Home / Romansa / Sangkar Emas Sang Putri Tawanan / Chapter 06: Too Good To Be True

Share

Chapter 06: Too Good To Be True

Author: Nosaetre
last update Huling Na-update: 2024-10-02 11:30:12

Luke merasa seolah telah memenangkan lotere hidup ketika seseorang yang begitu berpengaruh dan tak terduga muncul di kediamannya di Monako. Bayu laut yang biasanya menyapu tenang melalui jendela kaca villa megahnya kini terasa lebih hangat, seolah merayakan kedatangan tamu yang luar biasa ini. Luke menyambut hangat kedatangan sang tamu terhormat—Hunter Rivièra. Sang taipan muda yang namanya selalu menghiasi halaman depan majalah-majalah bisnis ternama, kini melangkah ke dalam ruangannya, membawa serta aura misteri dan kekayaan yang hanya dimiliki sedikit oranv di dunia.

Ketika pengawal pribadinya dengan nada bergetar menginformasikan bahwa Hunter Rivièra telah tiba, Luke tanpa ragu membatalkan semua janji temunya. Dia lebih mengutamakan bertemu dengan Hunter Rivièra daripada putra seorang presiden yang harusnya dia temui siang ini. Luke enggan menyiakan kesempatan emasnya bertemu pria yang dianggap sebagai dewa finansial oleh majalah Forbes. Terlebih lagi, si Taipan Muda Rivièra baru saja mewarisi 85% dari kekayaan mendiang ayah kandungnya, Peter Lim, yang tercatat sebagai taipan besar dari Asia.

Dengan karismanya yang dingin dan tak tertembus, dia merupakan orang yang mustahil diabaikan. Daripada menjadikan seseorang seperti dia menjadi musuh, alangkah baiknya menjadikan pria itu sebagai sekutu. Luke menyadari satu hal: menjadikan Hunter sekutu, dunia akan terbuka untuknya.

Hunter Rivièra adalah lambang kekayaan dan kekuasaan yang dilindungi oleh tembok-tembok tak kasat mata. Kehidupan pribadinya terbungkus rapat oleh rahasia dan jangkauan pertemanannya sangat terbatas. Bukan rahasia lagi bahwa di setiap pesta amal atau acara eksklusif para pengusaha besar, kemunculan Hunter selalu menjadi pusat perhatian. Para pemburu koneksi berlomba-lomba untuk mendekatinya, seperti serangga yang tertarik pada cahaya. Namun, Luke beruntung karena dia tidak perlu repot-repot ikut mengantri. Beruntung, dia memiliki koneksi yang membuatnya bisa bertemu langsung dengan Hunter—berkat sepupunya, Este.

Este, sepupunya yang pernah menjalin hubungan dengan sang taipan muda, adalah pintu gerbang Luke untuk berkenalan dengan Hunter. Hubungan asmara antara Este dan Hunter yang berlangsung selama dua tahun sempat membuat Luke berharap bahwa mereka akan menjadi keluarga. Luke menyayangkan putusnya hubungan mereka dan di setiap kesempatan, Luke mendorong sepupunya untuk tetap dekat dengan Hunter dan menyarankan agar Este memperbaiki hubungan mereka sebelum wanita lain merebut posisinya. Tapi respons Este selalu dingin dan sinis.

“Persetan denganmu, Luke! Aku tidak sudi melanjutkan hubungan yang rasanya sangat hambar,” kenang Luke akan kata-kata tajam Este, disertai tatapan marahnya yang penuh luka. “Menurutmu, selama ini dia jatuh cinta padaku? Tidak pernah! Dia hanya pria dingin yang tidak tahu cara mencintai!”

Saat itu, Luke menganggap Este hanya sedang patah hati, mungkin dalam penyangkalan setelah putus dari pria yang begitu berkuasa. Dalam fantasinya, Luke membayangkan bahwa suatu hari mereka akan kembali bersama—cinta lama bersemi kembali. Dia membayangkan Hunter memohon maaf dan merayu Este, kemudian sepupunya akan kembali ke pelukan sang miliuner. Sayangnya, fantasi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Tidak ada romansa yang mekar kembali. Hubungan mereka telah benar-benar berakhir dan cinta tidak pernah menjadi bagian dari persamaan itu.

Kini Luke menyadari bahwa Este memang patah hati, tetapi bukan karena dia masih mencintai Hunter. Este patah hati karena merasa dirinya telah terjebak dalam hubungan kosong selama dua tahun, hubungan yang tak pernah diisi oleh cinta sejati. Kekecewaan yang mendalam atas waktunya yang terbuang sia-sia itulah yang menghancurkannya, bukan penolakan Hunter.

Hunter tidak pernah benar-benar jatuh cinta kepada sepupunya, Este. Pria itu mungkin terlihat seperti seorang pria yang sedang jatuh cinta, nyatanya dia tidak pernah menganggap hubungan mereka penting, meskipun terlihat mesra dan jarang sekali bertengkar. Orang-orang bahkan sering memuji mereka sebagai pasangan romantis. Este yang selalu tampil cantik dengan rambut pirang iconic-nya dan Hunter yang gagah dan tampan, mereka bagaikan pasangan kekasih film bergenre romantis yang keluar dari layar lebar.

Lebih mengejutkan lagi, Luke tak pernah menyangka bahwa selama dua tahun mereka pacaran, Hunter dan Este tidak pernah berhubungan intim. Este mengakui mereka hanya pernah bercumbu mesra, tanpa pernah sampai melakukan sex. Setiap kali mereka berada ditahap itu, Hunter mendadak berhenti dan entah karena alasan apa, pria itu berakhir gusar sendiri. Dan pada akhirnya, dia meninggalkan Este yang menderita karena selalu dicampakkan di tempat tidur setelah apa yang mereka lakukan berdua. Satu kali kejadian tidak masalah, tapi kejadian itu terjadi berulang kali hingga Este bosan dan merasa bahwa Hunter tidak pernah mencintainya.

Hubungan mereka kemudian kandas atas kemauan pribadi Este.

Kehidupan Luke Lantsov telah berubah drastis setelah gelar kebangsawanannya dilucuti. Kehilangan status bukan sekadar soal kehilangan kehormatan; bagi Luke, itu berarti kehilangan segalanya. Keluarga bangsawan Luksemburg yang pernah menjunjungnya kini menutup pintu. Koneksi yang dulunya kokoh dan penuh pengaruh seketika terputus, seolah-olah dia tak lebih dari bayang-bayang masa lalu. Orang-orang penting yang pernah menghampirinya dengan rasa hormat, kini menjauh tanpa menoleh kembali. Luke, yang dulunya berdiri tegak di lingkaran elite, kini terbuang, terasing dari kehidupan yang pernah dia kenal.

Di mansion pribadinya yang sunyi, Luke tenggelam dalam keterpurukan. Dindimg-dingin batu dingin yang dulunya megah kini terasa mencekam, membungkusnya dalam keheningan yang menyesakkan. Mansion itu, meskipun tidak dirampas oleh keluarganya karena dibeli dengan uang pribadinya, tidak lagi terasa seperti rumah, melainkan seperti penjara tanpa pintu keluar. Luke pernah berpikir untuk mengakhiri semuanya di sini, di tempat yang dulu menjadi simbol kemewahan, tapi kini hanya menjadi saksi bisu keputusasaannya. Angin laut yang berembus dari jendela terasa seperti bisikan akhir yang memanggilnya.

Namun, di tengah nalam yang penuh kebisuan, Luke tanpa sengaja bertemu Hunter Rivièra di sebuah bar mewah di Monako. Suasana malam itu berbeda, bar yang dipenuhi lampu-lampu remang berwarna emas, kilauan gelas krist yang memantulkan cahaya redup, dan arona alkohol menusuk indra penciumannya. Musik jazz yang melantun pelan mengiringi pertemuan mereka. Di antara minuman keras dan kesunyian yang mengintai, mereka terlibat dalam percakapan, obrolan yang awalnya ringan kini semakin dalam seiring waktu berjalan.

Luke, yang saat itu sudah berada di ambang kehancuran emosional, melihat dalam diri Hunter satu-satunya harapan. Di balik ketenagan dan aura dingin pria itu, Luke merasa ada celah yang bisa dia manfaatkan. Dalam kondisi setengah mabuk, dengan kata-kata yang tersendat-sendat di antara tegukan minuman keras, Luke membeberkan niatnya. Dia ingin meminjam uang dalam jumlah besar. Jumlah yang tak sedikit, yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah berada di puncak kekayaan. Luke menjaminkan satu-satunya aset berharga yang masih dia miliki: mansion pribadinya, serta beberapa kendaraan mewah yang tersisa di garasi. Baginya Hunter adalah jalan keluar dari jurang yang mengangga di depannya.

Di balik tatapan kaca Hunter yang tak terbaca, Luke melanjurkan dengan penyh gairah, mengungkapkan rencana masa depannya—sebuah bisnis yang dia bayangkan akan mengubah hidupnha. Dia tidak sepenuhnya yakin, bahkan dia dalam dirinya ada keraguan apakah bisnis itu akan sukses atau gagal, tapi di tengah rasa putus asanya, dia mencoba tetap optimis. Kata-katanya membeludak, penuh dengan angan-angan dan harapan, meskipun dia tahu dalam hati bahwa semua itu mungkin hanyalah impian yang nyaris mustahil.

Sepanjang percakapan, Hunter tetap diam. Ekspresinya datar, seolah-olah angan-angan Luke hanya riak kecil di tengah lautan kehidupan yang lebih besar. Mata hitam pria itu tetap tenang, bahkan dingin, seakan tidak tersentuh oleh cerita penuh harapan yang meluncur dari mulut Luke. Luke yang mabuk semakin gelisah—dia bisa merasakan kekecewaan tumbuh di dadanya, mencekam lebih kuat daripada rasa alkohol yang membakar tenggorokannya.

Apakah aku salah berbicara? Apakah ini hanya buang-buang waktu? Luke bertanya dalam hati, penuh keraguan. Tentu saja, ide bisnis ini pasti terlihat kekanak-kanakan di mata seseorang seperti Hunter, pikirnya. Hunter yang sudah begitu lama berkecimpung dalam dunia bisnis, tentu tahu mana ide yang menguntungkan dan mana yang hanya khayalan.

Akhirnya, tanpa sepatah kata, Hunter bangkit dari kursinya dan meninggalkan Luke sendirian di bar. Luke menatap kosong ke gelas di depannya, perasaan amarah dan kecewa mengalir dalam dirinya. Dia merasa diabaikan, tidak dianggap, dan lebih dari itu, putus asa. Dalam perjalanan pulangan, di tengah malam yang sunyi, pikiran untuk mengakhiri hidupnya kembali menghantui.

Jika rencanaku tidak berjalan sesuai keinginan, lebih baik mati, gumamnya dalam hati, keputusasaan berbisik lebih keras daripada sebelumnya.

Namun, ketika Luke tiba di mansionnya yang dingin, sehuah pesab singkat masuk ke ponseknya. Cahaya kecil dari layar ponsel menerangi ruangan gelap di sekitarnya. Nama pengirimnya, Hunter Rivièra. Dengan tangan sedikit gemetar, Luke membuka pesan itu. Kalimat yang muncul di layar ponselnya menghentikan segala rencana bunuh dirinya. Pesan sederhana itu, meski singkat, memiliki makna yang dalam seolah menjadi tali yang menyelamatkan hidupnya dari jurang kehancuran yang dia kira sudah tak terhindarkan.

Hunter: mari bertemu lagi, besok, di hotel hermitage.

Secara tak langsung pesan itu menyatakan bahwa Hunter bersedia meminjamkan uang kepadanya meskipun dia tidak pernah tertarik dengan ide bisnis Luke.

Alasan Hunter membantu Luke karena merasa iba, dan alasan lainnya karena Luke merupakan sepupu Este.

“Mr. Rivièra, sudah lama kita tak jumpa.” Luke menyambut kedatangan Hunter dengan senyuman lebar, kemudian dilanjut pertanyaan basa-basi untuk sekadar menunjukan sikap sopan santunnya belaka. Di dalam hati, pria itu bersorak gembira, kelewat senang semenjak Hunter bertamu ke rumahnya.

Dengan kemunculannya di sini, maka boleh dianggap bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Luke berdiri tegak, menyembunyikan kegelisahan yang berkecamuk di dadanya. Aroma parfum kayu cendana yang menggantung di udara terasa lebih menusuk hidung di tengah ruangan yang dipenuhi furnitur mewah namun mulai terasa hampa. Cahaya lampu kristal berpendar lembut di atas kepala mereka, tapi di bawah kilau mewah itu, Luke merasakan bayangan kegelapan—utang yang belum dibayar, kegagalan bisnis yang menghantui setiap langkahnya. Hunter pasti sudah mengetahuinya sejak lama. Dari semua ide brilian yang pernah Luke paparkan, hampir semuanya gagal. Dan Hunter, yang begitu tajam dan cerdas, pasti sudah memperkirakan hal itu sejak awal—itulah sebabnya dia tak pernah tertarik untuk terlibat lebih dalam.

Tatapan dingin Hunter melintas cepat di sekitar ruangan. Sorot matanya yang hitam dan pekat menyapu sudut-sudut mansion dengan ketidakpedulian yang terasa menusuk. Luke dapat merasakan penilaian pria itu di balik tatapannya—seolah setiap sudut rumah ini adalah cermin dari kegagalannya. Ketegangan yang kaku merayap di antara mereka, seperti udara berat sebelum badai.

Hunter merasa geli—dan sedikit gila—melihat senyum Luke yang terus melebar, semakin panjang, seperti senyum badut yang memaksa diri untuk terlihat bahagia. Bagi Hunter, ini semua hanyalah basa-basi yang melelahkan. Luke dengan segala gestur dan sikap pencari mukanya, tampak seperti seorang bangsawan yang sudah kehilangan martabatnya, tapi masih berusaha berpegangan pada sisa-sisa kekuasaan yang pernah ia miliki.

“Kudengar kau berhasil menaklukkan Suku Mhthyr,” ucap Hunter, menyela basa-basi Luke dengan nada datar dan tajam seperti bilah pedang yang menusuk langsung ke intinya. Suaranya yang dingin membuat suasana semakin tegang, mengiris udara di sekitarnya. Hunter tidak datang untuk mendengarkan ocehan kosong. Dia punya tujuan dan itu tidak ada hubungannya dengan kebohongan atau sikap pura-pura sopan Luke.

Luke berhenti sejenak, tersentak oleh interupsi Hunter. Senyum lebarnya perlahan merosot, berganti dengan ekspresi yang lebih berhati-hati. “Begitu, ya? Jadi beritanya sudah sampai ke telinga Anda?” jawabnya, suaranya terdengar sedikit lebih pelan, lebih tunduk—seperti seorang bawahan berbicara kepada atasannya. Sejak Hunter pernah meminjamkan uang dalam jumlah besar, Luke merasa posisinya semakin tergeser, tak lagi sederajat dengan Hunter. Kehilangan status bangsawan membuatnya kehilangan taring dan kini dia berbicara dengan nada rendah hati yang terasa asing baginya.

Kalimat yang keluar dari mulut Luke terasa seperti kebohongan yang rapuh. Nada suaranya penuh kepalsuan; dia bertindak seolah-olah tidak tahu bahwa namanya telah menghiasi berbagai headline di internet, disertai dengan kontroversi bahwa dia telah menaklukkan suku wanita, Suku Mhthyr. Padahal, dua minggu lalu Luke sendiri yang berusaha menghubungi Hunter, menawarkan beberapa wanita Mhthyr sebagai hadiah—sebuah transaksi yang menjijikkan bagi Hunter.

Tatapan Hunter yang tajam dan menusuk melirik Luke dengan sinis, penuh ketidakpercayaan. Hunter menatap Luke dan dalam keheningan yang berat, tatapannya menuntut agar Luke berhenti bertingkah konyol. Keheningan yang menggantung di antara mereka terasa seperti beban berat yang tak terlihat, seolah setiap napas di ruangan itu menjadi semakin sulit dihirup.

Hunter muak. Dia muak dengan kepura-puraan Luke, dengan segala basa-basi yang kosong dan perasaan superior yang masih berusaha dipertahankan meski jelas-jelas sudah hilang. Keheningan tegang di ruangan itu hanya dipecahkan oleh derak samar dari kaki Hunter yang bergeser namun tetap tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Mungkinkah Luke lupa jika dia masih memiliki darah seorang bangsawan meski kebangsawanannya sudah dilucuti?

“Anda benar. Suku Mhthyr berhasil saya taklukkan. Sebenarnya tidak mudah merebut Pulau M dari Suku Mhthyr. Saya sempat mengalami beberapa kali kegagalan sebelum berhasil.”

“Berapa banyak?”

“Hm?”

“Berapa banyak Suku Mhthyr yang kau ambil.”

“Ah, maksudnya wanita Suku Mhthyr?”

Hunter mendengkus sebagai balasan. Sungguh, dia paling tak menyukai sikap sok tak tahunya itu.

“Tidak banyak. Mungkin sekitar 30 orang termasuk anak-anak.” Luke menambahi, “Ada banyak yang berhasil kabur pada malam pembantaian. Kami hanya mengambil beberapa wanita yang berguna saja.”

Hunter berdiri diam, pikirannya terbungkus dalam keheningan yang tak bisa ditembus. Di seberangnya, Luke memerhatikannya dengan gugup, mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan oleh taipan muda ini. Ruangan itu terasa dingin meskipun udara Monako siang itu hangat. Mata Luke terus mengintip dari balik senyumnya yang kaku, mencoba mencari petunjuk—mungkin dari ekspresi wajah atau gerak tubuh Hunter. Lalu samar-samar, dia melihat sesuatu yang tak terduga: ujung bibir Hunter terangkat seperti sebuah senyuman yang singkat, seperti bayangan yang muncul dan menghilang sebelum benar-benar terlihat.

Eh, dia tersenyum? Pikir Luke, hatinya berdebar cepat. Namun, dia menepis segala tafsir yang mungkin membuatnya terjebak dalam harapan palsu. Lebih baik tidak terlalu memikirkan senyuman itu, pikirnya. Luke tahu betul bahwa senyum di wajah Hunter tak selalu berarti hal yang baik. Dia tetap menunggu, sabar, meski kegelisahan mulai menggerogoti dirinya, hingga Hunter akhirnya bersuara.

“Tunjukkan padaku. Aku ingin melihat mereka.”

Perasaan antusias langsung menyambar Luke seperti api yang menyulut sekam kering. Semangatnya berkobar, dadanya terasa penuh dengan harapan. Hunter Rivièra ingin melihat wanita-wanita Suku Mhthyr. Apakah itu berarti dia tertarik? Sudut bibir Luke terangkat lagi, kali ini lebih nyata, membentuk senyum penuh kemenangan. Jika Hunter menginginkan salah satu dari wanita itu, Luke akan memberikannya tanpa berpikir dua kali. Ini adalah kesempatannya untuk memperpanjang hubungan mereka—mungkin, bahkan membawa mereka lebih jauh, menjadi rekan bisnis sejati.

Nilai Luke sebagai pendatang baru di dunia bisnis pasti meroket dratis apabila Hunter menganggapnya rekan bisnis.

Sambil berjalan menuju rubanah, ruang bawah tanah tempat para tawanan Suku Mhthyr ditahan, Luke mulai menceritakan pengalamannya dengan semangat tinggi. Suaranya mengisi lorong-lorong batu yang sempit dan lembap, menggema seolah menghidupkan setiap dinding. Cahaya remang-remang dari lampu di sepanjang lorong bergetar lemah, menambah suasana yang semakin mencekam. Bau lembap dan amis mulai terasa semakin kuat ketika mereka semakin mendekati tempat para tawanan ditahan. Aroma alkohol basi dan sampah yang berserakan di lantai—botol-botol yang tertinggal, kulit kacang yang dibiarkan begitu saja—menggantung di udara, membuat Hunter merasa terganggu.

“Jika saya tahu Anda akan datang, saya akan menyiapkan para gadis ini lebih baik,” kata Luke, nada suaranya berubah sedikit gugup, seperti seseorang yang ketahuan sedang tidak siap. Kedatangannya agak mengejutkan karena Hunter mendadak bertamu tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.

Hunter tidak menjawab, tapi matanya yang gelap menelusuri ruangan dengan perhatian tajam, mengamati setiap detail yang tidak terurus di penjara bawah tanah itu. Interior yang usang, lantai yang kotor, dan jejak perilaku penjaga yang sembrono menciptakan suasana yang jauh dari layak. Bau busuk campuran keringat dan kelembapan menyengat hidungnya, mengingatkannya pada ruang-ruang gelap dari abad pertengahan, meski sistem pencahayaannya sudah bergeser ke lampu modern.

Lorong panjang yang mereka lewati terasa seperti terowongan waktu, membawa mereka ke ruang-ruang penjara yang masih memiliki sekat-sekat pribadi, masing-masing memenjarakan wanita-wanita Mhthyr yang malang. Ketika mereka tiba di salah satu ruang penjara, Luke dengan penuh percaya diri membuka pintu. Suara engsel pintu yang berderit menambah ketegangan yang sudah terasa berat di udara. Namun, begitu mereka masuk, Hunter tersentak. Cahaya dari obor yang menerangi ruangan menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding batu. Di dalam, aroma apak dan bau kotoran terasa lebih kuat. Ruangan itu begitu pengap, tidak ada jendela, tidak ada alas tempat tidur, dan yang terpenting, tidak ada tanda-tanda bahwa wanita yang dipenjara di dalamnya dirawat dengan baik.

Dia ingin menjual para wanita ini, tapi tidak mau repot-repot merawatnya, komentar Hunter yang disimpan untuk dirinya sendiri. Mau bagaimanapun dia tidak mau terkesan sok peduli dengan urusan Luke dan nasib para wanita mhthyr.

“Dia masih anak-anak,” ujar Hunter, suaranya datar dan penuh penolakan yang jelas.

Luke terkesiap, wajahnya sedikit memerah. “Ah... maka, mari kita ke ruangan sebelah,” jawabnya tergagap, mencoba memadamkan rasa malunya. Keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.

Sejujurnya, Luke sedikit malu tidak mempersiapkan para wanita mhthyr dengan cukup layak untuk Hunter Rivièra. Para wanita itu kotor, bau, dan tidak terlihat cantik lagi. Luke menugaskan para penjaga agar menjaga baik-baik para wanita mhthyr, tapi sepertinya mereka sudah mempermainkan para wanita ini. Luke mengingatkan dirinya sendiri untuk mendisiplinkan bajingan para penjaga ini setelah urusannya bersama Hunter selesai. Bagaimanapun para wanita mhthyr tidak boleh lecet apalagi rusak karena mereka semua akan menjadi sumber kekayaannya.

Mereka melanjutkan ke ruangan berikutnya dan Luke terus berbicara, mencoba menjelaskan betapa menawannya wanita-wanita Mhthyr dalam kondisi terbaik mereka. Namun, semakin mereka berjalan, ekspresi dingin Hunter tak berubah, seolah tidak ada apa pun yang menarik minatnya. Luke mulai panik dalam diam, otaknya berputar mencari cara untuk menyelamatkan situasi. Senyum kemenangan yang sempat terukir di bibirnya kini memudar, digantikan oleh rasa cemas yang perlahan merayap naik.

Wanita demi wanita dipertunjukkan, namun Hunter tetap tak tertarik. Mereka sudah melihat lebih dari sepuluh tawanan, tetapi mata gelap Hunter tidak menunjukkan minat sedikit pun. Luke mulai kehilangan harapan, hingga dia mendesak bawahannya agar segera mencarikan satu wanita mhtyr yang paling menarik di antara tawanan suku. Bawahannya sampai bingung memilih karena baginya semua wanita tawanan itu menarik.

“Dasar bodoh! Jangan samakan selera rendahanmu dengan Tuan Rivièra.”

Setelah memarahi bawahan dan mengusir orang itu, Luke kemudian membawa Hunter masuk ke tawanan berikut. Belum ada lima menit, Hunter langsung berbalik keluar setelah mengomentari wanita tadi masih seorang anak-anak. Dari 30 wanita yang Luke ambil sebagai tawanan suku, rata-rata memang masih anak-anak berusia 16 tahun. Setiap wanita yang mereka temui masih terlalu muda, masih terlalu kotor, atau terlalu jauh dari bayangan ideal yang mungkin dimiliki Hunter. Hingga akhirnya, Hunter berhenti, ekspresi kecewa tergurat jelas di wajahnya, dan dia hampir meninggalkan tempat itu. Udara di sekeliling mereka semakin berat dengan keheningan yang hampir memekakkan telinga.

Lalu, tiba-tiba, seorang bawahan Luke berlari dengan napas tersengal, berusaha keras memberikan kabar yang bisa menyelamatkan situasi. “Tuan! Ada satu tawanan lagi, dia bukan anak-anak! Dia wanita dewasa yang sangat menawan!” katanya percaya diri.

Luke tidak banyak berharap saat menemani Hunter masuk. Dia hanya berpikir mungkin wanita ini nasibnya sama seperti wanita lain, tidak terpilih. Luke berencana membawa Hunter menemui satu wanita yang sengaja ditempatkan secara terpisah dari para tawanan lain. Wanita Mhthyr milik Luke.

Dia sangat menawan sampai membuat hasrat Luke membara dan mendorong ambisi terliarnya untuk memiliki wanita itu sebagai miliknya. Luke menyukai wanita itu sejak pertama kali melihatnya. Sejujurnya, dia tidak menyukai ide berbagai wanitanya bersama pria lain. Itulah mengapa dia memisahkan wanita ini dari penjara bawah tanah.

Namun, apabila Hunter menginginkan wanitanya, Luke merasa tidak masalah untuk berbagi.

Luke hampir siap mempromosikan wanita mthyr miliknya, tapi langkahnya terhenti ketika dia melihat Hunter bergerak mendekati sel yang dikatakan oleh bawahannya sebagai milik wanita yang paling menarik. Pupil mata Luke melebar, tiba-tiba teringat akan desas-desus yang pernah dia dengar tentang Hunter—bahwa taipan muda itu memiliki selera khusus pada wanita berambut pirang. Dan kebetulan, wanita di dalam sel itu memiliki rambut pirang yang terurai lembut.

Sialan! gerutunya dalam hati. Kenapa aku bisa melupakan informasi sepenting ini? Tentu saja, Hunter memang terkenal dengan pilihannya terhadap wanita berambut pirang. Este, mantan kekasihnya, selalu menarik perhatian publik dengan rambut emasnya yang ikonik. Jika Luke tidak salah ingat kekasih Hunter sebelumnya juga seorang wanita berambut pirang. Dia tidak mengingat siapa namanya, tapi wanita itu dulu sangat terkenal sebagai kekasih Hunter yang hobi pamer kebersamaan mereka di internet. Wanita itu dulu pernah berkoar-koar hamil anak Hunter, tepat setelah pria itu menjalin hubungan bersama Este, tapi berita itu langsung ditepis kebenaran jika wanita itu tidak pernah hamil anak Hunter, melainkan bayi di dalam kandungannya adalah anak pemain basket terkenal yang dulu pernah Hunter sponsori.

Andai saja aku mengingatnya lebih awal, pikir Luke, merasa kesal pada dirinya sendiri. Mereka tak perlu repot-repot berkeliling melihat satu per satu wanita Mhthyr.

“Jika Anda menginginkannya, saya akan meminta pelayan saya untuk mempercantiknya,” ujar Luke dengan sengaja mengatur nada suaranya yang tenang namun penuh keyakinan.

Hunter mengangguk kecil, bibirnya melengkung tipis dalam kesepakatan singkat. “Ide yang bagus.”

Berdebar riang, Luke bersorak dalam hati. Akhirnya, ada satu wanita yang berhasil terpilih! Kegembiraan itu terasa seperti gelombang listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia segera menyuruh bawahannya untuk membawa keluar si pirang dari sel dan mengantarkannya ke Ivy, pelayan pribadinya. Tugas Ivy adalah mempercantik wanita itu sebelum diserahkan kepada Hunter.

Saat Hunter melangkah keluar, Luke tetap berdiri sejenak, matanya terpaku pada wanita berambut emas yang tampak menonjol di balik jeruji penjara.

“Sialan. Kau sangat beruntung!” Wanita itu memang cantik dengan bibir penuh dan tubuh montok, tapi menurut Luke, wanita pilihannya sendiri jauh lebih memukau.

Dengan langkah cepat, Luke berusaha menyusul Hunter. Dia sempat berpikir bahwa sesi ini akan berakhir setelah si pirang terpilih, tapi kenyataan berbicara lain. Hunter masih ingin melanjutkan, meski setelah itu, tak ada lagi wanita yang menarik perhatiannya. Luke tidak terkejut; tidak ada lagi wanita pirang yang tersisa di penjara ini, hanya si pirang montok tadi.

“Ini dua tahanan yang terakhir.” Tersisa dua tahanan lagi, tapi Luke tidak berharap banyak pada mereka. Kedua wanita itu berambut hitam dan jika ingatannya benar, salah satunya adalah wanita kotor yang terus-menerus memberontak jika penjaga mencoba membersihkan wajahnya. Dia adalah wanita yang tertangkap bersamaan dengan wanita kesayangan Luke.

Saat mereka hendak memasuki sel berikutnya, seorang bawahan Luke bergegas menghampiri, wajahnya tampak gelisah. Dengan suara tertahan, dia menyampaikan bahwa Fàbio Morgan, anak presiden, tiba-tiba datang berkunjung. Luke langsung merasa kesal. Sudah jelas dia menunda pertemuan mereka hingga esok hari, tetapi si anak sombong itu malah muncul tanpa pemberitahuan.

“Tidak masalah. Kau bisa pergi menemuinya,” ujar Hunter dengan suara yang dingin dan tak bertele-tele.

Luke menoleh, menatap Hunter yang menyuruhnya menemui Fàbio, sementara dia berencana menyuruh bawahannya mengusir si anak presiden yang sombong itu.

“Hmm ... Fàbio bisa menungguku. Lagi pula, Anda lebih—”

“Kau bukan bangsawan lagi. Menurutmu dengan statusmu yang sekarang, kau bisa mengatur anak seorang presiden?” Potong Hunter dengan nada dingin namun menusuk. Kata-katanya seperti pisau tajam yang menancap langsung ke ego Luke. Dan meskipun Luke ingin membantah, Hunter benar. Luke bukan bangsawan lagi, yang berarti dia tak bisa bersikap semena-mena di hadapan orang yang statusnya lebih tinggai darinya. “Jangan libatkan aku dengan masalahmu, Lantsov.”

Dia tidak bermaksud melibatkan Hunter ke dalam masalahnya bersama Fàbio, tapi dia juga tidak berniat untuk membantah perkataannya. Tanpa banyak pilihan, Luke akhirnya pamit untuk menemui Fàbio dan berjanji segera kembali menemani Hunter apabila urusannya selesai. Namun, sebelum pergi, dia menyuruh bawahannya untuk tetap mendampingi Hunter dan memenuhi semua perintahnya.

Setelah kepergian Luke, Hunter memasuki sel berikutnya sendirian. Suara pintu berderit saat dibuka, menambah kesan gelap dan sunyi dari ruang tahanan itu. Samar-samar, Hunter mendengar suara perempuan berbicara. Dia mengira wanita itu berbicara padanya, tapi kemudian menyadari bahwa wanita itu tak sedang berbicara kepadanya, melainkan kepada entitas yang tak terlihat.

“Kau tunggu di sini.” Hunter memberi perintah ke bawahan Luke yang diperintahkan menemaninya agar tidak mengikutinya masuk. Tiba-tiba saja Hunter ingin masuk sendiri, melihat seperti apa wanita yang ada di dalam sana. Dia tertarik dengan siapa wanita itu berbicara karena setelah diamati tidak ada siapa-siapa di ruangan ini.

Hunter sengaja berjalan pelan selagi mendekati si wanita tawanan, seolah tak ingin menganggu apa pun yang sedang terjadi di sana. Indra pendengarannya menangkap jelas obrolan wanita itu.

“Kalian yakin melihatnya?” Wanita itu berbicara lagi sendirian—di mata Hunter dia terlihat sedang berbicara sendiri. “Apa dia baik-baik saja? Aku percaya Ròxy bisa melindungi dirinya sendiri. Dia marcàig yang sudah dilatih sebagai pejuang Mhthyr. Dan asal kalian tahu, Ròxy adalah teman sekaligus guru yang hebat! Sebenarnya dia agak menyebalkan karena sering mengadukanku ke mitèra. Hm, kalian tanya apakah aku membencinya? Tidak, tentu saja tidak. Justru sekarang aku merindukannya. Aku juga rindu mitèra, Astrìd, dan teman-temanku. Menurut kalian apa mereka semua baik-baik saja? Kuharap mereka tidak mengalami apa yang kualami.”

Hunter memicingkan matanya, menatap wanita itu yang tampak berbicara dengan angin. Dia penasaran. Siapa yang dia ajak bicara? Tak ada siapa pun di ruangan ini. Namun, ekspresi wajah wanita itu begitu tenang, seolah-olah dia benar-benar sedang berbicara dengan seseorang yang nyata, entah di mana.

Saat itu, Hunter merasa seperti terjebak di dunia fantasi. Di depannya, wanita tawanan itu duduk di lantai dingin, dikelilingi oleh sekelompok tikus yang tampaknya betah di sekitarnya. Bahkan di tangannya, seekor tikus kecil duduk manis, mendengarkan dengan penuh perhatian saat wanita itu berbicara, seolah-olah binatang itu memahami setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sesekali tikus itu mencicit dan wanita itu tersenyum hangat, membalas sahutannya dengan kelembutan yang anehnya terasa begitu tulus, seperti berbicara kepada teman lama.

“Mereka seperti karakter yang keluar dari buku fantasi. Seperti mariposa dan teman-teman perinya. Hanya saja, orang-orang ini tidak memiliki sayap dan mereka hidup sama seperti kita.”

Ingatan itu muncul kembali setelah sekian lama berdiam di dasar ingatan masa kecilnya. Suara dari masa lalunya berbisik samar di telinganya, suara yang nyaris terlupakan namun kini muncul kembali. Hunter menatap lurus si wanita tawanan yang masih belum menyadari kedatangannya.

“Hayden, jika kau bertemu dengan salah satu dari mereka, jangan pernah menyakitinya.”

Hunter mengepalkan kedua tangannya, menekan ingatan itu jauh ke dalam. Dia benci ketika suara ayahnya datang menghantui pikirannya. Seolah-olah pria itu masih hidup, masih mencoba mengendalikan tindakannya dari kuburan. Ayahnya sudah mati. Hunter tidak punya kewajiban untuk mematuhi nasehat itu lagi. Tidak ada yang akan menghentikannya dari apa yang ingin dia lakukan. Pria yang seharusnya menjadi penjaga moralnya itu sudah lama pergi dan Hunter sudah memutuskan untuk berjalan di jalannya sendiri.

Di balik wajah datarnya, tersembunyi seringai yang nyaris muncul. Wanita ini, dengan segala keanehannya, adalah pilihan sempurna untuk menjadi bonekanya. Seperti peri mariposa dari cerita lama, hanya saja tanpa sayap dan keajaiban. Hunter bisa menjadikannya seperti yang dia inginkan—boneka yang patuh, indah dalam kekacauannya.

Ketika wanita itu akhirnya menyadari keberadaannya, Hunter melihat perubahan drastis dalam sikapnya. Wajahnya yang tadinya penuh kelembutan berubah menjadi tegang, mata yang sebelumnya lembut kini dipenuhi ketakutan. Wanita itu langsung menjauh, tubuhnya gemetar, dan Hunter bisa melihat bekas luka di wajah dan tubuhnya, bekas-bekas kekerasan yang jelas pernah dialaminya. Gaun panjang putih yang kotor itu penuh sobekan, mengingatkan pada kain yang terkoyak oleh derita dan kesengsaraan.

Hunter bisa dengan mudah menebak siksaan macam apa yang diterima wanita ini dari para bawahan Luke. Meskipun begitu, dia tahu ada yang lebih parah dari ini—dia sudah melihat mereka sebelumnya, para wanita yang hancur di tangan para penjaga yang tidak tahu belas kasihan. Namun, di sini, di hadapannya, wanita ini masih berusaha bertahan, meski dengan sisa-sisa harapan yang tampak rapuh.

Tanpa diduga, wanita itu bergerak maju, mendekat dengan langkah gemetar, sebelum akhirnya meraih tangan Hunter dengan cengkeraman yang lemah tapi penuh harap.

“P-please, help us," pintanya dengan suara serak, hampir seperti bisikan yang terseret keluar dari dasar putus asa. Matanya yang memohon mencari jawaban dalam tatapan dingin Hunter.

Hunter hanya menatapnya kosong, tanpa emosi. Dia tidak merasakan apa-apa—tidak kasihan, tidak simpati. Wanita itu memohon pertolongan dari orang yang salah. Tatapan kosongnya seperti jurang tanpa dasar, tak ada harapan yang bisa terpantul kembali. Tujuannya di sini bukan untuk menyelamatkan siapa pun, terutama bukan untuk menyelamatkan seorang wanita dari suku yang sudah ditakdirkan untuk punah. Dia datang untuk menemukan bonekanya—sesuatu yang bisa dia kendalikan, hias, dan perlakukan sesuka hati.

Tangan wanita itu terasa dingin dan lemah di tangannya namun Hunter tidak bereaksi. Dalam pikirannya, wanita ini tidak lebih dari pion yang bisa dia mainkan di papan catur kehidupan. Harapan yang bersinar di matanya terasa hampir menyakitkan karena Hunter tahu bahwa harapan itu tidak akan pernah terwujud. Wanita ini tidak tahu bahwa pria yang dihadapinya lebih gila, lebih tak tertebak, dan jauh lebih berbahaya daripada Luke Lantsov.

Kaugnay na kabanata

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 07: Whos He Actually?

    Kenapa dia hanya diam? Pikiran itu bergema di benak Kaia. Apa ada yang salah dengan permintaanku? Tangan gemetarnya masih terasa dingin setelah meraih pria itu, tapi yang dia dapatkan hanyalah tatapan kosong dan sikap tak acuh yang menembus jauh ke dalam dirinya. Kenapa dia tidak merespon? Apakah dia tak mengerti kata-katanya?Dia tidak tahu bagian mana yang salah dari meminta bantuan orang yang baru ditemuinya. Kaia pikir dia sudah melakukan dengan cara yang benar. Apa mungkin pria ini tidak mengerti bahasanya? Kaia memutar ulang kata-katanya dalam benaknya, mencari kesalahan. Dia berbicara dalam bahasa yang diajarkan Astrid—bahasa yang digunakan orang-orang dari tanah asing. Astrid pernah berkata bahwa orang-orang dari tanah asing memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda. Di antara banyaknya bahasa yang mereka punya, ada satu bahasa yang paling sering mereka pakai untuk berkomunikasi. Itulah bahasa yang dia gunakan tadi. Tapi kenapa pria ini tak menjawab?Tatapan

    Huling Na-update : 2024-10-03
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 08: Why are you killing us?

    “Kenapa kau membunuh kami?”“Kenapa kau membunuh kami?”“Kenapa kau membunuh kami?”“Siur, kenapa kau membunuhku?”“Kaia ...!!!”Lagi dan lagi. Suara-suara itu terus menghantui Astrid, berputar seperti kaset rusak di dalam kepalanya, membangunkannya dengan napas terengah-engah dan tubuh bersimbah peluh. Sudah berhari-hari dia terbangun dengan kengerian yang sama, merasakan tatapan dingin dari wajah-wajah yang memucat dalam mimpinya. Wajah-wajah yang tak asing namun kini hanya menjadi bayang-bayang kematian.Setiap malam setelah pembantaian Suku Mhthyr, teror itu datang, tak henti-hentinya mengusik tidur Astrid. Malam yang dulu damai kini dipenuhi bayangan kelam, penuh ancaman yang menggantung di udara, seolah-olah setiap sudut kamar dipenuhi bisikan hantu-hantu dari masa lalu.Orang-orang itu terus hadir dalam mimpi buruknya, melontarkan pertanyaan yang sama tanpa henti, seperti jarum tajam yang menusuk-nusuk pikirannya. Pada awalnya, Astrid mencoba mengabaikan. Dia berpikir, mungkin

    Huling Na-update : 2024-10-07
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 09: Kau patuh, Kau aman

    Freya merasa terjebak dalam pusaran antara mencemaskan dirinya sendiri atau Kaia, yang kini tampak semakin rapuh. Bekas luka di pipi kanannya masih terasa perih, memar itu belum hilang sepenuhnya, dan setiap kali dia berbicara atau mengunyah, rasa sakit menusuk seperti jarum yang menancap di dagingnya. Namun, bagaimanapun juga, dia merasa kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari lalu, ketika setiap gerakan kecil membuat tubuhnya mengerang kesakitan.Yah, setidaknya sekarang dia dapat bergerak bebas tanpa perlu mengeluh kesakitan.Meski rasa sakit itu masih ada, perhatian Freya lebih tertuju pada Kaia. Rasa takut menguasai gadis itu dan sejak melihat Freya kembali dalam kondisi babak belur, Kaia tak pernah berhenti menangis di sisinya. Isakannya yang pelan kadang terdengar dalam malam yang sunyi, menciptakan suasana mencekam yang membuat Freya sulit beristirahat. Freya tahu Kaia sedang mengalami trauma berat—wajah pucat gadis itu, mata bengkaknya,

    Huling Na-update : 2024-10-08
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 10: Time to escape

    Apa aku seorang penguntit? Pikiran itu sesekali melintas di benak Astrid, terutama saat dia berdiri di luar gedung apartemen mewah, South Park, sambil mengamati dari kejauhan. Bagi orang yang melihat, dia mungkin sudah tampak mencurigakan. Apalagi setelah dia mendirikan tenda mobil di pinggir jalan, tepat di depan gedung itu. Sudah dua hari satu malam berlalu, dan Astrid masih berkeliaran di sana, seakan mencari sesuatu—atau seseorang. Awalnya, dia sempat berpikir untuk menyewa flat di gedung tersebut. Tapi begitu melihat deretan angka sewa yang tertera, pikirannya langsung berubah. Oh, dia punya uangnya. Bahkan cukup untuk menyewa flat itu selama sebulan penuh, tetapi itu terasa sia-sia untuk rencana yang hanya akan berlangsung beberapa hari—seminggu, mungkin, sampai urusannya selesai. Sampai dia berhasil menculik Kaia dari Hunter Riviera. Itulah tujuan Astrid. Alasan mengapa dia nekat mendirikan kemah di area parkir jalanan mewah ini, tepat di depan gedung apartemen tempat sang meg

    Huling Na-update : 2024-10-12
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 11: Who’s she?

    Musim gugur tahun ini terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean Lau. Hawa dingin yang semula disukainya kini seperti musuh, mengingatkan pada serangkaian kewajiban yang tak bisa dia abaikan.Di kamar apartemen mereka yang hangat, daun-daun oranye berguguran terlihat dari balik jendela, menciptakan suasana musim gugur yang sempurna. Namun, suasana hati Sean jauh dari kata cerah. Dia bersandar di dinding, memandang lurus ke depan dengan ekspresi cemberut yang tak kunjung hilang sejak malam sebelumnya.“Jangan cemberut, Sean.” Suki May, tunangannya, mencubit gemas pipi kekasihnya, berusaha mengusir awan kelabu yang menggantung di wajahnya. “Kau sudah seperti anak kecil.”Sejak semalam, Sean terus saja cemberut. Bahkan saat mereka hendak tidur, dia masih mengomel panjang lebar, mengeluhkan banyak hal, terutama tentang rencana akhir bulannya yang berantakan gara-gara satu panggilan telepon. Suara Sean yang tak henti-hentinya menggerutu mulai membuat Suki kewal

    Huling Na-update : 2024-10-13
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 12: Who’s she? (2)

    Pekerjaan baru Sean sebenarnya cukup sederhana. Dia hanya perlu mengawasi gadis Mhthyr itu.Henrik bercerita bahwa semenjak wanita Mhthyr melarikan diri, Hunter mulai berpikir untuk memperkerjakan seorang pengawal yang dapat mengawasi tawanannya agar tidak kabur lagi. Nama Sean adalah yang pertama kali muncul di benak Hunter. Karena itulah, Hunter menghubungi Sean, memintanya untuk kembali bekerja—kali ini untuknya, bukan untuk Peter Lim.Sean tentu saja tidak menolak, apalagi dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hunter benar-benar membutuhkan jasanya. Terlebih, Hunter tidak bisa mengawasi gadis Mhthyr itu selama 24 jam penuh. Dengan seringnya dia harus bepergian untuk urusan bisnis, waktunya untuk tinggal di rumah sangat terbatas.Sementara itu, Henrik sudah terlalu tua untuk mengawasi seorang gadis muda. Hunter khawatir sifat kebapakan Henrik akan mendorongnya membebaskan gadis Mhthyr itu, apalagi gadis itu seumuran dengan putri bungs

    Huling Na-update : 2024-10-15
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 13: I Hate You

    Kaia duduk bersandar di tempat tidurnya, memegang segelas air di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya lelah, tetapi dia menuruti perintah Henrik yang duduk di sampingnya dengan sabar. Pria tua itu menatapnya dengan cermat, memastikan bahwa setiap tegukan air dan obat benar-benar masuk ke dalam tubuh gadis itu. Saat obat akhirnya tertelan, Kaia mengerutkan wajah, merasakan rasa pahit yang tak tertahankan di lidahnya.Pada akhirnya, dia pun jatuh sakit.Kemarin sore, Kaia tiba-tiba mengeluh sakit di bagian dada. Wajahnya mendadak pucat, napasnya tersengal-sengal ketika dia mencoba menggambarkan rasa nyeri yang menekan dadanya. Tidak lama kemudian rasa mual yang tak tertahankan menyerang, membuatnya semakin kesakitan. Kebetulan saat itu Sean masih berada di tempat, menjalankan tugasnya mengawasi Kaia. Tatapan cemasnya tertuju pada gadis itu ketika melihat kondisinya memburuk dengan cepat. Sean langsung memanggil Henrik, suaranya penuh kekhawatiran dan sedik

    Huling Na-update : 2024-10-18
  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 14: I Hate You (2)

    “Pergi dan mandilah!” perintah Hunter, suaranya memantul di antara dinding kaca yang dingin. Kaia hanya bisa berdiri terpaku, matanya melihat ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu bagaimana cara memulai. Ketidakpastian tampak jelas di wajahnya, dan kebingungannya semakin terlihat ketika dia menoleh ke arah pancuran di langit-langit, tidak yakin bagaimana menggunakannya. Detik-detik berikutnya, sebelum Kaia bisa memikirkan langkah selanjutnya, tiba-tiba air dari atas kepala mulai mengalir deras. Kaia menjerit kaget saat air dingin dari shower membasahi seluruh tubuhnya, meresap ke dalam pakaian yang masih melekat di kulitnya. Rambutnya basah kuyup, menempel di wajah pucatnya, dan tubuhnya bergetar akibat kejutan yang ia terima. Hunter, yang sejak awal berdiri di dekat kontrol shower, sengaja menyalakan air tepat di atasnya, memperlihatkan kekuasaan penuh atas situasi. Kaia yang belum pernah terbiasa dengan teknologi pancuran seperti ini,

    Huling Na-update : 2024-10-19

Pinakabagong kabanata

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 19: It’s called a kiss

    Kaia berdiri terpaku, bingung, dengan mata melebar. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan? Kenapa bibir mereka saling menempel? Dia tak punya sedikit pun pengalaman seperti ini dan rasa asing yang memenuhi pikirannya membuatnya bertanya-tanya—apa yang seharusnya dia lakukan? Bagaimana cara menghentikannya? Mengapa rasanya begitu aneh?Tak hanya sekadar bersentuhan, gigi Hunter pun sesekali mengigit bibirnya dengan lembut, seperti mencicipi sesuatu yang lezat. Mata Kaia terbelalak setiap kali bibir bawahnya terkena gigitan gigi Hunter. Tidak ada rasa sakit, sebaliknya rasanya asing dan cukup absurd untuk dijambarkan lewat kata-kata. Kaia bingung harus bereaksi bagaimana. Pengalaman seperti ini di luar batas pemahamannya. Mundur? Maju? Atau tetap diam seperti patung? Gerakan sekecil apa pun langsung direspons Hunter yang melingkarkan lengan di pinggangnya, menahan Kaia di tempatnya. Jika dia maju, bibir Hunter sepenuhnya menguasai bibirnya, menyerap semua respon

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 18: Little Bird

    “Are you awake, Sleeping Beauty?”Kaia tersentak terbangun saat mendapati Hunter duduk di sofa sebrang sambil mengamatinya dari balik lensa kacamata belajarnya. Dengan pakaian santai dan sebuah laptop di pangkuannya, Hunter tampak seperti sang dewa cinta yang menyamar sebagai pria rumahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa wajah tampan itu bagaikan sebuah mahakarya tingkat tinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan mahakarya mana pun. Meski dia memiliki bekas luka sayatan di wajah, itu sama sekali tak mengurangi keindahannya justru menambah ketampanannya.Hunter Riviera memiliki segala hal yang diinginkan semua wanita dalam diri seorang pria, tapi dia benar-benar di luar jangkauan. Sudah berapa banyak wanita yang dapat menaklukannya? Belum ada—sejauh ini. Pria itu mungkin pernah berkencan dengan tak sedikit wanita, tapi di antara mereka belum ada yang bisa mengendalikan Hunter. Karena itulah, hubungan pria itu jarang sekali berakhir dengan baik. Hampir selalu

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 17: Behind His Name

    Mengobrol bersama Jack meskipun hanya lewat telepon tetap terasa mengasyikan. Pria yang dijuluki “Don Juan” itu tidak pernah kehabisan topik obrolan. Selalu ada saja obrolan keluar dari mulut manisnya yang sering membuat para wanita terhanyut dalam gombalan cintanya. Sementara, Hunter lebih banyak diam, hanya menyimak. Dia menanggapi Jack dengan santai, menyisipkan komentarnya ketika dirasa memang perlu. Jack adalah seorang ekstrovert sejati dan social butterfly. Jaringan pertemanannya luas, mencakup semua lapisan masyarakat—dari kelas atas, menengah, hingga bawah. Namun, menurut Jack, dari semua lingkaran sosialnya, dia paling menikmati waktu bersama teman-teman dari kelas menengah dan bawah. Baginya, kelas atas cenderung membosankan. Mereka lebih sering berbicara tentang bisnis dan uang, hingga telinganya lelah mendengar topik itu di mana-mana. Jack merasa meskipun dirinya kini seorang pebisnis, waktu santai bersama teman-teman seharusnya bebas dari urusan peke

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 16: Crying in your arms

    Astrid mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan sambil meringis, matanya sembab dan kemerahan. Cahaya redup di kamar semakin mempertegas bayangan gelap di bawah matanya, sebuah tanda jelas dari malam-malam tanpa tidur yang dia paksakan. Selama tiga hari berturut-turut, dia bertahan, menahan kantuk yang berat dengan kafein yang bahkan sudah tak berpengaruh lagi. Matanya perih, sering kali berair, membuat pandangannya buram. Tapi bagi Astrid, tidur bukanlah pilihan. Setiap kali dia berusaha memejamkan mata, rasa waspada yang mencekam membuatnya terbangun. Siklus ini berulang terus—malam demi malam—hingga pada akhirnya, dia menyerah dan menerima penderitaan insomnia sebagai teman akrabnya.Astrid duduk bersila di lantai, dikelilingi puluhan potret seorang pria yang tersebar tak beraturan. Setiap foto itu dicetak dengan detail tajam, hasil unduhannya dari internet dan berbagai media sosial. Potongan wajah pria-pria asing itu terlihat seperti potongan puzzle yang

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 15: Distrik Mththyr

    Hunter merasakan telapak tangan Kaia yang dingin dan basah oleh keringat dalam genggamannya. Wajah gadis itu tampak pucat pasi, hampir seperti kertas—jauh lebih putih dari kulit aslinya yang seputih susu. Dengan gelisah, dia terus mengigiti bibir bawahnya hingga memerah, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa cemas.“Anda baik-baik saja, Miss Kaia?” Henrik bertanya dengan nada khawatir dari bangku seberang. Kekhawatiran terpancar jelas di wajah berkeriput pelayan senior itu. Kondisi Kaia yang belum sepenuhnya pulih dari demam, ditambah insiden misterius antara dia dan tuannya tadi pagi, membuat gadis itu terlihat terguncang. Sejak keluar dari kamar, dia tampak ketakutan, terutama saat berada di dekat Hunter. Kini adrenalin baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya memicu serangan panik yang kesekian.Ketakutannya akan ketinggian terpampang nyata.Mereka sedang berada di ketinggian 10.000 kaki, terbang melintasi awan dalam helikop

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 14: I Hate You (2)

    “Pergi dan mandilah!” perintah Hunter, suaranya memantul di antara dinding kaca yang dingin. Kaia hanya bisa berdiri terpaku, matanya melihat ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu bagaimana cara memulai. Ketidakpastian tampak jelas di wajahnya, dan kebingungannya semakin terlihat ketika dia menoleh ke arah pancuran di langit-langit, tidak yakin bagaimana menggunakannya. Detik-detik berikutnya, sebelum Kaia bisa memikirkan langkah selanjutnya, tiba-tiba air dari atas kepala mulai mengalir deras. Kaia menjerit kaget saat air dingin dari shower membasahi seluruh tubuhnya, meresap ke dalam pakaian yang masih melekat di kulitnya. Rambutnya basah kuyup, menempel di wajah pucatnya, dan tubuhnya bergetar akibat kejutan yang ia terima. Hunter, yang sejak awal berdiri di dekat kontrol shower, sengaja menyalakan air tepat di atasnya, memperlihatkan kekuasaan penuh atas situasi. Kaia yang belum pernah terbiasa dengan teknologi pancuran seperti ini,

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 13: I Hate You

    Kaia duduk bersandar di tempat tidurnya, memegang segelas air di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya lelah, tetapi dia menuruti perintah Henrik yang duduk di sampingnya dengan sabar. Pria tua itu menatapnya dengan cermat, memastikan bahwa setiap tegukan air dan obat benar-benar masuk ke dalam tubuh gadis itu. Saat obat akhirnya tertelan, Kaia mengerutkan wajah, merasakan rasa pahit yang tak tertahankan di lidahnya.Pada akhirnya, dia pun jatuh sakit.Kemarin sore, Kaia tiba-tiba mengeluh sakit di bagian dada. Wajahnya mendadak pucat, napasnya tersengal-sengal ketika dia mencoba menggambarkan rasa nyeri yang menekan dadanya. Tidak lama kemudian rasa mual yang tak tertahankan menyerang, membuatnya semakin kesakitan. Kebetulan saat itu Sean masih berada di tempat, menjalankan tugasnya mengawasi Kaia. Tatapan cemasnya tertuju pada gadis itu ketika melihat kondisinya memburuk dengan cepat. Sean langsung memanggil Henrik, suaranya penuh kekhawatiran dan sedik

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 12: Who’s she? (2)

    Pekerjaan baru Sean sebenarnya cukup sederhana. Dia hanya perlu mengawasi gadis Mhthyr itu.Henrik bercerita bahwa semenjak wanita Mhthyr melarikan diri, Hunter mulai berpikir untuk memperkerjakan seorang pengawal yang dapat mengawasi tawanannya agar tidak kabur lagi. Nama Sean adalah yang pertama kali muncul di benak Hunter. Karena itulah, Hunter menghubungi Sean, memintanya untuk kembali bekerja—kali ini untuknya, bukan untuk Peter Lim.Sean tentu saja tidak menolak, apalagi dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hunter benar-benar membutuhkan jasanya. Terlebih, Hunter tidak bisa mengawasi gadis Mhthyr itu selama 24 jam penuh. Dengan seringnya dia harus bepergian untuk urusan bisnis, waktunya untuk tinggal di rumah sangat terbatas.Sementara itu, Henrik sudah terlalu tua untuk mengawasi seorang gadis muda. Hunter khawatir sifat kebapakan Henrik akan mendorongnya membebaskan gadis Mhthyr itu, apalagi gadis itu seumuran dengan putri bungs

  • Sangkar Emas Sang Putri Tawanan   Chapter 11: Who’s she?

    Musim gugur tahun ini terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean Lau. Hawa dingin yang semula disukainya kini seperti musuh, mengingatkan pada serangkaian kewajiban yang tak bisa dia abaikan.Di kamar apartemen mereka yang hangat, daun-daun oranye berguguran terlihat dari balik jendela, menciptakan suasana musim gugur yang sempurna. Namun, suasana hati Sean jauh dari kata cerah. Dia bersandar di dinding, memandang lurus ke depan dengan ekspresi cemberut yang tak kunjung hilang sejak malam sebelumnya.“Jangan cemberut, Sean.” Suki May, tunangannya, mencubit gemas pipi kekasihnya, berusaha mengusir awan kelabu yang menggantung di wajahnya. “Kau sudah seperti anak kecil.”Sejak semalam, Sean terus saja cemberut. Bahkan saat mereka hendak tidur, dia masih mengomel panjang lebar, mengeluhkan banyak hal, terutama tentang rencana akhir bulannya yang berantakan gara-gara satu panggilan telepon. Suara Sean yang tak henti-hentinya menggerutu mulai membuat Suki kewal

DMCA.com Protection Status