“Kaiâ ...!”
Astrìd berteriak sekali lagi, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Rasa lelah mulai menguasainya. Dia mengira Kaiâ bersembunyi di balik pohon-pohon kauri raksasa atau di antara semak belukar, tapi setelah memeriksa tempat-tempat itu, dia hanya menemukan kekosongan. Bahkan gua rahasia yang biasa menjadi tempat bermain Kaiâ pun kosong. Hari semakin sore, dan langit di atas kanopi pohon mulai memudar, dari biru cerah menjadi jingga yang pudar. Cahaya matahari yang tersisa menembus dedaunan seperti sinar tipis yang memudar, menandakan malam segera tiba. Astrìd mulai cemas. Hutan ini, meskipun akrab baginya dan penduduk suku Mhthyr, tetap penuh dengan bahaya yang mengintai di kegelapan. Tidak baik bagi seorang anak-anak berkeliaran sendirian di dalam hutan tanpa marcàig dewasa. Ada banyak binatang buas di hutan dan mereka sangat berbahaya. Salah satu anak Suku Mhthyr pernah terluka diserang seekor babi hutan yang besar, meski tidak sampai tewas, anak itu tetap kehilangan salah satu kaki yang membuatnya cacat seumur hidup. Astrìd menggigit bibirnya, hatinya penuh kekhawatiran. Dia mondar-mandir di antara pepohonan, mencoba menebak di mana lagi Kaiâ mungkin bersembunyi. Matahari mulai turun dan bayangan pepohonan semakin panjang, menciptakan suasana yang membuat setiap sudut hutan tampak lebih gelap dan misterius. Suara angin yang menggerakkan dedaunan mulai terdengar lebih menyeramkan daripada menenangkan. “Kaiâ, di mana kau...?” gumamnya lagi, separuh putus asa. Hobi Kaiâ untuk bersembunyi seperti ini selalu membuat Astrìd jengkel, terutama karena Astrìd sering diberi tanggung jawab untuk menemukannya. Jika dia kembali ke desa tanpa membawa Kaiâ, Serèia—ibu mereka—pasti akan marah besar. Serèia tidak pernah ragu menuduh Astrìd ceroboh dan tidak becus menjaga adiknya. Cih, anak itu yang bandel, pikir Astrìd dengan kesal. Namun, di balik kekesalannya, ia merasa prihatin pada Kaiâ. Gadis kecil itu hidup dalam batasan-batasan yang ketat. Sebagai calon Mionna, putri sang dewi, hidup Kaiâ diatur oleh tradisi dan peraturan yang membatasi kebebasannya. Sejak saudarinya itu menginjak usia 10 tahun, dia mulai mengikuti beragam macam tradisi suku untuk menjadi Mionna, putri sang Dewi Mhyër. Anak itu dipaksa belajar keras sejak kecil mengenai tradisi suku yang secara turun-temurun diwariskan ke keturunan, lalu serta-merta menghapalkan kisah kedewaan Mhyër dan asal muasal lahirnya Suku Mhthyr. Sehingga masa tumbuhnya sebagai seorang anak-anak berkurang secara perlahan-lahan. Berbeda dengan Astrìd, yang tumbuh tanpa beban seperti itu. Toh, dia bukan Mìonna. Dia merupakan seorang utusan suku yang memiliki kebebasan untuk melakukan perjalanan jauh ke tanah asing. Astrìd tak sepenuhnya menyalahkan Kaiâ atas tingkahnya yang sering membangkang. Kaiâ hanya ingin merasakan sedikit kebebasan—mencari pelarian dari beban tak terlihat yang dipaksakan padanya. Dan caranya melawan adalah dengan bersembunyi dari semua orang. Dengan rasa frustrasi yang semakin memuncak, Astrìd hampir memutuskan untuk kembali ke desa. Mungkin Ròxy bisa menemukannya, pikir Astrid sesaat, sebelum terdiam ketika mendengar suara tawa seorang anak dan itu datang dari atas. Astrìd mendongak, matanya menyipit, mencoba menangkap suara tawa kecil yang tiba-tiba terdengar dari atas. Ketika pandangannya akhirnya tertuju pada Kaiâ, yang bersembunyi di cabang tinggi pohon, dia langsung tertegun. “Astaga, Kaiâ!” Suara Astrìd terdengar campuran antara lega dan marah, menggema di hutan yang mulai gelap. Sinar matahari terakhir memantul dari dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang menyeramkan di tanah. Udara hutan mulai dingin, angin malam menggelitik dedaunan, membuat suasana semakin mencekam. Kaiâ, yang semula tertawa geli melihat Astrìd kebingungan mencarinya, langsung tersentak dan wajahnya berubah panik. Dasar bodoh! Seharusnya dia tetap diam jika tidak mau ketahuan. Namun, tawa tak terduga itu justru mengungkap persembunyiannya. “Bagus sekali! Ternyata kau sembunyi di sana, ya?” kata Astrìd dengan nada tajam, matanya memicing ke arah Kaiâ yang duduk di cabang pohon. “Siapa yang mengajarimu memanjat pohon? Seingatku, aku tidak pernah mengajarimu.” Kaiâ terdiam, ragu-ragu untuk turun. Ekspresi geram di wajah Astrìd membuatnya gugup setengah mati. Dia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, sementara tangan mungilnya mulai berkeringat saat mencengkeram cabang pohon dengan erat. Astrìd berdiri di bawahnya, mengamati dengan tangan bersilang di dada, menunggu gadis kecil itu membuat keputusan. “Sampai kapan kau mau di atas sana? Mau sìur naik dan menyeretmu turun, atau kau ingin aku pergi mengadu ke Mitèra kalau putri kesayangannya telah melanggar salah satu larangan Mionna, hm?" ancamnya sambil mengangkat alis. Nama Serèia sudah cukup untuk membuat punggung Kaiâ menegang ketakutan. Apalagi jika sampai diadukan soal pelanggaran ini. Salah satunya adalah larangan memanjat pohon, sebuah tindakan yang dianggap kasar dan tidak pantas bagi seorang calon Mionna yang seharusnya menjaga kesucian dan keanggunannya. Menjadi putri Mhyër mereka harus menjadi wanita suci yang tidak berhati picik. Mionna tak boleh bertindak serampangan atau berperilaku seperti marcàig, para pejuang wanita Suku Mhthyr. Hanya memikirkan konsekuensinya sudah membuat tubuh Kaiâ menegang. Tanpa kata-kata, dia setuju untuk turun. “Sìur, hati-hati.” Cara Kaiâ turun dari pohon lebih mengkhawatirkan daripada ketika melihat anak itu bertengger di atas pohon. Astrìd mengamati adiknya yang mulai turun dengan canggung. Gaun putih polos Kaiâ, yang terlalu panjang, terbelit-belit dan mengganggu gerakannya. Setiap kali gadis kecil itu mencoba melihat pijakannya, ujung gaun selalu menghalangi pandangannya, membuat proses turun semakin sulit dan berbahaya. “Pelan-pelan, jangan sampai kau jatuh.” Astrìd memperingatkan dengan nada khawatir meskipun kemarahannya belum sepenuhnya surut. “Aku bisa, kok.” Sebenarnya ini kedua kalinya Kaiâ memanjat pohon dan pertama kalinya memanjat seorang sendiri tanpa pengawasan Ròxy, orang yang diam-diam mengajarinya cara memanjat pohon. Namun, kepercayaan diri Kaiâ goyah saat kakinya mencari pijakan berikutnya. Tanpa disadari, ujung gaunnya tersangkut pada cabang yang kasar dan dalam sekejap Kaiâ kehilangan keseimbangannya. Sebelum dia sempat mengantisipasi, tubuhnya meluncur turun, terlepas dari cengkeramannya. Astrìd yang berdiri di bawah, melihat semuanya dalam sekejap, berteriak panik dan spontan berlari untuk menangkap Kaiâ dengan mengandalkan tubuhnya sendiri. Belum sampai kenangan itu berakhir, Kaiâ terbangun perlahan, kepalanya berdenyut tajam, rasa sakit yang berdenyut membuat tubuhnya terasa semakin lemah. Saat matanya mulai terbuka, dia menyadari bahwa tubuhnya masih terbaring di atas lantai dingin yang lembap. Kenangan buram dari tidurnya—mimpi panjang yang penuh dengan bayangan dan rasa lelah yang tak berkesudahan—masih menyelimuti pikirannya. Barusan adalah tidur terlama yang dia alami dalam beberapa hari terakhir, tapi meski tidur, tubuhnya tetap terasa seperti dihancurkan dari dalam. Kaiâ meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di perut yang kini kosong melompong. Dia mencoba duduk dengan hati-hati, tapi rantai yang mengikat kaki dan tangannya membuat gerakannya sulit. Ruangan itu, sel bawah tanah yang pengap dan hampir gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lilin yang hampir habis. Udara pengap dan bau kotoran menyelimuti tempat itu, membuat setiap tarikan napas terasa berat dan mencekik. Tembok batu yang dingin dan lembap memantulkan suara langkah-langkah di kejauhan, langkah yang selalu membuatnya waspada dan ketakutan. Dia meringis lagi, merasa prihatin dengan kondisinya yang tidak ada bedanya dengan seorang gelandangan dalam buku bergambar yang sering dibawa pulang Astrìd. Mungkin menjadi seorang gelandangan jauh lebih baik daripada menjadi seorang tawanan suku. Dia tidak perlu mengalami siksaan demi siksaan dan menjalani kehidupan di mana dia tidak bisa melarikan diri maupun mati. Tenggorokan Kaiâ terasa seperti dilapisi pasir. Sudah berhari-hari dia tidak minum air, hanya mengandalkan air liur yang ditelannya untuk mengatasi rasa haus yang menyiksa. Bibirnya kering dan pecah-pecah, kulitnya kusam, dan tubuhnya begitu lemah. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia makan—mungkin empat hari yang lalu, saat teman kecilnya menyelundupkan secuil roti ke dalam sel. Sejak itu, perutnya terus melilit kesakitan dan rasa lapar kini berubah menjadi nyeri yang menusuk setiap kali dia mencoba bergerak. Pikirannya kembali melayang ke malam yang mengubah hidupnya. Malam pembantaian itu masih segar di ingatannya—suara jeritan, api yang berkobar, darah yang berceceran di tanah suci suku mereka. Kaiâ dan Ròxy yang mati-matian melarikan diri pada akhirnya tertangkap karena penyergapan yang diatur si pemimpin kelompok untuk menangkap mereka. Hal terakhir yang dia ingat adalah aksi memberontak Ròxy yang berujung perempuan itu terkena pukulan keras di kepala, lalu tak lama dia ikut menyusulnya. Setelah itu, segalanya gelap. Saat Kaiâ sadar, dia sudah berada di dalam sel ini, dipisahkan dari para saudarinya yang juga menjadi tawanan. Selama menjadi tawanan suku, Kaiâ menahan egonya agar tak mudah tergoda dengan makanan yang diberikan oleh para penculik. Makanan itu dilempar begitu saja ke lantai, seperti sampah yang bahkan tak layak untuk anjing. Sekalipun kelaparan, dia tak menyentuh makanan itu. Harga dirinya sebagai anak Suku Mhthyr lebih kuat daripada rasa lapar yang mencabik-cabik tubuhnya. Akibat dari keengganannya menyentuh makanan, Kaiâ menjadi bual-bualan di dalam penjara karena setiap hari piring dan gelasnya masih utuh dan tidak tersentuh. Rasa takut dan jijik selalu menyelimuti Kaiâ saat penjaga itu marah. Setiap kali marah, si penjaga sering melecehkannya dengan menjambak rambut dan memaksanya menelan makanan yang rasanya seperti sampah didaur ulang menjadi makanan. Sementara dia tak sanggup melawan balik lantaran kaki dan tangan terikat rantai besi yang terhubung dengan sel penjara. Pernah sekali Kaiâ melawan dengan menyemburkan makanan ke wajah si penjaga, yang berujung dia dipukuli habis-habisan hingga pipinya membengkak dan bibirnya robek, darah mengalari dari sudut mulutnya. Si penjaga bahkan pernah meludahinya, menghina dirinya perempuan tidak tahu malu yang menjengkelkan. Kaiâ tak peduli dengan penghinaan itu. Selama untuk melindungi dirinya sendiri, tidak masalah menjadi menjengkelkan di depan manusia biadab itu. Malah dia berharap bisa berbuat lebih dari sekadar menjengkelkan. Kalau bisa dia ingin sekali membunuhnya. Menjadi tawanan suku merupakan mimpi buruk bagi semua manusia, terutama bagi para wanita. Setiap hari Kaiâ selalu diteror oleh rasa takut yang berlebihan. Dia selalu meringkuk ke sudut sel, mendekap tubuhnya dengan tangan gemeter setiap kali mendengar suara langkah kaki mendekat ke ruang tahanannya, berharap langkah itu berlalu begitu saja tanpa menghampiri. Teror selalu datang bersamaan dengan bunyi langkah-langkah itu. Kaiâ takut si penjaga datang hanya untuk menyiksa dirinya. Terlebih setelah seorang penjaga pernah mencoba menyentuh tubuhnya dengan tangan kotornya. Itu terjadi pada dini hari ketika Kaiâ tengah menahan rasa kantuk. Suara kunci yang berderit membuka pintu selnya membuat jantungnya berdetak kencang, seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Si penjaga, dengan senyum mesum yang membuat Kaiâ mual, masuk ke dalam sel yang pengap dan gelap. Lilin yang hampir habis di sudut ruangan hanya memancarkan cahaya lemah, memperpanjang bayangan pria itu hingga tampak lebih mengancam. Kaiâ langsung memahami niat busuk penjaga itu. Napasnya tersengal, panik menguasai dirinya. Meski tubuhnya lelah dan terlilit rantai, naluri untuk bertahan hidup memaksanya mencoba melarikan diri. Namun, langkahnya tertahan. Kaki dan tangannya yang dirantai ke dinding membuat setiap gerakannya sia-sia. Dengan mudah, pria itu menangkapnya. Kaiâ memberontak sekuat tenaga, kakinya berusaha menendang, tapi dengan satu dorongan keras, tubuhnya terhempas ke lantai dingin yang berdebu. Penjaga itu segera menindihnya, duduk di atas perutnya, membuat napasnya tersendat. Tubuh Kaiâ yang lemah tidak mampu melawan beban berat pria itu. Dengan satu tangan, si penjaga menahan kedua pergelangan tangannya, mencekiknya ke lantai. Kaiâ menjerit sekeras-kerasnya, suaranya memecah keheningan malam, menggema di lorong-lorong bawah tanah yang dingin. Teriakan itu diiringi dengan isak tangis ketakutan, memohon pertolongan yang tidak akan pernah datang. Suara langkah kaki yang mungkin bisa menyelamatkannya tidak pernah terdengar. Hanya keheningan yang menjawab jeritannya. Penjaga itu tertawa serak, semakin puas setiap kali Kaiâ mencoba melawan. Setiap sentuhan tangan kotor pria itu di balik gaunnya yang lusuh membuat Kaiâ merasa mual. Sentuhan yang kasar, tak berperasaan, merayapi tubuhnya seolah dia hanyalah boneka tak bernyawa. Tangan pria itu berusaha mencium wajahnya, tapi Kaiâ terus mengelak, menggerakkan kepalanya sekuat tenaga. Usaha ini hanya membuat amarah pria itu membuncah. Dengan kejam, dia mulai memukul wajah Kaiâ berulang kali. Setiap pukulan adalah seperti pecahan kaca yang menghujam kulitnya, tapi Kaiâ lebih memilih rasa sakit itu daripada menyerah pada kebiadaban pria tersebut. Pipinya membengkak, darah mengalir dari bibirnya yang pecah, tapi Kaiâ tidak berhenti melawan. Dia rela dipukul hingga mati daripada dirampas kehormatannya. Namun, kekerasan yang ditimpakan padanya belum cukup untuk memuaskan pria itu. Dengan kasar, dia merobek gaun Kaiâ, memperlihatkan tubuh ringkihnya yang bergetar ketakutan. Kaiâ meronta, memaki, dan berteriak sekuat tenaga, tapi itu hanya menambah kesenangan bagi pria tersebut. Dia tertawa senang melihat gadis muda itu menderita dan semakin beringas saat tangannya mulai meraba paha bagian dalam Kaiâ. Rasa takut yang lebih dalam dari sebelumnya menjalari tubuh Kaiâ saat pria itu mulai melepaskan celananya, mempersiapkan diri untuk tindakan terburuk. Di tengah-tengah kegelapan dan penderitaan, Kaiâ hanya bisa menutup mata, berharap segalanya segera berakhir—lebih baik mati daripada menjalani neraka ini. Namun, sebuah jeritan mendadak membangunkannya dari keputusasaan. Mata Kaiâ terbuka lebar, melihat pria yang tadi menindihnya meloncat mundur dengan wajah penuh teror. Dia berteriak kesakitan, suara yang sebelumnya penuh keangkuhan berubah menjadi tangisan ketakutan. Kaiâ, yang masih terbaring di lantai, menatap pemandangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sekelompok tikus—besar, ganas, dan banyak—tiba-tiba muncul dari kegelapan, menyerbu tubuh penjaga itu. Mereka mengigit dengan buas, menyelinap ke seluruh bagian tubuh pria tersebut, menggigit, merobek kulitnya tanpa ampun. Si penjaga menjerit, mengayunkan tangan dan kakinya dengan liar, mencoba menyingkirkan makhluk-makhluk kecil itu, tapi sia-sia. Tikus-tikus itu tak terhentikan, menyerang dengan keganasan yang tak pernah Kaiâ lihat sebelumnya. Kaiâ menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak, napasnya terengah-engah. Di satu sisi, ada perasaan lega yang menjalar di tubuhnya. Namun di sisi lain, ada ketakutan yang jauh lebih mendalam dari sebelumnya. Tikus-tikus itu, makhluk-makhluk kecil yang biasanya dianggap menjijikkan, kini menjadi penyelamat yang tidak terduga. Sambil menggigil, Kaiâ perlahan menjauh, menyeret tubuhnya yang masih gemetar, berusaha menjaga jarak dari penjaga yang tengah dikerubungi tikus-tikus tersebut. Di dalam sel yang dingin dan gelap, hanya suara jeritan penjaga yang terdengar, bercampur dengan suara gemeretak gigi-gigi tikus yang merobek daging. Kaiâ terus mundur hingga punggungnya menempel di dinding batu yang dingin, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan detak jantungnya yang masih tak beraturan. Matanya terus menatap ke arah penjaga, memastikan bahwa mimpi buruk itu telah berakhir—bahwa dirinya, setidaknya untuk malam ini, aman dari cengkeraman kekerasan dan kehinaan yang hampir saja menimpanya. Kaiâ menyingkir ke sudut sel, tubuhnya gemetar tetapi diselimuti perasaan syukur yang mendalam. Meskipun apa yang baru saja terjadi di hadapannya terlihat menjijikkan—segerombolan tikus menyerang dan memakan penjaga—ada rasa lega yang luar biasa. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana makhluk-makhluk kecil itu menjadi pelindungnya. Senyum kecil terbit di bibirnya yang pecah-pecah dan senyuman itu berubah hangat saat seekor tikus kecil mendekat. Tikus itu menatapnya dengan mata hitamnya yang kecil, sebelum mengeluarkan suara pelan, “Ciiittt?” Kaiâ perlahan meraih tikus itu dengan tangannya yang gemetar. Jari telunjuknya dengan lembut membelai kepala tikus tersebut. “Terima kasih karena telah melindungiku.” Sejak malam kejadian itu, para binatang kecil itu menjadi teman serta pelindungnya di dalam sel tahahan di ruang bawah tanah. Sejak malam yang mengerikan itu, para tikus kecil tersebut menjadi teman setia Kaiâ. Mereka adalah satu-satunya makhluk yang memberinya rasa aman di tempat terkutuk ini, di ruang bawah tanah yang gelap dan menjijikkan. Mereka bukan hanya pelindungnya, tetapi juga penyelamatnya. Setiap beberapa hari, mereka datang dengan potongan roti kecil yang mereka bawa dari luar. Kaiâ menerimanya dengan senang hati, tak pernah merasa jijik meski makanan itu diambil oleh makhluk-makhluk yang biasanya dianggap hina. Di tengah kelaparan dan ketakutan, potongan roti itu adalah kehidupan baginya, dan para tikus adalah ksatria kecil yang membantunya bertahan. Meski terpisah dari saudari-saudarinya, Kaiâ percaya bahwa Dewi Mhyër tidak pernah meninggalkannya. Justru sebaliknya, sang Dewi telah memberinya berkah berupa teman-teman kecil ini yang setia menemaninya melalui hari-hari penuh penyiksaan. Mereka adalah wujud cinta dan perlindungan Dewi yang selalu mengawasinya. “Terima kasih karena kalian selalu bersamaku.” “Ciitttt!” sahut para tikus serentak, seolah memahami setiap kata yang diucapkannya. Mata mereka menatap Kaiâ dengan kedalaman yang aneh, dan Kaiâ merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan antara manusia dan binatang. Perlahan, matanya yang biasanya berwarna hazel lembut berubah menjadi merah menyala. Ini adalah tanda bahwa dia menggunakan kekuatan khususnya—kemampuan berbicara dengan binatang, berkah yang diberikan Dewi Mhyër kepadanya. Ucapan Astrìd benar bahwa Kaiâ masih bisa menjadi Mionna tanpa harus mengikuti upacara malam pemberkahaan, selama sang Dewi masih bersamanya. Meskipun Kaiâ tidak sempat menghadiri malam pemberkahan pada malam pembantaian sukunya, Mhyër tetap memilihnya sebagai salah satu anak terberkati. Sebagai bukti, Dewi memberinya kemampuan untuk berbicara dengan binatang. Setiap Mionna yang terpilih oleh Mhyër menerima berkah yang berbeda-beda. Seperti Grèta yang dianugerahi kemampuan penyembuhan, atau Leàh yang memiliki kemampuan berbicara dengan hewan, seperti Kaiâ. Namun, berkah ini tidak datang tanpa harga. Grèta, misalnya, akan kehilangan indra perasanya setiap kali menggunakan kekuatannya. Leàh, suatu ketika, kehilangan penglihatannya selama sebulan penuh setelah bertukar penglihatan dengan familarnya. Berkah dari Mhyër memang mahal, sebuah pengorbanan yang sengaja diciptakan untuk memastikan bahwa kekuatan ini tidak disalahgunakann kembali lagi setelah melewati satu bulan. Mhyër sengaja memberikan harga yang diperlukan untuk menggunakan berkahnya supaya anak-anaknya tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab, dan supaya anak-anaknya yang terpilih tidak berbuat picik kepada saudari sesuku mereka. Semenjak mengetahui dirinya bisa berbicara dengan binatang, hari-hari Kaiâ mulai terisi warna lagi. Kehidupan yang tadinya hanya diisi oleh kegelapan dan ketakutan kini terasa lebih hangat meskipun hanya oleh kehadiran teman-teman kecilnya. Tapi bukan berarti dia sudah bisa bernapas lega. Rasa cemas dan takut itu masih ada, terlebih ketika dia dihadapkan dengan si penjaga baru karena penjaga sebelumnya mati dan tidak ada yang mengetahui kematiannya karena mayat pria itu telah dimakan familiarnya. Di saat Kaiâ tengah tenggelam dalam percakapan dengan para tikus yang merayap ke pangkuannya, dia tidak menyadari bahwa seseorang tengah mengamati dari jauh. Sosok itu, pria yang baru saja masuk ke ruang bawah tanah, sengaja memperlambat langkahnya begitu menyaksikan pemandangan yang tak biasa di depannya. Mata pria itu terbelalak ketika melihat Kaiâ, duduk dengan tenang di sudut sel, berbicara dengan tikus-tikus di sekitarnya, dan matanya bersinar merah terang. Sesuatu yang melampaui batas logika manusia sedang terjadi di hadapannya—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Pria itu berdiri cukup dekat dengan pintu sel, cukup dekat untuk menyaksikan perubahan mata Kaiâ yang penuh cahaya merah menyala. Dia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya—seorang gadis tawanan, berkomunikasi dengan binatang, sesuatu yang di luar nalar dan keyakinannya. Dia mendekat lagi dengan tujuan ingin memperhatikan persahabatan kecil antara si gadis tawanan dan si binatang kecil berbulu. Namun, bunyi yang ditimbulkan dari pertemuan antara sol sepatu dan lantai menyebabkan sepasang sahabat itu berhenti mengobrol dan serentak menoleh ke arahnya. Kaiâ tersentak saat akhirnya menyadari kehadiran seseorang di pintu sel penjaranya. Dengan napas terputus-putus, dia segera bergerak menjauh, punggungnya bersandar pada dinding batu yang dingin. Matanya yang tadinya dipenuhi kehangatan dan rasa syukur kini dipenuhi ketakutan, mengunci pandangannya pada sosok pria asing yang berdiri di sana. Wajahnya tegang, napasnya tersengal, dan jantungnya berdegup cepat. Tikus-tikus kecil di sekelilingnya mencicit dengan marah, seolah mencoba melindunginya, memperingatkan pria itu agar tidak mendekat atau menyakitinya. Pria itu tampak tak terganggu oleh makhluk-makhluk kecil yang mengelilingi Kaiâ. Mata hitam pekatnya penuh misteri dan kegelapan, mengawasi dengan dingin gadis tawanan di hadapannya. Dia tidak terkesan dengan pemandangan aneh itu—gadis muda yang berbicara dengan binatang—meski di matanya ada kilasan ketertarikan yang samar. “Kamu terlihat spesial.” Kaiâ merasakan tubuhnya membeku sejenak. Tatapan itu—semuanya mengingatkan dia pada sesuatu. Dan dalam hitungan detik, dia tersentak lagi. Wajah pria itu, bayangannya, bekas luka di pipinya—semua itu menghubungkannya kembali pada mimpinya. Nubuat Mhyër. Dia! Pria itu adalah sosok yang muncul dalam mimpinya, sosok yang ditunjukkan oleh Dewi Mhyër. Mata pria itu, dan bekas sayatan pisau di pipinya, tidak salah lagi. “Takdirmu ada pada pilihanmu, Putriku.” Kata-kata Dewi Mhyër terngiang kembali di benaknya. Kaiâ belum sepenuhnya memahami apa maksud dari nubuat itu, tetapi kini, pria yang muncul dalam mimpinya benar-benar berdiri di hadapannya, di dunia nyata. Apakah ini pintu menuju takdir yang dimaksudkan? Apakah pria ini bagian dari jalan yang harus ia ambil? “Takdirku adalah pilihanku ....” Tanpa sadar, Kaiâ yang tadinya ketakutan mulai berubah. Ada keyakinan yang perlahan menyusup di hatinya, meski masih samar. Perlahan, dia mendekat, bergerak dari sudut sel yang dingin ke arah pria itu. Tikus-tikus kecil yang mengelilinginya mencicit bingung, tapi Kaiâ tidak peduli. Sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk percaya pada pria ini—pria yang sudah dia lihat dalam nubuatnya. Pria itu memperhatikan perubahan sikapnya dengan seksama namun tetap diam. Mata gelapnya tidak lepas dari Kaiâ, menilai setiap gerakan gadis itu. Kaiâ meraih jeruji besi yang memisahkan mereka, tangannya gemetar tetapi tekadnya kuat. Dengan suara yang lemah namun penuh harapan, dia meraih tangan pria itu. “P-please, help us,” pintanya, suaranya nyaris bergetar namun penuh harapan yang putus asa. Matanya yang sebelumnya penuh ketakutan kini dipenuhi oleh secercah harapan. Jika pria ini memang bagian dari takdirnya, mungkin dia bisa menolongnya. Mungkin dia adalah jalan keluar dari penderitaan ini. Hunter Rivièra yang mendapat permintaan tolong tiba-tiba dari gadis tawanan Suku Mhthyr, hanya menatap balik dengan kebisuan. Tatapannya sulit diartikan—campuran antara ketertarikan, kebingungan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak mudah ditebak. Tangan Kaiâ yang gemetar masih menggenggam tangannya, tetapi Hunter tidak memberikan jawaban. Hening menyelimuti ruangan yang dingin dan pengap, sementara tikus-tikus kecil tetap berjaga di sekeliling Kaiâ, mencicit pelan seakan menunggu keputusan pria itu.Luke merasa seolah telah memenangkan lotere hidup ketika seseorang yang begitu berpengaruh dan tak terduga muncul di kediamannya di Monako. Bayu laut yang biasanya menyapu tenang melalui jendela kaca villa megahnya kini terasa lebih hangat, seolah merayakan kedatangan tamu yang luar biasa ini. Luke menyambut hangat kedatangan sang tamu terhormat—Hunter Rivièra. Sang taipan muda yang namanya selalu menghiasi halaman depan majalah-majalah bisnis ternama, kini melangkah ke dalam ruangannya, membawa serta aura misteri dan kekayaan yang hanya dimiliki sedikit oranv di dunia. Ketika pengawal pribadinya dengan nada bergetar menginformasikan bahwa Hunter Rivièra telah tiba, Luke tanpa ragu membatalkan semua janji temunya. Dia lebih mengutamakan bertemu dengan Hunter Rivièra daripada putra seorang presiden yang harusnya dia temui siang ini. Luke enggan menyiakan kesempatan emasnya bertemu pria yang dianggap sebagai dewa finansial oleh majalah Forbes. Terlebih lagi, si Taipan Muda R
Kenapa dia hanya diam? Pikiran itu bergema di benak Kaia. Apa ada yang salah dengan permintaanku? Tangan gemetarnya masih terasa dingin setelah meraih pria itu, tapi yang dia dapatkan hanyalah tatapan kosong dan sikap tak acuh yang menembus jauh ke dalam dirinya. Kenapa dia tidak merespon? Apakah dia tak mengerti kata-katanya?Dia tidak tahu bagian mana yang salah dari meminta bantuan orang yang baru ditemuinya. Kaia pikir dia sudah melakukan dengan cara yang benar. Apa mungkin pria ini tidak mengerti bahasanya? Kaia memutar ulang kata-katanya dalam benaknya, mencari kesalahan. Dia berbicara dalam bahasa yang diajarkan Astrid—bahasa yang digunakan orang-orang dari tanah asing. Astrid pernah berkata bahwa orang-orang dari tanah asing memiliki banyak bahasa yang berbeda-beda. Di antara banyaknya bahasa yang mereka punya, ada satu bahasa yang paling sering mereka pakai untuk berkomunikasi. Itulah bahasa yang dia gunakan tadi. Tapi kenapa pria ini tak menjawab?Tatapan
“Kenapa kau membunuh kami?”“Kenapa kau membunuh kami?”“Kenapa kau membunuh kami?”“Siur, kenapa kau membunuhku?”“Kaia ...!!!”Lagi dan lagi. Suara-suara itu terus menghantui Astrid, berputar seperti kaset rusak di dalam kepalanya, membangunkannya dengan napas terengah-engah dan tubuh bersimbah peluh. Sudah berhari-hari dia terbangun dengan kengerian yang sama, merasakan tatapan dingin dari wajah-wajah yang memucat dalam mimpinya. Wajah-wajah yang tak asing namun kini hanya menjadi bayang-bayang kematian.Setiap malam setelah pembantaian Suku Mhthyr, teror itu datang, tak henti-hentinya mengusik tidur Astrid. Malam yang dulu damai kini dipenuhi bayangan kelam, penuh ancaman yang menggantung di udara, seolah-olah setiap sudut kamar dipenuhi bisikan hantu-hantu dari masa lalu.Orang-orang itu terus hadir dalam mimpi buruknya, melontarkan pertanyaan yang sama tanpa henti, seperti jarum tajam yang menusuk-nusuk pikirannya. Pada awalnya, Astrid mencoba mengabaikan. Dia berpikir, mungkin
Freya merasa terjebak dalam pusaran antara mencemaskan dirinya sendiri atau Kaia, yang kini tampak semakin rapuh. Bekas luka di pipi kanannya masih terasa perih, memar itu belum hilang sepenuhnya, dan setiap kali dia berbicara atau mengunyah, rasa sakit menusuk seperti jarum yang menancap di dagingnya. Namun, bagaimanapun juga, dia merasa kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa hari lalu, ketika setiap gerakan kecil membuat tubuhnya mengerang kesakitan.Yah, setidaknya sekarang dia dapat bergerak bebas tanpa perlu mengeluh kesakitan.Meski rasa sakit itu masih ada, perhatian Freya lebih tertuju pada Kaia. Rasa takut menguasai gadis itu dan sejak melihat Freya kembali dalam kondisi babak belur, Kaia tak pernah berhenti menangis di sisinya. Isakannya yang pelan kadang terdengar dalam malam yang sunyi, menciptakan suasana mencekam yang membuat Freya sulit beristirahat. Freya tahu Kaia sedang mengalami trauma berat—wajah pucat gadis itu, mata bengkaknya,
Apa aku seorang penguntit? Pikiran itu sesekali melintas di benak Astrid, terutama saat dia berdiri di luar gedung apartemen mewah, South Park, sambil mengamati dari kejauhan. Bagi orang yang melihat, dia mungkin sudah tampak mencurigakan. Apalagi setelah dia mendirikan tenda mobil di pinggir jalan, tepat di depan gedung itu. Sudah dua hari satu malam berlalu, dan Astrid masih berkeliaran di sana, seakan mencari sesuatu—atau seseorang. Awalnya, dia sempat berpikir untuk menyewa flat di gedung tersebut. Tapi begitu melihat deretan angka sewa yang tertera, pikirannya langsung berubah. Oh, dia punya uangnya. Bahkan cukup untuk menyewa flat itu selama sebulan penuh, tetapi itu terasa sia-sia untuk rencana yang hanya akan berlangsung beberapa hari—seminggu, mungkin, sampai urusannya selesai. Sampai dia berhasil menculik Kaia dari Hunter Riviera. Itulah tujuan Astrid. Alasan mengapa dia nekat mendirikan kemah di area parkir jalanan mewah ini, tepat di depan gedung apartemen tempat sang meg
Musim gugur tahun ini terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean Lau. Hawa dingin yang semula disukainya kini seperti musuh, mengingatkan pada serangkaian kewajiban yang tak bisa dia abaikan.Di kamar apartemen mereka yang hangat, daun-daun oranye berguguran terlihat dari balik jendela, menciptakan suasana musim gugur yang sempurna. Namun, suasana hati Sean jauh dari kata cerah. Dia bersandar di dinding, memandang lurus ke depan dengan ekspresi cemberut yang tak kunjung hilang sejak malam sebelumnya.“Jangan cemberut, Sean.” Suki May, tunangannya, mencubit gemas pipi kekasihnya, berusaha mengusir awan kelabu yang menggantung di wajahnya. “Kau sudah seperti anak kecil.”Sejak semalam, Sean terus saja cemberut. Bahkan saat mereka hendak tidur, dia masih mengomel panjang lebar, mengeluhkan banyak hal, terutama tentang rencana akhir bulannya yang berantakan gara-gara satu panggilan telepon. Suara Sean yang tak henti-hentinya menggerutu mulai membuat Suki kewal
Pekerjaan baru Sean sebenarnya cukup sederhana. Dia hanya perlu mengawasi gadis Mhthyr itu.Henrik bercerita bahwa semenjak wanita Mhthyr melarikan diri, Hunter mulai berpikir untuk memperkerjakan seorang pengawal yang dapat mengawasi tawanannya agar tidak kabur lagi. Nama Sean adalah yang pertama kali muncul di benak Hunter. Karena itulah, Hunter menghubungi Sean, memintanya untuk kembali bekerja—kali ini untuknya, bukan untuk Peter Lim.Sean tentu saja tidak menolak, apalagi dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hunter benar-benar membutuhkan jasanya. Terlebih, Hunter tidak bisa mengawasi gadis Mhthyr itu selama 24 jam penuh. Dengan seringnya dia harus bepergian untuk urusan bisnis, waktunya untuk tinggal di rumah sangat terbatas.Sementara itu, Henrik sudah terlalu tua untuk mengawasi seorang gadis muda. Hunter khawatir sifat kebapakan Henrik akan mendorongnya membebaskan gadis Mhthyr itu, apalagi gadis itu seumuran dengan putri bungs
Kaia duduk bersandar di tempat tidurnya, memegang segelas air di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya lelah, tetapi dia menuruti perintah Henrik yang duduk di sampingnya dengan sabar. Pria tua itu menatapnya dengan cermat, memastikan bahwa setiap tegukan air dan obat benar-benar masuk ke dalam tubuh gadis itu. Saat obat akhirnya tertelan, Kaia mengerutkan wajah, merasakan rasa pahit yang tak tertahankan di lidahnya.Pada akhirnya, dia pun jatuh sakit.Kemarin sore, Kaia tiba-tiba mengeluh sakit di bagian dada. Wajahnya mendadak pucat, napasnya tersengal-sengal ketika dia mencoba menggambarkan rasa nyeri yang menekan dadanya. Tidak lama kemudian rasa mual yang tak tertahankan menyerang, membuatnya semakin kesakitan. Kebetulan saat itu Sean masih berada di tempat, menjalankan tugasnya mengawasi Kaia. Tatapan cemasnya tertuju pada gadis itu ketika melihat kondisinya memburuk dengan cepat. Sean langsung memanggil Henrik, suaranya penuh kekhawatiran dan sedik
Kaia berdiri terpaku, bingung, dengan mata melebar. Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan? Kenapa bibir mereka saling menempel? Dia tak punya sedikit pun pengalaman seperti ini dan rasa asing yang memenuhi pikirannya membuatnya bertanya-tanya—apa yang seharusnya dia lakukan? Bagaimana cara menghentikannya? Mengapa rasanya begitu aneh?Tak hanya sekadar bersentuhan, gigi Hunter pun sesekali mengigit bibirnya dengan lembut, seperti mencicipi sesuatu yang lezat. Mata Kaia terbelalak setiap kali bibir bawahnya terkena gigitan gigi Hunter. Tidak ada rasa sakit, sebaliknya rasanya asing dan cukup absurd untuk dijambarkan lewat kata-kata. Kaia bingung harus bereaksi bagaimana. Pengalaman seperti ini di luar batas pemahamannya. Mundur? Maju? Atau tetap diam seperti patung? Gerakan sekecil apa pun langsung direspons Hunter yang melingkarkan lengan di pinggangnya, menahan Kaia di tempatnya. Jika dia maju, bibir Hunter sepenuhnya menguasai bibirnya, menyerap semua respon
“Are you awake, Sleeping Beauty?”Kaia tersentak terbangun saat mendapati Hunter duduk di sofa sebrang sambil mengamatinya dari balik lensa kacamata belajarnya. Dengan pakaian santai dan sebuah laptop di pangkuannya, Hunter tampak seperti sang dewa cinta yang menyamar sebagai pria rumahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa wajah tampan itu bagaikan sebuah mahakarya tingkat tinggi yang tidak dapat dibandingkan dengan mahakarya mana pun. Meski dia memiliki bekas luka sayatan di wajah, itu sama sekali tak mengurangi keindahannya justru menambah ketampanannya.Hunter Riviera memiliki segala hal yang diinginkan semua wanita dalam diri seorang pria, tapi dia benar-benar di luar jangkauan. Sudah berapa banyak wanita yang dapat menaklukannya? Belum ada—sejauh ini. Pria itu mungkin pernah berkencan dengan tak sedikit wanita, tapi di antara mereka belum ada yang bisa mengendalikan Hunter. Karena itulah, hubungan pria itu jarang sekali berakhir dengan baik. Hampir selalu
Mengobrol bersama Jack meskipun hanya lewat telepon tetap terasa mengasyikan. Pria yang dijuluki “Don Juan” itu tidak pernah kehabisan topik obrolan. Selalu ada saja obrolan keluar dari mulut manisnya yang sering membuat para wanita terhanyut dalam gombalan cintanya. Sementara, Hunter lebih banyak diam, hanya menyimak. Dia menanggapi Jack dengan santai, menyisipkan komentarnya ketika dirasa memang perlu. Jack adalah seorang ekstrovert sejati dan social butterfly. Jaringan pertemanannya luas, mencakup semua lapisan masyarakat—dari kelas atas, menengah, hingga bawah. Namun, menurut Jack, dari semua lingkaran sosialnya, dia paling menikmati waktu bersama teman-teman dari kelas menengah dan bawah. Baginya, kelas atas cenderung membosankan. Mereka lebih sering berbicara tentang bisnis dan uang, hingga telinganya lelah mendengar topik itu di mana-mana. Jack merasa meskipun dirinya kini seorang pebisnis, waktu santai bersama teman-teman seharusnya bebas dari urusan peke
Astrid mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan sambil meringis, matanya sembab dan kemerahan. Cahaya redup di kamar semakin mempertegas bayangan gelap di bawah matanya, sebuah tanda jelas dari malam-malam tanpa tidur yang dia paksakan. Selama tiga hari berturut-turut, dia bertahan, menahan kantuk yang berat dengan kafein yang bahkan sudah tak berpengaruh lagi. Matanya perih, sering kali berair, membuat pandangannya buram. Tapi bagi Astrid, tidur bukanlah pilihan. Setiap kali dia berusaha memejamkan mata, rasa waspada yang mencekam membuatnya terbangun. Siklus ini berulang terus—malam demi malam—hingga pada akhirnya, dia menyerah dan menerima penderitaan insomnia sebagai teman akrabnya.Astrid duduk bersila di lantai, dikelilingi puluhan potret seorang pria yang tersebar tak beraturan. Setiap foto itu dicetak dengan detail tajam, hasil unduhannya dari internet dan berbagai media sosial. Potongan wajah pria-pria asing itu terlihat seperti potongan puzzle yang
Hunter merasakan telapak tangan Kaia yang dingin dan basah oleh keringat dalam genggamannya. Wajah gadis itu tampak pucat pasi, hampir seperti kertas—jauh lebih putih dari kulit aslinya yang seputih susu. Dengan gelisah, dia terus mengigiti bibir bawahnya hingga memerah, sebuah kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa cemas.“Anda baik-baik saja, Miss Kaia?” Henrik bertanya dengan nada khawatir dari bangku seberang. Kekhawatiran terpancar jelas di wajah berkeriput pelayan senior itu. Kondisi Kaia yang belum sepenuhnya pulih dari demam, ditambah insiden misterius antara dia dan tuannya tadi pagi, membuat gadis itu terlihat terguncang. Sejak keluar dari kamar, dia tampak ketakutan, terutama saat berada di dekat Hunter. Kini adrenalin baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya memicu serangan panik yang kesekian.Ketakutannya akan ketinggian terpampang nyata.Mereka sedang berada di ketinggian 10.000 kaki, terbang melintasi awan dalam helikop
“Pergi dan mandilah!” perintah Hunter, suaranya memantul di antara dinding kaca yang dingin. Kaia hanya bisa berdiri terpaku, matanya melihat ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu bagaimana cara memulai. Ketidakpastian tampak jelas di wajahnya, dan kebingungannya semakin terlihat ketika dia menoleh ke arah pancuran di langit-langit, tidak yakin bagaimana menggunakannya. Detik-detik berikutnya, sebelum Kaia bisa memikirkan langkah selanjutnya, tiba-tiba air dari atas kepala mulai mengalir deras. Kaia menjerit kaget saat air dingin dari shower membasahi seluruh tubuhnya, meresap ke dalam pakaian yang masih melekat di kulitnya. Rambutnya basah kuyup, menempel di wajah pucatnya, dan tubuhnya bergetar akibat kejutan yang ia terima. Hunter, yang sejak awal berdiri di dekat kontrol shower, sengaja menyalakan air tepat di atasnya, memperlihatkan kekuasaan penuh atas situasi. Kaia yang belum pernah terbiasa dengan teknologi pancuran seperti ini,
Kaia duduk bersandar di tempat tidurnya, memegang segelas air di tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya lelah, tetapi dia menuruti perintah Henrik yang duduk di sampingnya dengan sabar. Pria tua itu menatapnya dengan cermat, memastikan bahwa setiap tegukan air dan obat benar-benar masuk ke dalam tubuh gadis itu. Saat obat akhirnya tertelan, Kaia mengerutkan wajah, merasakan rasa pahit yang tak tertahankan di lidahnya.Pada akhirnya, dia pun jatuh sakit.Kemarin sore, Kaia tiba-tiba mengeluh sakit di bagian dada. Wajahnya mendadak pucat, napasnya tersengal-sengal ketika dia mencoba menggambarkan rasa nyeri yang menekan dadanya. Tidak lama kemudian rasa mual yang tak tertahankan menyerang, membuatnya semakin kesakitan. Kebetulan saat itu Sean masih berada di tempat, menjalankan tugasnya mengawasi Kaia. Tatapan cemasnya tertuju pada gadis itu ketika melihat kondisinya memburuk dengan cepat. Sean langsung memanggil Henrik, suaranya penuh kekhawatiran dan sedik
Pekerjaan baru Sean sebenarnya cukup sederhana. Dia hanya perlu mengawasi gadis Mhthyr itu.Henrik bercerita bahwa semenjak wanita Mhthyr melarikan diri, Hunter mulai berpikir untuk memperkerjakan seorang pengawal yang dapat mengawasi tawanannya agar tidak kabur lagi. Nama Sean adalah yang pertama kali muncul di benak Hunter. Karena itulah, Hunter menghubungi Sean, memintanya untuk kembali bekerja—kali ini untuknya, bukan untuk Peter Lim.Sean tentu saja tidak menolak, apalagi dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang sebelumnya. Hunter benar-benar membutuhkan jasanya. Terlebih, Hunter tidak bisa mengawasi gadis Mhthyr itu selama 24 jam penuh. Dengan seringnya dia harus bepergian untuk urusan bisnis, waktunya untuk tinggal di rumah sangat terbatas.Sementara itu, Henrik sudah terlalu tua untuk mengawasi seorang gadis muda. Hunter khawatir sifat kebapakan Henrik akan mendorongnya membebaskan gadis Mhthyr itu, apalagi gadis itu seumuran dengan putri bungs
Musim gugur tahun ini terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean Lau. Hawa dingin yang semula disukainya kini seperti musuh, mengingatkan pada serangkaian kewajiban yang tak bisa dia abaikan.Di kamar apartemen mereka yang hangat, daun-daun oranye berguguran terlihat dari balik jendela, menciptakan suasana musim gugur yang sempurna. Namun, suasana hati Sean jauh dari kata cerah. Dia bersandar di dinding, memandang lurus ke depan dengan ekspresi cemberut yang tak kunjung hilang sejak malam sebelumnya.“Jangan cemberut, Sean.” Suki May, tunangannya, mencubit gemas pipi kekasihnya, berusaha mengusir awan kelabu yang menggantung di wajahnya. “Kau sudah seperti anak kecil.”Sejak semalam, Sean terus saja cemberut. Bahkan saat mereka hendak tidur, dia masih mengomel panjang lebar, mengeluhkan banyak hal, terutama tentang rencana akhir bulannya yang berantakan gara-gara satu panggilan telepon. Suara Sean yang tak henti-hentinya menggerutu mulai membuat Suki kewal