Langit kebingungan karena mendengar dua kesaksian yang berbeda. Ia ingin mempercayai perkataan bibi yang selama ini melayani keluarganya, tetapi di saat yang bersamaan dia tidak bisa membayangkan kekasihnya melakukan tindakan sekejam itu.
Aleta pun sebagai orang pertama yang mendapati pertengkaran keduanya memilih berpihak kepada Renata. Bagi wanita itu, tidak mungkin orang seperti Renata tega melakukannya. Apalagi, selama ini Renata selalu bersikap seolah-olah peduli dengan anak dari Langit.
Langit menghela napas pendek. Pria itu memijat keningnya karena pening. Siapa pun pelakunya, pria itu harus membuat keputusan.
“Sudah! Kamu tidak perlu berpikir lebih panjang. Jelas-jelas di tangan Bi Surti ada botol itu,” ujar Aleta kepada Langit. Wanita paruh baya itu tidak lagi kuat untuk berdebat. Pasalnya, perdebatan itu kian lama kian alot.
“Saya sungguh tidak menyangka Bi Surti sampai tega melakukan ini. Padahal Bi Surti sudah lam
“Kau sudah mengerjakannya atau tidak?” tanya Aleta yang terlihat sedang bersantai di ruang tengah.Danas yang mendengar pertanyaan itu hanya menunduk lalu menjawab dengan suara yang lirih. “Iya.”Sejak kepergian Bi Surti, si kepala pelayan di mansion Langit, banyak kebijakan rumah tangga yang harus disesuaikan. Namun, hal itu tidaklah begitu penting mengingat jumlah pelayan yang bekerja di rumah itu terbilang banyak. Orang-orang di rumah tidak harus memusingkannya.Sayangnya, meski dengan semua fasilitas yang ada di mansion itu, Danas tetap saja disuruh untuk bekerja oleh mertuanya. Padahal, selama ini Danas memang sudah cukup sadar diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sembari membantu Bi Surti. Namun, mertuanya itu memperlakukannya seolah dirinya tidak pernah melakukan apa-apa. Tentu saja itu semua berkat aduan Renata yang tidak berdasar. Wanita yang menjadi selingkuhan Langit itu perlahan-lahan mulai berhasil mencuci otak Aleta
Pagi ini, Langit harus menghadiri rapat penting di perusahaannya. Padahal dia melihat di kalender ponselnya, kalau hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Danas. Lelaki itu menghela napas, lalu mengirim pesan untuk Danas.“Aku akan datang ketika kontrol nanti. Tunggu saja,” tulisnya.Pesan dari Langit tidak dijawab apa pun oleh Danas. Langit tidak mempermasalahkan, sesampainya di kantor, lelaki itu langsung sibuk dengan aneka pekerjaan.“Pak, staf sudah siap untuk rapat,” kata sekretarisnya langsung masuk ke ruangan Langit.Langit lantas menoleh ke arah sekretarisnya, dia bangkit dari duduknya, lalu merapikan jasnya. “Baik. Ingatkan saya jam sepuluh nanti saya harus ke rumah sakit, istri saya kontrol kandungan.” Langit lantas melangkah ke arah pintu keluar dengan cepat.Sekretarisnya mengangguk, “Baik, Pak,” jawabnya.Langit tidak berkata apa-apa lagi, dia langsung berjalan dengan tegap ke rua
Renata berang, perlakuan Langit seperti sengaja untuk mempermalukannya. Renata menghibur diri dengan membeli beberapa majalah fashion. Sesampainya di rumah Langit, Renata melihat Aleta yang menonton televisi di ruang tamu.Majalah yang ada beberapa buah itu, Renata hempas di depan Aleta, membuat wanita itu kaget.“Hei, apa kau tidak lihat aku di sini?” pekik Aleta, kesal karena hampir melonjak kaget. Matanya memelotot menatap ke arah Renata.“Aku kesal!” serunya sambil menghempaskan badan di sofa. Duduk tepat di samping Aleta.“Kesal?” ulang Aleta dahinya mengerut. “Kenapa kau yang kesal? Kau yang menggangguku menonton serial favoritku!”Renata mendengkus, kekesalan dalam hatinya belum padam, “Langit tadi menghinaku, dan juga meningalkanku demi Danas dan anaknya itu!”Mendengar hal itu, Aleta menghela napas. “Kamu juga, sih, caranya kurang halus,” sindirnya. “Anakk
Tubuh Renata masih tetap gemetaran setelah menerima telepon dari pria asing tadi. Jantungnya bahkan masih berdetak dengan kencang karena perasaan takut dan cemas. Renata tidak kuasa menahan perasan takutnya.Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? batin Renata dengan wajah pucat pasi.Beberapa kali Renata mencoba menenangkan diri, menarik dan mengembuskan napas perlahan, tetapi tetap saja ia masih belum bisa menghilangkan kekhawatirannya. Perasaan kalut itu mungkin tidak akan menghilang dalam waktu dekat.Renata menutup pintu kamarnya, kemudian berjalan menuruni tangga, berniat kembali ke ruang santai, tempat Aleta berada. Dengan kaki yang bergetar, ia berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Aleta yang tengah bersantai mendapati Renata muncul setelah naik ke atas tiba-tiba. Namun, kondisi kekasih dari putranya itu bisa terlihat jelas dari ekspresi wajah yang ia tunjukkan.Renata mungkin bermaksud menyembunyikan
Sejak Bi Surti meninggalkan mansion karena dipecat oleh Langit, Danas merasa kehidupan di sini menjadi jauh lebih berat. Kehilangan sosok yang merupakan satu-satunya berada di pihaknya itu menjadi pukulan besar bagi wanita itu.Langit kini mempekerjakan seseorang untuk khusus mengurus dirinya. Lebih tepatnya, demi kepentingan calon bayi yang dikandungnya.“Tidak usah repot-repot. Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Danas waktu itu.“Ini bukan demi dirimu, tapi demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Anak Langit. Cucuku.”Ucapan Aleta yang tegas dan diberi penekanan di tiap katanya itu membuat nyali Danas menjadi ciut. Meski dirasa berlebihan, tapi ia tak diberi kuasa untuk menolak.“Baiklah ....”Dan kini seorang wanita muda, yang Danas rasa sepertinya berusia berkisar seperti dirinya mulai dipekerjakan belum lama ini sebagai pengasuhnya. Namanya Winda.Entah kenapa, Danas merasa aneh sejak
Renata menggigit kukunya, sambil mondar-mandir di samping ranjangnya. Kakinya tidak bisa berhenti bergerak. Ia terus memikirkan mengenai telepon dari lelaki itu. Renata tak bisa mengacuhkannya, karena ia tahu bahwa laki-laki itu tidak akan segan-segan melakukan hal-hal yang menakutkan. Bahkan Renata tidak bisa membayangkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi jika tak mendengarkan perintah lelaki itu. "Argh! Sialan kenapa dia harus datang di saat yang tidak tepat!" desis Renata seraya mengacak rambutnya frustrasi. "Tenang, Renata. Jangan panik! Be calm. Kau punya banyak cara keluar dari permasalahan ini. Tetap tenang!" ucapnya pada diri sendiri. Berusaha memberikan kalimat-kalimat penenang pada dirinya yang sudah terjebak pada situasi yang ia sendiri tak tahu jalan keluarnya. Renata berada pada jalan yang buntu. Mendapatkan uang segitu banyaknya dalam waktu singkat sangatlah susah. Ia tak mungkin menghabiskan seluruh koleksi tas, sepatu, dan perhiasannya hanya
Danas melenguh dalam tidurnya. Ia membalikkan tubuhnya ke sisi lain. Namun, suara dering alarm yang sangat nyaring menarik kesadarannya. Kelopak mata wanita itu bergerak. Dua tangannya tergerak untuk mengucek kedua mata itu.Perlahan bulu matanya terangkat ke atas bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka. Ia mengerjap saat matanya masih beradaptasi dengan cahaya yang masuk ke retinanya. Danas lantas menoleh ke samping. Di mana ia meletakkan ponsel yang masih berdering karena alarm. Wanita itu pun segera meraih benda pipih kesayangannya dan mematikan suara alarm yang terus berteriak."Sudah jam setengah tujuh, ya ampun, aku kesiangan!" seru Danas seraya bangun dan duduk. Ia merapikan rambutnya ke belakang. Lalu menaruh ponselnya lagi ke atas nakas."Ah, ini pasti karena tadi malam aku tidak bisa tidur," gerutu Danas seraya menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Wanita itu segera beringsut turun dari ranjang. Memakai sandal rumahnya dan berjalan masuk ke
"Pelayan."Suara panggilan dari majikannya itu membuat Winda yang tengah mengotak-atik gawainya pun terlonjak. Ia dengan sigap memasukkan benda pipihnya itu ke dalam saku apron."Iya, Nyonya," jawabnya dengan tenang.Aleta yang sempat menangkap basah pelayannya itu malah bermain ponsel saat sedang bekerja kini menyipitkan matanya. "Aku tidak suka dengan pekerja yang tidak menuntaskan pekerjaannya dengan baik dan malah asyik bermain ponsel berleha-leha," sindir Aleta.Winda yang mendengar sindiran itu hanya menganggukkan kepala seraya mengucapkan kalimat maaf berulang-ulang. Dalam hal bersikap memelas, Winda sudah sangat berpengalaman."Maaf, Nyonya. Saya tadi tidak sengaja mendapat pesan dari ibu saya. Ibu saya sedang sakit, Nyonya. Maaf saya tidak mematuhi peraturan di rumah ini karena saya sangat khawatir dengan Ibu saya," ucapnya mengarang.Winda menundukkan kepalanya. Nada suaranya dibuat bergetar seakan menahan nangis. Raut wajahnya yang mengerut s
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu