Menteng Dalam. 2008.
Takdir dan kematian tak ubahnya sahabat karib bagi kehidupan manusia yang semata wayang. Sesuatu yang pasti menjelangi. Sebuah keniscayaan. Hanya perkara kapan dan di mana. Tak terkecuali bagi Aryo Yuda Iskandar yang telah lama mengenyam keabadiaan.
Selama ratusan tahun dia tidak pernah menempatkan kematian dalam tampuk musuhnya, Aryo sejak lama merendahkan egonya terhadap kepastian ini. Malahan, petang ini, dirinya justru menyambut hadirnya kematian seolah sekadar kawan lama yang menjemput. Dia sudah siap untuk dijemput pulang kendatipun kepadanya Aryo meminta untuk menunggu barang sejenak di selasar depan.Bagi segelintir koleganya, Aryo tak lebih sekadar pengusaha muda berusia pertengahan 30 tahun. Orang akan menyebutnya mati muda setelah petang ini bergulir. Akan tetapi, bagi penuai nyawa yang kian gelisah menunggu, Aryo sudah terlalu lama mencurangi jatah umurnya, atau umur kebanyakan manusia. Satu dari sekian banyak sepertinya yang menumpuk di daftar tunggu.Kini, Aryo hanya terbujur ditemani pelayan setianya, Watari Kuranosuke, sementara bentangan kain putih yang ditegakkan di sepanjang ruang latihan itu telah mengepung keheningan mereka. Lelaki Jepang berusia lima puluhan yang satu dekade telah melayaninya itu bersimpuh membisu, tidak bersuara sepatah katapun di sisi majikannya yang sekarat.Kimono yang dikenakannya putih, kendati penuh bercak merah dari dadanya yang terbedah, menampakkan jeroan yang berkedut-kedut mengikuti ritme napas.Aryo mengulur kepergiannya dengan menekuri rintik hujan pada genting, sedangkan sang maut kian gelisah dalam penantian di serambi luar, bolak-balik mengintip menembus dinding rumah dan tirai yang menghalangi pandangan.Baru ketika telinganya menangkap gema kertuk lantai kayu dipijak langkah setengah berlari menuju ruangan mereka, wajah muram lesu itu sedikit mendapatkan angin. Lalu tirai putih itupun tersibak. Seorang remaja ceking, jangkung, berseragam sekolah putih-abu mendekat dengan mata yang sudah memerah serta ujung rambut ikal yang kebas.Tangisnya sudah pecah semenjak Watari mengabari ketika masih berada di sekolah. Setengah bagian seragamnya tampak lembap kusam.“Kamu sudah datang, Wira? Syukurlah, kemarilah bujang. Aku ingin bicara padamu untuk terakhir kali.” dengan suara yang lemah Aryo meminta si remaja bernama Wira untuk mendekat. Kendatipun berupaya bibirnya mengulas senyum kebahagiaan.“Saya minta maaf…saya minta maaf…saya minta maaf Sensei…”Sekadar itu yang kini terucap oleh mulut remaja tanggung bernama Wira itu, dia kebingungan perlu berbuat apa melihat luka menganga di dada gurunya yang sekarat, Watari yang ditoleh demi sebuah petunjuk pun hanya menggeleng pelan dengan wajah muram kaku.Aryo yang terbujur dengan kimono serba putih itu meraih genggaman tangan Wira, dengan segenap daya pemungkas yang dia masih miliki. “Semuanya adalah takdir, Wira. Termasuk kematianku petang ini, Boy. Takdir yang sudah kupilih. Sehingga kamu tak perlu tangisi.”Kendatipun dia sadar, jika murid semata wayang itu masih terlalu belia untuk memahami soal pilihannya ini. Sehingga wajarlah saja seandainyapun kata-kata penghibur yang meluncur sesudahnya justru membuat sang murid kian bersimbah tangis tergugu.“Aku hanya berharap satu, semoga kamu memaafkan saya untuk permintaan terakhir yang saya ingin ajukan.” Aryo melanjutkan. Dia membendung napasnya yang nyaris putus, dadanya berguncang.“Apapun itu. Saya bersedia penuhi, Sensei.” Wira mengusap tangisnya dengan lengan baju."Jangan mudah berjanji, Bujang. Ingat itu. Lelaki tak boleh murah janji dan pantang pula untuk ingkar. Kau paham? Tetapi aku bersyukur karena engkau sudi memenuhi pintaku."Aryo melirik lemah ke Watari yang sedari tadi berkhidmat menunggui. Sang pelayan memahami bahasa isyarat sang majikan dan menggeser sebuah kotak berukir dengan vernis hitam mengilat yang sejak tadi mensejajari duduk simpuhnya.Perlahan dibuka penutup kotak dengan hiasan bangau-bangau berkaki jenjang di permukaannya itu. Dengan kedua tangan diraih isi kotak yang kemudian dihaturkan kepada Wira.Kedua mata remaja SMU itu membelalak bulat oleh sebilah keris yang disodorkan kepadanya oleh pelayan sang guru. Kemudian, berkeliling pandang menelusuri bubungan, seolah petunjuk atas permintaan yang barusan disekapatinya itu tengah bercokol di sana.Dia memang mantap bersedia memenuhi permintaan sang guru, tetapi bukan ini yang terlintas dalam benaknya tadi.Aryo mengeratkan genggaman tangannya kepada Wira yang mematung dengan perasaan berkecamuk. Ia berkata, “Aku percayakan warisan hidupku kepadamu, Wira. Kini semua yang kumiliki akan menjadi milikmu. Termasuk takdirku dan segala yang terbawa bersamanya, demikian juga musuh-musuhku yang akan jadi musuh-musuhmu.”“Tetapi…apakah…apakah saya pantas?” Wira mencari sorot mata keraguan dari gurunya yang terlihat kepayahan tetapi teguh, mencari penolakan yang sama dari Watari meski sang kepala pelayan juga bersikap sebaliknya.“Kepantasan itu adanya dalam perbuatan, dalam tindak tanduk, dalam pembuktian, dan engkau punya banyak waktu untuk hal itu, Nak.”Kemudian, matanya singgah pada keris yang masih bertengger pada kedua telapak tangan Watari. Sadarlah dia jika sebagian takdirnya petang ini telah tersegel rapat.Aryo tampak merintih tertahan sekali lagi, kepayahan membendung nyawa yang sudah jatuh tempo, orang biasa barangkali sudah tewas sejam yang lalu. Tetapi sang kematian pun kini sudah tidak sabar lagi, dia tampak melongok dari ambang pintu.“Ingatlah, Wira! Engkau adalah pewarisku, saksi hidupku.” Aryo mengatupkan rahang, menahan perih yang kian mengombak.Matanya kemudian dipejamkan. Wajahnya tenang dan ikhlas. Wasiatnya sudah tersampaikan dan pewaris telah terpilih. Dalam gelap tabir penghujung hayat dia mengilas balik sepanjang kenangan, segala cita dan cinta, sembari menanti Wira menunaikan pinta.Genap pada hari ketigaratus enam puluh lima semenjak perjumpaan mereka, Wira menyanggupi permohonan pemungkas sang guru. Bersama getaran hebat yang menggoyang sendi-sendi dinding ruangan, Aryo meninggalkan Wira dan Watari, melangkah ringan dengan kawan lama yang semenjak sore menanti. Listrik di sekitar mereka padam total.Hujan yang turun deras sampai keesokan pagi sehingga kali Ciliwung meluap akhirnya menjadi pengiring kepergian. Kisahnya sudah purna, akan tetapi bersama laman yang tertutup itu, lembaran baru telah menanti bagi penyambung amanatnya.Bagi pewarisnya.***Seumur hidupnya, baru hari ini Wira mengenakan setelan jas. Sayang, kali pertama ini juga hari penanda kehilangan sosok yang setahun terakhir memberi banyak warna pada sepenggal hidupnya. Padahal dia sudah akrab dengan kehilangan --ditinggal mati orang tua semenjak lama, tetapi taklantas menjadi kebas akan kehampaan akibat ditinggalkan seseorang mentor yang pergi setelah sempat mengisi penggalan hidupnya.Sepulang dari pemakaman yang hanya dihadiri segelintir orang itu, Wira memilih rindangnya pohon mangga di halaman rumah sang guru untuk berlindung dari panas Jakarta.Orang-orangan yang dipakai ketika pertama kali berlatih bermain pedang itu masih tegak berdiri di dekat pohon. Tegak kaku kendati penuh luka sekujur batang tubuhnya.“Padahal buahnya tidak selalu bagus, tetapi Sensei selalu keberatan jika aku sarankan untuk ditebang.” Watari tahu-tahu muncul di halaman, dengan setelan jas hitam seperti halnya Wira.“Sejak dahulu dia memang menggemari buah Mangga. Saking sukanya, sampai dibelinya beberapa hektare kebun di Indramayu. Sewaktu sempat tinggal di Jepang lagi, beliau sering minta dikirimi Mangga dari Miyazaki yang waktu itu sedang booming.” Watari yang mengusung sebuah map dokumen, serta sebuah benda panjang terbungkus rapi itu kemudian duduk di kursi beranda.“Pantesan kalau ke pasar tradisional, beliau juga sering jajan Es Buah Mangga,” balas Wira yang kini beranjak mengekori.Keduanya duduk bersebelahan dengan berselang satu meja kecil. Keduanya sudah sama-sama berdamai dengan kehilangan yang baru menimpa empunya rumah itu. Diam sejenak dalam sisa kenangan yang seolah berjam-jam lamanya.“Sore ini, pengacara keluarga akan membacakan surat wasiat Sensei.” Watari membuka omongan terlebih dahulu.“Beliau masih punya anggota keluarga lain?” tanya Wira.“Teknisnya, hanya kita berdualah keluarganya.” Watari menjawab dengan ketenangan yang khas dirinya.“Sudah kuduga.”“Singkatnya, segala hal yang beliau miliki akan jadi milikmu, terlepas apakah kau keberatan atau tidak dengan hal ini. Tentu saja, keluarga Kuranosuke akan tetap mengurus semua asetnya seperti yang kami lakukan selama ini, hanya perlu sedikit penyesuaian legalitas yang kesemuanya sudah diurus. Segalanya dalam pengawasanku hingga kau merasa siap mewarisinya, atau kami anggap demikian, atau tidak sama sekali.” Watari bisa melihat jika remaja di dekatnya ini tampak sama sekali tidak tertarik, dia mengela napas berat, ini sudah diperkirakan olehnya dan mendiang majikan beberapa bulan lalu.Wira memilih tidak menjawab, separuhnya karena dia sendiri tidak mengerti tetek-bengek perihal perusahaan yang gurunya kini wariskan kepadanya, sisanya karena merasa itu bukan miliknya. Biarlah keluarga besar Watari yang selama ini melayani sang guru yang memelihara itu, pikirnya.Hanya saja sudut matanya terpaku kepada benda panjang yang bersandar miring pada meja di antara mereka.“Kemudian yang ini, secara khusus dia wariskan padamu di luar wasiatnya resminya, tidak masuk dalam inventaris aset bahkan.”Watari bisa menangkap ke mana arah ketertarikan di mata Wira, map yang urung disodorkannya untuk Wira bubuhkan paraf pun di letakkan di meja. Benda panjang berselubung sutra yang dibawanya kemudian diraih, dan diserahkan kepada Wira.“Pedang Murakumo ditempa dengan percampuran Keris kuno berbahan meteorit milik Aryo Sensei dan peleburan logam terbaik yang bisa kami dapatkan. Dikerjakan oleh pengerajin pedang yang cakap. Sebuah karya seni yang menyempurnakan kecakapan seorang Aeternum, serta simbologi linimasa sang mendiang empunya.”Watari bak menarasikan hal tersebut di latar, sementara Wira sibuk menyibak pedang peninggalan sang guru dari selimut sutranya.Sarung pedangnya adalah eboni legam mengilat, yang berlawanan warna dengan ukiran bersepuh emas tiga gugus-awan berimpit pada sebuah pusat berpola ala Mitsudomoe. Bilahnya melengkung keperakan sejernih cermin dipatri dengan huruf kanji yang dia tidak paham maknanya di dekat pangkal gagang, belitan kain gagangnya sehitam serupa sarung pedangnya, dengan ujung dan lingkaran pelindung tangan yang juga bersepuh emas.Wira paham jika Murakumo berarti gugusan awan dalam Bahasa Jepang. Ketika diayunkan, bilahnya seperti bersiul membelah udara. Dan ketika Wira bangkit dan memainkannya sejenak di tempat, Murakumo bersenandung syahdu.“Murakumo kini menjadi milikmu. Kaulah sang Pewarisnya.” Watari menatap lekat tuan mudanya itu.Sebelas Tahun Kemudian.Jakarta, 2020.Wira sudah berdosa besar pada Lovina Adnan Yusuf. Pastilah demikian alasan mengapa perempuan muda itu memekik histeris seperti habis dibegal sepagi ini.Sejilid laporan dibantingnya sekuat tenaga ke meja Wira, di hadapan lelaki itu, di depan semua orang.Budi yang bersebelahan meja dengan Wira nyaris melompat karena kaget, tumbler di meja Wira juga melompat kendati sempat digapai empunya. Celotehan karyawan lain di ruangan pun padam seketika, terkecuali derit printer dari meja Finance dan Akunting.“Lo periksa lagi nggak sih bagian proposal yang lo kerjakan dan rencananya dipresentasikan hari ini! Kenapa berantakan begini?” pekik Vina. Murka semurkanya.“Ada masalah apa Bu?” Wira mencoba tenang menghadapi badai yang hadir tanpa mendung.Jemarinya menelusuri salinan lembar demi lembar halaman proposal yang menyita
Brak! Kanvas bergetar kembali. Petarung sudut biru berhasil merobohkan lawannya dengan teknik Brazilian Jiu-jitsu yang solid, menindihnya dalam kondisi Ground and Pound. Penonton kembali meledak. Petarung sudut merah yang lebih kurus mati-matian melindungi kepalanya dari hujan pukulan yang mendera. Beberapa kali upayanya untuk lepas meloloskan diri tidak membuahkan hasil. Sorak sorai kian membahana. Wasit mendekat. Keduanya memang sudah beberapa kali terbanting lalu saling kunci pada menit ketiga, saling hantam siku, berusaha saling menyudahi perlawanan rival-nya. Kedua kru masing-masing petarung makin lantang jua menyeru-nyeru memberi arahan dari sudut mereka. Wira menikmati jalannya ini pertarungan dari bangku lipat yang tidak jauh letaknya dari gelanggang. Tepat di belakang sepasang Ring Girl berpakaian seksi yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing. Ia menikmati sensasi menghilang di
“Aku hormati pilihanmu.” Erhan menyeringai sebelum membuka serangan.Diawali dengan guntingan horizontal dari kedua sisi, Erhan melanjutkan dengan kombinasi gerak berputar lalu sabetan yang silang menyilang dari kedua Khopesh. Gesit dan bertenaga, langsung menyasar dada dan leher Wira.Gemerincing suara berdenting melatari bilah senjata milik keduanya yang saling bentur tatkala tempo pertarungan kian meningkat drastis, layaknya paron yang ditempa berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Erhan terus melepaskan serangannya bak penari yang luwes.Sedangkan Wira berusaha mengukur lawannya lebih dulu, kebanyakan dengan elakkan dan blok atau menangkis sebelah tangan. Dalam hati ia menggerutu karena harus tetap memegang serangka pedangnya di tangan kiri.Tak dinyana, perhatian yang sejenak teralih membuka ruang dalam pertahanannya. Tahu-tahu Khopesh milik Erhan sudah mengunci Katana Wira dalam guntingan erat, dan memilinnya terbalik.
Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tun
Wira sudah menduga kalau Erhan akan kembali berteleportasi untuk menghabisinya, ia hanya tidak bisa menebak dari arah mana Erhan akan menyergap. Sehingga ia pun berjudi kembali dengan keputusannya. Bertaruh pada pendengaran, kecepatan refleks tubuh, dan sedikit dorongan kecepatan kilat yang sengaja dihimpun. Sehingga ketika Erhan menyergap dari balik punggungnya, meski harus sedikit terpaksa memutar badan, ia sudah siap. Kilat selalu memukau dan mengejutkan, meski sebetulnya yang membuat bergidik adalah yang menyusul setelahnya. Petir. Mitosnya, Petir tidak pernah menyambar titik yang sama untuk kedua kalinya. Faktanya, Petir bisa, dan bahkan seringkali menyambar titik yang sama berulang kali. Dan malam ini, Petir yang dilepaskan oleh Wira sedetik pasca pedangnya tercabut, menyambar Erhan tiga kali berturut-turut. Sambaran pertama, terlontar bersama ayunan katana yang serta-merta menetralisir hujaman sepasang Khopesh-nya. Ia tercengang, senjat
Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberad
Aerternum, demikian mereka menyebut kaum mereka sendiri, atau paling tidak begitu yang Wira ketahui berdasarkan cerita mendiang gurunya. Aeternum secara sederhananya adalah kumpulan manusia kekal yang sudah ada entah sejak kapan, mungkin ratusan atau ribuan tahun yang silam, dengan satu tujuan hidup utama yang mengikat mereka. Turnamen Agung. Mereka adalah manusia yang menggemari pengetahuan, segala jenis dan tentu saja pengetahuan tentang cara menghabisi satu sama lain dengan efektif. Apakah tujuan dan hadiah kemenangan dari Turnamen Agung ini? Wira tidak tahu, karena gurunya pun tidak tahu, segalanya simpang siur. Hanya satu hal yang Wira tahu, Aeternum yang terakhir hidup yang akhirnya akan dapat menyingkap misteri ini. Demikianlah, takdir mereka untuk saling membinasakan satu sama lain digelar. Dan kini, Wira ikut terseret dalam benang kusut ini juga. Gurunya percaya, berdasarkan Aeternum lain yang pernah ia jumpai, bahwa pemenang terakhir
Jadi, Wira masih penasaran dengan lukanya sendiri. Ia meneliti perban di punggung dan yang sekujur lengannya pada pantulan cermin wastafel. Digerakkan juga sendi bahunya, masih sedikit terasa perih di balik perban yang membuatnya meringis. “Anjir!” umpatnya lirih. Semalam adalah peralunan terbesar setelah sekian lama ia menghindari konflik dengan sesama Aeter. Terakhir kali ia merasakan gejolak kekuatan yang sama besarnya seperti semalam adalah sepuluh tahun silam. Kesadaran yang membaling ini seolah menggambarkan betapa kemenangannya semalam sungguh tipis. Ia berharap yang terjadi semalam itu tidak perlu dialaminya kembali, tetapi ia juga sadar harapannya yang barusan itu konyol. Dinyalakannya keran air dan beberapa kali diraupnya banyak-banyak tangkupan air dingin. Rasanya tubuhnya sudah jauh lebih baik ketimbang semalam, kecuali sedikit nanar oleh pusing yang masih menggelayut. Ia bahkan tidak ingat apa-apa kecuali aroma parfum mobil Audrey
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec
Malam Hari. Waktu Pertarungan yang disepakati. Untuk kesekian kalinya, Mario tercemplung ke dalam lubang yang sama. Wira yang gemas, menepuk pahanya sendiri. Padahal sudah disusun rencana matang untuk melewati ‘stage’ ini secepat mungkin, akan tetapi hingga ponselnya menghangat, ia masih mentok di tempat yang sama. “Kura-kura reseh,” keluhnya. Tidak yakin apakah masih sempat mencoba lagi atau harus berkesudahan. Ia menguap sekali dan melirik jam di sudut ponsel. Sudah 10 menit lewat tengah malam dan mereka belum datang, ia mulai berpikir apakah alamatnya kurang jelas. Orang Jepang terkenal dengan disiplin waktu, paling tidak, Watari yang ia kenal akrab mengamini hal itu seketat iman. Sengaja dipilih komplek apartemen yang mangkrak di bangun ini sebagai tempat bertemu. Di sini, mereka bebas. Sekali lagi ia menguap panjang dan lama. Semenjak Erhan muncul tempo hari, serentetan kejadian yang mengekor sudah banyak mencuri waktu ti
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya