Dikarenakan kebetulan Jagad berada di rumah sakit, ia diminta tiba-tiba menangani salah seorang pasien yang baru saja datang ke UGD. Penanganan terhadap pasien itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Jagad meminta Davina pulang lebih dulu. Namun, Davina tidak langsung pulang, ia memilih menunggu sang kakak di ruangannya.
Jagad yang kelelahan usai menangani pasien terkejut melihat sang adik ada di ruangan tengah menunggunya.
“Sudah selesai?” tanya Davina ketika pria itu muncul dari balik pintu.
Jagad mengangguk sebagai jawaban. Dengan langkah gontai ia berjalan ke balik meja kerjanya.
Sejak Danas pulang bersama keluarga Langit, Davina yang belum beranjak dari rumah sakit itu diam-diam memperhatikan kakaknya. Bukan hanya kali ini, selama ini ia bisa melihat bagaimana Jagad memperlakukan Danas dan memberi perhatian pada sahabatnya itu.
Davina senang, tentu saja, melihat dua orang yang ia sayangi bersama. Hanya saja, tembok pengha
Renata mengacak-acak kasurnya dengan brutal. Ujung spreinya sampai terlepas. Wanita itu melempar bantal dengan asal ke arah meja rias hingga beberapa barang-barang make upnya terjatuh dari sana. Dengan emosi yang mengumpul di dadanya, wanita itu berteriak kesal.Dadanya naik turun, napasnya menderu kesal, matanya menatap tajam lurus ke depan. "Danas sialan," desisnya tajam.Ia mengepalkan kedua tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Orang yang melihat Renata saat ini pun dapat mengetahui dengan jelas seberapa besar rasa benci yang mengumpul di dadanya saat ini."Kenapa kau selalu menghancurkan kebahagiaanku, Danas," gumamnya kesal.Renata berdiri, ia berjalan ke arah jendelanya. Menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. "Aku akan menyingkirkanmu, Danas. Secepatnya aku akan menyingkirkanmu," bisiknya.Lalu ia memukul dinding di depannya dengan keras. Denyutan di tangannya saat ini bahkan tak terasa karena rasa sakit di hatinya yang san
Bi Surti menutup pintu kamar itu dengan pelan. Wanita itu bernapas lega saat pikiran buruk yang bersemayam di otaknya tidak benar-benar terjadi. Bi Surti kembali menatap pintu kayu yang tertutup di depannya. Ia merasa kasihan dengan Danas. Terperangkap pada kehidupan yang tidak tenang. Andaikan dirinya bisa membantu Danas mengungkapkan semua kejahatan Renata. Namun, ia sadar diri. Ia tak mampu melawan power yang dimiliki Renata.Lalu pandangan Bi Surti beralih lurus ke depan. Ia menjadi curiga dengan sikap Renata itu. Wanita itu masuk ke dalam kamar Danas tanpa melakukan apapun."Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan?" gumam Bi Surti seraya melirik ke tangga menuju lantai dua. Di mana kamar wanita itu berada.Bi Surti sangat yakin. Pastinya ada sesuatu yang Renata sudah rencanakan kepada Danas. Dan yang pasti itu bukanlah hal baik. Wanita paruh baya itu pun dengan berani melangkahkan kakinya menuju tangga itu. Ia berjalan ke lantai dua. Lebih tepatnya tempat
Renata keluar dari dapur itu dengan dada mengembang senang. Wanita itu tersenyum lebar. Ia bersiul sepanjang jalan menuju kamarnya. Ia harus menaruh botol obat itu kembali ke dalam kamar. Renata tak mau ceroboh dengan menaruh asal-asalan. Ia tak ingin rencananya kali ini gagal.Ditambah lagi para pelayan muda di mansion ini pasti sedang menggosipkannya karena dirinya sempat bersikap kasar kepada mereka. Rencananya kali ini harus berhasil. Ia tak boleh ketahuan oleh siapa pun di mansion ini.Wanita itu menutup rapat pintu kamarnya. Lantas ia membuka lemari bajunya dan memasukkan botol obat itu ke sela-sela tumpukan baju di dalam lemarinya. Lalua ia menutupnya kembali.Renata tersenyum sangat lebar. Hari kemenangannya terasa semakin dekat. Renata tak sabar menjadi nyonya di rumah ini. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku tidak mengira akan semudah ini menyingkirkan Danas, hahaha!"Lantas Renata pun keluar dari kamarnya. Ia tak sabar menjadi saksi
Renata segera masuk ke dalam kamarnya. Ia melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia hanya perlu menunggu mendengar suara teriakan Danas disusul isak tangis wanita itu. Kemudian semua orang di rumah ini akan berkumpul di dalam kamar wanita itu. Semua skenario itu sudah berjalan di otaknya. Renata tak sabar untuk berpura-pura menaruh simpati nantinya. Ia pun segera bangkit dari kasurnya. Lalu mengambil ponsel dan mengirimkan sejumlah uang kepada kaki tangannya itu. Setelah itu ia melempar ponselnya ke atas nakas. Renata mengetukan jarinya menunggu teriakan Danas terdengar. Namun, ia tak kunjung mendapati Danas berteriak. "Apa obat itu sudah bekerja?" gumam Renata. Ia mengerutkan keningnya karena merasa sangat aneh. Pasalnya ini sudah lewat beberapa menit, tetapi Danas masih tak bereaksi apa-apa. Renata segera turun ke lantai dasar. Ia melihat kondisi rumah yang tampak sunyi tanpa adanya masalah apapun. Ia mengerutkan keningnya. Lantas Renata melangkahkan kakinya menu
Selama Renata mondar-mandir di dalam kamarnya, ia terlihat menggigit kuku jari tangannya karena kekesalannya masih belum teredam. Padahal ia berharap agar rencananya kali ini berhasil. Namun, sepertinya takdir sedang tidak berpihak kepadanya. Wanita itu menggerutu dengan kekesalan yang tengah memuncak.“Sial, sial, sial, sial.”Renata melirik botol yang ada di atas mejanya. Awalnya, wanita itu hampir saja melempar dan membuangnya ke tempat sampah karena menganggap obat itu tidak berguna sama sekali. Ia bahkan sempat mengumpat karena saking marahnya. Namun, ia mengurungkan niat untuk membuang botol obat tersebut.“Mungkin dosisnya yang kurang?”Renata mengambil botol tersebut lalu menatap isinya dengan saksama.“Aku tidak boleh mudah menyerah. Kali ini aku pasti akan berhasil,” ujar Renata kepada dirinya sendiri.Renata akhirnya memutuskan untuk menggunakan obat itu sekali lagi. Namu
Aleta menyuruh dua orang pelayan lain yang berada di dekat sana untuk memberitahu Langit dan Danas segera menemuinya di ruang keluarga. Bi Surti akan diadili di sana.“Baik, Nyonya.” Pelayan itu pun pergi dengan sopan dan segera menjalankan tugas yang diperintahkan padanya.Langit yang berada di dalam ruang kerja pribadinya karena bermaksud menyelesaikan satu urusan yang terlewat langsung mengalihkan perhatiannya pada suara ketukan di balik pintu ruangan tersebut.“Masuk!” teriak Langit. Mempersilakan orang tersebut masuk. Rupanya itu salah seorang pelayan muda yang bekerja di mansionnya.Pelayan yang disuruh itu membuka pintu dan masuk dengan sopan. Berjalan mendekat ke arah Langit dan dengan pandangan tertunduk menyampaikan maksud dan tujuannya menemui sang majikan.“Tuan, Nyonya Besar meminta Tuan menemuinya. Beliau menunggu di ruang keluarga.”Langit mengernyit heran. Tidak biasanya mamanya itu meminta
Langit kebingungan karena mendengar dua kesaksian yang berbeda. Ia ingin mempercayai perkataan bibi yang selama ini melayani keluarganya, tetapi di saat yang bersamaan dia tidak bisa membayangkan kekasihnya melakukan tindakan sekejam itu.Aleta pun sebagai orang pertama yang mendapati pertengkaran keduanya memilih berpihak kepada Renata. Bagi wanita itu, tidak mungkin orang seperti Renata tega melakukannya. Apalagi, selama ini Renata selalu bersikap seolah-olah peduli dengan anak dari Langit.Langit menghela napas pendek. Pria itu memijat keningnya karena pening. Siapa pun pelakunya, pria itu harus membuat keputusan.“Sudah! Kamu tidak perlu berpikir lebih panjang. Jelas-jelas di tangan Bi Surti ada botol itu,” ujar Aleta kepada Langit. Wanita paruh baya itu tidak lagi kuat untuk berdebat. Pasalnya, perdebatan itu kian lama kian alot.“Saya sungguh tidak menyangka Bi Surti sampai tega melakukan ini. Padahal Bi Surti sudah lam
“Kau sudah mengerjakannya atau tidak?” tanya Aleta yang terlihat sedang bersantai di ruang tengah.Danas yang mendengar pertanyaan itu hanya menunduk lalu menjawab dengan suara yang lirih. “Iya.”Sejak kepergian Bi Surti, si kepala pelayan di mansion Langit, banyak kebijakan rumah tangga yang harus disesuaikan. Namun, hal itu tidaklah begitu penting mengingat jumlah pelayan yang bekerja di rumah itu terbilang banyak. Orang-orang di rumah tidak harus memusingkannya.Sayangnya, meski dengan semua fasilitas yang ada di mansion itu, Danas tetap saja disuruh untuk bekerja oleh mertuanya. Padahal, selama ini Danas memang sudah cukup sadar diri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sembari membantu Bi Surti. Namun, mertuanya itu memperlakukannya seolah dirinya tidak pernah melakukan apa-apa. Tentu saja itu semua berkat aduan Renata yang tidak berdasar. Wanita yang menjadi selingkuhan Langit itu perlahan-lahan mulai berhasil mencuci otak Aleta
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu