“ECU-nya mati. Jadi mesin tidak bisa dinyalakan. Sehingga saya menumpang mobil teman perempuan saya untuk pulang, dan motor saya tinggal.”
Untuk kedua kalinya Wira menjabarkan alasannya meninggalkan motor di parkiran Tropico, klab malam sekaligus sasana MMA amatir, malam itu. Ia menahan dongkol dengan bersandar pada kursi lipatnya karena si pendengar sepertinya budeg atau memang pandir.
“Bukankah tadi anda bilang mesinnya baik-baik saja? Lantas kenapa ECU tidak menyala?”
Entah polisi gaek yang mengetik dengan sebelas jari dan rokok terselip ini berusaha menyelidik atau memang dasarnya bebal, Wira lebih yakin alasan kedua sebetulnya.
“ECU-nya…” Wira menarik napas lagi. “ECU yang mengatur sinyal kelistrikan usupaya ketika mesin dinyalakan, ada pembakaran untuk kompresi karena motor saya sistem injeksi.”
“Seperti belasan motor dan mobil mereka juga di ruangan ini. Atau jutaan orang lainnya d
“Senin besok lo naik Ojol aja ya, kayaknya nggak bisa mendadak jemput lo juga kayak sore ini.” Audrey tiba-tiba berujar di tengah suasana hangat warung tenda nasi goreng pinggir jalan malam itu.“Ya gue juga nggak mungkin minta jemput terus. Mulai sibuk sama perkuliahan lagi? Apa banyak job?” Wira bertanya seraya menumpuk nasi gorengnya pada sepotong kerupuk mungil.“Gue dapet tawaran iklan dan peran pembantu gitu dari kenalan gue. FTV sih, tapi langkah awal bukan?” ujar Audrey dengan bangga.Wira sejenak memproses informasi ini sekaligus suapan nasi goreng di kerupuknya bersamaan. Ia tentu saja senang mendengarnya, Audrey sudah sejak lama mengejar mimpi ini dengan mengorbankan kuliahnya, sejak mereka saling kenal bertahun-tahun silam bahkan.“Kenalan apa kenalan tuh?” seloroh Wira. Lanjut mengosongkan sepiring Nasi Gorengnya.“Kenalan … ya tapi kalau dia ngarep gue jadi sugar babyn
Bagi seonggok tubuh yang penat, segalanya dapat berubah sandaran yang nyaman. Sekedar bantalan punggung tempat duduk di gerbong kereta komuter pun seolah bantalan mahal milik hotel bintang lima yang empuk. Seperti biasa, kereta terakhir dari stasiun ini tidak akan pernah berjejal oelh penumpang, gerbong tempat Wira bercokol hanya terdapat dirinya, beberapa orang lagi menempati rangkaian yang lain. Kontras dengan keadaan beberapa jam kedepan ketika berangkat di jam subuh dari stasiun pertama. Orang-orang perlu berdesakan sekedar untuk mendapatkan tempat bergelantungan saja. Untuk saat ini kesunyian gerbang kereta terakhir itu bisa dimonopolinya sendiri. Kalau bisa dikangkanginya dengan menutup kedua pintu sekat gerbong. Hanya saja ia masih cukup waras untuk tidak dilarang seumur hidup menaiki KRL, atau pentung dan dipaksa turun akibat meresahkan publik. Fuck! Ia mendesah pendek, hela napas beratnya mengkonfirmasi kelelahan yang merundungi badan. Meskipun untuk
Si Ninja yang masih samar wujudnya itu berusaha bertahan melawan serangkaian tebasan yang Wira lancarkan dengan sebelah tangan. Dengan sabitnya ia mati-matian membendung silih berganti tebasan Murakumo yang menyergap dalam kegelapan, sebelum akhirnya terpaksa mundur oleh keadaan. Kalah taktik.Si Ninja sadar senjatanya bukan dimaksudkan untuk bertarung dengan cara demikian. Ia melenting dan bersalto ke belakang sekaligus melepaskan serangkaian shuriken lagi untuk memutus langkah pengejarnya.Wira cukup mengibaskan sekali saja pedangnya dan sekumpulan senjata lempar itu kembali bergemerincing tumpah di aspal. Namun, ia tidak bermaksud membiarkan lawannya bernapas lega, atau kembali menyusun siasat.Segera setelah menyarungkan Murakumo, ia merunduk serendahnya, lalu menerjang dengan derap langkah bermandi petir kebiruan yang meminjaminya kecepatan dewa. Matanya berkilatan.Sang Ninja sontak terkejut merasakan ledakan energi Simulakrum dari arah Wira meski b
Matahari sudah mulai menukik tajam ketika Wira akhirnya bisa meregangkan bahunya yang kaku. Printer yang merengek-rengek minta dikasihani seringkali kalah riuh dengan kelutukan lusinan papan ketik yang saling menyahut. Kebisingan harian itu kembali menyusup ke telinga Wira setelah lama dipinggirkannya dari benak.Ia melirik tumpukan kertas di meja Syarifah yang semenjak kemarin masih menggunung timpang. Sisi yang berisi formulir yang telah diverifikasi masih terlalu kerdil jika disejajarkan dengan tumpukan yang menunggu giliran.Serupa menyedihkannya dengan kondisi pada mejanya sendiri, sang kuncen gunung formulir order bulan kemarin.Ketika OB menggotong kardus-kardus berisi bundelan kertas itu dari gudang arsip, lalu menumpahkan sebagian isinya pada meja dan lantai di sisi mejanya. Wira hampir menyumpahi gunungan kertas yang mesti direkapnya itu sekasar Sun Go Kong memaki-maki seisi nirwana oleh karena digencet gunung akibat kelancangannya.Jelas sekali
Prit … …! Prit … …!Tukang Parkir ceking itu sigap memberi aba-aba, gayanya tak kalah canggih bak kru landasan pesawat terbang yang tengah memandu Jet Komersil merayap dari Hangar menuju landasan pacu. Bedanya hanya pada sekedar rompi yang dikenakan, bukan berlogo Angkasa Pura, melainkan Dishub yang itupun sudah pudar mengelupas di banyak tempat.Wira mengikuti arahannya hingga parkir sempurna di pelataran Pasar Jatinegara. “Udah lama banget lo nggak keliatan, Bang Wira. Sudah jadi bos lu ye?” tegur si Juru Parkir.Wira menyampirkan helm-nya dan menyambut jabat erat yang terulur.“Bisa aje lo. Yang ada sekarang gue di kantor, bikin kopi buat bos,” balasnya.Pasar yang umurnya lebih dari seratus tahun itu masih tetap ramai kendati hari sudah beranjak sore. Masih ramai komplek pertokoan yang buka, terutama toko-toko besar dan toko Obat Tradisional Cina yang terwariskan banyak generasi.
“Mereka berasal dari Klan Manji, berdasarkan penulusuran terhadap foto yang kau kirimkan, shuriken dan topeng Oni yang bermotif tak lazim itu milik mereka,” ungkap lelaki di seberang telepon dengan logat Kansai yang tebal. “Aku tahu ini terdengar tak lazim, tetapi seperti halnya Mafioso, Triad, atau Yakuza yang tidak lekang oleh jaman, begitu pula Klan Manji.” Suara yang jernih serta penuh warna nada itu melanjutkan cerita. “Dan?” Wira menagih sisanya. “Dan semenjak jaman Sengoku, klan Manji dikenal sebagai keluarga Ninja seklusif yang jasanya biasa disewa untuk melakukan apapun, termasuk membunuh. Sehingga tak aneh kalau mereka tidak populer, hanya beberapa orang sepanjang sejarah sepak terjang yang pernah menceritakan tentang keberadaan Klan Manji, dari situlah informasi ini bersumber. ” “Karena kebanyakan yang berjumpa dengan mereka pasti — sebentar, biar kutebak. Ehm, mati?” “Tepat sekali.” “Wah-wah, senang mengetahui kalau aku seb
Wira paling gerah jikalau Watari memanggil demikian. Obocchama, atau Bocchama sejatinya adalah panggilan untuk tuan muda keluarga aristokratik berkiblat kebaratan yang tajir melintir dalam bahasa Jepang. Umumnya digunakan oleh pelayan rumah atau Butler mereka, semacam Watari. Hanya saja di telinga Wira lebih terdengar sebagai ‘Bocah’ ketimbang makna lainnya. Utamanya karena dahulu Watari sering memanggilnya demikian jika Wira dirasanya terlalu kekanakan, atau lembek ketika berlatih dengan gurunya, semacam sindiran sekaligus teguran. Sepeninggal gurunya mangkat, panggilan itu menjadi resmi karena statusnya sebagai ahli waris di mata hukum. Kepala keluarga Iskandar sejatinya hanya ada seorang saja, yaitu gurunya. Sebagaimana dirinya kini. Acapkali perkara ini mencuat, baginya seolah mengingatkan kepada segala hal yang ia enggan maklumi mengenai kehidupan sang guru. Soal takdir sebagai Aeternum. Soal pertarungan konyol yang ia mesti jalani, meski sejauh ini berh
Dinding bangunan yang urung rampung itu kian bopeng serupa hamparan wajah rembulan acapkali pecah diletup batang-batang kunai — pisau lempar bergagang silindris yang terbang menancap lalu meletus bak granat muncrat, lantang kendati luput menggapai sasaran utama, seorang lelaki bermandikan riak petir membiru yang ringan berlari mempecundangi.Lelaki berkemeja setengah kusut mengedarkan kerlingan kepada musuhnya, lalu kepada ancaman yang dilepas kepadanya, senyum miring tercetak teriring detap langkah sedang lanskap di balik punggung seperti bertih dirundung mercon, dunia baginya tengah berkisar dalam kala yang lambat.Sepasang yang terakhir meledak lebih lantap ketimbang yang lain, meski percuma saja, lagi-lagi Wira sudah minggat menumpang petir kebiruan. Akan tetapi seolah memiliki kantong tak berdasar, sosok Ninja yang trengginas melontarkan kunai granat itu sekarang ganti menghamburkan setangkupan shuriken —senjata lempar berbentuk bintang dalam tiap tari
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec
Malam Hari. Waktu Pertarungan yang disepakati. Untuk kesekian kalinya, Mario tercemplung ke dalam lubang yang sama. Wira yang gemas, menepuk pahanya sendiri. Padahal sudah disusun rencana matang untuk melewati ‘stage’ ini secepat mungkin, akan tetapi hingga ponselnya menghangat, ia masih mentok di tempat yang sama. “Kura-kura reseh,” keluhnya. Tidak yakin apakah masih sempat mencoba lagi atau harus berkesudahan. Ia menguap sekali dan melirik jam di sudut ponsel. Sudah 10 menit lewat tengah malam dan mereka belum datang, ia mulai berpikir apakah alamatnya kurang jelas. Orang Jepang terkenal dengan disiplin waktu, paling tidak, Watari yang ia kenal akrab mengamini hal itu seketat iman. Sengaja dipilih komplek apartemen yang mangkrak di bangun ini sebagai tempat bertemu. Di sini, mereka bebas. Sekali lagi ia menguap panjang dan lama. Semenjak Erhan muncul tempo hari, serentetan kejadian yang mengekor sudah banyak mencuri waktu ti
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya