"Pelayan."
Suara panggilan dari majikannya itu membuat Winda yang tengah mengotak-atik gawainya pun terlonjak. Ia dengan sigap memasukkan benda pipihnya itu ke dalam saku apron."Iya, Nyonya," jawabnya dengan tenang.Aleta yang sempat menangkap basah pelayannya itu malah bermain ponsel saat sedang bekerja kini menyipitkan matanya. "Aku tidak suka dengan pekerja yang tidak menuntaskan pekerjaannya dengan baik dan malah asyik bermain ponsel berleha-leha," sindir Aleta.Winda yang mendengar sindiran itu hanya menganggukkan kepala seraya mengucapkan kalimat maaf berulang-ulang. Dalam hal bersikap memelas, Winda sudah sangat berpengalaman."Maaf, Nyonya. Saya tadi tidak sengaja mendapat pesan dari ibu saya. Ibu saya sedang sakit, Nyonya. Maaf saya tidak mematuhi peraturan di rumah ini karena saya sangat khawatir dengan Ibu saya," ucapnya mengarang.Winda menundukkan kepalanya. Nada suaranya dibuat bergetar seakan menahan nangis. Raut wajahnya yang mengerut s“Saya rasa saran itu tidak cukup baik. Bapak mohon memertimbangkannya.”“Tidak, tidak. Justru itulah solusi terbaik yang bisa kita buat ….”Orang-orang tampak berdebat di ruang rapat. Langit yang berada di dalam ruangan itu memegang kepalanya karena pening. Dirinya berharap agar pertemuan hari ini bisa segera berakhir. Lalu, keputusan akan proyek selanjutnya bisa segera ditetapkan. Namun, melihat situasi yang penuh dengan perdebatan panas itu, sepertinya ia masih harus bersabar untuk mendengarkan pendapat orang-orang di dalam ruangan.Sementara pria itu sibuk dengan urusan kerjanya, tiba-tiba ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering. Terdapat panggilan masuk dari Aleta yang tertera di layar. Langit tidak segera mengangkatnya karena menurutnya tidak sopan untuk mengangkat telepon saat rapat tengah berlangsung. Dia hanya membiarkan ponselnya itu dalam mode getar. Namun, karena beberapa kali Aleta menyambungkan panggilan, pria itu mem
Danas masih lemas, meski sedikit demi sedikit sudah menghilang rasa sakitnya, tapi Jagad menyuruhnya untuk istirahat dulu di rumah sakit demi kesehatan dan bayinya juga.“Kalau kamu sehat dan kuat, aku yakin bayimu juga akan seperti itu di dalam,” Jagad berkata dengan bijak dan lembut.“Terima kasih,” ucap Danas dengan ramah. Jagad pun tak dapat menahan senyumannya.“Aku permisi dulu,” pamit Jagad, setelah beberapa kali dalam satu hari ini dia berkunjung ke kamar Danas.“Bagus kalau begitu,” Langit berkata, wajahnya tampak tidak suka kalau Jagad terus-terusan ada di kamar itu. Rasanya panas.Aleta yang ada di ruangan itu juga merasa gerah karena ada Jagad di kamar ini. Tapi, dalam hati Aleta, kalau Jagad suka dengan Danas, dia tidak perlu khawtirkan anaknya akan jatuh cinta dengan Danas.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Aleta ketus, dia lalu menarik kursi agar bisa duduk dekat ranjang.Langit
“Apa kau akan kembali lagi ke rumah sakit?” tanya Aleta kepada Langit, yang sudah rapi. Mereka berpapasan di depan ruang tamu. Sejak pulang dari rumah sakit, Aleta sudah mempersiapkan sebagian barang jangan ada yang sampai tertinggal.“Aku akan ke kantor dulu, ada meeting dadakan. Aku akan kembali ke rumah sakit setelah jam kantor.”“Apa kau tidak bisa membatalkan meeting itu? Lalu cepat ke rumah sakit bagaimana dengan anakmu nanti? Kalau ada apa-apa, bagaimana?” desak Aleta.Langit berpikir, ada Jagad yang menemami Danas. “Ada dokter itu yang menjaganya untuk sementara waktu. Jadi, tenang saja.”Aleta menghela napas, mengapa anaknya seperti tidak pedulikan istrinya yang sedang hamil, si?Langit lantas berhenti di ambang pintu. “Apa Mama nanti akan ke rumah sakit?”“Ya, nanti mama akan kembali ke sana. Mama nanti akan berkemas, membawakan beberapa baju untuk Danas. Dan juga baju untukmu.&
Setelah Jagad keluar dari ruangan Danas, Aleta menatap Danas dengan pandangan penuh kecurigaan. Wanita itu benar-benar merasa terusik dengan hubungan antara sang dokter dan menantu. Bukan berarti Aleta peduli terhadap kisah cinta Danas ataupun menentangnya. Hanya saja, wanita tua itu tidak suka jika Danas lebih memperhatikan pria itu ketimbang anak yang ada di dalam kandungannya.“Ini sebenarnya menggangguku. Tapi, kau itu punya hubungan apa dengan dokter tadi?” tanya Aleta dengan tatapan dingin kepada Danas.Danas terkejut. Dia tidak mengerti mengapa mertuanya sampai bertanya demikian.“Ka, kami hanya sekadar berteman saja,” jelas Danas ragu-ragu. Dia tidak tahu apakah mertuanya itu akan puas dengan jawaban semacam itu.Aleta mendengkus kesal. “Sebenarnya itu bukan urusanku sama sekali. Kau bebas berhubungan dengan siapa pun. Akan tetapi, aku tidak mau kalau kau sampai lebih memperhatikan kepentingan pribadimu daripada anak putraku.
Sembari membawa bingkisan, Davina berjalan di koridor rumah sakit. Wanita itu ingin segera menjenguk sahabatnya setelah menerima kabar bahwa kondisi Danas sempat drop. Davina tidak sabar untuk menemui sahabatnya itu, ia benar-benar khawatir karena baru sempat untuk datang menjenguknya setelah dikabari oleh Jagad.“Semoga Danas suka,” gumam Davina saat membawa makanan yang ia beli di toko yang sempat viral.Saat berjalan menuju kamar Danas dirawat, seperti biasa, tempat yang terasa familier itu dipenuhi oleh orang-orang. Baik pasien yang didorong dengan kursi roda, perawat yang tampak sibuk dengan urusannya, maupun para pembesuk yang menemui kerabatnya. Pemandangan itu sudah menjadi lumrah bagi Davina. Dia sudah cukup sering ke tempat itu demi menemui kakanya yang bekerja sebagai dokter.Pemandangan di rumah sakit sebetulnya bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dilihat. Lebih banyak orang yang meratapi nasib ketimbang menunjukkan emosi positif. Terdapat or
Aleta mendengkus kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa?" tantang Aleta."Apa kalimat pembelaan yang ingin kamu katakan?" tunjuk Aleta kepada Davina yang kini tengah memendam amarahnya setengah mati agar tidak meledak.Davina mengeratkan pegangan di paperbag yang ia bawa. Ia tak bisa membalas ucapan wanita paruh baya di depannya ini. Apalagi mata Danas sudah memberikan isyarat padanya agar tak membalas ucapan dari mertuanya. Membuat Davina pada akhirnya hanya terbungkam.Melihat hal itu, Aleta pun berdecih. Ia tersenyum miring dengan tatapan sinis yang sangat kentara. Aleta pun membuang wajahnya ke arah lain. Enggan menatap Davina maupun Danas lama-lama."Saya cukup tau saja kalau anak saya yang baik hati itu tidak cukup beruntung karena memiliki sahabat yang menusuk dia dari belakang seperti kalian," maki Aleta dengan kalimat yang sangat menusuk seraya berlalu keluar dari inap itu.Mendengar kalimat kasar yang keluar dari mulut Aleta, membuat Davina yang sudah susah pa
Renata baru saja menempelkan bokongnya ke kursi penumpang, tetapi ponsel yang ia letakkan di sakunya sudah bergetar. Wanita itu berdecak kesal. Suara notifikasinya sudah ia bedakan sebelumnya. Membuat Renata sudah mengetahui siapa orang yang sudah menghubunginya itu.Wanita itu mengacuhkan panggilan dari orang itu dan lebih memilih untuk mengambil sebotol minuman yang ada di depannya. Ia lantas meneguknya hingga tandas.Sebuah peringatan untuk mematikan daya ponsel sudah terdengar. Renata pun segera mematikan jaringan data di ponselnya dan membuatnya menjadi mode pesawat. Lalu ia memasukkan gawainya itu ke dalam sling bag hitam yang ia bawa. Renata akan memanfaatkan waktu selama tujuh belas jam perjalanan ini untuk beristirahat, tanpa diganggu dengan panggilan dan teror menyebalkan dari pria itu. Setidaknya Renata bisa membebaskan dirinya dari ketakutan sampai ia benar-benar berhadapan dengan pria itu.Renata benar-benar memanfaatkan istirahatnya dengan baik. Ia tertidur saat pesawat
Aleta pun memutuskan untuk mengangkat kakinya dari ruang rawat inap menantunya. Ia tak menyangka, kalau orang yang dulu menjadi sahabat putrinya itu akan berpihak pada seseorang yang membunuh putrinya. Wanita itu mengepalkan tangannya erat. Ia menghentakan kakinya di koridor rumah sakit.Tak peduli dengan tatapan tak nyaman orang di sekitarnya. Aleta berbelok menuju lift untuk turun ke lantai dasar. Wanita itu menekan dengan kasar tombol lift yang bertanda panah ke bawah. Kemudian ia melipat kedua tangannya di depan dada seraya menunggu lift itu terbuka.Kala pintu lift itu terbuka, Aleta pun segera masuk ke dalamnya. Kini ia tak peduli lagi dengan kondisi menantunya. Emosinya yang meledak-ledak saat ini membuatnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah."Davina! Tega-teganya kau mengkhianati anakku," desis Aleta seraya mengepalkan tangannya. Aleta sudah salah menilai Davina. Ia menyadari di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar akan setia. Aleta sudah menemukan banyak kasus pe
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu