“Kau layak mendapatkan ini, kau layak menderita. Dasar pembunuh,”
Danas menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba untuk menghilangkan apa yang dikatakan oleh Langit padanya semalam. Perkataan suaminya membuatnya kacau, tuduhan yang jelas-jelas diberikan oleh padanya, jelas-jelas dia tidak melakukannya.
“A-aku bukan pembunuh,” batinnya sambil menggelengkan kepalanya.
Pisau di tangannya tengah memotong bawang Bombay.
“Nyonya, biar aku bantu,” pinta wanita paruh baya mencoba untuk mengambil alih apa yang tengah dilakukan oleh Danas.
“Jangan membantunya.” Sebuah suara terdengar, membuat wanita itu segera menunduk.
“I-iya bi, jangan membantuku. Aku bisa sendiri,” tolak Danas.
Danas melihat pria yang baru saja mengeluarkan suara itu. Dari tangga ia tengah menatap Danas dengan tatapan tajam, hazel matanya penuh kebencian, membuat Danas tengah berada di belakang dapur itu menggenggam erat gagang pisau.
Mengingat perlakuan Langit padanya, membuatnya tidak tahan dengan apa yang tengah terjadi. Dia ingin mengakhiri tuduhan Langit padanya.
“Aku bukan pembunuh,” ucapnya tegasnya. “Aku tidak membunuh, seperti yang kau katakan,” tegasnya sekali lagi.
Langit yang tengah mengancing lengan baju melirik ke Danas. Pria itu tersenyum membuat Danas seketika menelan salivanya, senyuman pria itu membuatnya takut. Ada rasa menyesal telah mengatakan hal itu.
“Bukan pembunuh?” tanya Langit sambil tersenyum miring dan menatap Danas.
Gadis itu ketakutan dengan tatapan devil Langit.
Langit masih membenarkan satu kancing miliknya, kemudian mempererat dasi miliknya. Langkah kakinya turun selangkah demi selangkah dari anak tangga, sedangkan ada gadis yang tengah ketakutan ketika melihatnya.
“Aku cari mati, harusnya aku tidak mengatakan hal itu,” umpatnya. “Aku harus bagaimana?” paniknya. “K-kau ingin apa? Berhenti di sana,” titah Danas, namun tidak didengarkan oleh Langit.
Seketika dirinya ketakutan melihat pria itu turun dari anak tangga dan mendekat ke arahnya.
“Berhenti di sana, jangan mendekat atau aku—akan—bunuh—“
Melihat pria itu mendekat, pikirannya seketika terpikirkan untuk melukai dirinya sendiri.
“Kau ingin membunuhku atau ingin bunuh diri?” tanya Langit sambil tersenyum miring padanya, membuat gadis itu menelan salivanya ketika apa yang tengah dipikirkan diketahui oleh suaminya.
Langit menatap wanita paruh baya yang berada di dekat Danas, membuat wanita itu pergi.
Tubuh Danas seketika menegang, bagaimana tidak, pria itu berjarak semeter darinya. Langit melirik apa yang tengah dikerjakan oleh Danas di dapur, kemudian menatap mata amber milik gadis itu.
Langit masih memberikannya senyuman evil. “Jangan berfikir bodoh, Danas Cakrawala. Hidupmu adalah milikku.” Pria itu memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya, dia tersenyum membuat gadis di depannya makin menegang, mengepal tangan, dan juga membulatkan matanya. “Kau ingin bunuh diri?” tanyanya lagi.
Raut wajahnya seketika berubah. Dingin!
“Jangan harap aku akan membiarkanmu mati dengan tenang, enak saja kau ingin bunuh diri. Aku tidak akan membuatmu mati setelah apa yang telah kau ambil dariku.”
Kini tangannya berada di pangkal leher gadis itu, Danas seketika membulatkan matanya, nafasnya tercekat. Ia berada di mana dirinya ingin mati, namun ingin hidup.
Cengkraman tangan besar Langit, tangannya berusaha untuk melepaskan tangan kekar itu dari lehernya, tapi kekuatan Langit lebih besar darinya.
Pria dihadapannya tidak pernah baik, air mata kini mengalir dari ujung matanya.
“Sial,” umpat Langit seketika melepaskan cengkramannya. “Kau membuat mood-ku jelek pagi ini.”
Melihat air mata membuatnya melepaskan Danas, dan melangkah pergi dari sana. Dia sangat membenci gadis itu, apa yang dilakukan oleh Danas semuanya palsu di matanya. Dendam yang membuat mata hatinya tertutup.
Suara pintu terbuka dengan kasar, dan tertutup membuat pria yang sejak tadi menunggunya di dalam mobil terkejut. Pria itu seketika turun dari dalam mobil dan berniat membuka pintu mobil bagian belakang.
Namun tubuhnya ditarik ke belakang. “Biar aku menyetir sendiri.”
Pria itu ingin berucap namun Langit mendahului dirinya.
Brak!
Terdengar suara pintu mobil yang ditutup dengan keras olehnya, suara mesin mobil, beberapa saat kemudian mobil melaju melewati pintu gerbang.
“Aku yakin pasti terjadi sesuatu,” batin pria itu.
Pakaian rapi, jas hitam, dan kacamata bulat yang dikenakannya tidak membuatnya kehilangan pesonanya, namun kacamata bulat itulah pesonanya. Jefrian—Sopir Langit.
Dalam perjalanan Langit memukul setir mobil karena begitu kesal, sesekali dia berteriak di jalanan, saat mobilnya harus berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah membuatnya mengumpat.
Semua orang yang melihat pria itu menyetir sendiri saat tiba di kantor, hanya bisa menundukan wajah mereka memberi salam.
Siapapun yang melihat wajahnya, akan tahu jika pria itu tengah kesal. Akan terjadi hal yang tidak diinginkan jika mereka sedikit saja menyinggung Langit, karena itu mereka sangat berhati-hati.
Langit masuk ke dalam lift, dari arah belakang pria itu terlihat seorang pria yang terburu-buru ikut masuk, sedangkan beberapa orang yang sejak awal berada di dalam lift segera keluar dari dalam lift.
Pria yang ikut masuk itu, menghidupkan iPad yang tengah dipegang olehnya, dia melakukan beberapa slide.
“Hari ini ada meeting dengan klien,” jelas pria yang mengikutinya masuk ke dalam lift.
“Batalkan!”
“Makan siang bersama dengan—“
“Batalkan!”
“T-tapi—“ melihat ekspresi dari Langit membuatnya mengurungkan niatnya melanjutkan perkataannya.
Begitu jadwal yang dibatalkan oleh atasannya.
“Mereka yang membutuhkanku, bukan aku yang membutuhkan mereka. Jadi, batalkan saja, kita mereka tidak menerimanya, batalkan kerja sama dengan mereka, dan berikan peringatan agar tidak ada cabang perusahaan bekerjasama dengan mereka.”
Pria yang tengah memegang iPad dan memakai kacamata itu hanya bisa menelan salivanya, dia menatap punggung belakang atasannya itu.
Perkataan Langit memanglah benar, begitu banyak orang yang datang padanya, untuk menjadikannya sebagai investor. Menolak mereka adalah hal wajar bagi atasannya.
Tidak sedikit perusahaan yang dibatalkan janji temu bersama pria itu, mendapatkan list blacklist dari daftar perusahaan mendapatkan dana dari Langit karena bersikukuh untuk bertemu dengan pria itu secara langsung.
“Baiklah, aku akan membatalkan semua jadwalmu hari ini,” sambungnya. “Jadi, aku juga membatalkan rapat hari ini?”
Pintu lift terbuka, namun Langit tidak keluar juga dari sana, dia hanya terdiam. “Tidak. Rapat akan tetap ada di kantor.”
Setelah berucap, Langit melangkah keluar dari dalam lift. Pria itu mengikutinya dari belakang.
Marvin Jarvis—asistennya, pria yang tahu segala tentangnya selain teman-temannya. Pria itu—Marvin, sangat menyukai menggunakan kacamata bulat, wajahnya tampan tidak berkurang ketika kacamata bertengger di hidungnya, tapi itulah pesona pria itu.
Pria pintar, cerdas, yang membuat seorang Raka Langit Mahameru mengangkatnya menjadi asistennya ketika pria itu menjadi seorang OB di kantor langit 5 tahun lalu, dan Marvin pun membuktikan jika dirinya layak mendapatkan posisinya saat ini.
Langit melepaskan jas miliknya, dan meletakkannya di kursi.
“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?”
“Apa kau mendapatkan informasi keberadaan Renata?” tanya Langit dengan mata menatap tajam ke arah Marvin. Pertanyaan Langit membuat asistennya menghentikan langkah kakinya untuk meraih jas milik Langit untuk dirapikan. “Tidak, aku belum menemukan keberadaan tentang Nona Renata. Terakhir kali menemukan keberadaannya di Jerman, namun setelah aku mengutus seseorang datang ke sana, Nona Renata tidak ada di sana.” “Aku tidak mau tahu, kau harus menemukannya.” Marvin menatap belakang atasannya itu, ada rasa kasihan darinya. Baginya Langit adalah seorang pria yang sempurna, memiliki segalanya, namun pria itu gagal dalam percintaan ketika atasannya itu ditinggalkan seminggu sebelum pernikahan, dan terpaksa menikah dengan gadis yang paling dibencinya. “Aku telah mengecek tidak ada nama nona Renata keluar dari negara itu. Akan kukirimkan beberapa orang untuk mencarinya.” Tidak ada respon dari atasannya itu. Langit memilih duduk di kursi dia menyandarkan tubuhnya, kemudian memijat kepala,
“Aku menemukan Nona Renata,” seru Marvin. Perkataannya seketika menghentikan langkah kaki Langit. “K-kau menemukannya? Di mana? Di mana kau menemukannya? Katakan padaku, di mana kau menemukannya?” Marvin kini dicecar pertanyaan atasannya membuatnya tidak tahu harus menjawab apa pada pria di hadapannya itu. Langit begitu antusias dengan apa yang dikatakan oleh Marvin, dia ingin segera bertemu Renata. “Di Jerman,” jawab Marvin singkat. Mendengar kekasihnya ditemukan, membuat perasaan Langit sedikit lega, pria itu tidak tahu harus berbuat apa, langkah kakinya bingung harus melangkah ke mana. Marvin yang melihat hal itu, jelas bisa menilai jika atasannya itu tengah bahagia dengan informasi yang dia sampaikan barusan. “Batalkan segala jadwalku, aku tidak ingin ada yang membuatku batal pergi ke Jerman, dan siapkan penerbangan untukku, aku akan pergi sendiri menjemputnya,” ucap Langit “T-tapi, bagaimana dengan Nyonya Danas, dan jika anda pergi—“ Mendengar nama Danas disebut, membua
Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi. Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia. Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya. Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake. Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu. Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya. “A-aku duduk di kursi saja.” Langit mempererat pelukannya. “Ja
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu