“Kau sudah mengerjakannya atau tidak?” tanya Aleta yang terlihat sedang bersantai di ruang tengah.
Danas yang mendengar pertanyaan itu hanya menunduk lalu menjawab dengan suara yang lirih. “Iya.”
Sejak kepergian Bi Surti, si kepala pelayan di mansion Langit, banyak kebijakan rumah tangga yang harus disesuaikan. Namun, hal itu tidaklah begitu penting mengingat jumlah pelayan yang bekerja di rumah itu terbilang banyak. Orang-orang di rumah tidak harus memusingkannya.
Sayangnya, meski dengan semua fasilitas yang ada di mansion itu, Danas tetap saja disuruh untuk bekerja oleh mertuanya. Padahal, selama ini Danas memang sudah cukup sadar diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sembari membantu Bi Surti. Namun, mertuanya itu memperlakukannya seolah dirinya tidak pernah melakukan apa-apa. Tentu saja itu semua berkat aduan Renata yang tidak berdasar. Wanita yang menjadi selingkuhan Langit itu perlahan-lahan mulai berhasil mencuci otak Aleta
Pagi ini, Langit harus menghadiri rapat penting di perusahaannya. Padahal dia melihat di kalender ponselnya, kalau hari ini adalah jadwal kontrol kandungan Danas. Lelaki itu menghela napas, lalu mengirim pesan untuk Danas.“Aku akan datang ketika kontrol nanti. Tunggu saja,” tulisnya.Pesan dari Langit tidak dijawab apa pun oleh Danas. Langit tidak mempermasalahkan, sesampainya di kantor, lelaki itu langsung sibuk dengan aneka pekerjaan.“Pak, staf sudah siap untuk rapat,” kata sekretarisnya langsung masuk ke ruangan Langit.Langit lantas menoleh ke arah sekretarisnya, dia bangkit dari duduknya, lalu merapikan jasnya. “Baik. Ingatkan saya jam sepuluh nanti saya harus ke rumah sakit, istri saya kontrol kandungan.” Langit lantas melangkah ke arah pintu keluar dengan cepat.Sekretarisnya mengangguk, “Baik, Pak,” jawabnya.Langit tidak berkata apa-apa lagi, dia langsung berjalan dengan tegap ke rua
Renata berang, perlakuan Langit seperti sengaja untuk mempermalukannya. Renata menghibur diri dengan membeli beberapa majalah fashion. Sesampainya di rumah Langit, Renata melihat Aleta yang menonton televisi di ruang tamu.Majalah yang ada beberapa buah itu, Renata hempas di depan Aleta, membuat wanita itu kaget.“Hei, apa kau tidak lihat aku di sini?” pekik Aleta, kesal karena hampir melonjak kaget. Matanya memelotot menatap ke arah Renata.“Aku kesal!” serunya sambil menghempaskan badan di sofa. Duduk tepat di samping Aleta.“Kesal?” ulang Aleta dahinya mengerut. “Kenapa kau yang kesal? Kau yang menggangguku menonton serial favoritku!”Renata mendengkus, kekesalan dalam hatinya belum padam, “Langit tadi menghinaku, dan juga meningalkanku demi Danas dan anaknya itu!”Mendengar hal itu, Aleta menghela napas. “Kamu juga, sih, caranya kurang halus,” sindirnya. “Anakk
Tubuh Renata masih tetap gemetaran setelah menerima telepon dari pria asing tadi. Jantungnya bahkan masih berdetak dengan kencang karena perasaan takut dan cemas. Renata tidak kuasa menahan perasan takutnya.Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? batin Renata dengan wajah pucat pasi.Beberapa kali Renata mencoba menenangkan diri, menarik dan mengembuskan napas perlahan, tetapi tetap saja ia masih belum bisa menghilangkan kekhawatirannya. Perasaan kalut itu mungkin tidak akan menghilang dalam waktu dekat.Renata menutup pintu kamarnya, kemudian berjalan menuruni tangga, berniat kembali ke ruang santai, tempat Aleta berada. Dengan kaki yang bergetar, ia berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Aleta yang tengah bersantai mendapati Renata muncul setelah naik ke atas tiba-tiba. Namun, kondisi kekasih dari putranya itu bisa terlihat jelas dari ekspresi wajah yang ia tunjukkan.Renata mungkin bermaksud menyembunyikan
Sejak Bi Surti meninggalkan mansion karena dipecat oleh Langit, Danas merasa kehidupan di sini menjadi jauh lebih berat. Kehilangan sosok yang merupakan satu-satunya berada di pihaknya itu menjadi pukulan besar bagi wanita itu.Langit kini mempekerjakan seseorang untuk khusus mengurus dirinya. Lebih tepatnya, demi kepentingan calon bayi yang dikandungnya.“Tidak usah repot-repot. Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Danas waktu itu.“Ini bukan demi dirimu, tapi demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Anak Langit. Cucuku.”Ucapan Aleta yang tegas dan diberi penekanan di tiap katanya itu membuat nyali Danas menjadi ciut. Meski dirasa berlebihan, tapi ia tak diberi kuasa untuk menolak.“Baiklah ....”Dan kini seorang wanita muda, yang Danas rasa sepertinya berusia berkisar seperti dirinya mulai dipekerjakan belum lama ini sebagai pengasuhnya. Namanya Winda.Entah kenapa, Danas merasa aneh sejak
Renata menggigit kukunya, sambil mondar-mandir di samping ranjangnya. Kakinya tidak bisa berhenti bergerak. Ia terus memikirkan mengenai telepon dari lelaki itu. Renata tak bisa mengacuhkannya, karena ia tahu bahwa laki-laki itu tidak akan segan-segan melakukan hal-hal yang menakutkan. Bahkan Renata tidak bisa membayangkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi jika tak mendengarkan perintah lelaki itu. "Argh! Sialan kenapa dia harus datang di saat yang tidak tepat!" desis Renata seraya mengacak rambutnya frustrasi. "Tenang, Renata. Jangan panik! Be calm. Kau punya banyak cara keluar dari permasalahan ini. Tetap tenang!" ucapnya pada diri sendiri. Berusaha memberikan kalimat-kalimat penenang pada dirinya yang sudah terjebak pada situasi yang ia sendiri tak tahu jalan keluarnya. Renata berada pada jalan yang buntu. Mendapatkan uang segitu banyaknya dalam waktu singkat sangatlah susah. Ia tak mungkin menghabiskan seluruh koleksi tas, sepatu, dan perhiasannya hanya
Danas melenguh dalam tidurnya. Ia membalikkan tubuhnya ke sisi lain. Namun, suara dering alarm yang sangat nyaring menarik kesadarannya. Kelopak mata wanita itu bergerak. Dua tangannya tergerak untuk mengucek kedua mata itu.Perlahan bulu matanya terangkat ke atas bersamaan dengan kelopak matanya yang terbuka. Ia mengerjap saat matanya masih beradaptasi dengan cahaya yang masuk ke retinanya. Danas lantas menoleh ke samping. Di mana ia meletakkan ponsel yang masih berdering karena alarm. Wanita itu pun segera meraih benda pipih kesayangannya dan mematikan suara alarm yang terus berteriak."Sudah jam setengah tujuh, ya ampun, aku kesiangan!" seru Danas seraya bangun dan duduk. Ia merapikan rambutnya ke belakang. Lalu menaruh ponselnya lagi ke atas nakas."Ah, ini pasti karena tadi malam aku tidak bisa tidur," gerutu Danas seraya menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Wanita itu segera beringsut turun dari ranjang. Memakai sandal rumahnya dan berjalan masuk ke
"Pelayan."Suara panggilan dari majikannya itu membuat Winda yang tengah mengotak-atik gawainya pun terlonjak. Ia dengan sigap memasukkan benda pipihnya itu ke dalam saku apron."Iya, Nyonya," jawabnya dengan tenang.Aleta yang sempat menangkap basah pelayannya itu malah bermain ponsel saat sedang bekerja kini menyipitkan matanya. "Aku tidak suka dengan pekerja yang tidak menuntaskan pekerjaannya dengan baik dan malah asyik bermain ponsel berleha-leha," sindir Aleta.Winda yang mendengar sindiran itu hanya menganggukkan kepala seraya mengucapkan kalimat maaf berulang-ulang. Dalam hal bersikap memelas, Winda sudah sangat berpengalaman."Maaf, Nyonya. Saya tadi tidak sengaja mendapat pesan dari ibu saya. Ibu saya sedang sakit, Nyonya. Maaf saya tidak mematuhi peraturan di rumah ini karena saya sangat khawatir dengan Ibu saya," ucapnya mengarang.Winda menundukkan kepalanya. Nada suaranya dibuat bergetar seakan menahan nangis. Raut wajahnya yang mengerut s
“Saya rasa saran itu tidak cukup baik. Bapak mohon memertimbangkannya.”“Tidak, tidak. Justru itulah solusi terbaik yang bisa kita buat ….”Orang-orang tampak berdebat di ruang rapat. Langit yang berada di dalam ruangan itu memegang kepalanya karena pening. Dirinya berharap agar pertemuan hari ini bisa segera berakhir. Lalu, keputusan akan proyek selanjutnya bisa segera ditetapkan. Namun, melihat situasi yang penuh dengan perdebatan panas itu, sepertinya ia masih harus bersabar untuk mendengarkan pendapat orang-orang di dalam ruangan.Sementara pria itu sibuk dengan urusan kerjanya, tiba-tiba ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering. Terdapat panggilan masuk dari Aleta yang tertera di layar. Langit tidak segera mengangkatnya karena menurutnya tidak sopan untuk mengangkat telepon saat rapat tengah berlangsung. Dia hanya membiarkan ponselnya itu dalam mode getar. Namun, karena beberapa kali Aleta menyambungkan panggilan, pria itu mem