Brak!
Kanvas bergetar kembali.
Petarung sudut biru berhasil merobohkan lawannya dengan teknik Brazilian Jiu-jitsu yang solid, menindihnya dalam kondisi Ground and Pound.
Penonton kembali meledak.
Petarung sudut merah yang lebih kurus mati-matian melindungi kepalanya dari hujan pukulan yang mendera. Beberapa kali upayanya untuk lepas meloloskan diri tidak membuahkan hasil.
Sorak sorai kian membahana. Wasit mendekat.
Keduanya memang sudah beberapa kali terbanting lalu saling kunci pada menit ketiga, saling hantam siku, berusaha saling menyudahi perlawanan rival-nya.
Kedua kru masing-masing petarung makin lantang jua menyeru-nyeru memberi arahan dari sudut mereka.
Wira menikmati jalannya ini pertarungan dari bangku lipat yang tidak jauh letaknya dari gelanggang. Tepat di belakang sepasang Ring Girl berpakaian seksi yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Ia menikmati sensasi menghilang di tengah lautan manusia seperti ini. Hiruk-pikuk yang sudah dikenalnya bertahun-tahun. Ia bisa tenggelam dalam sorak sorai penonton yang makin liar melonjak acap kali serangan telak bersarang dari salah satu jagoan mereka.
Sayangnya, kali ini Wira bukan kemari untuk menjejak kanvas gelanggang. Sedari tadi ia sekedar menghabiskan waktu, menanti seseorang. Seseorang yang mengusiknya semenjak beberapa hari terakhir.
Pesan beruntun kembali masuk di W******p-nya, masih dari nomor tidak terdaftar yang sama yang sejak pagi mengiriminya pesan. Kali ini sang pengirim turut menyisipkan sebuah foto, serta tautan lokasi. Ia berada pada lahan parkir tidak jauh dari lokasi Wira berada.
I’ll be there in a minutes.
Belum sempat ia mematikan layar, pesan w******p lainnya kembali masuk. Dari jendela notifikasi, ia tahu pengirimnya Vina.
Haish. Mau apalagi yang diributkan selarut ini? Wira membatin.
[ Besok ada meeting internal dengan Pak Hadi, jam 9 pagi. Tolong persiapkan data dari campaign kita tahun… bla bla bla]
Wira menggulir habis sekilas seluruh pesan dan memahami bahwa inti dari pesannya adalah, ia diminta menyiapkan model kampanye marketing dari beberapa tahun belakangan.
Kampanye yang ia sendiri buat sewaktu menjabat, Vina dan Dimas bermaksud mencontohnya. Hanya saja bahasa Vina yang diperhalus, tetapi intinya sama. Dimas itu ular, dan Wira paham jika ini hanya salah satu trik-nya mencari muka.
Wira mengirim balasan dan menyelipkan ponselnya ke ransel, sebelum beranjak pergi ia mencolek salah satu Ring Girl dengan rambut lurus berwarna pink yang tengah sibuk berkaca pada layar ponselnya, merapikan gincu bibir.
“Audrey, titip Tas ya, nggak lama kok.” Wira menunjuk pada ransel yang diselipkannya di kolong bangku tempat si gadis duduk.
“Mau kemana, Kak?”
“Ada perlu sebentar.” Wira menjawab sekaligus minggat dari tempatnya, terlihat sembari menggulung lengan kemeja hingga siku. Bel usainya ronde pertama berdentang ketika ia keluar ruangan.
Ia menyusuri koridor remang yang lengang dari keberadaan manusia, kecuali beberapa pria dan wanita yang tengah bermesraan. Sepertinya Toilet sedang penuh. Akhir lain dari koridor ini adalah sebuah ruangan Klab Malam yang penuh berdesakan oleh pengunjung.
Alina, Pole Dancer paling mahsyur di klab malam itu, sedang giliran manggung malam ini. Tidak terbilang bagaimana menggilanya kawanan ramai kaum adam yang hadir mengerubuti salah satu sudut dengan panggung mini dan sebuah tiang.
Bau menyengat minuman keras bercampur dengan peluh kumpulan manusia terjebak bersama dentuman pengeras suara yang mengepung. Wira memutuskan untuk enyah dari kebisingan ini dengan keluar melalui pintu darurat.
Lapangan parkir yang ditujunya terletak antara Gedung Klab Malam dan Spa & Karaoke, bertingkat empat, karena memang berbagi lahan. Namun, malam ini tidak sepenuh biasanya, tingkat paling atas justru kosong malahan.
Dan di sanalah, orang yang hendak ditemuinya menanti.
***
Lelaki itu segera mematikan rokoknya sewaktu mendapati kedatangan Wira, bangkit dari atas kap mesin satu-satunya sedan yang sejak tadi diduduki di tengah lahan parkir. Meregangkang bahunya.Perawakannya tinggi kekar, jauh lebih tinggi dari Wira, sekitar 190 cm kurang lebih jika ditaksir. Tubuh yang seperti gunung itu terbalut Longcoat motif bulu yang modis, menyetarakan dengan pakaiannya yang juga mahal.
Ia lebih mirip seorang model yang akan melenggan di Paris Fashion Week, ketimbang orang yang hendak mengajaknya bertarung.
Ya! Selama beberapa hari terakhir, pemilik nomor tak dikenal ini kerap meneror Wira untuk sebuah ajakan berduel. Duel hidup dan mati.
Bayangkan saja absurd-nya, seorang pekerja kantoran biasa yang sehari-hari berkutat dengan kertas dan laporan, pada suatu siang mendapat tantangan duel hidup dan mati dari orang tak dikenal. Di antara notifikas grup W******p kerjaan dan pesanan makanan via Ojol.
Tapi demikianlah takdir Wira, atau lebih tepatnya, takdir yang terwariskan dari mendiang gurunya kepada Wira. Warisan yang telah lama berusaha ia kesampingkan dengan harapan untuk bisa hidup normal.
Dan tidak selamanya seseorang bisa mengingkari takdir, dan inilah definisi normalitas baginya.
***
Dalam pada itu, Wira mendekat dengan kehati-hatian, berhenti beberapa puluh meter dari tempat sedan itu terparkir. Matanya awas menyapu sekeliling, mencari keberadaan orang lain selain mereka berdua.Dalam banyak aspek, keduanya berada dalam spektrum yang berseberangan. Sementara lawannya terlihat menjulang dan modis bak tokoh dalam novel romansa, penampilan Wira tak lebih sekedar karyawan kantoran lembur hingga larut.
Bahkan dalam situasi begini benaknya sempat bergurau dan menghitung, butuh berapa tahun gajinya untuk sekedar menebus mantel bulu yang mewah itu.
“Kau tahu, butuh waktu belasan tahun bagiku untuk melacak keberadaanmu.” Ucap si bongsor, membuka pembicaraan. Ia sejenak menilik Wira dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Lelaki berperawakan tegas dengan hidung mancung sedikit bengkok, mata biru, dan kulit cerah itu berbicara fasih dalam Bahasa Inggris. Cukup fasih meski masih kental dengan logat Turki yang menyertai.
“Beruntung, atau mungkin memang takdir, aku punya kenalan lama di Reuters. Dan dia memiliki foto pedang yang biasa kau gunakan ketika dipamerkan di Jepang dulu, sekitar 1985-86 kurang lebih. Kau ingat?” lanjutnya.
“Oh, begitu?” jawab Wira yang masih tidak fokus, juga dalam Bahasa Inggris.
“Kau tahu, klab malam di sebelah sedang ada Female DJ yang cukup populer. Kita bisa mengobrolkan ini sambil minum, cari kenalan cewek, atau cowok misalnya itu seleramu, tak masalah. Ketimbang bertemu di parkiran dini hari begini layaknya bandar sabu amatiran.” Imbuhnya.
“Ternyata kau tipikal yang lebih suka bicara langsung ketimbang membalas pesan, siapa sangka. Percaya diri. Tidak buruk.”
“Tidak, Erdogan. Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.” jawab Wira singkat. “Dan maaf aku tidak membalas pesanmu, bosku seharian rewel tadi.”
“Pendusta!” si Turki menghardik.
Sepasang Khopesh keemasan, pedang bilah melengkung berbentuk sabit dari Mesir, bermateralisasi pada kedua genggamannya. Mobil yang semula ia duduki dikaitnya dengan salah satu pedang, lalu dilontarkan ke arah Wira.
Ah, shit. Here we go again? Batin Wira mengumpat.
Wira dipaksa untuk melenting dari tempatnya, bersalto di udara demi menyelamatkan diri.
Sedan yang terlempar tadi berderit menggusur lahan, berguling liar beberapa putaran, sebelum berujung ringsek menghajar pembatas parkiran ketika Wira mendaratkan kakinya.
“Aku tahu kau sudah sering berpindah-pindah selama seabad terakhir, kau gunakan banyak nama, hidup sebagai sebagai orang lain. Namun, kau tidak bisa melarikan diri selamanya, Aryo Yuda Iskandar!” si Turki mengacungkan Khopesh-nya.
“Aku, Erhan Sumer, dengan ini menggunakan hak untuk menantangmu dalam duel. Sehingga di penghujung akhir, hanya satu orang yang berhak layak.” lanjutnya.
Erhan yang menjulang layaknya beruang besar itu memasang kuda-kuda dengan kedua Khopesh-nya. Posturnya sigap dan sorot matanya siap.
“Biar kuulangi seandainya belum jelas. Aku bukan Aryo Yuda Iskandar.” tutur Wira.
“Aku bukan makhluk kekal seperti kalian, atau guruku. Aku bahkan kelahiran tahun 90-an, aku seorang Millenial.” Wira menjelaskan dengan tenang, sembari membetulkan gulungan kemejanya. Erhan justru nampak terkejut.
“Tidak mungkin. Guru?”
“Kedengaran gila bukan? Aku ini sekedar Padawan-nya,”
“Apa?” Erhan makin sulit mempercayai pendengarannya.
“Itu lho, yang di Star Wars.”
“Aku tahu apa itu Star Wars! Tapi ini tidak mungkin, seorang Aeternum tidak pernah mengangkat murid karena artinya…”
“Aku tahu ini tak lazim sebetulnya, tapi aku tidak berbohong,” timpal Wira. “Aku tidak terlahir sebagai Aeternum. Aku hanya seorang pewaris.”
“Jadi kau bukan…Aeternum?” Erhan tampak mencerna kata-katanya sendiri.
“Bukan. Null. Zip. Nada! Jadi bagaimana kalau perkara duel abadi ini kita sudahi saja sekarang?” kata Wira.
Erhan nampak berpikir sejenak, sebelumnya akhirnya kembali menatap tajam pada Wira, memutar sepasang Khopeshnya. Udara membisikan bunyi yang khas acap kali bilah bulan sabit besar itu membelahnya.
“Kau sedang berkilah bukan?” tukasnya.
“Apa aku sedang terlihat bercanda...?” Wira terlihat memutar bola matanya, “Ini hampir dini hari, aku tidak kepingin bercanda, atau berduel pedang di lapangan parkir, aku kepingin tidur!”
“Sudah berapa lama Yuda meninggal?” tanya Erhan.
“Sepuluh tahun, lebih kurang.”
“Sekalipun kau bukan seorang Aeter, atau belum, kau mewarisinya. Jadi tantangan ini masih berlaku, dan kau harus menerimanya demi menghormati warisan gurumu.”
“Aku sudah duga kau akan berkata demikian.” jawab Wira, putus asa.
“Pilihanmu cuma bertarung demi menghormati mendiang Yuda, atau menyerahkan nyawamu sehingga aku yang akan memiliki segala yang gurumu pernah miliki.” Erhan kembali bersiap dengan kuda-kudanya.
Wira mengerti jika tidak ada jalan keluar lain kecuali meladeni, kendati ia telah berupaya untuk membujuk. Satu perkara soal Aeternum, selain umur panjang mereka yang dimulai ketika usia 33 tahun, adalah mereka cenderung menyelesaikan segalanya dengan duel.
Lumayan goblok pikirnya, untuk ukuran manusia yang hidup dengan umur panjang dan mestinya belajar banyak kebijaksanaan. Tetapi bijak dan umur memang tidak selalu linear.Dan kini dirinya pun tengah ikutan goblok.
Alasan lain mungkin juga berhubungan dengan fakta jika seandainya mereka memenangi duel, segala pengetahuan dan kekuatan si pecundang akan berpindah pada si pemenang.
“Sayangnya, aku ada janji rapat besok pagi dan bosku galak, sehingga mati malam ini bukanlah pilihan yang menarik.” Wira bergeser perlahan sehingga keduanya akan memiliki cukup ruang di antara mereka.
“Dan dia lebih menyebalkan ketimbang dirimu serta sepasang Khopesh itu, jujur saja, dan tolong jangan tersinggung.” Imbuhnya.
“Selain itu. Aku juga sudah membuat janji lainnya yang jauh lebih besar bertahun-tahu lalu.” pungkas Wira.
Wira merentangkan tangan kanannya, dari udara hampa muncul sebilah Katana -pedang lengkung khas Jepang- bersarung eboni mengkilat dengan bebat di gagang berwarna sama, dalam genggamannya.
“Jadi sudah barang tentu, aku tidak akan mengingkari begitu saja.” Wira memindahtangankan pedangnya ke kiri, lalu dihunusnya keluar serangka.
Ada dengung khas yang hadir manakala pedang milik Wira terayun.
“Aku hormati pilihanmu.” Erhan menyeringai sebelum membuka serangan.Diawali dengan guntingan horizontal dari kedua sisi, Erhan melanjutkan dengan kombinasi gerak berputar lalu sabetan yang silang menyilang dari kedua Khopesh. Gesit dan bertenaga, langsung menyasar dada dan leher Wira.Gemerincing suara berdenting melatari bilah senjata milik keduanya yang saling bentur tatkala tempo pertarungan kian meningkat drastis, layaknya paron yang ditempa berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Erhan terus melepaskan serangannya bak penari yang luwes.Sedangkan Wira berusaha mengukur lawannya lebih dulu, kebanyakan dengan elakkan dan blok atau menangkis sebelah tangan. Dalam hati ia menggerutu karena harus tetap memegang serangka pedangnya di tangan kiri.Tak dinyana, perhatian yang sejenak teralih membuka ruang dalam pertahanannya. Tahu-tahu Khopesh milik Erhan sudah mengunci Katana Wira dalam guntingan erat, dan memilinnya terbalik.
Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tun
Wira sudah menduga kalau Erhan akan kembali berteleportasi untuk menghabisinya, ia hanya tidak bisa menebak dari arah mana Erhan akan menyergap. Sehingga ia pun berjudi kembali dengan keputusannya. Bertaruh pada pendengaran, kecepatan refleks tubuh, dan sedikit dorongan kecepatan kilat yang sengaja dihimpun. Sehingga ketika Erhan menyergap dari balik punggungnya, meski harus sedikit terpaksa memutar badan, ia sudah siap. Kilat selalu memukau dan mengejutkan, meski sebetulnya yang membuat bergidik adalah yang menyusul setelahnya. Petir. Mitosnya, Petir tidak pernah menyambar titik yang sama untuk kedua kalinya. Faktanya, Petir bisa, dan bahkan seringkali menyambar titik yang sama berulang kali. Dan malam ini, Petir yang dilepaskan oleh Wira sedetik pasca pedangnya tercabut, menyambar Erhan tiga kali berturut-turut. Sambaran pertama, terlontar bersama ayunan katana yang serta-merta menetralisir hujaman sepasang Khopesh-nya. Ia tercengang, senjat
Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberad
Aerternum, demikian mereka menyebut kaum mereka sendiri, atau paling tidak begitu yang Wira ketahui berdasarkan cerita mendiang gurunya. Aeternum secara sederhananya adalah kumpulan manusia kekal yang sudah ada entah sejak kapan, mungkin ratusan atau ribuan tahun yang silam, dengan satu tujuan hidup utama yang mengikat mereka. Turnamen Agung. Mereka adalah manusia yang menggemari pengetahuan, segala jenis dan tentu saja pengetahuan tentang cara menghabisi satu sama lain dengan efektif. Apakah tujuan dan hadiah kemenangan dari Turnamen Agung ini? Wira tidak tahu, karena gurunya pun tidak tahu, segalanya simpang siur. Hanya satu hal yang Wira tahu, Aeternum yang terakhir hidup yang akhirnya akan dapat menyingkap misteri ini. Demikianlah, takdir mereka untuk saling membinasakan satu sama lain digelar. Dan kini, Wira ikut terseret dalam benang kusut ini juga. Gurunya percaya, berdasarkan Aeternum lain yang pernah ia jumpai, bahwa pemenang terakhir
Jadi, Wira masih penasaran dengan lukanya sendiri. Ia meneliti perban di punggung dan yang sekujur lengannya pada pantulan cermin wastafel. Digerakkan juga sendi bahunya, masih sedikit terasa perih di balik perban yang membuatnya meringis. “Anjir!” umpatnya lirih. Semalam adalah peralunan terbesar setelah sekian lama ia menghindari konflik dengan sesama Aeter. Terakhir kali ia merasakan gejolak kekuatan yang sama besarnya seperti semalam adalah sepuluh tahun silam. Kesadaran yang membaling ini seolah menggambarkan betapa kemenangannya semalam sungguh tipis. Ia berharap yang terjadi semalam itu tidak perlu dialaminya kembali, tetapi ia juga sadar harapannya yang barusan itu konyol. Dinyalakannya keran air dan beberapa kali diraupnya banyak-banyak tangkupan air dingin. Rasanya tubuhnya sudah jauh lebih baik ketimbang semalam, kecuali sedikit nanar oleh pusing yang masih menggelayut. Ia bahkan tidak ingat apa-apa kecuali aroma parfum mobil Audrey
Wira tiba dikantornya tepat waktu jam makan siang, sudah berganti pakaian dan diantar oleh Audrey. Hari ini ia izin setengah hari, tetapi ia tidak yakin kalau izinnya diterima karena Vina hanya sekedar membaca pesannya. Dan tebakannya sesuai, singa betina itu masih saja galak ketika sesi rapat berlanjut selepas waktu ishoma. Wira duduk mengambil tempat agak di belakang rombongan leader sales yang hari ini dipanggil semuanya. Entah ini sekedar perasaannya atau bukan, satu-persatu orang yang duduk di dekatnya ditembaki oleh Vina perihal target yang masih belum tercapai. Kecuali dirinya yang sekarang tidak lebih seorang clerk. “Kalau semuanya tidak disiplin maka proyeksi bulan ini akan meleset, absensi sales kalian ke outlet juga saya perhatikan acak-acakan. Lantas bagaimana kalau bukan berikutnya kita akan perkenalkan produk baru di distributor dan mitra?” Vina memampangkan tabel pivot dari beberapa leader sales yang masih belum mencapai target areanya
“ECU-nya mati. Jadi mesin tidak bisa dinyalakan. Sehingga saya menumpang mobil teman perempuan saya untuk pulang, dan motor saya tinggal.”Untuk kedua kalinya Wira menjabarkan alasannya meninggalkan motor di parkiran Tropico, klab malam sekaligus sasana MMA amatir, malam itu. Ia menahan dongkol dengan bersandar pada kursi lipatnya karena si pendengar sepertinya budeg atau memang pandir.“Bukankah tadi anda bilang mesinnya baik-baik saja? Lantas kenapa ECU tidak menyala?”Entah polisi gaek yang mengetik dengan sebelas jari dan rokok terselip ini berusaha menyelidik atau memang dasarnya bebal, Wira lebih yakin alasan kedua sebetulnya.“ECU-nya…” Wira menarik napas lagi. “ECU yang mengatur sinyal kelistrikan usupaya ketika mesin dinyalakan, ada pembakaran untuk kompresi karena motor saya sistem injeksi.”“Seperti belasan motor dan mobil mereka juga di ruangan ini. Atau jutaan orang lainnya d
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec
Malam Hari. Waktu Pertarungan yang disepakati. Untuk kesekian kalinya, Mario tercemplung ke dalam lubang yang sama. Wira yang gemas, menepuk pahanya sendiri. Padahal sudah disusun rencana matang untuk melewati ‘stage’ ini secepat mungkin, akan tetapi hingga ponselnya menghangat, ia masih mentok di tempat yang sama. “Kura-kura reseh,” keluhnya. Tidak yakin apakah masih sempat mencoba lagi atau harus berkesudahan. Ia menguap sekali dan melirik jam di sudut ponsel. Sudah 10 menit lewat tengah malam dan mereka belum datang, ia mulai berpikir apakah alamatnya kurang jelas. Orang Jepang terkenal dengan disiplin waktu, paling tidak, Watari yang ia kenal akrab mengamini hal itu seketat iman. Sengaja dipilih komplek apartemen yang mangkrak di bangun ini sebagai tempat bertemu. Di sini, mereka bebas. Sekali lagi ia menguap panjang dan lama. Semenjak Erhan muncul tempo hari, serentetan kejadian yang mengekor sudah banyak mencuri waktu ti
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya