Pentious memberinya sebuah senyuman, seperti yang selalu dia berikan ketika dia datang. Dan Elizabeth merasa bahwa dia akan selalu dapat tenggelam di dalam senyuman itu.Senyuman yang selalu ada disana. Bahkan sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Bahkan ketika dia memarahinya setiap kali dia berusaha mengganggunya ketika belajar dan mengerjakan tugasnya.Dia dapat melihat bagaimana senyuman Pentious berubah dari lugu dan tengil, menjadi senyuman tampan yang kini selalu ingin dia lihat. Seolah itu adalah sebuah kepuasan tersendiri ketika dia melihat senyuman itu.Namun dia dapat menyadari bagaimana laki-laki itu memiliki senyuman yang berbeda sekarang. Pelukan yang berbeda. Seolah dia berusaha untuk berhati-hati. Seolah dia harus membuatnya kembali dalam keadaan utuh.Seolah Elizabeth bukanlah miliknya lagi.Mungkin itu memang yang terjadi. Dan mungkin Pentious telah memendam pemikiran itu lama sekali sebelum akhirnya menyerah dan membiarkan emosinya keluar.Mungkin ini adalah s
Elizabeth dapat melihat binar kecewa di mata Pentious ketika dia mendongak padanya.Dia dapat menebak bahwa bagi laki-laki itu, malam ini akan menjadi kali terakhir mereka bertemu. Dan dia harus membayangkan bagaimana gadis yang awalnya selalu bersamanya akan berada di sisi orang lain.Namun bagi Elizabeth, malam yang sama ini akan menjadi satu-satunya pelarian baginya. Bahwa dia memberikan izin pada dirinya sendiri untuk bersikap egois dan melakukan apa yang takkan pernah bisa dia miliki lagi di kehidupannya ke depan nanti.Sesingkat apapun itu.Dia takkan mengizinkan Pentious untuk menyebutkan Orvil. Tidak malam ini. Tidak kapan nanti ketika gadis itu akan kembali ke sisinya lagi. Tidak ketika Orvil dan keluarganya akan menjadi satu-satunya yang membuat mereka berada di situasi seperti ini.Elizabeth ingin berpura-pura bahwa mereka tak ada.Untuk kali ini, Elizabeth hanya ingin bersamanya. Dan itu seharusnya menjadi alasan cukup bagi laki-laki tersebut untuk menurutinya. Kecuali Pen
Elizabeth memainkan lengan Pentious yang masih memeluknya. Dengan kedua lengannya melingkar di sekitarnya, gadis itu takkan bisa bangkit dari ranjang. Bahkan ketika dia menyadari bahwa matahari telah bersinar terang dari jendelanya.Namun dia tak terlalu terburu-buru. Tak ada yang memaksanya untuk kembali lebih cepat, dan dia merasa bahwa dia bisa saja memiliki waktu lebih sebelum dia dapat kembali ke kehidupannya.Mungkin rasa serakahnya telah menggerogotinya lebih hingga dia merasa bahwa dia dapat menunda kepergiannya. Atau mungkin itu lengan Pentious dan nafas tenangnya di rambutnya.Apapun itu, Elizabeth merasa bahwa dia takkan ingin berpindah dari sini dalam waktu dekat.Gadis itu menautkan jemari mereka, tersenyum kecil ketika menyadari bahwa bahkan di tidurnya, laki-laki itu masih sanggup untuk menekukkan jemari padanya.Dia menarik tangan mereka bersamaan, menempelkan sebuah kecupan polos pada punggung tangannya, mengeluarkan sebuah cekikik ketika merasakannya bergerak, menger
Elizabeth berbalik, menatap kakaknya yang bersedekap, duduk di atas sofa. Dan dia ingin tahu bagaimana caranya Noah menyadari bahwa dia telah berada di dalam ketika dia masih menutup matanya.Bahkan gadis itu mengira bahwa dia telah tertidur disana.“Duduk.”Dia menoleh ke arah jam — pukul enam lewat empat puluh lima, sebelum menoleh lagi padanya. “Apa kau tak tidur?”Noah menghela nafas, mata masih tertutup. “Kau terlalu percaya diri jika berpikir bahwa aku takkan bisa tidur karena memikirkanmu,” ucapnya. “Duduk.”Jadi Elizabeth tak memiliki pilihan selain menurutinya, duduk di sofa depannya hingga dia dapat menatap kakaknya dengan jelas.“Apa Ayah belum bangun?”“Jangan bersikap bahwa kau peduli,” tegurnya, membuatnya menipiskan bibir dan menundukkan kepala kembali. “Aku tahu bahwa kau menemuinya lagi tadi malam.”Elizabeth membunyikan bibirnya, menarik nafas. “Kau tak bisa membuktikannya.”“Kalau begitu, jika aku bertanya pada Colm tentang dimana dia menjemputmu pagi ini, dia takka
“Putri ayah, ya?” ulang Elizabeth, menghela nafas kembali. “Aku harus mengingat bahwa itu adalah pujian, bukan ejekan.”“Kenapa aku harus mengejekmu?” dia membela diri. “Tak ada yang dapat terpikir tentang ini selain dirimu.”Benar sekali.Bahkan ketika terkadang dia menyebutnya sebagai putri ibu mereka, terkadang Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah lepas dari darahnya sendiri. Bahwa ayahnya akan selalu ada di dalam dirinya sendiri hingga dia tanpa sadar berubah menjadi dirinya.Dan pada saat seperti ini, gadis itu akan memahami bahwa sejauh apapun dia berusaha untuk melarikan diri, dia akan memiliki sesuatu yang akan mengingatkan dirinya akan darimana dia berasal.Seperti dusta yang dia berikan.Noah takkan perlu tahu bahwa itu adalah alasan yang dia buat — walaupun dia harus mengakui bahwa itu adalah strategi yang baik.Akan lebih baik lagi jika dia dapat benar-benar menggunakannya. Namun akan sangat menyedihkan baginya untuk mengingat Pentious ketika dia harus bersama laki-
Elizabeth tak tahu apa yang lebih buruk baginya.Bahwa dia harus terbangun dengan Tilly yang telah berpindah dari tempat tidurnya sendiri dan menjadikan perutnya sebagai kasur, atau bahwa Veronica telah duduk di kursinya, memainkan ponselnya sementara dia mengerjapkan mata.Gadis itu memperhatikannya, mengerang dan mengusap rambut. “Sejak kapan kau berada disini?”Veronica menoleh padanya, memberikan sebuah senyuman. “Kakakmu mengizinkanku masuk,” ucapnya, seolah itu bukanlah masalah besar.Tentu saja itu bukan masalah besar. Namun Elizabeth sedikit khawatir tentang bagaimana Noah mengizinkan seseorang untuk datang ke dalam kamarnya begitu saja.Dia yakin sekali bahwa jika dia melakukan hal yang sama pada kakaknya, laki-laki itu akan memarahinya.“Jennifer menghubungiku,” ucap gadis itu kembali, sementara Elizabeth duduk di ranjang, meminum air yang ada di dipannya. “Aku tak ingat bertukar nomor dengannya.”“Dia pasti mencarimu,” tebaknya. “Akan sangat mudah baginya tentang itu.”“Ten
Ketika Elizabeth keluar dari ruangannya dan menuruni tangga, empat orang telah berada di ruang tamu, menoleh padanya.Noah duduk di samping James, menyandarkan diri di sofa sementara tangannya terentang di sanggaan. “Tuan Putri telah bangun.”Untuk sejenak, Elizabeth terpikir untuk melemparkan sepatunya ke kepala sang kakak. Mungkin dengan begitu, dia akan membuatnya diam.Namun Jennifer mengeluarkan tawa, berpindah untuk berdiri di sampingnya. “Jangan dengarkan dia,” ucapnya.Mungkin dia harus menerima wanita itu sebagai kakaknya saja.Yang lebih tua meraih tangannya. “Beberapa hari lagi, kau akan memiliki harimu — jangan biarkan dia mengganggumu. Kau membutuhkan waktu sendiri sebanyak yang kau bisa.”Gadis itu menundukkan kepala. Tentu saja. Dia mungkin takkan memiliki waktu untuk dirinya sendiri — terutama ketika dia harus berada di kediaman yang baru dan menjadi cerminan Orvil, bersamaan dengan melanjutkan apa yang menjadi bagian dari kesepakatannya.Dia membiarkan Jennifer mengge
“Aku tak yakin soal ini.”Baik Veronica dan Jennifer memperhatikannya di atas sofa, sementara dia berada di podium dengan kaca mengelilinginya. Seorang pekerja membantu merapikan gaun yang dia kenakan.Ada beberapa hal yang salah dengan gaun yang dia kenakan. Roknya terlalu ketat, pundaknya terlalu menggembung. Atau mungkin dia hanya tak terlalu menyukai modelnya.Namun lagi, Elizabeth tak pernah memikirkan gaun yang akan dia kenakan di hari pernikahannya — dia tak pernah mengira bahwa dia akan berada di dalam toko ini. Pemikiran itu cukup untuk membuatnya terpikir bahwa dia tak tahu apa yang harus dia pilih.Veronica memberikan pandangan yang meniru ekspresinya — aman baginya untuk mengatakan bahwa gadis itu sama tak setuju dengannya.Jennifer mengawasinya dari atas ke bawah, terlalu lama hingga dia khawatir bahwa dia akan mengatakan bahwa gaun itu tak terlalu buruk di matanya.Namun wanita itu menganggukkan kepala. “Tak cocok denganmu,” dia mengucapkan rasa tak setujunya. “Kita memi