponselnya ke atas nakas. Renata mengetukan jarinya menunggu teriakan Danas terdengar. Namun, ia tak kunjung mendapati Danas berteriak. "Apa obat itu sudah bekerja?" gumam Renata. Ia mengerutkan keningnya karena merasa sangat aneh. Pasalnya ini sudah lewat beberapa menit, tetapi Danas masih tak bereaksi apa-apa. Renata segera turun ke lantai dasar. Ia melihat kondisi rumah yang tampak sunyi tanpa adanya masalah apapun. Ia mengerutkan keningnya. Lantas Renata melangkahkan kakinya menu
Selama Renata mondar-mandir di dalam kamarnya, ia terlihat menggigit kuku jari tangannya karena kekesalannya masih belum teredam. Padahal ia berharap agar rencananya kali ini berhasil. Namun, sepertinya takdir sedang tidak berpihak kepadanya. Wanita itu menggerutu dengan kekesalan yang tengah memuncak.“Sial, sial, sial, sial.”Renata melirik botol yang ada di atas mejanya. Awalnya, wanita itu hampir saja melempar dan membuangnya ke tempat sampah karena menganggap obat itu tidak berguna sama sekali. Ia bahkan sempat mengumpat karena saking marahnya. Namun, ia mengurungkan niat untuk membuang botol obat tersebut.“Mungkin dosisnya yang kurang?”Renata mengambil botol tersebut lalu menatap isinya dengan saksama.“Aku tidak boleh mudah menyerah. Kali ini aku pasti akan berhasil,” ujar Renata kepada dirinya sendiri.Renata akhirnya memutuskan untuk menggunakan obat itu sekali lagi. Namu
Aleta menyuruh dua orang pelayan lain yang berada di dekat sana untuk memberitahu Langit dan Danas segera menemuinya di ruang keluarga. Bi Surti akan diadili di sana.“Baik, Nyonya.” Pelayan itu pun pergi dengan sopan dan segera menjalankan tugas yang diperintahkan padanya.Langit yang berada di dalam ruang kerja pribadinya karena bermaksud menyelesaikan satu urusan yang terlewat langsung mengalihkan perhatiannya pada suara ketukan di balik pintu ruangan tersebut.“Masuk!” teriak Langit. Mempersilakan orang tersebut masuk. Rupanya itu salah seorang pelayan muda yang bekerja di mansionnya.Pelayan yang disuruh itu membuka pintu dan masuk dengan sopan. Berjalan mendekat ke arah Langit dan dengan pandangan tertunduk menyampaikan maksud dan tujuannya menemui sang majikan.“Tuan, Nyonya Besar meminta Tuan menemuinya. Beliau menunggu di ruang keluarga.”Langit mengernyit heran. Tidak biasanya mamanya itu meminta
Langit kebingungan karena mendengar dua kesaksian yang berbeda. Ia ingin mempercayai perkataan bibi yang selama ini melayani keluarganya, tetapi di saat yang bersamaan dia tidak bisa membayangkan kekasihnya melakukan tindakan sekejam itu.Aleta pun sebagai orang pertama yang mendapati pertengkaran keduanya memilih berpihak kepada Renata. Bagi wanita itu, tidak mungkin orang seperti Renata tega melakukannya. Apalagi, selama ini Renata selalu bersikap seolah-olah peduli dengan anak dari Langit.Langit menghela napas pendek. Pria itu memijat keningnya karena pening. Siapa pun pelakunya, pria itu harus membuat keputusan.“Sudah! Kamu tidak perlu berpikir lebih panjang. Jelas-jelas di tangan Bi Surti ada botol itu,” ujar Aleta kepada Langit. Wanita paruh baya itu tidak lagi kuat untuk berdebat. Pasalnya, perdebatan itu kian lama kian alot.“Saya sungguh tidak menyangka Bi Surti sampai tega melakukan ini. Padahal Bi Surti sudah lam
“Kau sudah mengerjakannya atau tidak?” tanya Aleta yang terlihat sedang bersantai di ruang tengah.Danas yang mendengar pertanyaan itu hanya menunduk lalu menjawab dengan suara yang lirih. “Iya.”Sejak kepergian Bi Surti, si kepala pelayan di mansion Langit, banyak kebijakan rumah tangga yang harus disesuaikan. Namun, hal itu tidaklah begitu penting mengingat jumlah pelayan yang bekerja di rumah itu terbilang banyak. Orang-orang di rumah tidak harus memusingkannya.Sayangnya, meski dengan semua fasilitas yang ada di mansion itu, Danas tetap saja disuruh untuk bekerja oleh mertuanya. Padahal, selama ini Danas memang sudah cukup sadar diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sembari membantu Bi Surti. Namun, mertuanya itu memperlakukannya seolah dirinya tidak pernah melakukan apa-apa. Tentu saja itu semua berkat aduan Renata yang tidak berdasar. Wanita yang menjadi selingkuhan Langit itu perlahan-lahan mulai berhasil mencuci otak Aleta
Pagi ini, Langit harus menghadiri rapat penting di perusahaannya. Padahal dia melihat di kalender ponselnya, kalau hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Danas. Lelaki itu menghela napas, lalu mengirim pesan untuk Danas.“Aku akan datang ketika kontrol nanti. Tunggu saja,” tulisnya.Pesan dari Langit tidak dijawab apa pun oleh Danas. Langit tidak mempermasalahkan, sesampainya di kantor, lelaki itu langsung sibuk dengan aneka pekerjaan.“Pak, staf sudah siap untuk rapat,” kata sekretarisnya langsung masuk ke ruangan Langit.Langit lantas menoleh ke arah sekretarisnya, dia bangkit dari duduknya, lalu merapikan jasnya. “Baik. Ingatkan saya jam sepuluh nanti saya harus ke rumah sakit, istri saya kontrol kandungan.” Langit lantas melangkah ke arah pintu keluar dengan cepat.Sekretarisnya mengangguk, “Baik, Pak,” jawabnya.Langit tidak berkata apa-apa lagi, dia langsung berjalan dengan tegap ke rua