Memperhatikan hiruk-pikuk orang-orang di bayang-bayang balkon adalah sesuatu yang memang lebih baik dibandingkan berada di tengahnya — Elizabeth harus mengakui itu.Dia bersandar di tralis balkon, menengadahkan kepala dan menutup mata, gelas terletak di meja kecil yang berada di dekatnya, sementara Veronica menjorokkan diri dan bersandar dengan kedua lengannya.Sedikit banyak, gadis itu tak lagi penasaran dengan apa masalah Audrey Green dengannya, atau mungkin dia masih sedikit ingin tahu soal Veronica dan gadis itu — tidak sebanyak sebelumnya.Dia hanya ingin menikmati udara disini sebaik yang dia bisa. Sebaik itu sebelum dia harus kembali ke tengah cahaya dan menjadi pusatnya kembali.“Aku mengatakan bahwa aku akan memberitahumu,” ucap Veronica, membuka suara.“Nanti,” gumamnya, masih menutup mata. “Aku sangat menikmati tempat ini — aku tak yakin aku bisa mendengarkanmu.”Dia mendengar denting tawa Veronica, dan dari sudut matanya yang sedikit terbuka, Elizabeth melihat gadis itu me
“Aku tak memahaminya,” ucap Elizabeth, mengakui. Dan itu membuat Veronica menoleh padanya. “Aku tak yakin jika dia bisa mencintai seseorang di lingkungan yang sama dengan kita.”Gadis di sampingnya tertawa, meneguk minumannya sebelum menghela nafas. “Kau mengatakan seolah lingkungan kita tak menyisakan apa itu cinta,” ujarnya.“Itu,” ucapnya, mencoba. “Memang tak benar. Tapi kita berdua tahu bahwa bertahan lebih penting disini.”Veronica menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.“Aku tak mengatakan bahwa mustahil bagi cinta untuk tumbuh. Namun kau harus mengingat bahwa alasan yang aku dan Audrey miliki adalah sama — kami melakukan ini untuk bertahan hidup.”Gadis itu memperhatikannya, menghela nafas sebelum menyeruput minuman yang ada di genggaman. Dan untuk kali ini, Elizabeth tak memahami pemikirannya.Mungkin dia telah diam-diam setuju dengan pendapatnya, atau mungkin dia masih tak terima bahwa kakak yang mungkin akan dia dapatkan sirna begitu saja karena kekanakan seorang dari kel
Satu.Dua.Satu.Dua.Satu.Elizabeth tersungkur ke depan, dimana Noah menangkapnya, menggenggam erat pinggangnya sementara dia menghembuskan nafas gusar pada adiknya.“Belajar untuk mengendalikan kakimu, Adikku.”“Aku tak sengaja melakukannya!” dia membela diri.Lagipula, tak ada yang cukup waras untuk tidak membiarkan seorang anak dari sekolah menengah pertama untuk mempelajari dansa. Dia seharusnya bermain bersama teman-temannya jika bukan belajar di perpustakaan.“Kau harus berusaha lebih keras,” ucap sang kakak, mengacak rambutnya sebelum dia dapat menampiknya. “Suatu hari, Ayah akan membuatmu berdansa dan kau tak bisa menginjak kaki pasanganmu.”Elizabeth melepaskan selop dari kakinya, menghembuskan nafas kesal. “Aku tak yakin ada yang akan berdansa denganku.”“Tunggu saja,” Noah menghembuskan tawanya, berjanji. “Tunggu saja.”Tunggu saja.Elizabeth memperhatikan kakinya, mencoba untuk tidak menginjak kaki lawannya. Walaupun mungkin itu adalah pikirannya yang membuat ujung sepat
Elizabeth melihat Pentious terhenti dari jalannya, satu tangan menggenggam jasnya, menyisakan kemeja putih dan celana kain yang dia kenakan, juga rambut yang telah sedikit berantakan.Dan ketika dia berbalik, gadis itu dapat melihat betapa sayu matanya.Laki-laki itu memberinya sebuah senyuman, menundukkan kepala. “Nona Leigh.”“Kau,” mulainya, merasakan nafasnya tercekat. “Kau tak mengatakan bahwa kau akan berada disini.”“Orang-orang di kantor mendengar tentang pertunangannya,” dia mengakui. “Kami tak secara teknis diundang pada pesta pertunangan CEO kami — tapi aku,” dia mendengarnya berhenti, menarik nafas. “Aku hanya ingin memastikan.”Dan Elizabeth merasakan matanya memanas. “Bahwa itu adalah aku?”“Nah,” Pentious menghembuskan sebuah tawa, mengalihkan pandangan sebelum menjawab kembali. “Itu adalah sebuah harapan penuh dusta, bukankah begitu?”Dia menelan ludahnya, menatap ke arahnya. “Aku takkan pernah bisa membela diriku.”Pentious membalas tatapannya, memberikan sebuah senyu
Elizabeth duduk di depan, udara dingin menyentuh kulitnya sementara Jennifer mendekat, berdiri dan bersandar di pilar tak jauh di sampingnya.Dia tak tahu apa yang wanita itu pikirkan sekarang — mungkin berpikir tentang siapa laki-laki itu, walau dia sangat yakin bahwa dia telah memiliki tebakan tentang siapa Pentious baginya.Dan dia dapat merasakan tatapannya sekarang, entah dengan rasa kasihan atau penasaran. Mungkin dia akan bertanya tentang bagaimana dia memiliki hubungan dengan laki-laki itu. Mungkin dia ingin bertanya jika dia memiliki penyesalan karena menerima pertunangan ini.Mungkin Jennifer akan bertanya jika dia terpaksa.Dan mungkin dia akan menyangkal, demi kesepakatan yang dia miliki dengan ayahnya.Namun wanita itu mengeluarkan helaan nafas, duduk di sampingnya sebelum mendongak ke arah langit malam. Dan dari sudut matanya, dia dapat melihat sebuah senyuman di bibirnya.“Aku pernah sepertimu,” bisiknya.Elizabeth menoleh. Dia tak yakin jika dia akan pernah menebak bah
Pentious tak pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang penyendiri di masa sekolah menengahnya. Bahkan, dia dapat menyebut bahwa dia memiliki cukup banyak teman hingga dia tak pernah merasa kesepian disana.Namun ada masa dimana dia sangat memahami bahwa dia membutuhkan waktunya untuk menyendiri, atau bagaimana teman-temannya takkan memahaminya.Ada kala dimana dia memilih untuk berada di belakang sekolah alih-alih di kelas pada masa istirahat. Dengan penyuara telinga yang tersemat disana sementara dia menutup mata, membiarkan cahaya matahari datang padanya.Hingga sebuah bayang-bayang menutupinya, dan gadis dengan rambut terkepang dua menatap turun ke arahnya yang tengah duduk menyandarkan diri.“Ini tempatku,” ucapnya.Pentious melepaskan penyuara telinganya, musik menghilang begitu saja. “Aku sudah berada disini lama sekali.”“Tapi ini tempatku,” ucapnya, mata menatap penuh pemaksaan. “Aku ingin belajar.”Dan barulah Pentious menyadari bahwa dia menggenggam buku-bukunya di tangan,
Bahkan ketika Pentious tak lagi menerima kabarnya, tepat setelah gadis itu pergi dari apartemennya, beberapa saat di waktu dia memberikan berita perjodohannya.Itu berada di luar kendalinya.Atau bahkan, Elizabeth tak memiliki andil sama sekali tentang siapa yang akan menikah dengannya. Tidak ketika dia melihat keluarganya untuk pertama kali, atau setidaknya menyadari siapa keluarga Leigh.Keluarga utama pemilik perusahaan musik — sebuah industri dimana dia ingin menerjunkan diri ke dalamnya. Dan semenjak itu, pandangannya pada Elizabeth berubah.Begitu tinggi di depannya yang begitu rendah seolah dia tengah berada di dalam semacam romansa klise dimana dia mencintai seseorang yang berada pada derajat yang lebih tinggi darinya.Lalu kini ada Orvil Gellert — CEO di label tempat dia bekerja. Sebuah pasangan sepadan yang dia yakin sekali pantas Elizabeth dapatkan. Jauh dibandingkan dia. Jauh dibandingkan siapa pun yang berusaha menyainginya.Atau itu hanyalah rasa malunya berbisik di kep
Pentious membuka pintu, bertemu mata dengan Elizabeth yang berada di depannya. Dia dapat melihat betapa kacaunya dia, maskara menghitam di bawah mata dan rambutnya berantakan.“Aku tak bisa pulang,” bisiknya.Dan Pentious tak memiliki pilihan selain mengizinkannya, menariknya masuk ke dalam dan membuatnya duduk di ruang tamu.Hari ini bukan malam sekolah, dan ayah serta ibunya belum pulang ke rumah. Laki-laki itu merasa begitu lega bahwa dia menolak ajakan temannya untuk bermain.Dia mengintip dari dapurnya sementara mengambilkan minuman untuknya, menyadari bagaimana Elizabeth melingkarkan lengan pada dirinya sendiri. Pentious seharusnya memberinya selimut terlebih dulu.Elizabeth terlihat begitu berantakan hingga dia tak tahu bagaimana cara menebak darimana gadis itu berasal. Mungkin dia bertemu seseorang untuk kencan buta dan berakhir buruk. Mungkin dia berkelahi dengan teman-temannya ketika tengah bermain dengan mereka.Mungkin dia berada di pesta para konglomerat dan merasa tak ny