"Arak saja mereka! Biar orang-orang tahu mereka berzina" seru seorang warga penuh emosi.
Hamish berusaha menenangkan warga berubah panik mendengar permintaan warga. Mereka tidak melakukan apa-apa! Bahkan ia belum bicara sepatah kata dengan Dilara.Dilara?Gadis itu berdiri di belakang punggung Hamish dengan tubuh gemetar, ketakutan."Jangan-jangan panti ini emang sudah jadi tempat zina kalian berdua? Saya sudah sering liat laki-laki ini, Pak RT! Sudah lama saya curiga!" tuduh warga yang lain.Ribut-ribut membuat penghuni panti yang lain terbangun termasuk ibu Ida. Mereka semua berdatangan ke sumber suara, berdesakan mencoba menerobos, melewati warga yang berdiri di depan pintu kamar Dilara.Anak-anak berhambur menghampiri Dilara yang sedang menangis. Beberapa di antara mereka juga ikut menangis, ketakutan melihat warga berkumpul dengan wajah marah."Ada apa ini? tanya Ibu Ida bingung melihat banyak orang berkumpul di rumah ini. Ia menatap para warga, Hamish dan Dilara bergantian menuntut jawaban.Pak RT yang sejak tadi mencoba menenangkan warga dan membicarakan masalah dengan kekeluargaan maju menemui ibu Ida.Dengan cepat pria berwibawa itu menjelaskan apa yang terjadi kepada ibu Ida dan menyampaikan keluhan warga yang resah dengan dengan pekerjaan Dilara yang selalu pulang subuh."Ta —tapi aku dan Dilara gak ngapa-ngapain!" Hamish meninggikan suaranya. Wajah pria itu menegas, giginya bergemeretak mendengar fitnahan warga yang menurutnya sudah keterlaluan."Ah! Mana ada laki-laki dan perempuan satu kamar gak ngapa-ngapain!" sanggah warga lain.Pak RT menaikkan tangannya, meminta warga untuk diam sesaat dan memberikan kesempatan untuknya bicara.Hamish melihat keadaan semakin tidak kondusif, warga yang emosi membuat anak-anak ketakutan. Belum lagi Ia dan Dilara yang lelah karena belum tidur semalaman."Pak RT, maaf kalau boleh apa bisa kita bicarakan ini besok pagi? Kita semua sedang emosi, tidak bisa berpikir jernih. Selain itu kasian anak-anak, kasian juga Dilara, dia baru pulang kerja, belum tidur." Hamish menatap anak-anak iba.Pak RT ikut memperhatikan anak-anak. Sebagian besar dari mereka memeluk Dilara erat. Dilara yang tadinya menangis kini sibuk menenangkan anak-anak asuhnya.Pria paruh baya itu akhirnya mengangguk setuju. Dengan susah payah ia meyakinkan warga jika sebaiknya masalah ini diselesaikan setelah matahari terbit.Awalnya warga menolak, khawatir Hamish melarikan diri dan membuat mereka ikut menanggung dosa zina yang Hamish dan Dilara lakukan. Namun, setelah mendapatkan jaminan dan membiarkan seorang warga berjaga di depan panti, mereka akhirnya mengalah."Ayo kembali ke kamar! Besok kalian masih sekolah." Hamish menggendong Mila yang sejak tadi memeluknya.Ia meminta anak yang lebih besar untuk membantu adik-adiknya kembali ke kamar masing-masing.Hamish kembali setelah menidurkan Mila dengan membawa segelas air putih untuk Dilara. Ibu Ida duduk disebelah gadis malang itu, bukan untuk menenangkan dan mendukung Dilara melainkan sedang mengomeli anak tirinya."Ini dia si pembawa sial! Sebelum kamu datang, panti ini gak pernah di datangi sama warga kayak gini! Bikin masalah aja!" pekik wanita paruh baya itu.Hamish menulikan telinga, ia mendekati Dilara dan memberikan air putih yang ia bawa. "Kamu tidur aja dulu. Besok kita jelaskan yang sebenarnya. Jangan khawatir!" ujar Hamish lembut.Ia tidak tega melihat keadaan Dilara yang terkejut dan sedih dengan tuduhan orang-orang walau ia sendiri belum tahu apakah Dilara hanya bekerja sebagai pelayan atau lebih dari itu.Tidak menghiraukan ibu Ida yang terus mengomel, Hamish menunggu hingga gadis itu berbaring kemudian ia keluar dari kamar Dilara menuju ke kamarnya sendiri.Ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Sebaiknya ia beristirahat beberapa jam sebelum ia menghadapi kemarahan warga.Pukul sepuluh pagi, panti asuhan Cahaya Mentari sudah sudah ramai. Untuk mencegah emosi warga dan juga psikologis Dilara, Hamish menyarankan tabayyun yang dihadiri oleh perwakilan warga, ketua RT dan juga ustad masjid setempat.Beruntung mereka mengerti, jadi hanya beberapa orang yang dianggap tetua di daerah perumahan ini yang masuk ke dalam untuk berdiskusi bersama Hamish dan Dilara."Kami berdua gak ngapa-ngapain, Pak RT. Aku memang menumpang disini, tapi kami tidak pernah melakukan hal aneh. Disini juga banyak orang, mereka bisa jadi saksi," jelas Hamish. Setelah perbincangan panjang, akhirnya ia memiliki waktu untuk membela diri.Pak RT dan ustad Imam saling pandang. Mereka kemudian memandangi Dilara yang tadi tertunduk lesu dan sedikit bicara. Hanya mengatakan“Mas Hamish,” Ustad Imam mulai bicara.“Maaf, ini sekarang bukan lagi tentang apa kalian melakukan sesuatu atau tidak, tetapi tentang keresahan warga dengan apa yang terjadi di panti ini. Belum lagi pekerjaan mbak Lara yang membuat warga berpikir yang tidak-tidak."Ibu Ida yang mendengar penuturan ustad Imam menjadi kesal, ia melihat Hamish dengan tajam penuh kebencian."Kamu ini memang pembawa sial! Sudah bikin anak saya harus kerja keras, sekarang membuat kami malu seperti ini!" pekiknya hingga urat-urat di leher tercetak keluar."Lihat, sudah ibu bilang kan? Ngapain juga nolongin orang yang gak kamu kenal. Sekarang kita jadi repot!" Hembusan nafas kasar keluar dari bibir ibu Ida. Ia memukul paha Dilara saking kesalnya.Mendengar itu, kepala Dilara semakin tertunduk. Ia meremas rok panjangnya kuat-kuat berusaha menahan tangis."Ja —jadi?" Hamish memandangi satu per satu pria yang duduk bersamanya di ruang tamu."Kami jelas-jelas tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan walau tidak ada bukti." Ia berkata dengan yakin. Dengan berani Hamish menatap ustad Imam dan juga Pak RT untuk meyakinkan mereka, bahwa ia sedang berkata yang sebenarnya.Ustad Imam menoleh kepada Pak RT yang menunggu gilirannya bicara. Lagipula ada baiknya jika ketua RT yang menyampaikan keinginan warga.Ketua RT yang mengerti, menegakkan duduknya. Ia melihat perwakilan warga, memastikan mereka tidak berubah pikiran."Begini, Mas. Kami warga disini tidak ingin ikut menanggung dosa. Takutnya kalian khilaf dan zina itu betul-betul terjadi. Wanita dan pria yang belum mahram ada di dalam satu rumah, mereka bisa saja di goda setan."Hamish tercengang mendengar penjelasan Pak RT. Ia sama sekali tidak pernah berpikiran sejauh itu. Lagipula Dilara jauh dari wanita yang masuk kriterianya.Ia suka wanita yang seksi, berani dan sedikit liat di atas ranjang juga agresif sangat jauh berbeda dengan Dilara.Hamish menatap ketua RT tanpa berkedip, menunggu pria paruh baya menyelesaikan ucapannya."Maka dari itu, warga memberikan dua pilihan. Mas Hamish pindah dari sini atau —" Pak RT menggantungkan ucapannya. Ia melirik ustad Imam sebelum menyampaikan hal yang terlewat pribadi.Ustad Imam mengangguk kecil, ia mempersilahkan sang ketua RT untuk menyampaikan apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama."Atau Mas Hamish menikahi mbak Lara," ucap Pak RT cepat namun bisa ditangkap oleh pendengaran Hamish dengan baik."Apa? Ni — nikah?" Hamish mengulangi ucapan ketua RT yang disambut anggukan kepala oleh pimpinan warga itu.Ia menoleh melihat Dilara yang masih menunduk kemudian tertawa kaku. Berkali-kali menggeleng untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.Menikah?Ia belum siap untuk berkomitmen, belum mau terikat dengan siapapun!"Pak RT serius?" tanya Hamish masih tidak percaya walau ia tidak yakin pria itu sedang bercanda.Tubuh Hamish mendadak lemas melihat anggukan Pak RT dan ustadz Imam. Pun begitu dengan Dilara yang nyaris melorot dari tempat duduknya.Hamish memijat pelipis, memikirkan jalan lain yang lebih baik dari menikah. Ia bisa pergi dari sini, kan? Namun, Hamish lantas menggeleng. Tidak, ia harus mengesampingkan pilihan itu. Ia harus tetap disini, menyembunyikan identitasnya sampai musuh keluarga Akbar terungkap. Hamish menoleh mendengar isakan samar Dilara. Tangannya sibuk mengusap air mata yang sejak tadi tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.Entah kenapa ia merasa kasihan
"Sudah kamu tanda tangani surat jual belinya?" Salah satu dari tiga pria berteriak kepada Dilara.Ketiga preman membubarkan paksa acara pernikahan Hamish dan Dilara hingga hanya menyisakan Pak RT, ustadz Imam dan para penghuni panti asuhan.Anak-anak yang ketakutan berhambur memeluk Dilara. Gadis yang masih mengenakan kebaya putih dan riasan wajah sederhana membawa Mila ke dalam pelukannya. Sedang tangan yang masih bebas ia gunakan untuk memeluk anak-anak lain yang juga ketakutan."Lara, bawa anak-anak masuk!" perintah Hamish. Ia mengusap pucuk kepala Mila yang sedang memeluk Dilara dengan erat.Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya di pundak Dilara, tubuhnya gemetar memunggungi para preman.Dilara mengangguk. Ia menuntun anak-anak untuk masuk ke kamarnya. Meyakinkan mereka jika semua akan baik-baik saja. Ia kemudian menitipkan anak-anak kepada Dani dan anak yang lebih besar sebelum kembali ke ruang tamu."Pean gak usah ikut campur, Mas!" Salah satu pria dengan rambut panjang diikat
“Kamu berhenti saja dari tempat kerjamu itu!” Hamish tiba-tiba masuk ke kamar saat Dilara sedang bersiap.Dilara segera mengambil handuk, menggulung tubuhnya yang belum berpakaian lengkap. “Bang Hamish! Ngagetin aja!” serunya sambil mengusap dada yang nyaris melompat keluar karena Hamish tiba-tiba masuk."Mana bisa, Bang! Kalau saya berhenti siapa yang akan biayain panti ini dan bayar hutang?" Katanya lagi sambil berusaha menutupi bagian tubuh yang terlihat."Balik badan!" serunya lagi dengan bibir mengerucut sebal dan pipi merona merah. Hamish menurut. Ia berbalik dan menunduk malu karena sudah tidak sopan masuk ke kamar Dilara tanpa permisi.Ia berbalik menatap gadis yang baru beberapa jam ini menjadi istrinya. Gadis itu mengenakan celana panjang model palazo yang longgar dengan baju lengan panjang. "Gak usah berangkat kerja. Kamu berhenti aja." Hamish memberi perintah. Ia tidak rela Dilara bekerja di tempat itu dan menjadi subjek fantasi lelaki hidung belang.Namun ia segera mengg
"I —ini uang apa, Bang?" Amar yang duduk di bangku sekolah menengah menatap lembaran uang merah yang ada di tangannya."Uang SPP dan uang buku. Hari ini jangan ada yang bolos, paham?" seru Hamish tegas.Amar masih mencoba mencerna ucapan Hamish. Ia masih bingung dengan uang yang ada di tangannya."Ta —tapi ini uang siapa, Bang?" tanya Amar lagi. Dilara melarang keras menerima uang dari siapapun apalagi tidak jelas apakah itu yang halal atau uang haram."Haish! Masih pake tanya segala!" Hamish berubah kesal. Beberapa menit yang lalu ia iba karena anak-anak belum membayar uang sekolah, sekarang anak-anak ini malah membuatnya kesal dengan mempertanyakan asal usul uang itu."Uang abang, lah! Kamu pikir uang siapa?" Ia menjawab dengan kesal. "Uang halal, kan Bang? Amar gak berani terima kalau ternyata ini uang curian."Hamish mendelik? Uang curian? Ini penghinaan!Gigi pria itu bergemerak, tangannya mengepal lalu membuang nafas panjang untuk menurunkan emosinya. Sadar yang ia hadapi saat
Uhuk uhuk!!Adam dan Pak Mulyadi tersedak kopi ketika mendengar Hamish mengatakan ia sudah menikah."Tu —tuan muda menikah? Tuan muda serius? Apa tuan habis terbentur sesuatu? Mau saya bawa ke rumah sakit?" Adam tiba-tiba khawatir dengan perubahan Hamish.Ia sudah lama bekerja dengan CEO muda ini, jadi Adam sangat mengerti prinsip hidup Hamish."Memangnya aku kelihatan lagi gak sadar, hah?" balasnya ketus.Dengan cepat Hamish menjelaskan alasannya menikah dengan Dilara. Ia terpaksa melakukannya demi menjaga nama baik gadis itu. Jangan sampai orang berpikiran yang tidak-tidak tentang Dilara."Ada perkembangan tentang Om Syahril?" Hamish masuk pada pokok pembicaraan dan alasan ia meminta Adam segera datang ke Sidoarjo.Ia duduk di sofa single dengan satu kaki menyilang di atas kaki, tangannya bertumpu di atas paha menunggu penjelasan Adam.“Tuan Syahril sedang mengusahakan mengangkat Irvan untuk menggantikan anda, Tuan Muda. Saya juga mendapat informasi tuan Syahril bertemu dengan beber
"Ke — kenapa berdandan untuk ku?" Hamish berubah gugup seperti anak SMA. Tidak pernah ia mendapat perlakukan istimewa seperti ini. "Biar gak bikin malu abang. Terus dapat pahala juga karena menyenangkan suami." Dilara menjawab dengan malu-malu. Dilara akui Hamish adalah pria tampan dengan sejuta pesona. Hidung mancung, rahang persegi. Apalagi saat rambut tipis mulai menutupi rahang Hamish, ketampanan pria itu bertambah berkali lipat.Hamish mengangguk paham. Ia mengeluarkan ponsel yang baru saja ia beli lalu memesan taksi online. Ia tidak mau naik angkot. Tidak lagi!"Bang, itu hape siapa?" Dilara membeliak kaget melihat ponsel mahal yang Hamish gunakan. Ia tahu ponsel dengan merek itu harga di atas 15 juta. Semakin baru, semakin mahal harga."Hape abang, lah!" Hamish menunjukkan ponsel berwarna hitam yang ia beli pagi tadi."A —abang beli?" Dilara melihat ponsel itu penuh kekaguman. Sangat berbeda dengan ponsel miliknya yang kuno yang hanya bisa menerima panggilan telepon."Iya, l
'Abang ini, Hamish Ahmad Akbar! Pengusaha properti sukses, pewaris Akbar Corp.' Hamish menjelaskan dalam hati.“Bang!” Dilara menggoyang lengan Hamish, menyadarkan pria itu dari lamunannya.“Abang ini —" Hamish berpikir sejenak."Abang ini Hamish, suami kamu. Orang yang kamu tolong di pinggir jalan terus kamu rawat sampai sembuh. Kamu kan sudah kenal?” Hamish menjawab sekenanya.Dilara menyipitkan mata, tidak langsung percaya dengan penjelasan Hamish. Ia malah semakin penasaran siapa sebenarnya pria yang ia nikahi. Ia pikir Hamish seorang yang tidak mampu. Bagaimana mungkin pengangguran seperti Hamish bisa memiliki black card dan menggunakannya tanpa perhitungan sama sekali?Atau jangan-jangan suami itu sindikat pembobol kartu kredit? Dilara bergidik ngeri membayangkan jika benar suaminya seorang kriminal.Sebelum Dilara lebih banyak bertanya, ia segera menjauh dari Dilara, berpura pura memperhatikan pelayan yang sedang mengemas belanjaannya. Total ada lima kardus yang harus dibawa pu
"Aahh!!! Lepaskan saya!!" Samar-samar Hamish mendengar teriakan Dilara dari kamarnya. Ia memilih mengabaikan suara itu, tetap memainkan ponselnya. Memeriksa surat elektronik dan menyelesaikan beberapa dokumen kiriman Adam.Hamish memilih masuk ke kamar karena kesal dengan ibu Ida dan Dani yang terus memojokkannya. Ia semakin kesal karena Dilara hanya diam tidak membelanya.Ia terperanjat kaget saat pintunya di gedor dari luar. Suara Amar memanggil namanya sambil berteriak.Dengan malas ia berguling turun dari ranjang yang hanya beralas tikar. Berjalan mendekati pintu untuk menemui Amar."Ba —bang, to —tolong! Mbak Lara ditarik-tarik sama orang." Amar yang ketakutan dan panik menarik tangan Hamish yang masih belum paham maksud Amar."Tunggu!" Hamish menepis tangan Amar. "Ada apa? Bicara yang jelas, jangan buru-buru kayak gitu."Amar mencoba menenangkan dirinya dengan cepat. "Mbak Lara ditarik-tarik orang, Bang! Ayo cepat!" Amar kembali menarik tangan Hamish.Kali ini Hamish mengikuti
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k