Orvil tak tahu apa yang harus dia rasakan ketika dia menatap jemari tersebut, manikur dan akrilik mengkilap di bawah cahaya imitasi lampu aula yang benderang, bersamaan dengan berlian yang tersemat di jemari tersebut.Dari sudut ini, ada sedikit rasa candu yang dia rasakan ketika dia memperhatikannya, tangan yang lebih mungil darinya berada di atas telapak tangannya.Begitu candu hingga dia tak bisa melepaskan pandangan tersebut dari matanya. Mungkin dia seharusnya melakukannya, karena dia dapat merasakan tangan itu tertarik, berusaha melarikan diri.“Kau harus melepaskanku,” suara Elizabeth menegurnya, juga sebuah helaan nafas yang dapat dia sadari adalah milik gadis itu.Namun dia tak bisa.Mungkin itu adalah ka
Jika dia harus memberikan sebuah pengakuan yang jujur, Orvil akan dipaksa untuk mengatakan bahwa dia tak pernah memiliki lingkaran di luar kakaknya.Dan fakta bahwa dia harus memikirkan bagaimana dia akan berbaur bersama orang-orang yang telah dekat dengan calon istrinya membuatnya sedikit sesak.Bukan. Bukan karena dia merasa tak mampu — dia tahu jelas bahwa mereka adalah setara, atau bahkan, dia bisa menjadi yang lebih tinggi dari mereka.Namun begitu aneh baginya untuk berbaur dengan mereka yang tak dia kenal, dan mungkin itu hanyalah untuk memuaskan hati Elizabeth yang bahkan bisa saja tak berharap sama sekali pada hubungan baik antara dia dan teman-temannya.Jika dia harus mendekati seseorang, maka itu adalah Noah, yang merupakan kakaknya. Dia akan bisa menjad
Orvil menatap James, yang masih menampakkan senyumannya. Dan dia harus mengakui bahwa, sama seperti adiknya, laki-laki itu memiliki sebuah tarikan bibir yang dapat mencerahkan seluruh ruangan.Dia ingin tahu bagaimana mereka dapat berhubungan dengan para Leigh, sementara pikirannya dapat mengingat bahwa para Martin memiliki nama dalam usaha desain pakaian dan model, begitu berbeda dengan label musik mereka.“Jadi?” tuntutnya, masih tersenyum. “Apa kau tak ingin mengakui pesona Elizabeth di depan kakaknya?”Orvil menoleh pada sulung Leigh, yang ikut memperhatikannya. Dia dapat merasakan sesuatu yang menghambat di dalam pandangan itu — seolah dia tak mempercayai bahwa calon suami adiknya telah terpikat.Dan Orvil juga.
Sungguh aneh bagi Elizabeth untuk tersenyum dan menyapa para tamu. Dia selalu membiarkan tugas itu pada kakak dan ayahnya, ketika ibunya masih bersamanya, dia akan mengikutinya berkeliaran atau bahkan memutuskan untuk mundur pada bayang-bayang balkon.Dia takkan mengatakan bahwa dia tak menyukai kerumunan — dia dibesarkan untuk berada disana, di tengah dan menjadi pusatnya. Namun jika Elizabeth harus memilih, gadis itu akan meminta sedikit waktu untuk bersama dirinya sendiri.Sayang sekali bahwa dia takkan bisa melakukan itu. Tidak lagi ketika dia dalam waktu dekat akan memiliki rumahnya sendiri, bahwa dia akan mengambil peran yang dia hindari dengan susah payah.Gadis itu masih menggenggam minumannya, menoleh pada pandangan yang dapat dia rasakan ketika mengobrol bersama orang-orang, bertemu mata dengan Orvil yang memperhatikannya.Dia mengangkat gelasnya, memberikannya sebuah senyuman — seperti yang seharusnya dia lakukan. Dia tak memahami arti pandangan itu, namun dia akan terus be
Memperhatikan hiruk-pikuk orang-orang di bayang-bayang balkon adalah sesuatu yang memang lebih baik dibandingkan berada di tengahnya — Elizabeth harus mengakui itu.Dia bersandar di tralis balkon, menengadahkan kepala dan menutup mata, gelas terletak di meja kecil yang berada di dekatnya, sementara Veronica menjorokkan diri dan bersandar dengan kedua lengannya.Sedikit banyak, gadis itu tak lagi penasaran dengan apa masalah Audrey Green dengannya, atau mungkin dia masih sedikit ingin tahu soal Veronica dan gadis itu — tidak sebanyak sebelumnya.Dia hanya ingin menikmati udara disini sebaik yang dia bisa. Sebaik itu sebelum dia harus kembali ke tengah cahaya dan menjadi pusatnya kembali.“Aku mengatakan bahwa aku akan memberitahumu,” ucap Veronica, membuka suara.“Nanti,” gumamnya, masih menutup mata. “Aku sangat menikmati tempat ini — aku tak yakin aku bisa mendengarkanmu.”Dia mendengar denting tawa Veronica, dan dari sudut matanya yang sedikit terbuka, Elizabeth melihat gadis itu me
“Aku tak memahaminya,” ucap Elizabeth, mengakui. Dan itu membuat Veronica menoleh padanya. “Aku tak yakin jika dia bisa mencintai seseorang di lingkungan yang sama dengan kita.”Gadis di sampingnya tertawa, meneguk minumannya sebelum menghela nafas. “Kau mengatakan seolah lingkungan kita tak menyisakan apa itu cinta,” ujarnya.“Itu,” ucapnya, mencoba. “Memang tak benar. Tapi kita berdua tahu bahwa bertahan lebih penting disini.”Veronica menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.“Aku tak mengatakan bahwa mustahil bagi cinta untuk tumbuh. Namun kau harus mengingat bahwa alasan yang aku dan Audrey miliki adalah sama — kami melakukan ini untuk bertahan hidup.”Gadis itu memperhatikannya, menghela nafas sebelum menyeruput minuman yang ada di genggaman. Dan untuk kali ini, Elizabeth tak memahami pemikirannya.Mungkin dia telah diam-diam setuju dengan pendapatnya, atau mungkin dia masih tak terima bahwa kakak yang mungkin akan dia dapatkan sirna begitu saja karena kekanakan seorang dari kel
Satu.Dua.Satu.Dua.Satu.Elizabeth tersungkur ke depan, dimana Noah menangkapnya, menggenggam erat pinggangnya sementara dia menghembuskan nafas gusar pada adiknya.“Belajar untuk mengendalikan kakimu, Adikku.”“Aku tak sengaja melakukannya!” dia membela diri.Lagipula, tak ada yang cukup waras untuk tidak membiarkan seorang anak dari sekolah menengah pertama untuk mempelajari dansa. Dia seharusnya bermain bersama teman-temannya jika bukan belajar di perpustakaan.“Kau harus berusaha lebih keras,” ucap sang kakak, mengacak rambutnya sebelum dia dapat menampiknya. “Suatu hari, Ayah akan membuatmu berdansa dan kau tak bisa menginjak kaki pasanganmu.”Elizabeth melepaskan selop dari kakinya, menghembuskan nafas kesal. “Aku tak yakin ada yang akan berdansa denganku.”“Tunggu saja,” Noah menghembuskan tawanya, berjanji. “Tunggu saja.”Tunggu saja.Elizabeth memperhatikan kakinya, mencoba untuk tidak menginjak kaki lawannya. Walaupun mungkin itu adalah pikirannya yang membuat ujung sepat
Elizabeth melihat Pentious terhenti dari jalannya, satu tangan menggenggam jasnya, menyisakan kemeja putih dan celana kain yang dia kenakan, juga rambut yang telah sedikit berantakan.Dan ketika dia berbalik, gadis itu dapat melihat betapa sayu matanya.Laki-laki itu memberinya sebuah senyuman, menundukkan kepala. “Nona Leigh.”“Kau,” mulainya, merasakan nafasnya tercekat. “Kau tak mengatakan bahwa kau akan berada disini.”“Orang-orang di kantor mendengar tentang pertunangannya,” dia mengakui. “Kami tak secara teknis diundang pada pesta pertunangan CEO kami — tapi aku,” dia mendengarnya berhenti, menarik nafas. “Aku hanya ingin memastikan.”Dan Elizabeth merasakan matanya memanas. “Bahwa itu adalah aku?”“Nah,” Pentious menghembuskan sebuah tawa, mengalihkan pandangan sebelum menjawab kembali. “Itu adalah sebuah harapan penuh dusta, bukankah begitu?”Dia menelan ludahnya, menatap ke arahnya. “Aku takkan pernah bisa membela diriku.”Pentious membalas tatapannya, memberikan sebuah senyu