Orvil menatap James, yang masih menampakkan senyumannya. Dan dia harus mengakui bahwa, sama seperti adiknya, laki-laki itu memiliki sebuah tarikan bibir yang dapat mencerahkan seluruh ruangan.
Dia ingin tahu bagaimana mereka dapat berhubungan dengan para Leigh, sementara pikirannya dapat mengingat bahwa para Martin memiliki nama dalam usaha desain pakaian dan model, begitu berbeda dengan label musik mereka.
“Jadi?” tuntutnya, masih tersenyum. “Apa kau tak ingin mengakui pesona Elizabeth di depan kakaknya?”
Orvil menoleh pada sulung Leigh, yang ikut memperhatikannya. Dia dapat merasakan sesuatu yang menghambat di dalam pandangan itu — seolah dia tak mempercayai bahwa calon suami adiknya telah terpikat.
Dan Orvil juga.
Sungguh aneh bagi Elizabeth untuk tersenyum dan menyapa para tamu. Dia selalu membiarkan tugas itu pada kakak dan ayahnya, ketika ibunya masih bersamanya, dia akan mengikutinya berkeliaran atau bahkan memutuskan untuk mundur pada bayang-bayang balkon.Dia takkan mengatakan bahwa dia tak menyukai kerumunan — dia dibesarkan untuk berada disana, di tengah dan menjadi pusatnya. Namun jika Elizabeth harus memilih, gadis itu akan meminta sedikit waktu untuk bersama dirinya sendiri.Sayang sekali bahwa dia takkan bisa melakukan itu. Tidak lagi ketika dia dalam waktu dekat akan memiliki rumahnya sendiri, bahwa dia akan mengambil peran yang dia hindari dengan susah payah.Gadis itu masih menggenggam minumannya, menoleh pada pandangan yang dapat dia rasakan ketika mengobrol bersama orang-orang, bertemu mata dengan Orvil yang memperhatikannya.Dia mengangkat gelasnya, memberikannya sebuah senyuman — seperti yang seharusnya dia lakukan. Dia tak memahami arti pandangan itu, namun dia akan terus be
Memperhatikan hiruk-pikuk orang-orang di bayang-bayang balkon adalah sesuatu yang memang lebih baik dibandingkan berada di tengahnya — Elizabeth harus mengakui itu.Dia bersandar di tralis balkon, menengadahkan kepala dan menutup mata, gelas terletak di meja kecil yang berada di dekatnya, sementara Veronica menjorokkan diri dan bersandar dengan kedua lengannya.Sedikit banyak, gadis itu tak lagi penasaran dengan apa masalah Audrey Green dengannya, atau mungkin dia masih sedikit ingin tahu soal Veronica dan gadis itu — tidak sebanyak sebelumnya.Dia hanya ingin menikmati udara disini sebaik yang dia bisa. Sebaik itu sebelum dia harus kembali ke tengah cahaya dan menjadi pusatnya kembali.“Aku mengatakan bahwa aku akan memberitahumu,” ucap Veronica, membuka suara.“Nanti,” gumamnya, masih menutup mata. “Aku sangat menikmati tempat ini — aku tak yakin aku bisa mendengarkanmu.”Dia mendengar denting tawa Veronica, dan dari sudut matanya yang sedikit terbuka, Elizabeth melihat gadis itu me
“Aku tak memahaminya,” ucap Elizabeth, mengakui. Dan itu membuat Veronica menoleh padanya. “Aku tak yakin jika dia bisa mencintai seseorang di lingkungan yang sama dengan kita.”Gadis di sampingnya tertawa, meneguk minumannya sebelum menghela nafas. “Kau mengatakan seolah lingkungan kita tak menyisakan apa itu cinta,” ujarnya.“Itu,” ucapnya, mencoba. “Memang tak benar. Tapi kita berdua tahu bahwa bertahan lebih penting disini.”Veronica menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.“Aku tak mengatakan bahwa mustahil bagi cinta untuk tumbuh. Namun kau harus mengingat bahwa alasan yang aku dan Audrey miliki adalah sama — kami melakukan ini untuk bertahan hidup.”Gadis itu memperhatikannya, menghela nafas sebelum menyeruput minuman yang ada di genggaman. Dan untuk kali ini, Elizabeth tak memahami pemikirannya.Mungkin dia telah diam-diam setuju dengan pendapatnya, atau mungkin dia masih tak terima bahwa kakak yang mungkin akan dia dapatkan sirna begitu saja karena kekanakan seorang dari kel
Satu.Dua.Satu.Dua.Satu.Elizabeth tersungkur ke depan, dimana Noah menangkapnya, menggenggam erat pinggangnya sementara dia menghembuskan nafas gusar pada adiknya.“Belajar untuk mengendalikan kakimu, Adikku.”“Aku tak sengaja melakukannya!” dia membela diri.Lagipula, tak ada yang cukup waras untuk tidak membiarkan seorang anak dari sekolah menengah pertama untuk mempelajari dansa. Dia seharusnya bermain bersama teman-temannya jika bukan belajar di perpustakaan.“Kau harus berusaha lebih keras,” ucap sang kakak, mengacak rambutnya sebelum dia dapat menampiknya. “Suatu hari, Ayah akan membuatmu berdansa dan kau tak bisa menginjak kaki pasanganmu.”Elizabeth melepaskan selop dari kakinya, menghembuskan nafas kesal. “Aku tak yakin ada yang akan berdansa denganku.”“Tunggu saja,” Noah menghembuskan tawanya, berjanji. “Tunggu saja.”Tunggu saja.Elizabeth memperhatikan kakinya, mencoba untuk tidak menginjak kaki lawannya. Walaupun mungkin itu adalah pikirannya yang membuat ujung sepat
Elizabeth melihat Pentious terhenti dari jalannya, satu tangan menggenggam jasnya, menyisakan kemeja putih dan celana kain yang dia kenakan, juga rambut yang telah sedikit berantakan.Dan ketika dia berbalik, gadis itu dapat melihat betapa sayu matanya.Laki-laki itu memberinya sebuah senyuman, menundukkan kepala. “Nona Leigh.”“Kau,” mulainya, merasakan nafasnya tercekat. “Kau tak mengatakan bahwa kau akan berada disini.”“Orang-orang di kantor mendengar tentang pertunangannya,” dia mengakui. “Kami tak secara teknis diundang pada pesta pertunangan CEO kami — tapi aku,” dia mendengarnya berhenti, menarik nafas. “Aku hanya ingin memastikan.”Dan Elizabeth merasakan matanya memanas. “Bahwa itu adalah aku?”“Nah,” Pentious menghembuskan sebuah tawa, mengalihkan pandangan sebelum menjawab kembali. “Itu adalah sebuah harapan penuh dusta, bukankah begitu?”Dia menelan ludahnya, menatap ke arahnya. “Aku takkan pernah bisa membela diriku.”Pentious membalas tatapannya, memberikan sebuah senyu
Elizabeth duduk di depan, udara dingin menyentuh kulitnya sementara Jennifer mendekat, berdiri dan bersandar di pilar tak jauh di sampingnya.Dia tak tahu apa yang wanita itu pikirkan sekarang — mungkin berpikir tentang siapa laki-laki itu, walau dia sangat yakin bahwa dia telah memiliki tebakan tentang siapa Pentious baginya.Dan dia dapat merasakan tatapannya sekarang, entah dengan rasa kasihan atau penasaran. Mungkin dia akan bertanya tentang bagaimana dia memiliki hubungan dengan laki-laki itu. Mungkin dia ingin bertanya jika dia memiliki penyesalan karena menerima pertunangan ini.Mungkin Jennifer akan bertanya jika dia terpaksa.Dan mungkin dia akan menyangkal, demi kesepakatan yang dia miliki dengan ayahnya.Namun wanita itu mengeluarkan helaan nafas, duduk di sampingnya sebelum mendongak ke arah langit malam. Dan dari sudut matanya, dia dapat melihat sebuah senyuman di bibirnya.“Aku pernah sepertimu,” bisiknya.Elizabeth menoleh. Dia tak yakin jika dia akan pernah menebak bah
Pentious tak pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang penyendiri di masa sekolah menengahnya. Bahkan, dia dapat menyebut bahwa dia memiliki cukup banyak teman hingga dia tak pernah merasa kesepian disana.Namun ada masa dimana dia sangat memahami bahwa dia membutuhkan waktunya untuk menyendiri, atau bagaimana teman-temannya takkan memahaminya.Ada kala dimana dia memilih untuk berada di belakang sekolah alih-alih di kelas pada masa istirahat. Dengan penyuara telinga yang tersemat disana sementara dia menutup mata, membiarkan cahaya matahari datang padanya.Hingga sebuah bayang-bayang menutupinya, dan gadis dengan rambut terkepang dua menatap turun ke arahnya yang tengah duduk menyandarkan diri.“Ini tempatku,” ucapnya.Pentious melepaskan penyuara telinganya, musik menghilang begitu saja. “Aku sudah berada disini lama sekali.”“Tapi ini tempatku,” ucapnya, mata menatap penuh pemaksaan. “Aku ingin belajar.”Dan barulah Pentious menyadari bahwa dia menggenggam buku-bukunya di tangan,
Bahkan ketika Pentious tak lagi menerima kabarnya, tepat setelah gadis itu pergi dari apartemennya, beberapa saat di waktu dia memberikan berita perjodohannya.Itu berada di luar kendalinya.Atau bahkan, Elizabeth tak memiliki andil sama sekali tentang siapa yang akan menikah dengannya. Tidak ketika dia melihat keluarganya untuk pertama kali, atau setidaknya menyadari siapa keluarga Leigh.Keluarga utama pemilik perusahaan musik — sebuah industri dimana dia ingin menerjunkan diri ke dalamnya. Dan semenjak itu, pandangannya pada Elizabeth berubah.Begitu tinggi di depannya yang begitu rendah seolah dia tengah berada di dalam semacam romansa klise dimana dia mencintai seseorang yang berada pada derajat yang lebih tinggi darinya.Lalu kini ada Orvil Gellert — CEO di label tempat dia bekerja. Sebuah pasangan sepadan yang dia yakin sekali pantas Elizabeth dapatkan. Jauh dibandingkan dia. Jauh dibandingkan siapa pun yang berusaha menyainginya.Atau itu hanyalah rasa malunya berbisik di kep
Ketika Elizabeth menjejakkan kaki untuk kembali ke kediaman para Gellert, dia dapat merasakan sesuatu yang jauh melebihi rasa mencekam — sesuatu yang sama sekali tak pernah dia rasakan ketika dia pertama kali datang kesana. Namun dia memahami itu, karena bahkan bagaimana pun, dia begitu menyadari bahwa kediaman ini takkan pernah menjadi rumahnya.Tak ada satupun yang berada disana, bahkan Jennifer, yang terkadang datang untuk menghampiri mereka. Hanya ada Orvil, dengan punggung menghadapnya sementara dia menatap ke luar jendela, sebuah gelas di genggamannya.Laki-laki itu menoleh padanya.Dan Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan katakan padanya. Tidak untuk sekarang ini. Tidak ketika dia menyadari betapa salahnya dia. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menutup mulut dan diam, menerima apapun yang akan dia berikan padanya.Baik itu surat perceraian, atau bahkan jika Orvil kembali mengulurkan tangan untuk kembali berdansa dengannya dalam setiap tipu muslihat yang
Elizabeth dapat merasakan pandangan Noah, tatapan itu begitu tajam hingga dia yakin bahwa kakaknya dapat membunuhnya dengan itu. Dan ketika dia dapat mendengar langkahnya, sebuah bayangan menghadang.Veronica berada di depannya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya.”Wanita itu dapat melihat bagaimana mata kakaknya berkedut. “Minggir, Veronica,” ucapnya. “Ini adalah urusan para Leigh.”Elizabeth merasakan genggaman gadis itu padanya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya,” ucapnya lagi, seolah itu adalah hal yang mutlak. “Dia adalah Gellert sekarang.”Gellert.Nama itu menancapkan duri yang lain ke dalam hatinya. Karena Elizabeth dapat merasakan bahwa dia telah mengkhianati keluarga yang seharusnya menjadi miliknya sekarang.Dia telah berbohong pada Orvil.Dia telah berbohong pada Jennifer.Semua itu karena dia tak melihat mereka sebagai seseorang yang seharusnya dia hargai. Namun ketika dia memikirkannya lagi — bukankah itu berarti ayah dan kakaknya tak menganggapnya sebagai seora
Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan ketika dia terduduk di ruangan tamu para Martin.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang akan sulit dia lakukan sekarang — terutama dengan apa yang terjadi padanya dan Orvil pagi tadi.Dia dapat melihat rasa terluka yang begitu kentara di wajahnya, dan itu membuat Elizabeth tak sanggup untuk menjelaskan apapun — apapun yang akan dia katakan akan berujung untuk semakin menyakitinya. Dia tahu akan itu.Dan ketika suaminya itu tak mengatakan apapun dan melangkah pergi menjauh darinya, Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah bisa memperbaiki itu.Apapun itu, bahkan ketika dia telah memutuskan untuk melepaskan segalanya dan tetap bersamanya.Elizabeth takkan pernah memiliki rasa percaya dari Orvil kembali. Tidak setelah ini.Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangannya, menghembuskan nafas ketika merasakan bahwa dia akan segera menangis.Dia tak pantas untuk itu.Walaupun dia ingin kembali untuk memohon padanya, Elizabeth tahu kapan untuk
Ketika Elizabeth terbangun di atas ranjangnya — ranjang Orvil, dia dapat merasakan dirinya tersenyum, memainkan dada yang ada di bawah telapak tangannya, jemari menelusuri kulit disana.Dengkuran laki-laki itu terdengar, nafas di atas rambutnya dan dia dapat merasakan betapa nyaman dirinya ketika pagi hari begitu lamban.Dia menoleh ke arah bantal yang mereka tinggalkan tadi malam di ruangan mereka, meninggalkan beberapa di setiap ruangan untuk berjaga jika Tilly mengantuk dan masih tak familiar dengan rumah barunya.Bantal tersebut kosong, dan Elizabeth harus menyimpulkan bahwa kucing tersebut berada di suatu bantal di ruangan lain.Ketika dia menoleh ke arah jam, Elizabeth dapat melihat angka enam tertunjuk di jarum pendeknya, membuatnya tergoda untuk menutup mata dan menyandarkan kepala kembali pada suaminya.Wanita itu tersenyum kecil.Mungkinkah ayah dan kakaknya akan menyadari bagaimana dia hendak melarikan diri?Mungkinkah mereka bertanya-tanya ketika dia tak dapat lagi dihubun
Orvil masih menatapnya, mengusapkan tangan pada wajahnya sementara mata melekat padanya. Laki-laki itu menaikkan alis.“Kau yakin?” dia bertanya. “Aku akan mengatakan bahwa entah kau terlalu naif atau kau menyembunyikan sesuatu. Dan mengenal dirimu, kita berdua tahu bahwa kau tak polos sama sekali.”Wanita itu terdiam, membalas tatapannya.Akan sangat lucu sekali jika dia tak menjawab apapun padanya, memastikan bahwa apa yang Orvil duga memiliki sedikit kebenaran di atasnya. Akan sangat lucu jika kedoknya diketahui dengan segera.Dia harus kembali ke rumahnya.Dia harus mengemban perjanjian yang tak dapat dia lalui.Dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya.Elizabeth menyentuh pipi suaminya, mengecup bibirnya kembali. “Tidak ada,” janjinya. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”Dia dapat melihat bagaimana mata Orvil berkedut, menyadari bahwa dia tak terlalu yakin tentang apa yang istrinya itu katakan. Namun dengan sebuah keajaiban — atau tidak, sebenarnya, laki-laki itu me
Elizabeth tak tahu apapun tentang pembicaraan apa yang ingin Orvil bicarakan, namun dia dapat melihat bagaimana laki-laki itu menatapnya, mencoba untuk bersikap baik-baik saja.Jadi wanita itu menganggukkan kepala, menurunkan Tilly kembali hingga kucing tersebut dengan bahagia masuk ke dalam belakang meja, yang harus dia akui membuatnya lega bahwa kucingnya tak berwarna putih.Dia mendongak, mendorong dirinya untuk berdiri di depannya, dekat dengannya hingga dia harus tetap menengadahkan kepala untuk melihatnya.“Apa yang ingin kau bicarakan?” mulainya.Dan Orvil mengalihkan pandangan. “Akan lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakannya disini,” dia mengakui. “Aku tak yakin bahwa kakimu cukup kuat.”Mata Elizabeth membulat, berbalik ketika menyadari bagaimana suaminya tengah beranjak pergi melewatinya, mulut wanita itu terbuka penuh rasa tak percaya.“Otot kakiku cukup baik!”“Tentu saja, Sayangku,” sahutnya, tertawa — entah karena panggilan yang dia berikan atau karena humor yang
Tilly mengeong setiap kali mobil mereka berbelok, membuatnya mengulurkan jemari untuk mengelusnya.Mampir ke kediaman para Leigh adalah hal yang mudah, walaupun dia merasa bahwa dia tak pernah leluasa ketika dia berada di dalam sana — seolah ada sesuatu yang mencoba untuk menahannya jika dia ingin membuka diri disana.“Aku tahu,” gumamnya, menunduk pada kucing tersebut, yang mengeong kembali. “Apa kau merindukan tuanmu?”Tilly tak membalas, memilih untuk berputar di sekitar kerangkeng yang mengelilinginya. Itu sedikit membuat Orvil merasa bahwa dia sebaiknya melepaskannya. Namun ada sedikit rasa khawatir ketika menyadari bahwa dia tak mengenal kucing itu sama sekali, bahwa dia takkan mampu menenangkannya jika dia merasa tak nyaman.“Kita akan bertemu dengannya nanti,” dia berjanji. “Dia akan sangat senang ketika bertemu lagi denganmu,” ucapnya, tersenyum. “Kalian berdua.”Kucing hitam itu mendongak, menampakkan mata bulat ke arahnya, membuka mulut kembali dan mengeong. Dan Orvil berha
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk