“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.”
Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya.
Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu.
“Ah, ternyata kau, Dav.”
Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya.
“Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas.
“Aw …” ringisnya.
“A-ada apa? Kenapa kau meringis?”
“T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar.
“Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.”
“Ya, aku baik-baik saja. Aku kurang tidur.”
Gadis berambut pendek itu hanya menganggukan kepalanya. “Jadi, apa yang terjadi padamu? Kenapa kau mengambil cuti?”
“Em. It-itu—”
Danas seketika bingung, harus menjelaskan apa pada gadis yang tengah bertanya padanya saat itu. Dia ingin menceritakannya pada sahabatnya itu, tapi dia ragu, pria yang menikah dengannya adalah pria yang membuat keluarganya jatuh miskin, dan Davina tahu itu.
Karena bingung, Danas menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, membuat mata Davina membulat.
“Wow, apa ini?” tanya Davina sambil meraih tangan Danas. “Cincin pernikahan? K-kau menikah, dan tidak mengundangku?” tanya Davina dengan sedikit nada kesal di sana.
Danas melihat raut wajah berubah pada sahabatnya, membuatnya bingung harus menjelaskannya darimana apa yang dia alami. Jika dia menceritakannya, maka dia harus mengatakan apa yang terjadi padanya—semuanya.
“Em, biar aku jelaskan, Dav.
“Sudahlah, aku tidak butuh penjelasanmu. Kau menikah, tapi tidak memberitahuku, menandakan jika persahabatan kita tidak berarti.”
“T-tidak begitu, kau adalah sahabatku.”
“Sahabat? Tidak lagi, saat kau tidak memberitahuku jika kau telah menikah.” Penekanan tiap kata membuat hati Danas begitu sakit.
Davina meninggalkan dirinya, pergi menjauh.
“Bukan seperti itu, Dav. Aku ingin menceritakannya padamu, aku ingin mengatakan jika aku butuh dirimu, setidaknya saat aku berada di kampus.”
“Akan kupikirkan cara menjelaskan pada Davina, apa yang terjadi sebenarnya,” gumamnya sambil mempercepat langkah kakinya.
Dia tahu, bukan saatnya berfikir karena waktu telah menunjukan pukul 10, dan sebentar lagi kelas akan dimulai.
Dilihatnya dari kejauhan seorang pria tengah berjalan, membuatnya semakin bergegas untuk masuk ke dalam kelas. Terlambat sedikit, dia bisa saja akan mengulang semester depan.
“Huh! Hampir saja,” gumamnya saat masuk ke dalam kelas, dan dipenuhi oleh begitu banyak pasang mata yang melihatnya.
“Kau hampir terlambat, Dan.”
Hanya senyuman diberikan olehnya untuk menjawab. Dilihatnya Davina sejenak, namun gadis itu memilih untuk tidak melihatnya. Sahabatnya, tampak benar-benar marah padanya.
“Dav, biar aku jelaskan padamu,” bisik Danas, namun gadis yang berada di seberang tempat duduknya tidak merespon sama sekali.
Berkali-kali dia berusaha untuk mencoba berbicara dengan sahabatnya, namun tetap tidak mendapatkan respon sama sekali.
“Danas Cakrawala, apa yang kau lakukan sejak tadi? Apa kau ingin menggantikan aku di sini?” tegur pria yang berada di depan kelas.
Semua orang melihat ke arahnya. Tatapan aneh, apa yang dia lakukan membuat semua orang itu tidak menyukainya, membuatnya hanya bisa menundukan kepalanya melihat buku catatannya di atas meja.
“Ma-maaf pak,” ucapnya pelan.
“Lain kali jangan ulangi lagi atau kau harus keluar dari kelasku dan mengulang semester depan.”
Danas membulatkan matanya, dia tidak mungkin mengulang semester depan. Dia bersusah payah untuk menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin dan mencari pekerjaan, jika dia mengulang maka semua usahanya akan sia-sia.
Lagi-lagi dia menundukan pandangannya sejenak, kemudian melihat ke arah dosen yang tengah berdiri menatapnya dengan dingin, sejak tadi.
“Ba-baik pak, aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Selepas kelas selesai, semua orang bertanya pada Danas, namun dia tidak menghiraukan segala pertanyaan yang diberikan padanya, dia hanya ingin berbicara dengan Davina.
Bisik-bisik terdengar, saat
“Dav … Dav …” panggil Danas, namun gadis yang dipanggilnya tidak menghiraukannya.
“Hei, kalian bermusuhan?” tanya seseorang.
“Hanya salah paham.”
Beberapa hari ini, menjadi hari yang sangat berat untuknya, tidak ada satupun hal baik menurutnya, dan ketika dia pulang, semuanya akan berubah, rumah yang seharusnya melindungi, tetapi nyatanya adalah neraka yang tengah menunggunya dengan hal baru.
Danas hanya membolak-balikkan halaman buku, yang tengah dibaca olehnya. Perkataan Langit semalam membuatnya tidak berhenti berpikir, apa yang telah dia lakukan, kenapa suaminya itu mengatakan dia seorang pembunuh.
“Apa yang aku lakukan?” gumamnya kecil. “Siapa yang kubunuh?” gumamnya lagi.
Lamunannya terhenti, ketika ponselnya bergetar, menampilkan sebuah nama di sana.
“Langit memanggil”
Melihat nama itu di layar ponselnya sontak membuatnya terperanjat kaget, membuat kursi yang diduduki, bergeser ke belakang.
“Tolong, jangan berisik. Ini perpustakaan.”
“A-aku minta maaf,” ucapnya sambil merapikan bukunya dan buru-buru pergi dari sana.
Dia tidak percaya, hari ini dia begitu banyak melakukan kesalahan. Bermusuhan dengan sahabatnya, ditambah dengan kejadian di kelas dan perpustakaan, dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia pulang nanti, mengingat wajah Langit membuatnya tubuhnya menegang karena ketakutan.
Di perjalanan dia tengah melamunan, membuatnya menabrak seorang pria.
Buku-bukunya berserakan di mana-mana.
“M-maaf, aku tidak sengaja. Aku tidak melihatmu,” kata Danas dan orang yang ditabraknya secara bersamaan.
Danas sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan, dibantu oleh pria yang ditabraknya itu.
“M-maaf, aku terburu-buru,” kata Danas meminta maaf.
“Aku yang harusnya minta maaf,” kata pria itu sambil menyodorkan sebuah buku pada Danas.
Danas mengambil buku itu, dan menaruhnya di bagian atas.
“Em. Boleh aku bertanya sesuatu, apa kau mengenal Davina Rahwani?”
Danas melihat ke arah pria yang tengah mengajaknya bercerita itu. Seorang pria dengan pakaian rapi. Kemeja berwarna abu-abu, celana drill hitam, rambut sedikit acak-acakan, dengan lengan baju yang dinaikan sampai siku.
“Maaf, apa anda tidak bisa mendengar apa yang aku katakan?” tanya pria itu, namun tidak ada respon dari gadis di depannya. “Ah, maaf, anda tunarungu rupanya,” kata pria itu sambil memakai bahasa isyarat.
“Kau mencari Davina?” tanya Danas yang telah sadar dari lamunannya. Pria itu menganggukan kepalanya. “Dan ak-aku orang normal,” kata Danas membuat pria itu seketika minta maaf. “Aku melihatnya saat kelas selesai,” kata Danas lagi. ”Maaf, aku harus segera pergi,” kata Danas sambil bergegas meninggalkan pria itu.
Ponselnya bergetar terus menerus, menampilkan satu nama yang membuatnya begitu ketakutan, dan ingin segera kembali ke rumah.
“Kenapa tidak mengangkat telponku?” Sebuah suara membuatnya terkejut.
Matanya sedikit membulat dengan tubuh menegang ketika melihat seorang pria yang tengah berada di dalam mobil, menatapnya dengan tatapan dingin, dan ingin mencengkramnya itu.
“A-aku—”
“Masuk,” titah Langit.
Danas tidak beranjak dari tempat duduknya, namun mematung. Bagaimana tidak, suara pria itu begitu membuatnya ketakutan.
“Apa yang kau tunggu, bukankah aku menyuruhmu masuk ke dalam mobil?”
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
Mata Danas membulat, ketika ada sentuhan lembut dilehernya. Pria yang tengah memeluknya mempererat pelukannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Hanya beberapa saat saja, hal itu terjadi kemudian Langit mencoba menjauhkan diri dari gadis itu dengan mendorong tubuh Danas, kemudian menariknya kembali agar masuk ke dalam pelukannya. “Apa kau sedang menggodaku?” tanya Langit. “T-tidak, aku tidak menggodamu.” “Tapi kenapa kau—“ Melihat Danas yang tengah tertunduk karena takut, membuat Langit mendengkus pelan. Ada ego yang membuatnya tidak menerima jika dirinya yang tergoda namun lagi-lagi dirinya tidak ingin mengakui hal itu. Ada rasa candu yang tengah mengebu di dasar hatinya, aroma tubuh Danas seakan tengah memikatnya untuk mencicipi tubuh ini. “Sial, kenapa dia menggodaku. Aroma tubuhnya begitu membuatku nyaman,” umpatnya. Suasana ruangan masih gelap, dengan alunan piano yang masih berlanjut, dansa pun masih belum selesai. Beberapa orang telah ikut bergabung di lantai dansa, sedang
“Apa yang kalian bicarakan?” Danas melihat ke arah pria yang tengah berada di sampingnya. Ada sedikit ketakutan di mata Danas ketika Langit bertanya padanya. “Apa kau tiba-tiba bisu, setelah tertawa begitu puas saat bersama gadis itu?” “Alexa Amareta—namanya.” “Jadi namanya Alexa.” Langit mengangguk pelan. “Dia hanya menceritakan hal lucu, itu saja.” Langit menatap gadis yang bersamanya itu, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Danas. Tatapan penuh menyelidiki. “Dia bertanya, kapan kita bertemu dan jatuh cinta tapi aku tidak menjawabnya.” “Sudah kuduga, dia pasti mendekatimu untuk bertanya hal seperti itu. Jangan bertemu dengannya lagi, dia memiliki niat buruk untuk mencari tahu tentang hubungan kita.” Danas menunduk sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perkataan Langit, menyadarkannya satu hal, jika hubungan mereka tidak layak untuk dipublikasikan pada banyak orang. Menjadi istri seorang Langit, adalah sebuah masalah untuknya, dia pun tahu itu. Di luar
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
Danas tidak pernah melihat pria yang menegurnya sebelumnya. “Siapa aku? Kau tidak perlu kau tahu, aku siapa. Em, dan kenapa aku ada di sini karena melihat gadis cantik memasang wajah seperti ingin mengakhiri hidupnya, apalagi lewat tangga darurat. Kupikir kau akan bunuh diri. Itu, tidak akan baik jika kau bunuh diri di sini.” “Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur urusan orang lain,” ucap Danas ketus, kemudian memilih untuk pergi dari sana sedang pria itu hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya kemudian melangkah keluar dari pintu tangga darurat. Langit menghentikan langkah kaki saat melihat pria yang baru saja keluar itu. “Jagad, sedang apa kau di sini? Dan, apa yang kau lakukan di sana?” tanya Langit yang baru saja keluar dari dalam ruangannya. “Menyapa teman,” jawab pria itu dengan santai. “Dan, itu—hanya penasaran pada wanita cantik yang ada di sana, kupikir dia akan bunuh diri jadi aku mengikutinya tapi dia mengabaikanku.” Langit men
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu