Lagi? Setiap berdebat soal orang tua selalu saja dikaitkan dengan kemiskinannya. Dia tidak tau betapa beruntungnya menikmati masa kecil yang bahagia bersama ibu dan bapaknya sendiri. Kesempatan emas itu telah hilang dari hidupnya, dan sekarang iapun kehilangan orang yang disukainya. Jono mendesah berat dan iapun segera makan sereal yang sudah disiapkan Hanah. Mengingat sebentar lagi adalah jadwal pemeriksaan, maka iapun bergegas untuk keluar kamar dan menghubungi asistennya. Ia merasa keadaan matanya mulai membaik dan ada perubahan. Pengobatan ini sepertinya tidaklah sia-sia. Beberapa kali ia mengedipkan mata, ia merasa cahaya kekuningan mulai terlihat. Ini adalah pertanda baik, ia akan pergi menemui dokter segera siang ini. Selagi keluar iapun mendengar pertengkaran lagi antara Hanah dengan Winda dari arah samping rumah. "Hei, kapan kamu akan menikah? Tidaklah kemarin kamu sangat percaya diri mengaku-ngaku hamil anak Jonathan? Siapa yang akan percaya dengan omongan p
Leo mengerti, bahwa seseorang mungkin mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Kalau saja ada pilihan, mungkin mereka tidak akan melakukannya. Akan tetapi ia sungguh teringat wanita itu adalah wanita yang tidak asing baginya. Sesampainya di ruang dokter, Jono menceritakan tentang kondisi matanya. "Sepertinya saya tidak perlu ke luar negeri untuk pengobatan ini bukan? Saya percaya dokter bisa melakukan yang terbaik." "Benar, ada tanda-tanda yang cukup mengagumkan karena infeksi ini sembuh dengan cepat dan tidak menginfeksi bagian yang lain. Akan tetapi Anda harus tetap waspada terhadap alergen." "Lebih baik dihindari daripada harus mengobati dan berbahaya jika infeksi terus berulang." "Saya mengerti dokter, saya bisa mengerti dan akan berusaha untuk berhati-hati." Jono mendengar saran dokter dengan hati yang bahagia, ia segera meminta Leo menebus resep obat untuk mempercepat kesembuhannya. Ada setitik harapan untuk bisa melihat, itu adalah keajaib
"Jika kau masih menolak menikah dengan Leo, maka aku akan mengembalikan kamu kepada orang tuamu. Kamu tidak berhak lagi mendapatkan tunjangan apalagi warisan dariku!" "Ayah...," Hanah sangat terkejut dengan ultimatum ayahnya. "Selain itu, mari kita akhiri saja semua. Aku tidak mau dipermalukan dengan cucu tanpa seorang ayah. Kau bisa hidup sesukamu dan aku tidak mampu lagi menjadi ayahmu," kata Jovan, suaranya melemah tapi sangat tegas memperingati Hanah. Gadis itu menunduk dalam dan berlinang air mata sementara Jono terpaku karena tidak menyangka ayahnya begitu marah dan sangat menakutkan. "Pergilah, kau bisa berbuat sesukamu." Hanah semakin terisak dan tidak bergerak dari tempatnya. Tak lama kemudian Leo datang memasuki ruangan. Saat melihat Hanah menangis tersedu-sedu, ia tau keadaan sedang sangat genting. "Pak Jovan..." "Kalian akan menikah Minggu depan, aku akan menyiapkan pesta pernikahan sederhana untuk kalian, siapkan dirimu," ujar Jovan kemudian. Leo mel
Mengingat pemilik kalung tersebut hati Laila menjadi semakin sedih. Saat melihatnya pria itu sedang melakukan pengobatan di rumah sakit dan dia dalam keadaan buta. Ia sungguh berfikir untuk menemuinya andai saja dirinya tidak dalam kondisi seperti ini. "Laila, ini obatnya, sebaiknya diminum sebelum makan siang," kata dokter Wiliam dan melihat Laila sedang memperhatikan kalung yang dipakainya. "Sepertinya dari seseorang yang penting bagimu, sejak tadi kau melihatnya dengan sedih." "Hmm. Oh ya, obat tadi... kapan aku harus minum?" "Kau nggak fokus Laila. Tadi aku bilang minum obat ini sebelum makan siang." "Oh iya, maaf ya, aku nggak dengar tadi." "Boleh aku tau dari siapa kalung itu? Kau membawanya ke mana-mana." "Uhmm, dari mantan suamiku, dia memberikan ini saat kami berpisah." Dokter Wiliam menatap Laila dan melihat bagaimana Laila menghayati jawabannya. "Kau terlihat masih sayang sama dia, kenapa kalian bercerai? Apa kau sekarang menyesal bercerai dengannya?" "E
Memikirkan orang-orang yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya, Indriana merasa terluka. Ia mulai menangis dan sesak karenanya. Tadinya ia sudah meyakini bahwa hidupnya bakal sendiri seumur hidupnya. Ia berpikir takdirnya adalah sendiri dan tidak memiliki anak karena penyakit gila dan juga amnesia yang ia derita dahulu. Akan tetapi ternyata ada sisi lain dari hidupnya yang kembali. "Aku benar-benar tak percaya... aku sungguh tak percaya ini terjadi padaku," katanya di sela Isak tangis yang menyedihkan. Setelah puas menangis maka iapun bergegas untuk menemui Jovan. Ia sungguh membutuhkan penjelasan yang lebih banyak soal hidupnya di masa lalu. Jovan bersama beberapa orang petinggi perusahaan sedang melingkari sebuah meja rapat yang besar. Itu adalah rapat internal untuk membuat kesepakatan dengan Nyonya Indra, wanita yang akan menjalin kerjasama dengan mereka. "Saya tidak setuju bekerja sama dengan perusahaan lintah itu. Mereka selalu mengambil posisi menekan partner bi
"Aku akan membeli yayasan amal tersebut dan sebagai gantinya aku akan menyerahkan proyek pembangunan real estate di tepi pantai." Sekali lagi nyonya Indra sangat terkejut dengan ucapan Jovan. Bagaimana tidak, proyek pembangunan real estate adalah incarannya, seperti door prize,. bagaimana mungkin ia menolaknya? Yayasan amal baginya hanyalah mainan untuk menghibur Indriana yang tak waras, tentu saja sangat gila jika ia menolaknya. "Apa ini sungguh serius?" Nyonya Indra penasaran apakah ini nyata. Seorang pengusaha mana yang mau spekulasi begini? "Aku pemilik perusahaan ini, aku tidak main-main." "Apa alasannya?.Ini sedikit tidak masuk akal." "Aku punya alasan... hmm tentu saja sebagai pengusaha aku tidak bisa menyebutkan alasannya. Anggap saja aku punya rahasia untuk menjadi sukses." Nyonya Indra berpikir sebentar, rahasia kesuksesan seseorang memang tidak selalu bisa ditebak. Mungkin saja lelaki ini punya langkah untuk menghasilkan uang dari sebuah proyek real estate?
Jono tidak bisa menerima kenyataan bahwa wanita di hadapannya ini sedang sangat menderita. Lama ia berharap bisa bertemu tapi apa yang terjadi? Ia masih menatap tak percaya sehingga perawat itu heran dengan sikapnya. "Bisakah kamu lewat sekarang?" kata perawat itu sedikit ketus karena merasakan terganggu. "Laila, ini aku, ini aku, Jonathan... apakah kau tau aku?" ujarnya berharap wanita itu melihatnya. Laila masih menatap kosong seolah pandangan matanya menyiratkan kebingungan. "Pak... bisakah Anda menyingkir?" "Laila, apakah kamu ingat aku? Hmm?" Di kejauhan Dokter Wiliam memperhatikan apa yang terjadi di sana. Ia ingin mendekati tapi seorang keluarga pasien sedang berbincang dengannya. Iapun merasa mengenal pria yang menghalangi kursi roda Laila. "Siapa dia? Aku seperti pernah tau pria itu?" Jonathan terpaksa menyingkir karena tidak enak menjadi pusat perhatian banyak orang. Akan hatinya sungguh hancur melihat apa yang terjadi pada Laila. Saat itu asistenny
Mendapatkan pertanyaan dari Jono seperti itu tentu saja Leo semakin bingung. Akan tetapi tentu saja ia bisa memaklumi perasaan pria itu saat ini. Laila memang seperti sengaja menghilang untuk suatu tujuan.Apa alasannya? Apa yang menyebabkan dia menghilang dari Jono? "Saya rasa dia hanya membutuhkan ketenangan dan hidup sendiri tanpa merepotkan orang lain," katanya kemudian.Jono menatap tajam ke arah Leo, kata kata tidak mau merepotkan orang lain sedikit menyinggung perasaannya, apakah dirinya masih orang lain?"Dia memang merepotkan, apa kau tak tau?" cibirnya."Setelah bercerai dia pergi tanpa kabar berita apakah dia tidak merepotkan? Dan sekarang..."Leo sedikit memiringkan kepalanya karena merasa aneh, ada yang salah di sini. "Tapi Anda sudah bercerai, tentu saja...""Dia yang mau, aku tidak pernah setuju kalau saja dia tidak memaksa," katanya dan sedikit mengacak rambutnya kesal. Setelah pulang ke rumah ia benar-benar gelisah dan tidak bisa lagi berpikir hal lain. Pikiranny
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke