Share

Chapter 07: Whos He Actually?

Kenapa dia hanya diam? Pikiran itu bergema di benak Kaia. Apa ada yang salah dengan permintaanku? Tangan gemetarnya masih terasa dingin setelah meraih pria itu, tapi yang dia dapatkan hanyalah tatapan kosong dan sikap tak acuh yang menembus jauh ke dalam dirinya. Kenapa dia tidak merespon? Apakah dia tak mengerti kata-katanya?

Dia tidak tahu bagian mana yang salah dari meminta bantuan orang yang baru ditemuinya. Kaia pikir dia sudah melakukan dengan cara yang benar. Apa mungkin pria ini tidak mengerti bahasanya? Kaia memutar ulang kata-katanya dalam benaknya, mencari kesalahan. Dia berbicara dalam bahasa yang diajarkan Astrid—bahasa yang digunakan orang-orang dari tanah asing. Astrid pernah berkata bahwa orang-orang dari tanah asing memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda. Di antara banyaknya bahasa yang mereka punya, ada satu bahasa yang paling sering mereka pakai untuk berkomunikasi. Itulah bahasa yang dia gunakan tadi. Tapi kenapa pria ini tak menjawab?

Tatapannya kembali menelusuri wajah pria itu, wajah yang tampaknya tidak asing. Mhyer pernah memperlihatkan wajahnya dalam mimpi, memberinya pesan samar untuk mengingatnya. Tetapi Kaia masih terjebak dalam kebingungan. Apa arti dari nubuat itu?

Takdir macam apa yang dimaksud Mhyer? Tak bisakah sang dewi memberinya petunjuk tentang sosok pria ini? Apakah dia orang baik atau jahat? Dan bagaimana bisa takdirnya terhubung dengan pria ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di pikirannya, menghantam kesadarannya seperti gelombang pasang. Tatapan pria itu begitu dingin dan tak terjamah, membuat jantung Kaia berdebar tak menentu. Matanya memancarkan kesan bahwa dia bukan hanya melihatnya, tetapi menilainya, merendahkannya, seolah dia tak lebih dari benda mati di hadapannya. Mata itu penuh penilaian yang tajam seperti pisau yang siap menembus kulitnya.

Tiba-tiba pikiran liar melintas dalam benaknya. Kaia melangkah mundur, instingnya menariknya ke sudut sel yang terasa lebih aman, tempat perlindungan kecilnya yang rapuh. Matanya gemetar, tak berani menatap langsung ke arah pria itu lagi. Mengapa dia tidak menyadarinya? Pria itu tiba-tiba muncul entah dari mana di tempat dia ditawan. Bagaimana mungkin pria ini bisa masuk dengan begitu mudah ke dalam penjara ini? Selain para penjaga tahanan tidak pernah ada orang yang masuk kemari. Di mana keributan, di mana tanda-tanda perlawanan atau penyelamatan yang biasanya terjadi ketika seorang penyelamat datang?

Semuanya terasa terlalu tenang. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan ini. Di luar sel tak ada suara gaduh atau langkah kaki terburu-buru. Ketegangan menggantung di udara seperti napas yang tertahan terlalu lama. Matanya menyapu sekeliling dan menyadari sesuatu yang dia abaikan sebelumnya—teman-temannya, tikus-tikus yang setia menemaninya, mulai bertingkah aneh. Mereka tampak gelisah, bergerak lebih cepat, mencicit lebih sering. Ada sesuatu yang salah dan perlahan-lahan Kaia menyadarinya.

“Cukup menarik.” Suara Hunter yang tenang memecah keheningan, menggema seperti denting logam dingin.

Hunter sudah cukup lama mengamati wanita itu—dari interaksi anehnya dengan tikus-tikus kecil hingga perubahan ekspresinya yang kini penuh ketakutan. Matanya berpindah-pindah dari makhluk-makhluk kecil itu ke sosok wanita yang kini beringsut di sudut sel ddngan tubuh gemetar. Masih ada jejak sentuhan tangannya di kulit Hunter, kasar dan kering, bekas luka dan kelelahan yang terlalu lama menempel. Gaun yang dikenakannya compang-camping penuh sobekan yang menceritakan kisah tersendiri—kisah kekerasan, penderitaan, dan penghinaan.

Bayangan kelam tentang siksaan yang dialami wanita itu melintas di benak Hunter. Dia bisa membayangkan bagaimana ruangan ini menjadi tempat gelap dan pengap, tempat seseorang mencoba merampas kemanusiaan wanita ini. Gaun kotor yang sobek-sobek, tubuh yang dipenuhi luka, semua itu menjadi bukti bisu dari kekejaman yang dihadapinya. Meski begitu, tidak ada rasa simpati yang muncul di hati Hunter. Dia hanya melihat barang dagangan yang tidak diperlakukan dengan baik.

Luke telah menyia-nyiakan sumber kekayaannya. Bukannya merawat para wanita Mhthyr dengan layak, dia membiarkan bawahannya merusak mereka. Para wanita ini adalah komoditas berharga dan cara Luke menangani mereka sama sekali tidak efisien.

Tatapan Hunter kembali ke wanita itu. Kepalanya tertunduk, seolah-olah ingin menghilang dari pandangan dan bibirnya bergerak, menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Saat Hunter memfokuskan perhatiannya, dia menyadari bahwa wanita itu berbicara kepada tikus-tikus di sekitarnya. Matanya berubah warna dari hazel menjadi merah, berkilauan dengan cahaya yang tidak wajar.

Apa ini sihir? Di dunia modern seperti ini? Hunter hampir tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Manusia yang bisa berbicara dengan binatang? Kedengarannya seperti dongeng belaka, sesuatu yang akan dia abaikan begitu saja jika tidak melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Wanita ini, dengan kemampuannya yang aneh, adalah sesuatu yang jauh lebih menarik daripada yang pernah ia bayangkan.

Semakin lama Hunter mengamatinya, semakin tertarik dia pada kemampuannya. Sejauh ini wanita ini adalah boneka yang paling menarik. Bibir Hunter pun membentuk seringai licik.

Kaia mengangkat pandangannya sedikit, merasakan tatapan pria itu semakin intens. Jantungnya berdegup kencang, sementara suara lembutnya terus berbisik kepada tikus-tikus yang mengelilinginya, mencari perlindungan dalam interaksi yang telah menjadi satu-satunya penghiburannya. Tapi dalam benaknya, rasa takut yang dalam mulai tumbuh. Pria ini berbeda. Tatapannya begitu dingin, begitu jauh, seolah-olah apa yang dilihatnya bukan manusia, melainkan alat yang bisa dia manfaatkan.

“Tidak sopan tiba-tiba menjauh setelah meminta bantuan seseorang.”

Suara Hunter yang lembut dan penuh otoritas membuat Kaiâ tersentak. Dia mengalihkan pandangannya ke depan, tepat bertemu dengan mata pria itu. Mata gelap Hunter memandangnya dengan intensitas yang sulit diabaikan, seperti seorang pemburu yang menatap mangsanya, tapi wajahnya tetap tenang, hampir tak terbaca. Tatapannya yang menusuk membuat Kaiâ merasa tak nyaman, tapi dia tak bisa mengalihkan pandangannya.

Keberanian yang tiba-tiba muncul dari Kaia menarik perhatian Hunter. Wanita itu, yang tadi ketakutan, kini berdiri menantang, meski dengan sedikit keraguan di matanya. Keteguhan yang rapuh ini membuat Hunter semakin tertarik. Dia menyembunyikan kegembiraan itu di balik sikapnya yang tak acuh, tapi di dalam dirinya, ada keinginan untuk menjadikan Kaia sebagai boneka pribadinya, sesuatu yang bisa dia kendalikan dan mainkan sesuka hati.

“Mungkin aku bisa membantumu,” katanya.

Hunter tahu dia memang bisa membantu. Kekayaan dan kekuasaan yang dia miliki cukup untuk mengerahkan tim tentara bayaran terbaik di dunia, yang dengan mudah bisa membantu Suku Mhthyr merebut kembali pulau mereka. Luke Lantsov hanyalah rintangan kecil yang tak berarti dan tim Hunter pasti akan menang telak melawannya. Tapi sayangnya, Hunter tidak memiliki niat sedikit pun untuk membantu. Kebohongan halus itu dilontarkan hanya untuk memancing Kaia agar lebih dekat, untuk menariknya lebih dalam ke dalam jaring permainannya.

“Coba mendekat,” katanya dengan suara lebih lembut. “Biarkan aku mendengarkan ceritamu.”

Kaia bergeming, tampak meragukannya. Keraguan itu tampak di wajahnya, lalu seolah merespons perasaan was-wasnya, tikus-tikus kecil di sekitarnya mencicit dengan nada panik, memperingatkan dan memohon agar dia tidak mendengarkan pria ini. Suara mereka semakin berisik, Kaiâ tampak semakin bingung. Mereka mengatakan Hunter adalah orang berbahaya, seorang pria yang tak bisa dipercaya.

“Kenapa? Apakah mereka melarangmu mendekatiku?” Hunter hanya menebak, tapi sepertinya tebakannya itu benar melihat dari reaksi kaget si wanita. Wanita itu terlihat semakin ragu, mendengarkan suara-suara kecil di sekitarnya yang memperingatkannya.

Hunter mendesah pelan, membiarkan kebohongannya bermain lebih dalam. “Baiklah. Kalau kau tidak mau, tak masalah. Aku akan keluar dari sini dan mungkin tidak akan pernah kembali. Jika kau masih membutuhkan bantuanku, katakan sekarang. Jika tidak, aku akan pergi.”

Nada dingin dalam suaranya membuat Kaia semakin panik. Kebimbangan menggerogoti dirinya—apakah dia harus mendengarkan teman-teman kecilnya yang memperingatkannya atau apakah dia harus mempercayai pria asing ini yang mungkin bisa membantunya? Di dalam hatinya, dilema berkecamuk, namun ketika Hunter mulai berbalik dan melangkah keluar, keputusan itu seakan dipaksakan kepadanya.

Mungkin ... mungkin dia bisa membantunya, pikirnya.

Kaia seketika berlari, tangannya yang gemetar meraih tangan Hunter, takut kehilangan kesempatan terakhir ini.

Hunter tersenyum dalam hati, menyeringai penuh kemenangan, tapi wajahnya tetap tenang saat dia berbalik. Senyum yang tadi lebar segera hilang, digantikan dengan ekspresi pura-pura ramah yang penuh kepalsuan.

“Ka-kau benar bisa membantuku?” tanya Kaia penuh harap.

“Mungkin,” jawab Hunter, suaranya tetap penuh teka-teki, mempermainkan harapan yang tergantung di udara.

Kaia menggigit bibirnya yang bengkak, sisa dari kekerasan yang dia alami beberapa hari sebelumnya. Rasa sakit itu menyadarkannya pada realitas yang pahit, tapi harapan akan kebebasan mendorongnya untuk tetap bertanya meskipun penuh keraguan. “Apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku?”

Kaia yang masih ragu-ragu menurunkan pandangannya, memandangi pakaian kotornya yang sudah tak layak pakai lagi.

Tinggi tubuhnya yang menjulang membuat gerakan itu terasa menakutkan bagi Kaiâ, yang langsung merasa tegang. Mata Kaia bergetar, penuh ketakutan dan trauma. Hunter bisa melihat bagaimana setiap gerakan yang mendekati wanita itu membuatnya semakin takut, semakin gemetar. Tapi dia menikmati setiap detik dari ketegangan yang diciptakannya.

“Mari kita simpulkan begini saja.” Hunter mendekat, menurunkan tubuhnya hingga setara dengan Kaiâ di balik sel. Tinggi tubuhnya yang menjulang membuat gerakan itu terasa menakutkan baginya yang langsung merasa tegang. Mata Kaia bergetar, penuh ketakutan dan trauma. Hunter bisa melihat bagaimana setiap gerakan yang mendekati wanita itu membuatnya takut dan gemetar. Tapi dia menikmati setiap detik dari ketegangan yang diciptakannya.

“Kau mau keluar dari penjara ini, bukan? Aku bisa membantumu ... dan juga teman-temanmu.”bJanji manis yang terbungkus kebohongan meluncur mulus dari bibirnya.

Meski tubuhnya gemetar, Kaia tak bisa menahan rasa harap. Matanya yang penuh kepedihan menatap pria itu, mencoba mencari kebenaran dalam kata-katanya. Namun keraguan terus membayangi, suara-suara dari binatang kecil yang terus memperingatkannya bergema di telinganya, memintanya untuk menjauh, untuk tidak percaya pada pria ini. Tetapi jika dia tidak menerima bantuan ini sekarang, Hunter akan pergi, dan mungkin tidak pernah kembali.

“Tidak sulit untuk mengeluarkanmu.”

Namun, ada sesuatu tentang Hunter yang tidak bisa dibaca. Tatapan matanya dingin, ekspresi wajahnya nyaris tak terjamah, seolah semua emosi yang dia miliki tersembunyi jauh di dalam. Orang-orang seperti pria ini lebih baik dihindari, tiba-tiba Kaia teringat perkataan Roxy. Tapi di saat yang sama, dia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan untuk keluar dari tempat terkutuk ini.

Hunter, yang bisa membaca keraguan dan kepolosan di wajahnya, hampir tidak bisa menahan seringai puasnya. Wanita ini terlalu mudah dibaca, terlalu mudah ditipu. Dia terlalu lugu sehingga tidak terlalu sulit bagi Hunter menipunya dengan tipuan kecil. Lihatlah mata itu yang menatapnya dengan polos, seperti mata seorang anak kecil. Mata yang memancarkan ketakutan dan harapan yang bercampur. Hunter memahami keraguannya dan jika dia tidak meragukannya, maka dia pasti bodoh.

Apakah semua wanita Suku Mhthyr begini? Hunter mendengar mereka hidup secara terpisah dari dunia luar, tapi mereka juga rutin mengirim seorang utusan suku untuk berkelana ke tanah asing, entah untuk berdagang atau mencari ilmu. Ada banyak berita beredar di luaran sana tentang wanita mhthyr. Suku Mhthyr cukup terkenal karena keunikan mereka. Di mana anggota sukunya tidak ada yang berjenis kelamin laki-laki, semua anggotanya wanita. Persis seperti kisah Suku A****n dalam Mitologi Yunani, yang dikenal sebagai tanah lahir Diana atau yang dikenal sebagai Wonder Woman.

“Kau tidak perlu mempercayaiku sekarang. Aku memang berniat untuk membawamu keluar. Jadi, persiapkan dirimu. Jangan melawan saat seseorang datang untuk menjemputmu setelah aku pergi dari sini,” ucap Hunter dingin, suara kebohongannya begitu manis di telinga.

Hunter merasa puas, dia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di sini dan rasa penasarannya terhadap wanita ini sudah cukup terpenuhi. Tatapan dinginnya menyapu ruangan, merasa semua rencana ini berjalan sesuai keinginannya. Wanita ini akan menjadi salah satu bonekanya dan dia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Luke Lantsov.

Kaia hanya bisa menatap saat Hunter berbalik dan pergi, jejak langkahnya menggema di lorong yang gelap. Sekali lagi dia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketakutan, dan setelah memohon bantuannya, dia kini merasa seolah pria itu mengabaikannya begitu saja. Pikirannya berputar-putar, penuh dengan lubang-lubang keraguan yang terus menggali lebih dalam di hatinya.

"Maafkan aku," bisik Kaiâ pada teman-teman kecilnya yang kini diam, tak lagi mencicit. “Aku hanya ingin mempercayai instuisiku.”

Para binatang kecil di sekitarnya tetap diam. Namun, mereka tidak pernah berhenti memperingatkan Kaia jika dia harus mengupayakan segala cara agar bisa melarikan diri pria tadi.

Demi menghibur teman-temannya, Kaia tersenyum tipis. “Di antara saudari-saudariku, aku yang paling jago melarikan diri. Jadi, serahkan masalah itu padaku.”

Kaia sangat percaya diri dengan kemampuannya melarikan diri. Akan tetapi, bisakah dia melarikan diri dari tempat yang jauh berbeda dari sukunya? Bahkan seekor tikus kecil pun dapat terlacak tempat persembunyiaannya di tengah-tengah kemajuan teknologi di zaman modern ini.

Sayangnya, Kaia salah jika berpikir bisa lolos dari pria seperti Hunter. Dia sudah masuk dalam permainan dan Hunter tidak akan membiarkannya lepas begitu saja.

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Yang kuat berkuasa; yang lemah menunduk. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Luke saat dia memandangi Fabio Morgan dari seberang meja. Amarahnya mendidih di bawah permukaan seperti api yang menunggu untuk berkobar. Luke bersumpah akan membalas penghinaan ini begitu dia mendapatkan kembali semua yang pernah menjadi miliknya.

Fabio Morgan hanya anak kemarin sore yang sangat sombong dan sok berkuasa. Hanya karena dia anak seorang presiden, Fabio senang menganggap rendah seseorang. Dulu sewaktu Luke masih mendapatkan gelar kebangsawanannya, Fabio tidak pernah berani menatap langsung Luke dengan mata rendahannya itu. Kini setelah kebangsawaannya dilucutio, pria itu mulai menunjukkan taringnya dan menganggap Luke bukan apa-apa lagi. Fabio tidak perlu lagi menundukkan kepala di hadapannya yang kini sudah jatuh miskin setelah diusir dari keluarganya sendiri.

Luke mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, jemarinya menggenggam udara kosong dengan frustrasi. Pemuda itu baru berumur 20 tahun, tapi sikapnya sudah seperti seorang ditaktor. Postur tubuhnya tinggi dan kekar, seperti pemain NBA, membuatnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Jika berhadapan langsung dengannya, Luke harus mengangkat tinggi kepalanya untuk bisa menatap langsung ke mata pemuda itu. Inilah sebabnya dia benci ketika bertemu Fabio yang postur tubuhnya lebih tinggi darinya. Dia selalu merasa telanjang setiap kali pria muda itu memperhatikannya dari ketinggiannya—seolah Fabio dengan sengaja menggunakan tubuh besarnya untuk mendominasi ruang di sekitarnya, memaksa Luke untuk merasa lebih kecil.

Meski darahnya mendidih, Luke tahu dia harus menahan diri. Bagaimanapun dia masih membutuhkan Fabio dan kekayanannya untuk rencana bisnisnya. Ayah Fabio adalah seorang presiden. Jika Luke bisa mendekati seorang presiden melalui putranya, dia bisa mendapatkan bantuan si presiden untuk masalah bisnisnya yang berhubungan dengan pajak.

Luka mendengar sebuah rahasia, sisi gelap seorang pemimpin negara yang terkenal sikap bijaksananya. George Morgan, di balik topengnya sebagai pemimpin negara yang bijaksana, adalah pemangsa anak-anak muda. Presiden sering menghabiskan waktu di hotel-hotel mewah bersama gadis-gadis muda panggilan. Kisah gelap ini terselubung rapi di balik agenda “liburan keluarga” yang selalu diumumkan secara resmi.

Hanya sedikit orang mengetahui sisi gelap sang presiden. Istri dan putranya mengetahuinya, tapi mereka memilih tutup mulut. Tentu saja harus, karena mereka tidak mau kehilangan segalanya. Luke sendiri mengetahui sisi gelap presiden secara tak sengaja sewaktu membuat Fabio Morgan yang baru berumur 17 tahun mabuk.

“Berapa lama lagi aku harus menunggu? Aku harus segera melihat para wanita itu, Luke!” ujar Fabio dengan tak sabar. Suaranya berdengung dengan kesombongan, seperti orang yang menganggap dirinya berada di puncak dunia.

Luke bisa merasakan tulang rahangnya mengeras mendengar nada perintah dari mulut bocah itu. Dia memang berencana mendekati presiden dengan memanfaatkan wanita Suku Mhthyr, sekaligus mengikat George Morgan di genggamannya dengan rahasia gelapnya. Tapi dia tidak ingin membiarkan Fabio, si anak sombong ini, merusak rencananya dengan sikap angkuhnya. Dia harus memastikan bahwa George Morgan, bukan Fabio Morgan, yang melihat wanita-wanita itu pertama kali.

Namun, situasi ini sulit. Di ruang bawah tanah mansionnya masih ada Hunter Riviera. Hunter tak boleh melihat sisi buruk ini—Fabio dengan sikap merendahkannya dan ambisi yang berlebihan. Dia tidak bisa membiarkan Fabio merusak momen pentingnya dengan Hunter. Tangannya yang terkepal di bawah meja mulai bergetar, amarahnya hampir tak terbendung.

“Hei, berengsek! Cepat antarkan aku ke tempat wanitamu itu,” bentak Fabio semakin tak sabar. Kata-katanya menusuk seperti belati tajam.

Luke merasakan darahnya mendidih. Berengsek? Anak ini baru saja memanggilnya berengsek? Napasnya tercekat di tenggorokan, sementara otaknya seolah berpacu antara harus tetap tenang atau melayangkan tinju ke wajah Fabio yang menyebalkan itu.

Di dalam pikirannya, Luke berjuang keras antara menyerang bocah itu atau tidak. Hatinya penuh dengan amarah yang siap meledak, namun saat itu juga, sosok Hunter muncul di ruangan menarik Luke kembali ke realitas. Seolah semua kemarahan di dalam dirinya tiba-tiba dipadamkan, Luke berdiri cepat, menyambut Hunter dengan senyuman yang terlalu lebar dan sikap hormat yang hampir berlebihan. Dia membersihkan sofa dengan tangannya sebelum mempersilakan Hunter duduk.

Fàbio mengangkat satu alisnya, memperhatikan dengan keheranan sikap patuh si mantan bangsawan terhadap sosok pria yang kemunculannya langsung disambut hangat itu. Dia penasaran. Pasalnya, Luke tidak pernah bersikap begitu kepadanya. Luke selalu bersikap dingin dan penuh kebencian padanya, tapi kepada pria ini, Luke tampak takluk seperti pelayan setia. Fàbio tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Siapa pria ini yang membuat Luke, yang biasa sombong, begitu hormat?

Siapa yang tak mengenal Luke Lantsov? Bangsawan yang dulu penuh kuasa, namun kini jatuh, dilucuti dari status kebangsawanannya. Fabio Morgan membenci Luke dengan setiap serat di tubuhnya. Ada alasan mendalam di balik kebenciannya, lebih dari sekadar kejatuhan Luke—pria itu pernah meniduri kekasihnya. Penghinaan itu tak pernah bisa dimaafkan.

“Jadi, apakah ada wanita lain yang menarik perhatian Anda?” Luke agak terkejut saat mendapatkan balasan singkat berupa anggukan kepala. Dia tidak menyangka bahwa ada wanita lain yang mampu memikat perhatian Hunter selain si pirang yang sudah jelas menonjol sejak awal.

Rasa penasaran membuncah dalam hati Luke. Seperti apa wanita kedua yang dipilih oleh Hunter Riviera? Nalurinya ingin segera pergi mengeceknya, tapi Hunter menahan langkahnya dengan mengatakan bahwa dia sudah menyuruh bawahan Luke mengantarkan si wanita pilihannya ke Ivy.

Luke menggigit bibirnya, rasa frustrasi meluap di dadanya. Dia tak punya pilihan selain menunggu sampai Ivy, pelayan pribadinya, selesai mempercantik kedua wanita itu. Namun sebelum semua beres, Luke sadar satu hal—dia harus segera menyingkirkan Fabio. Anak presiden itu bisa menjadi gangguan besar dan Luke tidak ingin rencananya hancur hanya karena bocah sombong itu.

Di sudut ruangan, Fabio Morgan duduk dengan postur santai namun penuh arogansi. Dia tahu Luke sedang menatapnya, mencoba mencari cara untuk mengusirnya, tapi Fabio tidak peduli. Senyuman dingin tersungging di bibirnya, dia akan bertahan sampai Luke menunjukkan para wanita mhthyr yang dibanggakan itu. Fabio bukan tipe yang menyerah dengan mudah. Dia bersedia menunggu selama yang diperlukan, meski itu berarti menghabiskan waktu berjam-jam di mansion tua ini.

Hunter yang merasakan ketegangan di antara kedua pria itu tersenyum samar, nyaris tak kentara. Ada sesuatu yang menggelitik dirinya. Luke bukan tipe orang yang sabar ketika menghadapi hinaan, tapi kini pria itu duduk dengan kepala tertunduk, menahan hinaan demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Padahal dulu, Luke pasti akan membalas lawannya dengan cara yang lebih licik. Kesabaran itu adalah sesuatu yang baru bagi Hunter dan dia menghargainya, meski dengan sedikit sinisme di balik pandangan matanya.

Lalu, ada Fabio Morgan—putra presiden yang penuh rasa ingin tahu, sorot matanya menelusuri Hunter dengan jelas. Tatapan yang tak sabar, penuh keinginan untuk tahu siapa pria yang mampu membuat Luke Lantsov, sang mantan bangsawan yang terkenal keras kepala, tunduk patuh? Fabio menatap Hunter seperti seorang anak kecil yang penasaran dengan mainan baru yang belum pernah dia lihat. Dia tidak tahu siapa Hunter, tapi Fabio tahu satu hal, Luke tidak pernah menunjukkan rasa hormat yang sama kepada siapa pun, apalagi kepada dirinya.

Hunter tahu ini adalah permainan kekuasaan. Fabio adalah putra George Morgan, presiden yang terkenal dengan sisi gelapnya. Hunter, tentu saja, mengenal George dengan baik—mereka telah bertemu beberapa kali, terutama saat sang presiden meminta bantuannya untuk membungkam berita-berita yang bisa membahayakan reputasinya. Hunter memiliki kekuasaan atas media dan dia telah menggunakan kekuatannya untuk melindungi presiden lebih dari sekali. Namun anak ini—Fabio—ini pertama kalinya mereka bertemu.

“Tuan Luke.”

Keheningan di ruangan itu tiba-tiba pecah ketika Ivy muncul bersama dua wanita mthyr yang penampilannya telah berubah. Hunter bisa melihat keterkejutan di wajah kedua pria itu, yang menurutnya agak berlebihan. Seolah-olah mereka baru saja melihat seorang dewi turun dari langit.

Hunter berbalik perlahan ingin melihat seberapa banyak perubahan dari kedua wanita pilihannya. Si pirang, wanita pilihan pertamanya, tidak banyak berubah. Dia tetap terlihat cantik, tapi kali ini tampak lebih mencolok dengan gaun bertema musim semi yang kontras dengan rambut emasnya yang tergerai panjang. Wajahnya dihiasi riasan tajam, bibir merah menggoda, dan mata yang bersinar seperti kilauan berbahaya. Ivy telah melakukan pekerjaan luar biasa, mengubah wanita itu dari polos menjadi seorang penggoda yang pasti akan membuat pria-pria berlomba untuk mendapatkan perhatiannya.

Hunter melirik kedua pria di sebrangnya. Kedua pria itu masih terpesona dengan perubahan wanita mhthyr. Namun, bukan si pirang yang mencuri perhatian mereka, melainkan wanita kedua yang bersembunyi di balik punggung si pirang. Dia memalingkan wajahnya, takut menatap mata siapa pun. Hunter langsung mengenalinya dari sikapnya yang ketakutan. Posturnya kecil, tapi penuh keindahan yang rapuh, seperti seorang rusa yang tersesat di tengah hutan yang dipenuhi serigala.

Ivy mendengus pelan, nadanya terdengar kesal. “Yang satu ini agak merepotkan. Dia terus menolak disentuh, jadi saya hanya bisa meriasnya seadanya.” Ivy sepertinya menyimpan dendam pada si wanita yang bersembunyi di punggung si pirang.

Luke mengangguk, memahami keluhan Ivy, lalu menyuruhnya pergi. Namun, dalam hatinya, ada kebingungan yang tak bisa dia sembunyikan. Dia tidak pernah melihat wanita itu di antara para tawanan Mhthyr yang disimpannya di ruang bawah tanah. Darimana Hunter mendapatkan wanita ini? Perasaan cemas menggelitik dadanya,dan tanpa sadar Luke menggigit bibirnya. Si pirang memang terlihat menggoda, tapi si pendiam yang bersembunyi jauh lebih menarik.

Wanita pendiam itu, meski tanpa riasan yang berlebihan, memiliki kecantikan yang luar biasa. Wajahnya menyerupai seni klasik dengan paras halus dan sempurna seperti patung dewi kecantikan. Mata besarnya penuh kesedihan yang tampaknya menghantui setiap gerakannya. Ada sesuatu yang mistis dan memikat tentangnya, sesuatu yang membuat Luke terdiam dalam kekaguman. Meski Ivy mengaku hanya meriasnya seadanya, wanita ini tampak seperti perwujudan Dewi Aphrodite, kecantikan murninya memancar begitu kuat, mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya. Sosoknya bagaikan karya seni tak terjamah, polos namun menggetarkan jiwa, seolah keindahannya tak bisa dijamah sembarang tangan.

Andai saja Luke tahu lebih cepat bahwa ada wanita semenarik ini selain tawanan Mhthyr miliknya, dia pasti akan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Sialan, Hunter benar-benar beruntung mendapatkannya. Wajah wanita itu mengusik ingatan Luke, mengingatkannya pada Nicole, saudara iparnya yang sudah lama mati bersama suaminya, kakak kandung Luke. Ada sesuatu pada wajah wanita itu, seperti hantu dari masa lalu yang menghantui pikirannya.

“Berapa ....!” Suara Fabio tiba-tiba memecah keheningan. Dia yang sejak tadi diam, kini berbicara dengan penuh keinginan. “Berapa banyak uang yang harus kubayar untuk mendapatkannya, Luke?”

Jantung Luke nyaris berhenti. Dengan cemas dia melirik ke arah Hunter yang terlihat tenang, meski Fabio telah membuat keributan dengan mengincar salah satu wanitanya.

Anak ini sudah gila, pikir Luke. Apa dia tidak sadar siapa yang ada di depannya? Seharusnya Fabio lebih berhati-hati berbicara di depan Hunter, pria yang kekuasaannya melebihi imajinasi bocah itu.

“Cepat katakan, berapa yang harus kubayar?” desak Fabio, matanya menyala penuh keserakahan.

Kemurkaan Luke mulai muncul di bawah permukaan, tapi dia mencoba menahannya. “Lihat situasinya, idiot!” bentaknya. “Apa menurutmu aku bisa menjualnya semauku? Dia bukan milikku!” Kalaupun dia milikku, aku tak akan menjualnya padamu! pikirnya dengan geram. Fabio benar-benar melewati batas kali ini.

Fabio menyukai wanita itu, merasa tak puas dengan jawaban Luke. Dia tidak menerima penolakan dengan mudah. Matanya beralih ke Hunter, pria yang tampak tak terganggu meskipun seseorang mengincar wanitanya.

“Heh, berikan wanita itu padaku.” Fabio berbicara dengan arogansi yang memuakkan. “Aku akan membayarmu berapa pun yang kau minta.”

Darah Luke berdesir, jantungnya seolah melompat keluar dari dada. Ketegangan semakin membumbung, mengisi ruangan seperti badai yang akan segera meledak. Seharusnya Fabio cemas untuk dirinya sendiri, tapi justru Luke yang merasa ada tangan tak terlihat mencekik lehernya. Fabio mengundang bahaya namun sepertinya anak itu tak menyadari hal tersebut.

Fabio tak menyerah, terus mendesak Hunter, seolah hidupnya bergantung pada mendapatkan wanita itu. “Kau tidak akan rugi menyerahkan satu wanita ini. Kau masih punya yang lain.”

“Tidak. Tunggu dulu, Fabio. Kau tidak bisa memaksakan kemauan pada orang lain,” ujar Luke mulai panik.

“Aku memintanya baik-baik, bukan memaksanya.” Fabio menjawab dingin, tak peduli dengan suasana yang semakin tegang.

“Dasar idiot!” Luke berdecak kesal. Dia mulai berpikir untuk memanggil bawahannya, mengusir Fabio dari mansionnya sebelum anak ini membuat keributan yang lebih besar.

“Kau bilang kau menginginkannya.” Hunter akhirnya berbicara. Ruangan seolah membeku saat Hunter berdiri perlahan dari tempat duduknya. Langkahnya tenang, setiap gerakannya terukur, dan dia mendekati kedua wanita itu dengan tatapan dingin yang tak terbaca.

Luke merasakan napasnya tertahan saat memperhatikan Hunter. Ada sesuatu yang berbeda sekarang, sesuatu yang tak bisa ditebak. Apakah dia marah? Kesal? Luke merasa seperti orang bodoh, mencoba membaca emosi di balik wajah tenang Hunter.

Hunter berhenti di depan Kaia yang masih bersembunyi di balik punggung si pirang. Tatapannya dingin, penuh perhitungan, tapi tidak ada emosi yang terbaca. Dengan gerakan halus dia menarik Kaia keluar dari persembunyiannya, memamerkannya seperti trofi di depan kedua pria itu. Mata Fabio berbinar, terpesona oleh kecantikan wanita itu, sementara Luke merasakan detak jantungnya berpacu, cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tatapan kosong Hunter mengingatkan Kaia pada mimpinya, nubuat Mhyer. Di mana pria itu muncul di dalam mimpinya dengan tatapan sama, kosong dan dingin. Peringatan dari teman-teman kecilnya terlintas di pikirannya, mengisi dirinya dengan ketakutan yang mendalam. Mata Hunter menembusnya dan dia tahu ada bahaya yang bersembunyi di balik senyuman pria itu.

Sebelum Kaia bisa berkata apa-apa, dia merasakan sentuhan tangan Hunter di wajahnya. Sentuhan itu lembut, berbeda dengan sentuhan kasar pria-pria lain yang pernah menyakitinya. Namun, ada sesuatu yang salah—sentuhan lembut itu penuh tipu muslihat. Pada saat itulah, dia melihat seringai kecil terbesit di sudut di bibir Hunter. Sekilas, dia merasa dapat membaca niatan tersembunyi pria ini. Kaia berencana meminta bantuan Freya agar membantunya menjauh dari Hunter, tapi sudah terlambat.

Semua orang di sana tidak pernah membayangkan apa yang akan dilakukan Hunter terhadap Kaia. Tepat ketika Kaia menjerit, ketika ujung pisau Hunter merobek kulitnya, saat itu juga semua orang di ruangan itu terdiam dalam keterkejutan menyaksikan sisi gila seorang Hunter Riviera.

“Kaia!” Freya, si pirang, bergerak cepat menarik Kaia menjauh dari Hunter, sementara Luke berdiri kaku, tercengang seperti patung. Dia tidak tahu dari mana Hunter mendapatkan pisau itu dan tak ada yang menyangka pria tenang ini akan bertindak sekejam itu.

Hunter menatap tangannya yang berlumuran darah dengan seringai dingin. “Sial. Tanganku tergelincir,” katanya pelan, matanya berkilat penuh kebencian. “Sepertinya wajahnya tak sengaja terluka.” Lalu dia menoleh ke arah Fabio, seringai kecil masih di bibirnya. Dia melihat pria itu mengepalkan kedua tangan, tampak syok karena tak menyangka Hunter akan melukai wajah Kaia begitu saja di depan semua orang.

“Apakah sekarang kau masih menginginkannya? Wajahnya sudah cacat. Dia terlihat tidak menarik lagi,” ujarnya sambil mentertawakan Fabio. “Sepertinya kami memiliki kesamaan. Kami sama-sama punya bekas luka di wajah. Pisau ini juga yang melukai wajahku dulu.”

Wajah Fabio memucat, kedua tangannya terkepal erat. Syok dan amarah menyatu, membanjiri wajahnya saat dia menyadari betapa gilanya Hunter. “Dasar orang gila!” Fabio nyaris menerjang Hunter, matanya menyala penuh kebencian, tapi Luke segera bergerak cepat, menahannya sebelum dia bisa melakukan hal yang bodoh.

Para bawahan Luke masuk ke dalam ruangan, mengunci tubuh Fabio yang mencoba melawan. Fabio terus meronta, berteriak penuh kemarahan, sementara Hunter hanya tertawa kecil, seringainya tak pernah hilang dari bibirnya.

Ruangan itu tenggelam dalam keheningan yang penuh ketegangan. Kaia memegang wajahnya yang berdarah, sementara mata Luke tak bisa lepas dari Hunter. Orang ini benar-benar gila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status