"A — anda mengenalnya?" Wajah kedua satpam itu berubah pucat melihat Adam — orang kepercayaan Akbar Corp melepaskan gembel yang baru saja mereka tangkap.
Adam yang dingin terlihat semakin menyeramkan. Wajah pria itu menegas dengan rahang mengetat. Menatap tajam satpam yang berani menangkap Hamish seperti penjahat."Jauhkan tangan kalian dari tuan muda!" ucapnya geram. Adam mendekati Hamish sambil memastikan Hamish baik-baik saja."Tuan muda tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. "Mari, tuan muda. Silahkan l!" Adam mengulurkan tangannya tanyanyamemperlihatkan Hamish masuk ke dalam gedung kantor.Dua satpam tadi melongo heran. Gembel yang tadi mereka hina dihormati oleh Adam."Tu — tuan Adam, kenapa membawa gembel masuk ke dalam? Mungkin saja ia berniat buruk dan mencuri sesuatu di dalam."Adam mendelik, menatap satpam itu dengan tajam. "Kau berani mengatai tuan muda?! Siap-siap saja kehilangan pekerjaanmu!"Satpam itu gemetar ketakutan, jika tuan Adam yang mengatakannya itu pasti akan terjadi. Siapa pun tahu bagaimana kekuasaan Akbar Corp.Hamish menyeringai puas mendengar ucapan Adam. Ia tersenyum kepada kedua satpam tadi lalu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kantor.Adam membawa Hamish ke ruang CEO yang luas, mewah dan nyaman. Ia membukakan pintu untuk Hamish dan mempersiapkan tuannya itu untuk masuk.Melihat sofa hitam, Hamish segera merebahkan dirinya disana. Bahkan sofa ini lebih nyaman dari kasur di panti yang hanya kasur busa tipis. Kadang ia harus tidur di ruang tamu dengan sofa lama yang sudah tidak empuk lagi."Tuan, tuan baik-baik saja?" Adam berdiri di samping sofa dan kembali menanyakan keadaan Hamish."Kami sangat mengkhawatirkan keadaan tuan muda." Sambungnya lagi.Kekesalan Hamish menguap begitu saja mendengar perkataan Adam. Ia sampai melupakan tujuannya mencari kerja karena dua satpam songong tadi."Atur segera kepulanganku, Dam. Aku sudah tidak betah ada disini!" Hamish meraup kasar wajahnya. Tiba-tiba saja ia merasa lelah, lelah dengan semua pekerjaan rumah tangga yang terpaksa ia kerjakan agar bisa menumpang hidup gratis di panti asuhan itu.Tidak mendengar jawaban dari Adam, Hamish menoleh melihat asistennya dengan bingung. Tidak biasanya Adam menolak perintahnya."Ada apa?" tanya Hamish curiga. Ia menatap Adam tajam menuntut jawaban segera.Adam mengusap tengkuk, bingung bagaimana cara menyampaikan situasi di Jakarta kepada Hamish.Hamish merubah posisinya menjadi duduk, bersandar pada sofa lalu menyilangkan kaki. Tangannya bersedekap di depan dada, tidak sabar menunggu penjelasan Adam."Keluarga anda mengumumkan anda hilang dan mungkin meninggal dunia. Upaya pencarian anda baru saja dihentikan pagi ini, Tuan Muda," jelas Adam tanpa menutupi sedikitpun berita buruk ini dari tuannya.Rahang Hamish terjatuh mendengar penjelasan Adam. Bagaimana mungkin keluarga mengumumkan kematiannya tanpa melakukan upaya pencarian maksimal?"Aku harus mencari keberadaan tuan secara sembunyi-sembunyi karena tuan Syahril terus mengawasi gerak gerikku." Adam membungkuk tidak enak hati. Padahal ia orang kepercayaan Hamish, namun gagal menemukan tuannya."Kenapa aku tidak bisa kembali ke Jakarta sekarang?" Sebelah alis Hamish terangkat. Walau Adam belum mengatakannya, tetapi dari gestur tubuhnya saja ia bisa melihat Adam tidak setuju dengan idenya.Adam yang tadinya berdiri, kini duduk di sebelah Hamish. Ia menjelaskan dengan detail hal yang membuatnya curiga dan harus mengambil keputusan agar Hamish tetap di Sidoarjo. Membiarkan orang berpikir jika saat ini ia sudah meninggal."Tapi berapa lama, Dam? Aku tidak tahan hidup susah seperti ini. Aku ingin clubbing, ingin bertemu dengan wanita cantik, tidur dan makan enak. Kamu tahu, disini aku hanya makan tempe tahu. Bisa makan telur saja sudah sangat mewah. Aku sudah seperti pelayan yang harus membersihkan panti." Hamish mengeluarkan uneg-unegnya."Sampai kita tahu siapa yang berkhianat, Tuan Muda. Tidak akan lama. Aku pasti akan segera menemukan orang itu." Adam mencoba menghibur bosnya.Hamish membuang nafas kasar. Mengusap rambutnya frustasi. Mau tidak mau ia harus setuju dengan ide Adam untuk bersembunyi. Ia sendiri ingin tahu siapa yang berani mencelakainya.Otaknya berputar mencoba menghubungkan siapa saja orang yang mendapat keuntungan dengan kepergiannya.Sudah pasti paman Syahril dan putra tunggalnya. Tetapi apa mereka juga terlibat dalam kecelakaan Hamish? Ia masih harus mencari tahu soal itu.Hamish membuang nafas kasar, pasrah. Ia menerima ide Adam dan berharap mereka akan segera menemukan musuh dalam selimut keluarga Akbar."Ini, Tuan Muda." Adam menyedorkan sebuah kartu hitam kepada Hamish."Ini black card anda, namun aku sarankan untuk tidak terlalu mencolok untuk saat ini. Aku belum bisa memastikan apa mereka juga mengawasi keuangan anda."Hamish melirik Adam sekilas sebelum akhirnya mengambil kartu itu. Untuk apa ia memegang black card kalau tidak dapat ia digunakan.Setelahnya Hamish dan Adam membicarakan tentang rencana mereka dan apa yang sebaiknya Hamish lakukan selama berada disini.Sampai pintu terbuka dan pemilik perusahaan ini datang. Perusahaan ini termasuk satu diantara banyak perusahaan UKM yang Akbar Corp akusisi.Rencana sudah disusun, Hamish memutuskan kembali ke panti. Ia harus kembali sebagai pengangguran karena tidak mungkin ia bekerja di perusahaan ini. Musuh pasti akan dengan mudah mengendus keberadaannya."Aku turun disini saja!" titahnya kepada Adam yang mengantarkan Hamish. Ia meminta mobil Adam berhenti agak jauh dari panti asuhan agar penghuni panti tidak banyak bertanya."Tuliskan nomor ponselmu. Besok aku akan membeli ponsel."Adam menurut. Ia mengambil selembar kertas menuliskan nomor ponsel pribadinya yang tidak banyak diketahui orang."Jika tuan muda butuh sesuatu, segera kabari aku. Aku akan mengurusnya untuk tuan muda." Ad berpesan sebelum memberikan kertas itu kepada Hamish."Tentu saja! Untuk itulah aku membayarmu!" Siap arogan Hamish kembali muncul. Ia membaca sejenak deretan nomor yang Adam tulis lalu keluar dari mobil.Berjalan menuju ke panti asuhan, bangunan tua yang sebenarnya sudah harus di renovasi. Warna cat temboknya sudah pudar, ada bagian atap yang terlihat miring dan beberapa bagian sudah tidak lagi tertutup genting."Dari mana saja kamu? Hah!" Suara melengking Ibu Ida menyambut kedatangan Hamish. Baru saja ia melewati pagar panti, ia sudah harus menerima tatapan tidak bersahabat ibu Ida."Cepat masak! Ini sudah mau maghrib!" Ia memberi perintah.Dunia Hamish kembali berbalik. Jika tadi ia bos besar, kini ia terpaksa menerima perintah dari orang lain.Ia membuang nafas panjang sebelum akhirnya menjawab ibu Ida, "Habis cari kerja, Bu.""Dapat? Gak kan? Wong kamu orang gak jelas! Mungkin aja kamu orang yang dibuang sama keluargamu atau banyak hutang makanya dipukuli orang." Ibu Ida meremehkan sang CEO.Hamish menggeleng pelan sembari berjalan melewati ibu Ida menuju dapur. Ia memakai apron pink bunga-bunga yang sudah beberapa minggu ini selalu ia kenakan."Masak yang enak!" Suara ibu Ida kembali terdengar namun kali ini ada suara merdu yang menyahut, menjawab ucapan sang tuan rumah."Biar Lara aja yang masak, Bu. Bang Hamish kan tamu, masak disuruh masak! Kan kita harus memuliakan tamu. Tamu itu harus diperlakukan dengan baik. Disambut, dihidangkan makanan dan minuman terbaik dan diniatkan untuk memberikan kegembiraan." Dilara bicara sambil melewati ibu Ida. Ia bergabung dengan Hamish di dapur."Ck! Gak usah ceramahin ibu! Dia itu bukan tamu tapi benalu! Penumpang gelap di rumah ini yang bikin biaya rumah makin bengkak!" sembur ibu Ida membalas ucapan Dilara. Dilara menggeleng pelan. Sebetulnya ia masih ingin membahas cara memperlakukan tamu tetapi tidak ingin bertengkar di depan Hamish."Bang Hamish pasti capek. Mending abang mandi terus istirahat. Biar Lara yang masak." Dilara mengambil pisau dan talenan yang ada di tangan Hamish. Melanjutkan mengupas bawang merah, mengusir Hamish dari dapur dengan cara halus.Dengan tidak enak hati Hamish terpaksa keluar dari dapur. Ia bukan tipe orang yang suka berhutang budi, bukan juga tipe orang yang akan menerima sesuatu
Tangan kecil Mila menarik Hamish yang baru saja menyelesaikan makan malamnya. Ia bahkan terpaksa neminta tolong Dani untuk membereskan bekas makan karena Mila tidak sabar untuk membawanya ke kamar gadis itu.Sekali lagi Hamish melihat Dilara, memohon lewat tatapan mata agar Dilara menolongnya. Ia sungguh-sungguh tidak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa membacakan dongeng dan tidak akan tahan bersama Mila lebih dari 10 menit. Ia tidak suka anak kecil!Bukan membantu, Dilara hanya mengedikkan pundak sambil memperhatikan Hamish menjauh dari ruang makan dan menghilang ke lantai dua."Mila. Mil — Mila." Hamish berusaha menghentikan siksaan yang akan diterima di balik pintu kamar Mila."Yang bacain dongeng biar mbak Lara aja, ya?" tawarnya. "Atau mas Dani?" ujarnya lagi mengingat Mila cukup dekat dengan Dani.Gadis kecil itu tidak menjawab tawaran Hamish. Tangan mungilnya masih menarik lengan kokoh Hamish masuk ke dalam kamar."Ayo masuk, Bang!" serunya sambil membuka pintu kamar yang sudah
"Apa maksudmu aku tidak bisa masuk ke dalam?" Hamish meninggikan suaranya kesal tidak ijinkan melewati pintu depan.Padahal ia sudah berpakaian layak mengenakan celana panjang dan sepatu. Ia fahu klub-klub elit tidak membiarkan pengunjung bercelana pendek dan tanpa sepatu masuk."Ini klub orang-orang kaya, Pak!" seru bodyguard itu mengejek Hamish. Ia tidak diijinkan masuk karena penampilannya terlihat seperti orang biasa yang sedang melakukan kampanye untuk pemilihan kepala desa."Kamu pikir aku gak bisa bayar masuk?" Hamish tersinggung. Keningnya berkerut bingung, menatap tajam bodyguard yang berdiri di depannya.Pria bertubuh kekar yang mengenakan kaos hitam masih bersedekap, memperhatikan penampilan Hamish seperti alat pindai. "Saya itu sudah sering ketemu sama orang kayak sampean ini. Sok kaya! Padahal baju beli di pasar Darmo!" ejeknya. Bodyguard itu menggeleng pelan menganggap Hamish sebagai lelucon."Sudah, sana pergi pergi! Aku sibuk! Pean itu cuman buang-buang waktu saya sa
"Arak saja mereka! Biar orang-orang tahu mereka berzina" seru seorang warga penuh emosi. Hamish berusaha menenangkan warga berubah panik mendengar permintaan warga. Mereka tidak melakukan apa-apa! Bahkan ia belum bicara sepatah kata dengan Dilara.Dilara?Gadis itu berdiri di belakang punggung Hamish dengan tubuh gemetar, ketakutan."Jangan-jangan panti ini emang sudah jadi tempat zina kalian berdua? Saya sudah sering liat laki-laki ini, Pak RT! Sudah lama saya curiga!" tuduh warga yang lain.Ribut-ribut membuat penghuni panti yang lain terbangun termasuk ibu Ida. Mereka semua berdatangan ke sumber suara, berdesakan mencoba menerobos, melewati warga yang berdiri di depan pintu kamar Dilara.Anak-anak berhambur menghampiri Dilara yang sedang menangis. Beberapa di antara mereka juga ikut menangis, ketakutan melihat warga berkumpul dengan wajah marah."Ada apa ini? tanya Ibu Ida bingung melihat banyak orang berkumpul di rumah ini. Ia menatap para warga, Hamish dan Dilara bergantian men
"Apa? Ni — nikah?" Hamish mengulangi ucapan ketua RT yang disambut anggukan kepala oleh pimpinan warga itu.Ia menoleh melihat Dilara yang masih menunduk kemudian tertawa kaku. Berkali-kali menggeleng untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.Menikah?Ia belum siap untuk berkomitmen, belum mau terikat dengan siapapun!"Pak RT serius?" tanya Hamish masih tidak percaya walau ia tidak yakin pria itu sedang bercanda.Tubuh Hamish mendadak lemas melihat anggukan Pak RT dan ustadz Imam. Pun begitu dengan Dilara yang nyaris melorot dari tempat duduknya.Hamish memijat pelipis, memikirkan jalan lain yang lebih baik dari menikah. Ia bisa pergi dari sini, kan? Namun, Hamish lantas menggeleng. Tidak, ia harus mengesampingkan pilihan itu. Ia harus tetap disini, menyembunyikan identitasnya sampai musuh keluarga Akbar terungkap. Hamish menoleh mendengar isakan samar Dilara. Tangannya sibuk mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.Entah kenapa ia merasa kasihan
"Sudah kamu tanda tangani surat jual belinya?" Salah satu dari tiga pria berteriak kepada Dilara.Ketiga preman membubarkan paksa acara pernikahan Hamish dan Dilara hingga hanya menyisakan Pak RT, ustadz Imam dan para penghuni panti asuhan.Anak-anak yang ketakutan berhambur memeluk Dilara. Gadis yang masih mengenakan kebaya putih dan riasan wajah sederhana membawa Mila ke dalam pelukannya. Sedang tangan yang masih bebas ia gunakan untuk memeluk anak-anak lain yang juga ketakutan."Lara, bawa anak-anak masuk!" perintah Hamish. Ia mengusap pucuk kepala Mila yang sedang memeluk Dilara dengan erat.Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya di pundak Dilara, tubuhnya gemetar memunggungi para preman.Dilara mengangguk. Ia menuntun anak-anak untuk masuk ke kamarnya. Meyakinkan mereka jika semua akan baik-baik saja. Ia kemudian menitipkan anak-anak kepada Dani dan anak yang lebih besar sebelum kembali ke ruang tamu."Pean gak usah ikut campur, Mas!" Salah satu pria dengan rambut panjang diikat
“Kamu berhenti saja dari tempat kerjamu itu!” Hamish tiba-tiba masuk ke kamar saat Dilara sedang bersiap.Dilara segera mengambil handuk, menggulung tubuhnya yang belum berpakaian lengkap. “Bang Hamish! Ngagetin aja!” serunya sambil mengusap dada yang nyaris melompat keluar karena Hamish tiba-tiba masuk."Mana bisa, Bang! Kalau saya berhenti siapa yang akan biayain panti ini dan bayar hutang?" Katanya lagi sambil berusaha menutupi bagian tubuh yang terlihat."Balik badan!" serunya lagi dengan bibir mengerucut sebal dan pipi merona merah. Hamish menurut. Ia berbalik dan menunduk malu karena sudah tidak sopan masuk ke kamar Dilara tanpa permisi.Ia berbalik menatap gadis yang baru beberapa jam ini menjadi istrinya. Gadis itu mengenakan celana panjang model palazo yang longgar dengan baju lengan panjang. "Gak usah berangkat kerja. Kamu berhenti aja." Hamish memberi perintah. Ia tidak rela Dilara bekerja di tempat itu dan menjadi subjek fantasi lelaki hidung belang.Namun ia segera mengg
"I —ini uang apa, Bang?" Amar yang duduk di bangku sekolah menengah menatap lembaran uang merah yang ada di tangannya."Uang SPP dan uang buku. Hari ini jangan ada yang bolos, paham?" seru Hamish tegas.Amar masih mencoba mencerna ucapan Hamish. Ia masih bingung dengan uang yang ada di tangannya."Ta —tapi ini uang siapa, Bang?" tanya Amar lagi. Dilara melarang keras menerima uang dari siapapun apalagi tidak jelas apakah itu yang halal atau uang haram."Haish! Masih pake tanya segala!" Hamish berubah kesal. Beberapa menit yang lalu ia iba karena anak-anak belum membayar uang sekolah, sekarang anak-anak ini malah membuatnya kesal dengan mempertanyakan asal usul uang itu."Uang abang, lah! Kamu pikir uang siapa?" Ia menjawab dengan kesal. "Uang halal, kan Bang? Amar gak berani terima kalau ternyata ini uang curian."Hamish mendelik? Uang curian? Ini penghinaan!Gigi pria itu bergemerak, tangannya mengepal lalu membuang nafas panjang untuk menurunkan emosinya. Sadar yang ia hadapi saat
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k