Sebelas Tahun Kemudian. Jakarta, 2020.
Wira sudah berdosa besar pada Lovina Adnan Yusuf. Pastilah demikian alasan mengapa perempuan muda itu memekik histeris seperti habis dibegal sepagi ini.
Sejilid laporan dibantingnya sekuat tenaga ke meja Wira, di hadapan lelaki itu, di depan semua orang.
Budi yang bersebelahan meja dengan Wira nyaris melompat karena kaget, tumbler di meja Wira juga melompat kendati sempat digapai empunya. Celotehan karyawan lain di ruangan pun padam seketika, terkecuali derit printer dari meja Finance dan Akunting.
“Lo periksa lagi nggak sih bagian proposal yang lo kerjakan dan rencananya dipresentasikan hari ini! Kenapa berantakan begini?” pekik Vina. Murka semurkanya.
“Ada masalah apa Bu?” Wira mencoba tenang menghadapi badai yang hadir tanpa mendung.
Jemarinya menelusuri salinan lembar demi lembar halaman proposal yang menyita waktu tidurnya untuk dirampungkan tersebut.
“Coba aja lo periksa sendiri. Typo-Error di sana-sini. Angkanya kebolak-balik! Grafik yang lo bikin sama sekali nggak nyambung dengan pemaparan gue dan Dimas, bukannya sewaktu brainstorming kemarin lo bilang udah nyambung bagian apa yang lo mesti olah!”
Perempuan muda itu berkacak pinggang, dadanya kembang kempis menahan amuk. Seandainya mungkin, matanya yang terbingkai kacamata ramping itu pasti sudah menyorotkan sepasang sinar laser ke lelaki di depannya.
Karyawan yang lain menjadi rikuh karena kegaduhan ini, sedangkan Wira cuma bisa menelan ludah mendapati dirinyalah memang pangkal masalahnya. Kerjaan hasil lemburnya berantakan.
Mampuslah gue, batinnya.
Seketika ulu hatinya terasa terjotos, terasa ingin memuntahkan sarapannya tadi pagi, kendati dia pun tidak ingat lagi apakah ia sempat sarapan tadi pagi. Jangan-jangan sepagian ia memang hanya makan angin sehingga sekarang mendadak mual.
Vina yang berusia tiga tahun lebih muda sekaligus juga atasannya itu setengah mati mengatur ritme napas.
“Kamu paham nggak malunya saya dan Pak Hadi di dalam sana? Apa yang saya paparkan berantakan ketika mengacu ke laporan kamu. Seolah kinerja Omni itu omong kosong semua!” kendati bahasanya kembali formal, tetapi marahnya belum tuntas.
Seperti bom waktu yang hendak meledak. Wajahnya memerah, separuhnya karena malu presentasinya barusan berantakan, sebagian lagi karena kesal yang bukan buatan.
“Kamu ini senior kok bodoh sekali!?” Vina terlihat kalap di tahap ini. Wira tertegun, menelan pahit ucapan dari Vina.
“Saya mohon maaf, Bu.”
Budi seolah tidak percaya perihal yang didengarnya barusan, begitu pula dengan penghuni kantor yang lain, sembunyi-sembunyi melirik dari balik layar komputer mereka.
Tahan emosimu Wira, jangan terbawa emosi, kata suara dalam diri Wira.
“Baiklah saya akan segera revisi kilat dan fotocopy ulang Bu Vina,” Wira akhirnya berani menatap mata tersulut amarah itu.
“Oh, Please. Terus semua orang di dalam harus nungguin kamu selesai gitu? Setelah segalanya berantakan seperti ini?”
“Lantas sebaiknya saya bagaimana, Bu Vina?”
“Kamu pikir sendiri saja!” Vina menegangkan rahangnya. Matanya berkeliling ruangan merazia sorot-sorot mata yang penasaran menontonnya. “Seisi kantor selalu berpikir kamu lebih cerdas dari saya bukan? Buktikan kalau begitu!”
Wira semakin serba salah, otaknya berputar keras mencari solusi kilat, sayangnya buntu.
Keduanya terdiam canggung, Wira yang bingung harus bagaimana, dan Vina yang tak tahu harus bagaimana menangguhkan kekesalannya. Hingga kebuntuan itu pecah oleh suara ponsel Wira yang bergetar lirih oleh rentetan pesan yang masuk.
Vina akhirnya menyerah, ia terpaksa beranjak dari meja Wira dengan raut wajah frustasi dan kecewa, tergambar dari kerasnya suara bantingan pintu Toilet di pojok ruangan ketika ia masuk.
“Anjrit banget!” umpatnya sebelum hilang ke dalam Toilet.
Wira mengurut dada. Seisi ruangan seperti ikut menarik napas lega bersamaan dan mulai berisik kembali.
***
“Jangan diambil hati Bos, lagi sensi kayaknya tuh anak.” Budi yang bersebelahan meja dengannya berujar. “Eh, kemana tuh bocah?”Lain halnya dengan Wira yang terduduk tanpa gairah. Padahal, lelah kantuk dan upaya begadangnya demi menyelesaikan proposal tadi bahkan masih urung tertawar, segalanya justru malah bubar di tangannya sendiri.
“Toilet kayaknya. Santai kok gue, bro. Ya memang gue juga salah, Bud.” Wira berkata pelan, sebelah tangannya membuka kunci ponsel dan membalas pesan yang masuk.
“Tapi nggak perlu dibikin ala Drama Korea juga kan,” celoteh Budi tanpa beralih dari layar monitornya sedikitpun.
Wira mengangkat bahu. Menelan sakit hatinya sendiri. Ini bukan yang pertama kali Vina mengomelinya di depan umum, sudah terlalu sering malah, perempuan muda itu memang terkenal frontal dan tidak pandang bulu.
“Jabatan memang cenderung bikin seorang lupa diri ya. Lagian si Vina ‘kan sekarang atasan lo, ya kudunya dia yang cek lah gawean lo. Jangan modal mejeng aja tuh anak.”
Hati Wira mencelos dalam diam, sebetulnya Budi berusaha menghibur, akan tetapi ini justru membuka luka lama pada Wira.
Empat tahun yang lalu, Wira adalah Manajer Marketing di perusahaan distribusi ini. Diangkat setahun sebelumnya pada tahun kerja ketujuh, atas prestasi yang ditorehkan selama mengabdi. Wira telah bekerja di sini sebagai Sales Lapangan semenjak lulus SMU.
Waktu itu, Omni Wahana Niaga bukanlah perusahaan distribusi yang besar layaknya hari ini kendati sudah berkecimpung semenjak awal 90-an. Wira beruntung dapat belajar langsung dari Pak Hadi dan Bu Merry, pendiri perusahaan ini mengenai seluk-beluk pemasaran produk Kosmetik.
Wira kendati hanyalah tamatan SMU, ternyata memiliki bakat berjualan yang baik serta analisa yang tajam. Ia merasakan bergerilya dari toko ke toko, membelah pasar becek, hingga membabat hutan alias ekspansi bisnis bersama Omni.
Perlahan posisinya meningkat sejalan dengan performa kerjanya, serta pertumbuhan perusahaan yang pesat. Malangnya, ketika ia mulai menapaki buah jerih payah itu, kehidupan mengujinya dengan tantangan baru.
Fitnah dan Demosi, komoditas klasik yang berseliweran liar dalam hiruk-pikuk karyawan swasta.
“Sudah tahu mendadak … tamunya penting … calon pemodal… eh, dia malah sempet ngedugem ke Tangsel semalam.”
Mendengar celotehan barusan, Wira seketika menoleh dengan raut tanya ‘siapa?’ di wajahnya.
Sedangkan mata Budi tetap tidak beranjak dari layar monitor dan tidak menjawab, hanya mulutnya saja mengulas senyum.
***
Pintu ruangan rapat mengayun terbuka, kali ini Dimas si Manajer Marketing Jabodetabek yang melangkah keluar. Junior yang kemudian menempati bekas posisinya itu Kelihatan kebingungan.
Wira tahu dirinya lah yang hendak dituju, tiga tahun lebih mengenal juniornya ini di kantor adalah cukup bagi Wira untuk hapal basa-basinya yang khas.
“Nyariin lo tuh,” celetuk Budi.
Benar saja, setelah sejenak Dimas segera beranjak ke mejanya dengan setengah tersenyum. Palsu tentu saja, senyum formalitas seorang Sales.
“Bang Wira, Vina tadi kemana ya?”
“Kayaknya ke Toilet barusan, kenapa Dim?”
Dimas tampak berusaha menyusun kalimat di benaknya, sebelum kemudian berani membuka mulut. “Anu Bang Wira, kayaknya data yang diolah kebolak-balik, jadinya nggak nyambung sama Perencanaan Bisnis yang Vina susun, ujungnya rancu juga sama Plan yang gue paparin.”
‘Plan yang gue paparin’, sialan pikir Wira. Ia tertawa getir mendengarnya.
Plan yang Dimas susun padahal gubahan dari Template yang dulu Wira kembangkan berdasarkan estafet jabatan dari Manajer sebelumnya. Profil klien hingga lahan pembangunan Depot pun blueprint-nya milik Wira.
“Tipografinya memang lumayan fatal, tapi kalkulasi data dan pertumbuhan ordernya aktual, masalahnya memang gue salah narik data sewaktu generate diagram.” Wira menjelaskan dengan mencoreti salinan yang Vina tinggalkan.
“Jadi semua potensi yang kalian paparkan itu masih valid, semua kalkulasi hingga ke keperluan manpower lo juga nggak perlu berubah.”
Dimas segera bergeser ke sisinya demi menyimak seksama, Budi hanya geleng-geleng kepala di meja sebelah.
“Jadi baiknya gimana nih, Bang?” Dimas kembali bertanya. “Di dalem lagi Coffee Break sih, tapi Pak Hadi sudah gerah aja dari tadi karena paparan rancu semuanya.”
Wira menghela napasnya. Ah, shit! Here we go again, pikirnya.
“Jelasin kalau semua kerancuan murni Tipografi, sehingga pertumbuhan di Jawa Tengah menuju Jawa Timur itu aktual. Lo Screenshot artikel media yang isinya tentang ekspansi kita selama setahun terakhir, kayak waktu Pak Hadi meresmikan Depot dan kerjasama dengan Merk Lokal bersama Gubernur Jateng kemarin, untuk contoh kongkrit. Terakhir disambungin lagi sama Business Plan-nya Vina.”
Dimas meraih ponsel dan sigap mencatat segala yang Wira kemukakan. Vina yang telah selesai dari kegiatannya di Toilet, nampak keheranan melihat keberadaan Dimas di meja Wira.
“Lo ngapain keluar, yang di dalem lo tinggalin?” Vina mengejar Dimas dengan tanya menyelidik.
“Lagi ngopi. Sudah aman, gue juga nyariin lo, diminta Pak Hadi.”
Vina masih sempat mencari Wira di mejanya melalui sudut mata, rasa kesalnya seolah belum sepenuhnya padam kendati cukup lama menghabiskan waktu di Toilet. Cukup untuk memperbaharui riasannya malah.
Akhirnya Vina menurut saja mengikuti Dimas kembali menuju ruangan rapat, keduanya sayup-sayup terdengar bertukar pendapat soal bagaimana memitigasi masalah kerancuan presentasi mereka.
“Gue lihat dari data sih, Jawa Tengah dan Timur itu aktual, masalah Tipografi aja. Jadi gue ada ide nih Vin. Gimana kalau kita jelaskan ulang dan sebagai buktinya kita pakai eksposure perusahaan kita di media massa__”
Celotehan Dimas yang fasih memparafrase ucapan Wira barusan kemudian lenyap bersamaan dengan pintu ruangan yang mengayun tertutup. Api yang tersekam dalam dada Wira mulai meruam, dirinya menatap hampa daun pintu kaca yang tebal itu.
***
Bugh!
Wasit memberi aba-aba memulai dan kedua petarung saling menyentuhkan sarung tinju mereka. Penonton berdiri bersorak mengiringi jual beli pukulan yang segera berlangsung, meneriakan dukungan moril, setengahnya suruhan, untuk bagaimana jawara yang mereka dukung harus berlaga.
Dalam semenit saja, persabungan kedua manusia itu sudah mengganas. Darah bercampur peluh mulai tercecer di kanvas ring bersudut delapan itu.
Petarung dari sudut merah cukup lincah dengan moda serangan teleskopik-nya, terus menjaga jarak, tendangannya akurat, kecepatannya solid. Ciri khas petarung dengan gaya Muay-Thai kental.
Akan tetapi petarung sudut biru memiliki ketahanan fisik yang kuat, pelipisnya lebih dulu tergurat, meski demikian fokusnya masih kokoh. Hantaman Spinning Backhand-nya sempat membuat teleng si merah yang giras.
Wira menyoroti maju mundur langkah keduanya yang harmonis layaknya sepasang penari. Apabila satu sisi berinisiatif agresif, maka sisi lainnya akan mundur mengimbangi.
Koreografi alamiah ini membangkitkan memori akan dirinya sendiri bertahun-tahun silam. Maju mundur langkahnya di tanah tanpa alas kaki, mengimbangi gerak terukur mendiang gurunya.
***
Brak! Kanvas bergetar kembali. Petarung sudut biru berhasil merobohkan lawannya dengan teknik Brazilian Jiu-jitsu yang solid, menindihnya dalam kondisi Ground and Pound. Penonton kembali meledak. Petarung sudut merah yang lebih kurus mati-matian melindungi kepalanya dari hujan pukulan yang mendera. Beberapa kali upayanya untuk lepas meloloskan diri tidak membuahkan hasil. Sorak sorai kian membahana. Wasit mendekat. Keduanya memang sudah beberapa kali terbanting lalu saling kunci pada menit ketiga, saling hantam siku, berusaha saling menyudahi perlawanan rival-nya. Kedua kru masing-masing petarung makin lantang jua menyeru-nyeru memberi arahan dari sudut mereka. Wira menikmati jalannya ini pertarungan dari bangku lipat yang tidak jauh letaknya dari gelanggang. Tepat di belakang sepasang Ring Girl berpakaian seksi yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing. Ia menikmati sensasi menghilang di
“Aku hormati pilihanmu.” Erhan menyeringai sebelum membuka serangan.Diawali dengan guntingan horizontal dari kedua sisi, Erhan melanjutkan dengan kombinasi gerak berputar lalu sabetan yang silang menyilang dari kedua Khopesh. Gesit dan bertenaga, langsung menyasar dada dan leher Wira.Gemerincing suara berdenting melatari bilah senjata milik keduanya yang saling bentur tatkala tempo pertarungan kian meningkat drastis, layaknya paron yang ditempa berulang-ulang dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Erhan terus melepaskan serangannya bak penari yang luwes.Sedangkan Wira berusaha mengukur lawannya lebih dulu, kebanyakan dengan elakkan dan blok atau menangkis sebelah tangan. Dalam hati ia menggerutu karena harus tetap memegang serangka pedangnya di tangan kiri.Tak dinyana, perhatian yang sejenak teralih membuka ruang dalam pertahanannya. Tahu-tahu Khopesh milik Erhan sudah mengunci Katana Wira dalam guntingan erat, dan memilinnya terbalik.
Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tun
Wira sudah menduga kalau Erhan akan kembali berteleportasi untuk menghabisinya, ia hanya tidak bisa menebak dari arah mana Erhan akan menyergap. Sehingga ia pun berjudi kembali dengan keputusannya. Bertaruh pada pendengaran, kecepatan refleks tubuh, dan sedikit dorongan kecepatan kilat yang sengaja dihimpun. Sehingga ketika Erhan menyergap dari balik punggungnya, meski harus sedikit terpaksa memutar badan, ia sudah siap. Kilat selalu memukau dan mengejutkan, meski sebetulnya yang membuat bergidik adalah yang menyusul setelahnya. Petir. Mitosnya, Petir tidak pernah menyambar titik yang sama untuk kedua kalinya. Faktanya, Petir bisa, dan bahkan seringkali menyambar titik yang sama berulang kali. Dan malam ini, Petir yang dilepaskan oleh Wira sedetik pasca pedangnya tercabut, menyambar Erhan tiga kali berturut-turut. Sambaran pertama, terlontar bersama ayunan katana yang serta-merta menetralisir hujaman sepasang Khopesh-nya. Ia tercengang, senjat
Wira membaur dengan keramaian yang berduyun-duyun keluar meninggalkan Klab dan Gelanggang, bergabung dengan pengunjung Karaoke di sekitar mereka dengan dipandu oleh Sekuriti bermodal senter dan lampu LED darurat. Jalanan di hadapan mereka gelap gulita.Lampu lalu-lintas dan penerangan juga padam.Sirine mulai terdengar dari sayup-sayup dari kejauhan. Dalam sekejap, ratusan orang terdampar di sudut metropolitan sebesar Jakarta di tengah gelap gulita. Puluhan dari mereka gagal menyalakan motor dan mobil yang terparkir, terutama tipe terbaru dengan dukungan komputasi.Mereka yang tidak mampu mengganti kendaraan dengan keluaran terbaru justru yang tergolong beruntung. Mereka lebih dulu meninggalkan lokasi sementara ratusan yang lain kebingungan. Tapi, bukan itu yang utama dalam benak Wira.Ia seperti halnya yang lain, bermaksud untuk segera meninggalkan tempat ini, tetapi yang pertama ia perlu menjemput ranselnya dulu. Untuk sesaat ia berusaha mencari keberad
Aerternum, demikian mereka menyebut kaum mereka sendiri, atau paling tidak begitu yang Wira ketahui berdasarkan cerita mendiang gurunya. Aeternum secara sederhananya adalah kumpulan manusia kekal yang sudah ada entah sejak kapan, mungkin ratusan atau ribuan tahun yang silam, dengan satu tujuan hidup utama yang mengikat mereka. Turnamen Agung. Mereka adalah manusia yang menggemari pengetahuan, segala jenis dan tentu saja pengetahuan tentang cara menghabisi satu sama lain dengan efektif. Apakah tujuan dan hadiah kemenangan dari Turnamen Agung ini? Wira tidak tahu, karena gurunya pun tidak tahu, segalanya simpang siur. Hanya satu hal yang Wira tahu, Aeternum yang terakhir hidup yang akhirnya akan dapat menyingkap misteri ini. Demikianlah, takdir mereka untuk saling membinasakan satu sama lain digelar. Dan kini, Wira ikut terseret dalam benang kusut ini juga. Gurunya percaya, berdasarkan Aeternum lain yang pernah ia jumpai, bahwa pemenang terakhir
Jadi, Wira masih penasaran dengan lukanya sendiri. Ia meneliti perban di punggung dan yang sekujur lengannya pada pantulan cermin wastafel. Digerakkan juga sendi bahunya, masih sedikit terasa perih di balik perban yang membuatnya meringis. “Anjir!” umpatnya lirih. Semalam adalah peralunan terbesar setelah sekian lama ia menghindari konflik dengan sesama Aeter. Terakhir kali ia merasakan gejolak kekuatan yang sama besarnya seperti semalam adalah sepuluh tahun silam. Kesadaran yang membaling ini seolah menggambarkan betapa kemenangannya semalam sungguh tipis. Ia berharap yang terjadi semalam itu tidak perlu dialaminya kembali, tetapi ia juga sadar harapannya yang barusan itu konyol. Dinyalakannya keran air dan beberapa kali diraupnya banyak-banyak tangkupan air dingin. Rasanya tubuhnya sudah jauh lebih baik ketimbang semalam, kecuali sedikit nanar oleh pusing yang masih menggelayut. Ia bahkan tidak ingat apa-apa kecuali aroma parfum mobil Audrey
Wira tiba dikantornya tepat waktu jam makan siang, sudah berganti pakaian dan diantar oleh Audrey. Hari ini ia izin setengah hari, tetapi ia tidak yakin kalau izinnya diterima karena Vina hanya sekedar membaca pesannya. Dan tebakannya sesuai, singa betina itu masih saja galak ketika sesi rapat berlanjut selepas waktu ishoma. Wira duduk mengambil tempat agak di belakang rombongan leader sales yang hari ini dipanggil semuanya. Entah ini sekedar perasaannya atau bukan, satu-persatu orang yang duduk di dekatnya ditembaki oleh Vina perihal target yang masih belum tercapai. Kecuali dirinya yang sekarang tidak lebih seorang clerk. “Kalau semuanya tidak disiplin maka proyeksi bulan ini akan meleset, absensi sales kalian ke outlet juga saya perhatikan acak-acakan. Lantas bagaimana kalau bukan berikutnya kita akan perkenalkan produk baru di distributor dan mitra?” Vina memampangkan tabel pivot dari beberapa leader sales yang masih belum mencapai target areanya
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec
Malam Hari. Waktu Pertarungan yang disepakati. Untuk kesekian kalinya, Mario tercemplung ke dalam lubang yang sama. Wira yang gemas, menepuk pahanya sendiri. Padahal sudah disusun rencana matang untuk melewati ‘stage’ ini secepat mungkin, akan tetapi hingga ponselnya menghangat, ia masih mentok di tempat yang sama. “Kura-kura reseh,” keluhnya. Tidak yakin apakah masih sempat mencoba lagi atau harus berkesudahan. Ia menguap sekali dan melirik jam di sudut ponsel. Sudah 10 menit lewat tengah malam dan mereka belum datang, ia mulai berpikir apakah alamatnya kurang jelas. Orang Jepang terkenal dengan disiplin waktu, paling tidak, Watari yang ia kenal akrab mengamini hal itu seketat iman. Sengaja dipilih komplek apartemen yang mangkrak di bangun ini sebagai tempat bertemu. Di sini, mereka bebas. Sekali lagi ia menguap panjang dan lama. Semenjak Erhan muncul tempo hari, serentetan kejadian yang mengekor sudah banyak mencuri waktu ti
Wira terhenyak, sekonyong-konyong Oichi bangkit berdiri dari duduk. Membungkuk dalam-dalam di hadapannya dan melontarkan permintaan yang tidak ia kira sama sekali. Otaknya berkomputansi membaca variabel dan probabilitas yang bersilangan, “Ah,” ucapnya lirih ketika hasil pemrosesan keluar.Satpam yang berjaga di posnya sampai melongok penasaran melalui lubang jendela, ini menarik baginya. Akibat rutin menonton drama asia di televisi pos jaga setiap sore, dipikirnya Oichi sedang menyatakan perasaan kepada karyawana senior di kantor itu.Sopir mobil boks yang hendak mengisi buku izin keluar juga terpana menanti kelanjutan adegan di belakang pos satpam. Wira nyengir kuda. Sadar mereka sekarang jadi tontonan.“He-Hei, bangunlah. Jangan seperti itu.” Wira buru-buru meminta gadis belia itu untuk menghentikan aksinya. Mengusap-usap cepat tengkuknya yang tidak gatal, matanya berkeliling, ia melanjutkan “Kalau orang kantorku lihat, mereka nan
Sebelum minggat, disempatkan Wira memencet tombol steker sehingga mesin fotokopi sontak mati di tengah jalan. Budi yang telat menepis ulahnya hanya bisa mendesis, terpaksa membongkar kap mesin demi mencabut kertas yang menyangkut.Wira acuh mengacuhkan seloroh Budi dan bergegas menuruni tangga, sekedar menitip jari tengah ketika kawan sebelah mejanya itu berkelakar, “Makanya, ajak-ajak gue coy kalau punya circle tongkrongan yang model begitu. Kualat lu!”“Sotoy lu!”Namun, ketika Wira selesai menuruni tangga menuju meja resepsionis di pintu utama, didapatinya jika ucapan Budi memang benar. Perempuan yang menunggunya itu memang tergolong menarik. Kulit putih bersih seperti kebanyakan orang Asia Timur, dengan rambut hitam lurus sebahu. Usianya jika ditaksir mungkin jauh lebih muda dari Vina atau Audrey.Gadis itu segera bangkit dari sofanya ketika mendapati Wira mendekat, mengulas senyum ramah, dan memberi salam membungkuk selayaknya