Pentious membuka pintu, bertemu mata dengan Elizabeth yang berada di depannya. Dia dapat melihat betapa kacaunya dia, maskara menghitam di bawah mata dan rambutnya berantakan.“Aku tak bisa pulang,” bisiknya.Dan Pentious tak memiliki pilihan selain mengizinkannya, menariknya masuk ke dalam dan membuatnya duduk di ruang tamu.Hari ini bukan malam sekolah, dan ayah serta ibunya belum pulang ke rumah. Laki-laki itu merasa begitu lega bahwa dia menolak ajakan temannya untuk bermain.Dia mengintip dari dapurnya sementara mengambilkan minuman untuknya, menyadari bagaimana Elizabeth melingkarkan lengan pada dirinya sendiri. Pentious seharusnya memberinya selimut terlebih dulu.Elizabeth terlihat begitu berantakan hingga dia tak tahu bagaimana cara menebak darimana gadis itu berasal. Mungkin dia bertemu seseorang untuk kencan buta dan berakhir buruk. Mungkin dia berkelahi dengan teman-temannya ketika tengah bermain dengan mereka.Mungkin dia berada di pesta para konglomerat dan merasa tak ny
Elizabeth menatap Pentious yang berdiri di depannya, menggenggam erat pintu depannya.Bahkan dengannya yang telah meminta izin untuk membiarkan masuk, gadis itu melupakan sedikit detail dimana dia tak tahu jika Pentious masih ingin bertemu dengannya lagi.Perpisahan mereka di gedung tersebut mungkin tak cukup baginya. Namun dia tak pernah terpikir bahwa laki-laki itu memiliki pemikiran bahwa semuanya telah selesai.Mungkinkah dengan dirinya yang datang kemari, dia telah meraupkan rasa sakit yang lebih dari yang sebelumnya dia rasakan?Gadis itu mengalihkan pandangan, menundukkan kepala. Dia salah. Bahkan dengan saran Jennifer pun, dia telah salah karena datang kemari dan mempermainkan hatinya.“Maaf,” bisiknya. “Aku tak seharusnya–”Pentious menariknya masuk ke dalam. Dan Elizabeth menahan nafasnya sementara dia meletakkan tangan di kedua pundaknya, membiarkannya menahannya di dinding.Satu tangan Pentious menahan di satu sisi kepalanya, sementara yang lain masih berada di pinggang. G
Pentious memberinya sebuah senyuman, seperti yang selalu dia berikan ketika dia datang. Dan Elizabeth merasa bahwa dia akan selalu dapat tenggelam di dalam senyuman itu.Senyuman yang selalu ada disana. Bahkan sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Bahkan ketika dia memarahinya setiap kali dia berusaha mengganggunya ketika belajar dan mengerjakan tugasnya.Dia dapat melihat bagaimana senyuman Pentious berubah dari lugu dan tengil, menjadi senyuman tampan yang kini selalu ingin dia lihat. Seolah itu adalah sebuah kepuasan tersendiri ketika dia melihat senyuman itu.Namun dia dapat menyadari bagaimana laki-laki itu memiliki senyuman yang berbeda sekarang. Pelukan yang berbeda. Seolah dia berusaha untuk berhati-hati. Seolah dia harus membuatnya kembali dalam keadaan utuh.Seolah Elizabeth bukanlah miliknya lagi.Mungkin itu memang yang terjadi. Dan mungkin Pentious telah memendam pemikiran itu lama sekali sebelum akhirnya menyerah dan membiarkan emosinya keluar.Mungkin ini adalah s
Elizabeth dapat melihat binar kecewa di mata Pentious ketika dia mendongak padanya.Dia dapat menebak bahwa bagi laki-laki itu, malam ini akan menjadi kali terakhir mereka bertemu. Dan dia harus membayangkan bagaimana gadis yang awalnya selalu bersamanya akan berada di sisi orang lain.Namun bagi Elizabeth, malam yang sama ini akan menjadi satu-satunya pelarian baginya. Bahwa dia memberikan izin pada dirinya sendiri untuk bersikap egois dan melakukan apa yang takkan pernah bisa dia miliki lagi di kehidupannya ke depan nanti.Sesingkat apapun itu.Dia takkan mengizinkan Pentious untuk menyebutkan Orvil. Tidak malam ini. Tidak kapan nanti ketika gadis itu akan kembali ke sisinya lagi. Tidak ketika Orvil dan keluarganya akan menjadi satu-satunya yang membuat mereka berada di situasi seperti ini.Elizabeth ingin berpura-pura bahwa mereka tak ada.Untuk kali ini, Elizabeth hanya ingin bersamanya. Dan itu seharusnya menjadi alasan cukup bagi laki-laki tersebut untuk menurutinya. Kecuali Pen
Elizabeth memainkan lengan Pentious yang masih memeluknya. Dengan kedua lengannya melingkar di sekitarnya, gadis itu takkan bisa bangkit dari ranjang. Bahkan ketika dia menyadari bahwa matahari telah bersinar terang dari jendelanya.Namun dia tak terlalu terburu-buru. Tak ada yang memaksanya untuk kembali lebih cepat, dan dia merasa bahwa dia bisa saja memiliki waktu lebih sebelum dia dapat kembali ke kehidupannya.Mungkin rasa serakahnya telah menggerogotinya lebih hingga dia merasa bahwa dia dapat menunda kepergiannya. Atau mungkin itu lengan Pentious dan nafas tenangnya di rambutnya.Apapun itu, Elizabeth merasa bahwa dia takkan ingin berpindah dari sini dalam waktu dekat.Gadis itu menautkan jemari mereka, tersenyum kecil ketika menyadari bahwa bahkan di tidurnya, laki-laki itu masih sanggup untuk menekukkan jemari padanya.Dia menarik tangan mereka bersamaan, menempelkan sebuah kecupan polos pada punggung tangannya, mengeluarkan sebuah cekikik ketika merasakannya bergerak, menger
Elizabeth berbalik, menatap kakaknya yang bersedekap, duduk di atas sofa. Dan dia ingin tahu bagaimana caranya Noah menyadari bahwa dia telah berada di dalam ketika dia masih menutup matanya.Bahkan gadis itu mengira bahwa dia telah tertidur disana.“Duduk.”Dia menoleh ke arah jam — pukul enam lewat empat puluh lima, sebelum menoleh lagi padanya. “Apa kau tak tidur?”Noah menghela nafas, mata masih tertutup. “Kau terlalu percaya diri jika berpikir bahwa aku takkan bisa tidur karena memikirkanmu,” ucapnya. “Duduk.”Jadi Elizabeth tak memiliki pilihan selain menurutinya, duduk di sofa depannya hingga dia dapat menatap kakaknya dengan jelas.“Apa Ayah belum bangun?”“Jangan bersikap bahwa kau peduli,” tegurnya, membuatnya menipiskan bibir dan menundukkan kepala kembali. “Aku tahu bahwa kau menemuinya lagi tadi malam.”Elizabeth membunyikan bibirnya, menarik nafas. “Kau tak bisa membuktikannya.”“Kalau begitu, jika aku bertanya pada Colm tentang dimana dia menjemputmu pagi ini, dia takka
“Putri ayah, ya?” ulang Elizabeth, menghela nafas kembali. “Aku harus mengingat bahwa itu adalah pujian, bukan ejekan.”“Kenapa aku harus mengejekmu?” dia membela diri. “Tak ada yang dapat terpikir tentang ini selain dirimu.”Benar sekali.Bahkan ketika terkadang dia menyebutnya sebagai putri ibu mereka, terkadang Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah lepas dari darahnya sendiri. Bahwa ayahnya akan selalu ada di dalam dirinya sendiri hingga dia tanpa sadar berubah menjadi dirinya.Dan pada saat seperti ini, gadis itu akan memahami bahwa sejauh apapun dia berusaha untuk melarikan diri, dia akan memiliki sesuatu yang akan mengingatkan dirinya akan darimana dia berasal.Seperti dusta yang dia berikan.Noah takkan perlu tahu bahwa itu adalah alasan yang dia buat — walaupun dia harus mengakui bahwa itu adalah strategi yang baik.Akan lebih baik lagi jika dia dapat benar-benar menggunakannya. Namun akan sangat menyedihkan baginya untuk mengingat Pentious ketika dia harus bersama laki-
Elizabeth tak tahu apa yang lebih buruk baginya.Bahwa dia harus terbangun dengan Tilly yang telah berpindah dari tempat tidurnya sendiri dan menjadikan perutnya sebagai kasur, atau bahwa Veronica telah duduk di kursinya, memainkan ponselnya sementara dia mengerjapkan mata.Gadis itu memperhatikannya, mengerang dan mengusap rambut. “Sejak kapan kau berada disini?”Veronica menoleh padanya, memberikan sebuah senyuman. “Kakakmu mengizinkanku masuk,” ucapnya, seolah itu bukanlah masalah besar.Tentu saja itu bukan masalah besar. Namun Elizabeth sedikit khawatir tentang bagaimana Noah mengizinkan seseorang untuk datang ke dalam kamarnya begitu saja.Dia yakin sekali bahwa jika dia melakukan hal yang sama pada kakaknya, laki-laki itu akan memarahinya.“Jennifer menghubungiku,” ucap gadis itu kembali, sementara Elizabeth duduk di ranjang, meminum air yang ada di dipannya. “Aku tak ingat bertukar nomor dengannya.”“Dia pasti mencarimu,” tebaknya. “Akan sangat mudah baginya tentang itu.”“Ten