Soal hati, siapa yang akan perduli saat ini? Terlalu banyak apa yang telah Jonathan berikan untukku saat ini, apalagi yang kucari?" Semua pasti akan ada pelajaran yang bisa diambil dan ia akan mencoba mencintai seorang yang seharusnya, batin Laila kemudian. Hati dan perasaannya bukanlah satu-satunya hal yang harus ia pikirkan akan tetapi bagaimana ia akan membalas bantuan dari Jono untuknya, untuk menyelamatkan hidupnya. Laila akhirnya tertidur, ia merasa letih saat ini. ### Hari berganti, saat pernikahan itu benar-benar datang. Aroma bahagia tercium di setiap sudut area pesta pernikahan Laila dan Jonathan. Meskipun pesta itu tergolong kecil, namun kemewahan tidak bisa dipungkiri. Jonathan menata semuanya dengan artistik meskipun dengan model minimalis. Tidak banyak yang diundang bahkan terkesan tertutup dari media. Hanya beberapa orang saja dari kreator yang akan mengabadikan momen tersebut. Laila duduk di sisi ruangan dengan gaunnya yang berkilau, sementara M
Sebulan kemudian, Wiliam benar-benar menikahi Meena.Sebagaimana Laila, Wiliam menyelenggarakan pesta yang tidak terlalu besar.Itu adalah kesepakatan mereka berdua demi menjaga perasaan Laila.Meena dan Wiliam tinggal di rumah besar di samping Laila sehingga komunikasi diantara mereka sangat dekat."Meena, ingatkan Laila untuk kontrol bulan ini, aku khawatir dia melewatkan," kata Wiliam yang sedang mematut dirinya di depan cermin sementara Meena sedang memperbaiki hairdryer miliknya."Sayang, kamu sudah mengingatkan untuk yang ke delapan kalinya soal kontrol Laila, aku belum pikun sayang," keluh Meena yang masih serius dengan pekerjaannya."Ini sangat penting, Meena, jangan sampai lupa.""Baiklah, aku akan ke sana setelah kamu dan Jonathan berangkat kerja. Kalau perlu aku yang akan membawanya ke rumah sakit, hmm?"Wiliam tak menjawab, lalu ia mendekati Meena dan mencium singkat puncak kepala sang istri."Aku pergi dulu ya, sepertinya akan sangat sibuk hari ini.""Baiklah, hati-hati d
"Itu tidak benar, Laila. Kenapa kau bisa mengatakan sama saja? Jika menunda lebih baik, maka sebaiknya menunda dulu, sehingga benar-benar pulih," bisik Wiliam dengan nafas sesak. "Wiliam, tolong lepaskan aku... ini tidak benar, semua sudah terjadi, aku tidak bisa..." Laila berontak karena Wiliam terus memeluknya erat. Pria itu melepaskan Laila tetapi jelas terlihat semburat merah di matanya. "Jadi kau sungguh hamil, Laila?" Wanita itu mengangguk. "Apa kau masih perduli dengan kesehatanmu, Laila? Tolong untuk mengerti, jangan membuatku merasa gagal sebagai dokter yang merawatmu." "Kamu tidak bersikap seperti dokter, Wiliam. Kamu juga harus ingat bahwa kamu adalah suami Meena saudaraku." Laila tersenyum saat mengatakannya, membuat Wiliam bingung. "Apa kamu bersikap seperti pasien? Kamu tau ini membuatku frustasi bukan?" Laila terdiam, ia juga tidak seharusnya memprovokasi Wiliam. Jonathan mencintainya, begitu juga pria ini meskipun ia telah menikahi Meena. Betapa tidak tau dir
Meena masih menunggu Jonathan menjelaskan semuanya sekarang tapi pria itu masih dalam keadaan membeku seperti mengatakan hal yang kejam. Sangat jelas wajah itu menunjukkan betapa terlukanya dia. Meena menggenggam tangan Jonathan dan berkata lembut. "Lupakan saja jika itu memang tidak pantas untuk dikatakan. Aku akan menganggap tidak pernah mendengar apapun. Anggap saja aku wanita bodoh yang mau dibohongi suamiku sendiri, tapi aku memang berniat menjaga pernikahanku sebaik mungkin." Jono melihat pada genggaman tangan Meena kepadanya. Dia tau Meena mengatakannya dengan tulus. "Bagaimana denganku? Hatiku merasa sakit setelah sekian kali dikhianati." "Jonathan, dia istrimu, kamu harus menjaganya. Itu yang paling benar. Dengan begitu kau juga melindungi keluargaku." Jonathan menelan ludah, dadanya seakan terbelah oleh belati yang panas dan membuatnya kehausan. "Tidakkah kamu menyangka, istriku yang lembut dan manis itu menyimpan obsesi liar dalam kehidupannya? Dia menginginkan suam
"Kenapa? Kamu keberatan?" "Ah, bukan begitu, aku ragu Wiliam mengijinkan." Jonathan menunjukkan tawa menyeringai. "Kamu sangat naif sampai-sampai sangat percaya diri." ujarnya. "Coba saja, apa dia akan mengijinkan kamu atau tidak, itu hal kalian." Meena terdiam, ia tidak tahu apa rencana Jonathan sebenarnya. Akan tetapi memang benar, rapat darurat sudah ditentukan di hotel Rasberi saat ini, ia sudah melihat jurnal harian yang diumumkan di situs khusus karyawan eksekutif. Meena mengetik pesan pada Wiliam. [ Sayang, nanti malam ada rapat darurat dan Jonathan minta bantuan dariku. Apakah aku bisa hadir dalam rapat tersebut?] Tak lama kemudian pesan itu terbaca, itu artinya Wiliam punya banyak waktu dan lepas dari jadwal operasi. [Baiklah. Jangan kuatir dengan Laila, aku bisa mengantarkan sendiri] Meena tertegun, meskipun ia tidak menyukai tuduhan Jonathan, entah mengapa dugaan Jonathan benar? [Terimakasih, sayang] Wanita itu menarik nafas panjang. Ia tak tau situasi
Situasi Toilet karyawan sangat sepi karena kebanyakan mereka sudah mulai bekerja. Meena mengeluarkan testpack dan menatapnya penuh suka cita. "Mari kita lihat,.kemana takdir akan membawaku?" lirihnya. Maka iapun mulai melakukannya dengan sangat hati-hati. Beberapa detik kemudian, ia begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Tidak mungkin..." lirihnya. Pada saat dilema itu mengguncang jiwanya, pada saat krisis kepercayaan pada sang suami membuatnya hampir mati, tapi ia justru mendapatkan kejutan yang luar biasa. Takdir? Tentu saja. Akan tetapi kata ujian juga melekat padanya. Meena menitikkan air matanya untuk kenyataan yang seharusnya membuatnya sangat bahagia. Ia mulai menyesali mengetahui lebih awal perbuatan Wiliam dan Laila. ### "Laila, lipstikmu," Wiliam mengingatkan kondisi lipstik Laila yang belepotan karena ciuman panas yang mereka lakukan. "Oh." Laila cepat membersihkan lipstik dan memoles kembali lipstiknya. Setelah selesai, ia melihat ke ponselnya dan seb
Jono mendengar penjelasan Meena dan membuat kedua matanya terbuka lebar. Bagaimana semua itu seperti sebuah kebetulan? "Kau... sedang mengandung?" Meena mengangguk lemah, sorot matanya kuyu dan putus asa. "Mereka pasti tidak pulang ke rumah. Sungguh terlalu," lirih Meena lagi. "Haruskah aku memberi pelajaran pada Wiliam?" Meena menatap Jono sekilas. "Kau bilang tidak perlu repot-repot dengan orang yang tidak punya otak?" "Ya, benar, kau cepat belajar apa yang kunasehatkan padamu." "Bagaimana denganmu? Apakah kau sudah memberikan pelajaran untuk Laila?" Jono mendesah berat, "Setiap kali aku melihat betapa lemah dan rapuhnya dia, aku sungguh tidak bisa melakukan apapun." Jono terdiam, ia teringat saat suatu malam Laila mendapatkan amarahnya yang begitu besar. "Sebenarnya aku sudah tak tahan lagi, Jonathan. Aku tidak bisa menipu diriku sendiri, kau menikahiku karena melihatku begitu menyedihkan, bukan? Kau menikahiku karena aku pernah berbuat baik, tapi aku sungguh t
Tak lama kemudian, Jonathan sudah membawa dua porsi bubur ayam. Harum rempah dan ayam goreng menguar merebak ke dalam mobil. "Makanlah, kau tak akan menyesal mengemudi sejauh ini hanya untuk makan bubur ayam," kata Jono memuji bubur ayam favoritnya. "Meena, sejak tadi kau diam saja, ada yang salah?" Meena menunjukkan ponselnya dimana pesan singkatnya tak ada balasan. "Tak ada yang membalas pesanku, apa menurutmu mereka masih hidup?" Jonathan menggelengkan kepalanya, "Kamu ngaco, mereka mungkin sudah di rumah. Aku sudah mendapatkan pesan dari art di rumahku." "Jadi Wiliam sengaja tidak membalas pesanku?" "Entahlah, bisa jadi belum sempat karena mereka pulang sudah cukup larut. Bukankah Wiliam cukup sibuk untuk bersantai?" "Benar juga. Dia tenaga andalan yang sulit untuk bersantai. Jika kemarin santai, maka hari ini pastinya sangat kelabakan." Jonathan manggut-manggut. Itu adalah rutinitas Wiliam yang sebenarnya. Dan sekarang Meena malah bersantai dengan suami saud
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke