Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi.
Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia.
Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya.
Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake.
Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu.
Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya.
“A-aku duduk di kursi saja.”
Langit mempererat pelukannya. “Jadilah anak baik, duduk dengan tenang. Kau pikir, aku akan memelukmu seperti ini, aku tidak ingin mereka berpikir yang tidak-tidak tentangku,” bisik Langit.
Ada rasa sakit ketika suami sendiri yang mengatakan hal itu padanya, walaupun dia tahu jika yang terjadi hanyalah sandiwara, tapi tetap saja sakit ketika Langit yang mengatakannya.
Tangannya dikepalkan dengan erat, berusaha tegar. Dia tidak bisa mengatakan bagaimana rasa sakit yang tengah dipendamnya dalam hati, menerima semua perlakuan pria itu. Usia pernikahan mereka belum satu minggu, tapi dirinya tidak tahan dengan apa yang sedang terjadi pada hidupnya.
Duduk dipangkuan Langit, membuat tubuhnya sedikit menegang, dia takut jika membuat kesalahan, akan membuat suaminya marah.
Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat tubuhnya makin menegang. Tidak pernah dia merasa sedekat ini dengan Langit. Berada di dalam pelukan pria itu, membuatnya takut.
“Aku tidak akan kasar padamu, jangan membuat semua orang di sini menatap aneh ke arah kita,” bisik Langit.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Danas, gadis itu memilih untuk diam, dan tersenyum. Sesekali Langit mengajaknya berbicara beberapa hal kecil, kemudian kembali diam.
Pura-pura tersenyum, rasanya begitu menyakitkan.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan membuatnya tanpa sadar bersandar di dada bidang Langit, perlahan-lahan gadis itu tertidur. Pria itu sejenak melirik ke arah istrinya yang telah tertidur di pangkuannya itu.
Gadis itu tertidur dengan pulas, seakan tidak terjadi apa-apa. Langit menatap wajah Danas yang tengah tertidur.
“Cantik, tapi aku tidak berniat untuk baik padanya,” batinnya.
Aroma mint, dan vanilla dari tubuh Danas membuat pria itu tanpa sadar memeluk gadis yang dipangku olehnya. Dirinya bahkan tidak sadar, jika bahwa dia tengah kecanduan dengan wangi tubuh Danas.
“Aku tidak bisa berbohong, jika aroma tubuhnya membuatku tenang,” batinnya.
Danas yang tengah berada dalam pangkuannya ikut terlelap dengan suaminya yang tertidur sambil memeluknya.
Samar-samar terlihat langit-langit kamar dengan seorang pria yang tengah berbaring di sampingnya.
“Kapan kami sampai di Jerman?” tanya dalam hati sambil beranjak dari tempat tidur.
Matanya menjelajahi ruangan itu, diikuti langkah kaki yang tengah menyelidiki setiap ruangan.
“Wah, ini seperti sebuah apartemen,” batin Danas.
Dia mencari tas miliknya, tetapi tidak menemukannya.
“Aku harus bergegas mandi, sebelum dia bangun,” gumamnya sambil melangkah ke kamar mandi.
Wajahnya dibasuh lebih dulu dengan air, sambil menatap tajam ke arah kaca yang tengah berada di depannya.
Pantulan wajahnya yang berada di dalam kaca membuatnya prihatin pada dirinya sendiri. Dia seharusnya orang paling bahagia, bisa menikah tapi bukan pernikahan seperti ini yang dia inginkan.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, membuat Danas bisa melihat jika Langit tengah berada di belakangnya saat ini. Sejenak mata mereka berada dalam satu garis lurus, menyadari kedatangan Langit membuat lamunannya buyar dan cepat berlalu dari sana.
Tidak banyak yang dia lakukan pagi itu, duduk menyantap sarapan yang telah dihidangkan, dengan suaminya yang pergi entah ke mana. Terkadang dia berjalan keluar balkon sambil melihat pemandangan luar balkon.
“Nona,” panggil Marvin membuat gadis itu menoleh ke asal suara yang memanggilnya.
“Anda tidak bosan berada di sini?” tanya pria itu.
Danas menghela nafasnya dengan pelan.
“Kamu sudah lama bekerja dengannya bukan?” tanya Danas membuat Marvin.
Pria itu menganggukan kepalanya. Danas menyandarkan tubuhnya di pagar balkon, menatap ke arah pria yang tengah berada di depannya.
“Jadi, apa kau tahu kenapa dia membenci?” tanya Danas dengan pelan.
Marvin mengerutkan keningnya, dirinya tidak percaya akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari wanita yang kini menjadi istri atasannya.
“I-itu karena—“
Gadis itu berharap mendapatkan jawaban, mengapa suaminya begitu membenci dirinya, alasan Langit yang mengatakan jika dirinya seorang pembunuh.
Ddzz …
Marvin meraih ponsel dari sakunya, kemudian melihat ke arah Danas.
“Maaf, Nyonya. Aku harus menerima telfon ini,” ucap pria itu kemudian beranjak dari sana.
Dirinya tidak mendapatkan jawaban ketika perkataan pria di depannya harus terpotong dengan sebuah panggilan telepon.
“Huh!” Helaan nafas panjang, sambil menikmati pemandangan langit yang akan gelap saat itu. Tanpa teman, tanpa seseorang yang membuatnya merasakan kesendirian.
Langit Jerman saat itu, tampak indah, dan tampak begitu luas untuk dirinya sendiri. Suaminya entah pergi ke mana setelah meninggalkannya. Diabaikan mungkin adalah kata yang tepat untuknya.
Honeymoon seperti apa, meninggalkan pasangannya. Bahkan sangat jauh dari kata honeymoon, lebih tepatnya saat ini bukanlah honeymoon.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka, terlihat Langit pulang dengan pakaian yang tidak lagi rapi seperti saat pria itu keluar. Kancing pakaian yang telah terbuka, dan hilang.
Danas meraih tubuh atletis itu, membuatnya mengibaskan tangannya karena mencium bau alkohol dari tubuh suaminya.
“Kenapa dia minum banyak sekali,” keluh Danas sambil membaringkan suaminya di atas ranjang.
Sepatu, dan juga kaos kaki dilepaskan olehnya.
Sebuah ketukan terdengar.
“Kamu …”
Danas melihat Marvin yang berada di depan pintu kamar mereka, sambil mengukir senyum.
“Apa yang terjadi? Kenapa—“
“Tuan mabuk-mabukan.”
Gadis itu melihat Langit yang tidak sadarkan diri, kemudian beralih menatap tajam ke arah Marvin, kemudian menutup pintu kamar dari luar.
“Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kenapa dia datang ke sini.”
“It-itu.”
“Marvin …” Suara Danas terdengar mengintimidasi pria yang ada di depannya saat ini.
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain.”
“Baik, kita pergi ke kantin.”
Danas melangkah perlahan. “Nyonya, kantinnya bukan ke arah sana, tapi ke arah sini.”
Gadis itu memutar tubuhnya melihat ke arah Marvin. “Ah, ke sana, ya.”
Langkah kakinya mengikuti pria yang menjadi asisten suaminya itu, tidak ada yang membuka suara saat mereka berada di dalam lift. Marvin menuntun Danas menuju meja dan memesan minuman.
“Jadi, ceritakan padaku segala yang kau tahu,” ucap Danas sambil melihat ke arah Marvin. “Apa yang membuatnya datang ke sini?”
“Se-sebenarnya Tuan datang ke sini untuk mencari Nona Renata.”
“Re-renata?” tanyanya.
Dirinya agar terkejut mendengar nama itu.
“Siapa Renata?”
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.”
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
Mata Danas membulat, ketika ada sentuhan lembut dilehernya. Pria yang tengah memeluknya mempererat pelukannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Hanya beberapa saat saja, hal itu terjadi kemudian Langit mencoba menjauhkan diri dari gadis itu dengan mendorong tubuh Danas, kemudian menariknya kembali agar masuk ke dalam pelukannya. “Apa kau sedang menggodaku?” tanya Langit. “T-tidak, aku tidak menggodamu.” “Tapi kenapa kau—“ Melihat Danas yang tengah tertunduk karena takut, membuat Langit mendengkus pelan. Ada ego yang membuatnya tidak menerima jika dirinya yang tergoda namun lagi-lagi dirinya tidak ingin mengakui hal itu. Ada rasa candu yang tengah mengebu di dasar hatinya, aroma tubuh Danas seakan tengah memikatnya untuk mencicipi tubuh ini. “Sial, kenapa dia menggodaku. Aroma tubuhnya begitu membuatku nyaman,” umpatnya. Suasana ruangan masih gelap, dengan alunan piano yang masih berlanjut, dansa pun masih belum selesai. Beberapa orang telah ikut bergabung di lantai dansa, sedang
“Apa yang kalian bicarakan?” Danas melihat ke arah pria yang tengah berada di sampingnya. Ada sedikit ketakutan di mata Danas ketika Langit bertanya padanya. “Apa kau tiba-tiba bisu, setelah tertawa begitu puas saat bersama gadis itu?” “Alexa Amareta—namanya.” “Jadi namanya Alexa.” Langit mengangguk pelan. “Dia hanya menceritakan hal lucu, itu saja.” Langit menatap gadis yang bersamanya itu, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Danas. Tatapan penuh menyelidiki. “Dia bertanya, kapan kita bertemu dan jatuh cinta tapi aku tidak menjawabnya.” “Sudah kuduga, dia pasti mendekatimu untuk bertanya hal seperti itu. Jangan bertemu dengannya lagi, dia memiliki niat buruk untuk mencari tahu tentang hubungan kita.” Danas menunduk sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perkataan Langit, menyadarkannya satu hal, jika hubungan mereka tidak layak untuk dipublikasikan pada banyak orang. Menjadi istri seorang Langit, adalah sebuah masalah untuknya, dia pun tahu itu. Di luar
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu