“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.
“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.
“Kenapa?” Wira mengejar.
“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Menteng Dalam. 2008. Takdir dan kematian tak ubahnya sahabat karib bagi kehidupan manusia yang semata wayang. Sesuatu yang pasti menjelangi. Sebuah keniscayaan. Hanya perkara kapan dan di mana. Tak terkecuali bagi Aryo Yuda Iskandar yang telah lama mengenyam keabadiaan. Selama ratusan tahun dia tidak pernah menempatkan kematian dalam tampuk musuhnya, Aryo sejak lama merendahkan egonya terhadap kepastian ini. Malahan, petang ini, dirinya justru menyambut hadirnya kematian seolah sekadar kawan lama yang menjemput. Dia sudah siap untuk dijemput pulang kendatipun kepadanya Aryo meminta untuk menunggu barang sejenak di selasar depan. Bagi segelintir koleganya, Aryo tak lebih sekadar pengusaha muda berusia pertengahan 30 tahun. Orang akan menyebutnya mati muda setelah petang ini bergulir. Akan tetapi, bagi penuai nyawa yang kian gelisah menunggu, Aryo sudah terlalu lama mencurangi jatah umurnya, atau umur kebanyakan manusia. Satu dari sekian banyak sepertin
Sebelas Tahun Kemudian.Jakarta, 2020.Wira sudah berdosa besar pada Lovina Adnan Yusuf. Pastilah demikian alasan mengapa perempuan muda itu memekik histeris seperti habis dibegal sepagi ini.Sejilid laporan dibantingnya sekuat tenaga ke meja Wira, di hadapan lelaki itu, di depan semua orang.Budi yang bersebelahan meja dengan Wira nyaris melompat karena kaget, tumbler di meja Wira juga melompat kendati sempat digapai empunya. Celotehan karyawan lain di ruangan pun padam seketika, terkecuali derit printer dari meja Finance dan Akunting.“Lo periksa lagi nggak sih bagian proposal yang lo kerjakan dan rencananya dipresentasikan hari ini! Kenapa berantakan begini?” pekik Vina. Murka semurkanya.“Ada masalah apa Bu?” Wira mencoba tenang menghadapi badai yang hadir tanpa mendung.Jemarinya menelusuri salinan lembar demi lembar halaman proposal yang menyita
Brak! Kanvas bergetar kembali. Petarung sudut biru berhasil merobohkan lawannya dengan teknik Brazilian Jiu-jitsu yang solid, menindihnya dalam kondisi Ground and Pound. Penonton kembali meledak. Petarung sudut merah yang lebih kurus mati-matian melindungi kepalanya dari hujan pukulan yang mendera. Beberapa kali upayanya untuk lepas meloloskan diri tidak membuahkan hasil. Sorak sorai kian membahana. Wasit mendekat. Keduanya memang sudah beberapa kali terbanting lalu saling kunci pada menit ketiga, saling hantam siku, berusaha saling menyudahi perlawanan rival-nya. Kedua kru masing-masing petarung makin lantang jua menyeru-nyeru memberi arahan dari sudut mereka. Wira menikmati jalannya ini pertarungan dari bangku lipat yang tidak jauh letaknya dari gelanggang. Tepat di belakang sepasang Ring Girl berpakaian seksi yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing. Ia menikmati sensasi menghilang di
“Aku hormati pilihanmu.” Erhan menyeringai sebelum membuka serangan.Diawali dengan guntingan horizontal dari kedua sisi, Erhan melanjutkan dengan kombinasi gerak berputar lalu sabetan yang silang menyilang dari kedua Khopesh. Gesit dan bertenaga, langsung menyasar dada dan leher Wira.Gemerincing suara berdenting melatari bilah senjata milik keduanya yang saling bentur tatkala tempo pertarungan kian meningkat drastis, layaknya paron yang ditempa berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Erhan terus melepaskan serangannya bak penari yang luwes.Sedangkan Wira berusaha mengukur lawannya lebih dulu, kebanyakan dengan elakkan dan blok atau menangkis sebelah tangan. Dalam hati ia menggerutu karena harus tetap memegang serangka pedangnya di tangan kiri.Tak dinyana, perhatian yang sejenak teralih membuka ruang dalam pertahanannya. Tahu-tahu Khopesh milik Erhan sudah mengunci Katana Wira dalam guntingan erat, dan memilinnya terbalik.
Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tun
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec
Malam Hari. Waktu Pertarungan yang disepakati. Untuk kesekian kalinya, Mario tercemplung ke dalam lubang yang sama. Wira yang gemas, menepuk pahanya sendiri. Padahal sudah disusun rencana matang untuk melewati ‘stage’ ini secepat mungkin, akan tetapi hingga ponselnya menghangat, ia masih mentok di tempat yang sama. “Kura-kura reseh,” keluhnya. Tidak yakin apakah masih sempat mencoba lagi atau harus berkesudahan. Ia menguap sekali dan melirik jam di sudut ponsel. Sudah 10 menit lewat tengah malam dan mereka belum datang, ia mulai berpikir apakah alamatnya kurang jelas. Orang Jepang terkenal dengan disiplin waktu, paling tidak, Watari yang ia kenal akrab mengamini hal itu seketat iman. Sengaja dipilih komplek apartemen yang mangkrak di bangun ini sebagai tempat bertemu. Di sini, mereka bebas. Sekali lagi ia menguap panjang dan lama. Semenjak Erhan muncul tempo hari, serentetan kejadian yang mengekor sudah banyak mencuri waktu ti
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya