"Apa? Ni — nikah?" Hamish mengulangi ucapan ketua RT yang disambut anggukan kepala oleh pimpinan warga itu.
Ia menoleh melihat Dilara yang masih menunduk kemudian tertawa kaku. Berkali-kali menggeleng untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.Menikah?Ia belum siap untuk berkomitmen, belum mau terikat dengan siapapun!"Pak RT serius?" tanya Hamish masih tidak percaya walau ia tidak yakin pria itu sedang bercanda.Tubuh Hamish mendadak lemas melihat anggukan Pak RT dan ustadz Imam. Pun begitu dengan Dilara yang nyaris melorot dari tempat duduknya.Hamish memijat pelipis, memikirkan jalan lain yang lebih baik dari menikah. Ia bisa pergi dari sini, kan?Namun, Hamish lantas menggeleng. Tidak, ia harus mengesampingkan pilihan itu. Ia harus tetap disini, menyembunyikan identitasnya sampai musuh keluarga Akbar terungkap.Hamish menoleh mendengar isakan samar Dilara. Tangannya sibuk mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.Entah kenapa ia merasa kasihan melihat Dilara yang tidak berdaya. Ia tidak bisa membela diri apalagi warga terlanjur berpikir buruk tentangnya."Bagaimana mas Hamish, apa pilihan mas Hamish?" Suara Pak RT membuyarkan lamunan Hamish.Pria itu menarik nafas panjang, meyakinkan dirinya atas pilihan yang ia buat.Dengan satu hembusan nafas panjang Hamish mengatakan, "Baik, Pak, saya akan menikahi Dilara. Tetapi aku ingin semua dilakukan dengan layak.""Alhamdulillah!" Ustad Imam Pak RT dan juga perwakilan warga bernapas sambil mengucap syukur keputusan Hamish."Maaf, maksudnya layak gimana, ya Mas?" tanya Pak RT kemudian.Hamish kembali melirik Dilara lalu berkata, "Aku mau bukan hanya ada akad nikah, tapi juga resepsi. Terserah Dilara mau seperti apa. Begitu juga dengan seserahan dan lain-lain. Aku mau ini jadi pernikahan orang lain, bukan karena salah paham."Hamish sendiri bingung kenapa ia seperti ini, tetapi ia pantang menarik kata-katanya. Jadi Hamish tidak meralat apapun."Kamu mau bayar pake apa, hah? Emang kamu pikir bikin acara dan beli seserahan gak pake duit? Hah!" seru ibu Ida."Apa pak ustad dan Pak RT gak kasihan kalau Lara menikah sama dia? Asal usulnya gak jelas, melarat lagi. Anak saya mau dikasih makan apa, Pak?! Kenapa gak diusir aja, sih dia?!" Mata ibu Ida mendelik nyaris keluar dari tempatnya. Urat di leher tercetak saat ia berbicara dengan nada tinggi, tidak setuju dengan pernikahan ini.Pak RT dan ustad Imam saling panjang. Ustadz Imam lalu menjelaskan jika Allah sudah menjanjikan rezeki bagi mereka yang memutuskan untuk menikah yang terpenting Dilara dan Hamish tidak berhenti berusaha dan berdoa.Ibu Ida mencebikkan bibirnya, ia memilih bangkit dan masuk ke dalam kamar tidak ingin mendengarkan ceramah ustadz Imam dan terlibat dengan pernikahan Dilara.Ustadz Imam melanjutkan pembicaraan tentang pernikahan Hamish dengan Dilara. Ustadz meminta mereka melakukan pernikahan secara agama terlebih dahulu setelah itu baru mempersiapkan pernikahan seperti yang Dilara inginkan."Mbak Dilara punya paman dari ayah yang bisa dijadikan wali?" tanya ustadz Imam yang sejak tadi terlihat sangat tenang termasuk saat menghadapi ibu Ida tadi.Gadis itu menggeleng. Ia duduk di ujung sofa, seperti takut berdekatan dengan Hamish. Gadis itu belum mengeluarkan sepatah kata pun kecuali saat tadi menjelaskan apa yang terjadi.Tidak ada lagi alasan untuk menunda pernikahan sirih Hamish dengan Dilara. Sore nanti akad akan dilangsungkan di panti asuhan dengan mas kawin uang senilai 100 ribu."Alhamdulillah!" seru ustadz Imam lagi setelah semua direncanakan. Pak RT sudah meninggalkan panti asuhan untuk mengurus persiapan pernikahan dua orang yang tidak saling cinta ini."Setelah ini, mudah-mudahan mbak Lara bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang. Walaupun halal tetapi kerjaan mbak Lara sekarang mendekati maksiat. Takutnya mbak Lara kepleset terus khilaf." Ustadz Imam memberikan nasihat dengan suara sangat lembut."Setelah menikah nanti, saya titipkan mbak Lara ke njenengan, nggeh mas Hamish? Tolong di bimbing, disayang dan dinafkahi dengan yang halal. Percaya saja, Allah pasti melebarkan rezeki untuk kalian dan panti ini. Tinggal bagaimana kalian berikhtiar." Ustadz Imam beralih kepada Hamish.Perbincangan mereka terhenti ketika ibu-ibu pengajian datang untuk membantu Dilara mempersiapkan diri.Dilara dibawa masuk ke kamarnya, sedang Hamish berada di kamarnya sedang menghafalkan ijabnya nanti.'Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Cahaya Binti Wisnu dengan mas kawin 100 ribu rupiah.'Hamish membuang panjang kemudian menghirup dalam udara untuk menenangkan dirinya yang sedang gugup.Walaupun pernikahan ini terpaksa, tetapi ia gugup sekaligus kesal.Seorang keturunan keluarga Akbar memberikan mas kawin hanya senilai 100 ribu. Tidak ada cincin berlian dan aset berharga.Dilara dengan polosnya meminta mas kawin sesuai dengan jumlah uang yang ada di dompet Hamish. Setelah membuka meja dan membayar taksi semalam, uang yang tersisa di dompet Hamish hanya selembar 100 ribu rupiah.'Nenek moyang pasti lagi ngetawain aku, nih!' gumamnya sendiri.Tidak bisa! Ia harus menambah mas kawinnya. Jangan sampai ia mempermalukan keluarga Akbar.Hamish keluar dari kamar mencari keberadaan ustadz Imam. Ia dan beberapa warga sedang menyiapkan panti untuk melangsungkan akad nikahnya sore ini."Pak ustadz!" Hamish menemukan ustad Imam sedang berada di ruang tamu bersama dengan para warga yang sedang menyusun ulang sofa serta meja.Ustadz Imam yang melihat kami sedang kebingungan sekarang mendatangi lelaki itu. "Ada apa, Mas Hamish?""Pak, aku mau nambahin mahar untuk Dilara. Aku minta ijin untuk ke atm."Ustadz Imam tersenyum menanggapi ucapan Hamid kemudian ia berkata dengan lembut, "Mas Hamish tidak perlu khawatir soal maskawin. Berapapun itu tidak masalah bahkan kalau mas Hamish memberikan hafalan ayat yang mas hafal pun bisa. Yang penting diberikan dengan penuh kerelaan. Lagipula, wanita yang baik hatinya adalah wanita yang tidak mempermudah mas kawinnya."Hamish tercenung, memikirkan perkataan ustadz Imam barusan. Apa itu artinya Dilara gadis yang baik? Jujur saja mengingat pekerjaan Dilara, ia belum yakin.Hamish kembali ke kamarnya, membersihkan diri dan bersiap. Semua sudah diurus oleh ibu-ibu pengajian termasuk kemeja dan jas serta peci yang akan ia kenakan.Ia memperhatikan penampilannya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Beberapa menit lagi ia akan melanggar prinsipnya sendiri untuk tidak berkomitmen.Hamish melepaskan peci, ia keluar dari kamar dan langsung menemui ustad Imam."Ustad, saya permisi ke ATM sebentar. Saya akan tambahkan mas kawin untuk Dilara!" Tanpa menunggu jawaban ustad Imam, Hamish langsung pergi. Meninggalkan panti begitu saja tidak mempedulikan tatapan warga yang salah paham akan kepergiannya"Sudah kamu tanda tangani surat jual belinya?" Salah satu dari tiga pria berteriak kepada Dilara.Ketiga preman membubarkan paksa acara pernikahan Hamish dan Dilara hingga hanya menyisakan Pak RT, ustadz Imam dan para penghuni panti asuhan.Anak-anak yang ketakutan berhambur memeluk Dilara. Gadis yang masih mengenakan kebaya putih dan riasan wajah sederhana membawa Mila ke dalam pelukannya. Sedang tangan yang masih bebas ia gunakan untuk memeluk anak-anak lain yang juga ketakutan."Lara, bawa anak-anak masuk!" perintah Hamish. Ia mengusap pucuk kepala Mila yang sedang memeluk Dilara dengan erat.Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya di pundak Dilara, tubuhnya gemetar memunggungi para preman.Dilara mengangguk. Ia menuntun anak-anak untuk masuk ke kamarnya. Meyakinkan mereka jika semua akan baik-baik saja. Ia kemudian menitipkan anak-anak kepada Dani dan anak yang lebih besar sebelum kembali ke ruang tamu."Pean gak usah ikut campur, Mas!" Salah satu pria dengan rambut panjang diikat
“Kamu berhenti saja dari tempat kerjamu itu!” Hamish tiba-tiba masuk ke kamar saat Dilara sedang bersiap.Dilara segera mengambil handuk, menggulung tubuhnya yang belum berpakaian lengkap. “Bang Hamish! Ngagetin aja!” serunya sambil mengusap dada yang nyaris melompat keluar karena Hamish tiba-tiba masuk."Mana bisa, Bang! Kalau saya berhenti siapa yang akan biayain panti ini dan bayar hutang?" Katanya lagi sambil berusaha menutupi bagian tubuh yang terlihat."Balik badan!" serunya lagi dengan bibir mengerucut sebal dan pipi merona merah. Hamish menurut. Ia berbalik dan menunduk malu karena sudah tidak sopan masuk ke kamar Dilara tanpa permisi.Ia berbalik menatap gadis yang baru beberapa jam ini menjadi istrinya. Gadis itu mengenakan celana panjang model palazo yang longgar dengan baju lengan panjang. "Gak usah berangkat kerja. Kamu berhenti aja." Hamish memberi perintah. Ia tidak rela Dilara bekerja di tempat itu dan menjadi subjek fantasi lelaki hidung belang.Namun ia segera mengg
"I —ini uang apa, Bang?" Amar yang duduk di bangku sekolah menengah menatap lembaran uang merah yang ada di tangannya."Uang SPP dan uang buku. Hari ini jangan ada yang bolos, paham?" seru Hamish tegas.Amar masih mencoba mencerna ucapan Hamish. Ia masih bingung dengan uang yang ada di tangannya."Ta —tapi ini uang siapa, Bang?" tanya Amar lagi. Dilara melarang keras menerima uang dari siapapun apalagi tidak jelas apakah itu yang halal atau uang haram."Haish! Masih pake tanya segala!" Hamish berubah kesal. Beberapa menit yang lalu ia iba karena anak-anak belum membayar uang sekolah, sekarang anak-anak ini malah membuatnya kesal dengan mempertanyakan asal usul uang itu."Uang abang, lah! Kamu pikir uang siapa?" Ia menjawab dengan kesal. "Uang halal, kan Bang? Amar gak berani terima kalau ternyata ini uang curian."Hamish mendelik? Uang curian? Ini penghinaan!Gigi pria itu bergemerak, tangannya mengepal lalu membuang nafas panjang untuk menurunkan emosinya. Sadar yang ia hadapi saat
Uhuk uhuk!!Adam dan Pak Mulyadi tersedak kopi ketika mendengar Hamish mengatakan ia sudah menikah."Tu —tuan muda menikah? Tuan muda serius? Apa tuan habis terbentur sesuatu? Mau saya bawa ke rumah sakit?" Adam tiba-tiba khawatir dengan perubahan Hamish.Ia sudah lama bekerja dengan CEO muda ini, jadi Adam sangat mengerti prinsip hidup Hamish."Memangnya aku kelihatan lagi gak sadar, hah?" balasnya ketus.Dengan cepat Hamish menjelaskan alasannya menikah dengan Dilara. Ia terpaksa melakukannya demi menjaga nama baik gadis itu. Jangan sampai orang berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilara."Ada perkembangan tentang Om Syahril?" Hamish masuk pada pokok pembicaraan dan alasan ia meminta Adam segera datang ke Sidoarjo.Ia duduk di sofa single dengan satu kaki menyilang di atas kaki, tangannya bertumpu di atas paha menunggu penjelasan Adam.“Tuan Syahril sedang mengusahakan mengangkat Irvan untuk menggantikan anda, Tuan Muda. Saya juga mendapat informasi tuan Syahril bertemu dengan beber
"Ke — kenapa berdandan untuk ku?" Hamish berubah gugup seperti anak SMA. Tidak pernah ia mendapat perlakukan istimewa seperti ini. "Biar gak bikin malu abang. Terus dapat pahala juga karena menyenangkan suami." Dilara menjawab dengan malu-malu. Dilara akui Hamish adalah pria tampan dengan sejuta pesona. Hidung mancung, rahang persegi. Apalagi saat rambut tipis mulai menutupi rahang Hamish, ketampanan pria itu bertambah berkali lipat.Hamish mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel yang baru saja ia beli lalu memesan taksi online. Ia tidak mau naik angkot. Tidak lagi!"Bang, itu hape siapa?" Dilara membeliak kaget melihat ponsel mahal yang Hamish gunakan. Ia tahu ponsel dengan merek itu harga di atas 15 juta. Semakin baru, semakin mahal harga."Hape abang, lah!" Hamish menunjukkan ponsel berwarna hitam yang ia beli pagi tadi."A —abang beli?" Dilara melihat ponsel itu penuh kekaguman. Sangat berbeda dengan ponsel miliknya yang kuno yang hanya bisa menerima panggilan telepon."Iya, l
'Abang ini, Hamish Ahmad Akbar! Pengusaha properti sukses, pewaris Akbar Corp.' Hamish menjelaskan dalam hati.“Bang!” Dilara menggoyang lengan Hamish, menyadarkan pria itu dari lamunannya.“Abang ini —" Hamish berpikir sejenak."Abang ini Hamish, suami kamu. Orang yang kamu tolong di pinggir jalan terus kamu rawat sampai sembuh. Kamu kan sudah kenal?” Hamish menjawab sekenanya.Dilara menyipitkan mata, tidak langsung percaya dengan penjelasan Hamish. Ia malah semakin penasaran siapa sebenarnya pria yang ia nikahi. Ia pikir Hamish seorang yang tidak mampu. Bagaimana mungkin pengangguran seperti Hamish bisa memiliki black card dan menggunakannya tanpa perhitungan sama sekali?Atau jangan-jangan suami itu sindikat pembobol kartu kredit? Dilara bergidik ngeri membayangkan jika benar suaminya seorang kriminal.Sebelum Dilara lebih banyak bertanya, ia segera menjauh dari Dilara, berpura pura memperhatikan pelayan yang sedang mengemas belanjaannya. Total ada lima kardus yang harus dibawa pu
"Aahh!!! Lepaskan saya!!" Samar-samar Hamish mendengar teriakan Dilara dari kamarnya. Ia memilih mengabaikan suara itu, tetap memainkan ponselnya. Memeriksa surat elektronik dan menyelesaikan beberapa dokumen kiriman Adam.Hamish memilih masuk ke kamar karena kesal dengan ibu Ida dan Dani yang terus memojokkannya. Ia semakin kesal karena Dilara hanya diam tidak membelanya.Ia terperanjat kaget saat pintunya di gedor dari luar. Suara Amar memanggil namanya sambil berteriak.Dengan malas ia berguling turun dari ranjang yang hanya beralas tikar. Berjalan mendekati pintu untuk menemui Amar."Ba —bang, to —tolong! Mbak Lara ditarik-tarik sama orang." Amar yang ketakutan dan panik menarik tangan Hamish yang masih belum paham maksud Amar."Tunggu!" Hamish menepis tangan Amar. "Ada apa? Bicara yang jelas, jangan buru-buru kayak gitu."Amar mencoba menenangkan dirinya dengan cepat. "Mbak Lara ditarik-tarik orang, Bang! Ayo cepat!" Amar kembali menarik tangan Hamish.Kali ini Hamish mengikuti
"Ini alamatnya?" Hamish menerima selembar kertas berisi alamat pemilik klub malam tempatnya bekerja.Gadis itu masih tertunduk malu tidak berani menatap Hamish setelah apa yang sang suami lakukan di dapur tadi."Abang yakin mau pergi sendiri?" Dilara yang masih malu bertatap muka dengan Hamish berbicara sambil berpura-pura merapikan tempat tidur."Iya! Ini urusan laki-laki, kamu gak usah ikut. Setelah dari sana mungkin abang akan ke kantor ambil peralatan yang dikasih kantor." Hamish yang tahu Dilara sedang menghindarinya tiba-tiba tersenyum licik ketika mendapatkan ide untuk mengerjai Dilara.Ia mau perlahan tanpa suara, sengaja menabrakkan tubuhnya pada sang istri hingga membuat wanita itu mendongak kaget.Hamish mengulurkan tangan, sejenak Dilara hanya menatap tangan yang tadi mencengkram pinggangnya. Tapi akhirnya Dilara mengerti, ia menyambut tangan Hamish dan mengecup punggung tangan sang suami.Hamish pergi ke alamat yang Dilara berikan. Sebuah gedung tinggi di pusat kota Sur
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k