Happy Reading
*****Alunan musik tradisional khas kota Banyuwangi mengiringi tarian seorang perempuan bermahkotakan omprok dengan ornamen tokoh Antasena. Salah satu tokoh pewayangan. Tangan kanannya memegang kipas, sedangkan tangan kirinya memainkan sampur yang menggantung pada leher. Pinggulnya bergoyang selaras dengan perpindahan kaki dan gerakan bahu.Dialah Jelita, sang penari Gandrung yang cukup terkenal di desa ini.Wandra menatap sang kekasih penuh kekaguman walaupun di sampingnya ada perempuan yang selalu menentang hubungan mereka. Tak masalah, dia sudah menuruti semua kemauan orang tuanya. Suatu saat kelak, dia akan menagih janji mereka."Apa perempuan seperti itu yang akan menjadi menantu Mama? Menjijikkan," ucap perempuan dengan dress berbahan brokat dan rambut disanggul bawah."Kenapa mesti merasa jijik, Ma? Jelita, hanya menyalurkan bakat dan alhamdulillah, dia bisa membantu perekonomian keluarganya dari hasil menari," bela Wandra."Kamu nggak lihat banyak lelaki yang menari bersamanya. Memandang dengan sangat buas pada setiap lekukan tubuh. Di mana harga diri sebagai perempuan kalau sudah seperti itu. Tubuhnya menjadi konsumsi publik. Kita ini keluarga terpandang dan berpendidikan, Dra. Jangan membuat malu dengan menjalin hubungan dengan gadis seperti itu." Ajeng Candra Ningsih menatap tajam ke arah putranya."Ma, kita sering bahas masalah ini. Aku juga sudah menuruti semua kemauan Mama dan Papa. Mengambil kuliah sesuai jurusan yang kalian mau. Lalu, apakah sekarang tentang urusan asmara dan jodoh kalian juga akan mengaturnya?""Lihat itu?" tunjuk Ajeng pada Jelita."Gadis yang nggak bisa menjaga diri yang akan kamu nikahi? Mama nggak sudi, Dra."Mata Wandra membulat sempurna. Seorang pria dewasa tengah menari dengan penuh gairah. Sesekali tangannya terlihat akan menyilipkan uang saweran pada kemban yang dikenakan sang kekasih. Wandra tak bisa diam saja saat pujaannya diperlakukan seperti itu."Eh, Mas. Jangan asal nyerobot, budayakan antri. Jika belum mendapat selendang dari penari, ya, diem dulu," kata si lelaki menghalangi Wandra untuk menari bersama kekasihnya.Jelita mulai tidak fokus. Memang sudah menjadi tahapan dalam tarian Gandrung, jika sudah selesai acara jejer. Maka penari akan memberikan selendang pada para tamu untuk menari bersama dengan gerakan menggoda. Biasanya tamu yang pertama kali mendapat selendang adalah tamu penting dalam acara tersebut."Nggak bisa. Saya juga adalah salah satu tamu penting dalam acara ini. Sampeyan itu sopo sampai berani berkata keras pada saya? Belum tahu saya siapa, ya?" balas Wandra tak kalah sengit.Masih dengan gerakan pinggul dan permainan kipas di tangan, Jelita mengembuskan nafas panjang. Mengapa lelaki yang berstatus kekasihnya ini tidak mau mengerti posisinya sekarang.Tanpa diduga, Wandra yang sudah berada pada jarak dekat dengan Jelita. Ketika wajahnya sudah akan menyentuh pipi perempuan itu, lengannya dicekal oleh seseorang. Tamparan keras mendarat di pipi."Pulang, Ndra. Malu-maluin Mama saja kamu ini.""Mama!" bentak Wandra keras.Seluruh tamu undangan pada acara resepsi pernikahan salah satu orang ternama di kota ini menatap ke arah ibu dan anak itu. Bisik-bisik pun berdengung, sementara Jelita tak lagi menghiraukan perdebatan yang terjadi. Walau ada luka tak kasat mata, tetapi dia tetap harus menjalankan tugasnya sebagai penari, menghibur semua tamu undangan.Satu jam sebelum acara itu dimulai, perempuan yang telah menampar Wandra di depan umum itu sudah mendatanginya di ruangan khusus. Tempat untuk merias dan berganti pakaian para pemain serta penari gandrung."Harusnya kamu nggak hadir pada acara ini, Lit. Saya sudah memperingatkanmu untuk tidak menampakkan wajah di depan Wandra. Apa peringatan itu masih kurang jelas?"Jelita cuma bisa menatap perempuan pemilik nama Ajeng yang kini berdiri di hadapannya. Matanya mulai merebak, hampir saja aliran deras itu turun membanjiri pipi jika tak ingat bahwa riasannya sudah sempurna. "Saya cuma melaksanakan tugas, Bu. Demi Allah, nggak ada keinginan saya untuk ketemu sama Mas Wandra. Saya juga nggak tahu kalau dia sedang berada di rumah.""Bohong, kamu pasti sudah menelpon putraku dan memberitahu bahwa kamu sedang menari di acara ini. Kalau tidak, mana mungkin dia ngotot ingin menghadiri resepsi pernikahan teman yang selalu membuatnya jengkel.""Maaf, Bu. Saya harus segera bersiap. Sebentar lagi sudah waktunya saya menari." Jelita sengaja mengucapkannya. Cara halus agar perempuan itu tak lagi mengomel seperti sekarang."Dasar penari murahan, nggak punya etika sama sekali. Orang tua masih ngomong malah ditinggal."Jelita, hanya bisa mengelus dada. Membiarkan perempuan itu keluar.Sekarang, di saat tariannya sedang berlangsung. Sosok Wandra berhasil mengacau dan Ajeng pasti akan semakin membencinya. Sejak dulu, perempuan yang telah melahirkan Wandra itu memang tak pernah menyetujui hubungan mereka.Jelita dengan status sosial yang biasa saja dan Wandra dengan segala kekayaan serta jabatan dari kedua orang tuanya. Belum lagi profesi yang mulai digeluti perempuan itu makin menambah kesenjangan di antara keduanya. Sebuah jalinan cinta yang tak akan pernah mudah untuk bisa bersatu dalam ikatan suci bernama pernikahan.Bukan tak mendengar bisik-bisik dari para tamu yang mengejek tentangnya. Jelita, hanya ingin bersikap profesional. Mungkin bagi sebagian orang di kota itu, profesi sebagai penari Gandrung adalah hal yang sangat negatif.Makin banyak lelaki yang ingin menari dengan Jelita. Selain wajah yang cantik dan bentuk tubuh seksi, tarian gadis itu juga sangat luwes. Menggiurkan bagi sebagian kaum Adam untuk terus mendekatinya.Salah seorang tamu bahkan terlihat antusias menari lebih dekat dengan Jelita."Setelah menari, apa kamu mau ikut aku bermalam di hotel?" bisiknya ketika si lelaki berhasil mendekatkan wajah pada telinga sang penari.Berusaha terus memainkan kipas dan sampur, Jelita membalas ucapan lelaki itu. "Maaf, saya bukan penari yang seperti itu. Anda sudah salah menafsirkan profesi saya.""Halah! Nggak usah munafik. Semua penari Gandrung itu bisa di booking. Kenapa mesti jual mahal? Aku berani bayar tinggi untuk malam panjang kita," katanya masih tak mau menyerah.Jelita langsung mendorong lelaki itu dan melemparkan selendang pada tamu lain. Sorot mata sang lelaki tajam menguliti seluruh tubuh sang penari."Jangan main-main denganku, cantik. Habis kamu hari ini," ancam lelaki itu berani dan setelahnya dia mengamuk pada pemilik acara. Berteriak keras mengatakan bahwa pelayanan dalam acara itu tak memuaskan sama sekali.Para penabuh menghentikan alunan musik yang mengiringi Jelita pun demikian dengan gadis itu. Berhenti menari dan ketakutan.Salah satu dari penabuh sekaligus pemilik sanggar yang menaungi Jelita, maju mendekati lelaki itu."Pak, tolong jangan begini. Ini adalah pesta resepsi pernikahan. Bukan acara Gandrung yang seperti biasanya.""Anak buahmu sok jual mahal. Kita semua tahu bagaimana sebenarnya kehidupan seorang penari Gandrung?"Sebelum lelaki itu meneruskan ucapannya, satu tamparan melayang di pipinya. Semua mata menatap tajam, berani sekali dia menampar lelaki pemilik nama Bagaskara Andra Wijaya.Happy Reading*****"Saya memang seorang penari Gandrung, tapi nggak jual diri demi mendapatkan banyak uang. Ingat itu, Pak." Jelita menjauh dari acara tersebut. Perlahan musik mulai mengalun lagi walau dengan penari pengganti.Di rumah sang pemilik hajatan, Jelita dan pemilik sanggar itu meminta maaf karena sudah mengacaukan acara mereka. "Nggak masalah, Mbak. Mungkin tamu saya yang kebangetan," ucap sang pemilik hajat. "Saya tidak bisa melanjutkan acara ini dengan penarinya Jelita. Bagi saya sebagai pemimpin sanggar, kenyamanan dan keamanan para menari adalah yang utama. Tolong sampaikan pada tamu Bapak bahwa semua penari di sanggar saya tidak melakukan pekerjaan sampingan selain menari. Tidak ada istilah menemani tamu laki-laki walau telah mendapat selendang dari penari," kata pria dengan kisaran umur 50 tahunan."Saya ngerti, Pak. Sekali lagi, tolong maafkan kelakuan tamu saya." Pria dengan baju batik itu menangkupkan kedua tangannya.Setelah berpamitan pada sang pemilik hajatan
Happy Reading*****Hari mulai gelap ketika Jelita sampai pada alamat yang dikirimkan Wandra. Ya, lelaki yang mengiriminya chat dengan ancaman itu adalah sang kekasih. Melihat sekeliling yang cukup sepi, gadis itu mulai bergidik ngeri. Sebuah perumahan yang baru beberapa buah ditempati, berada lumayan jauh dari desanya. Entah milik siapa, kediaman itu. Jelita tak ambil pusing. Dia segera menekan bel yang berada di luar pagar. Khawatir jika Wandra nekat melakukan hal-hal tak diinginkan. Sedikit menaikkan garis bibir, Wandra membukakan pintu pagar. "Selamat datang, Sayang. Kamu nggak kesulitan mencari alamat yang aku tulis tadi, kan?"Dari ujung kaki hingga ujung kepala, Jelita memeriksa keadaan kekasihnya. "Mas, kamu baik-baik saja?""Iya, aku baik-baik saja." Si pria merentangkan tangan. Memutar badan agar sang kekasih bisa melihat keadaannya. "Lalu, kenapa Mas?""Itu karena, aku mau kamu datang ke sini. Kalau nggak ada ancaman, kamu nggak bakalan jauh-jauh datang menemuiku.""Ngga
Happy Reading*****Wandra pulang dengan wajah semringah karena rencananya telah berhasil bahkan sapaan mamanya tak dihiraukan. Dia terus berjalan ke arah kamarnya. Segera menghubungi sang kekasih. Namun panggilannya belum juga terjawab.Sementara di rumah, jelita sudah bersiap pergi melakukan tugasnya sebagai penari. Ada acara yang harus dia datangi sebagai penari utama sanggar milik Sularso. Walau kepalanya masih sangat berat, gadis itu mengabaikannya. Sesampainya di ruang tamu, Setiawan sedang meminum teh yang dibuatkan oleh bibinya."Kamu baik-baik saja, Lit?""Baik, Mas. Cuma agak pusing sedikit. Entah mengapa padahal semalam aku baik-baik saja. Ayo berangkat sekarang, Mas. Nggak enak kalau sampai Bapak nunggu. Kemarin, dia sudah mewanti-wanti supaya aku nggak telat." Jelita memanggil ibunya yang masih sibuk di dapur. Tentu saja dengan segala kesibukannya mencuci pakaian para tetangga yang meminta bantuannya."Kalian sudah mau berangkat?" Puspa mengulurkan tangannya agar dicium o
Happy Reading*****Inilah keputusan Jelita. Jemarinya lincah menuliskan sesuatu pada kertas di dalam map yang diberikan Pambudi. Setelahnya, gadis itu menyerahkan map yang sudah diisi kepada Pak Camat. "Silakan ambil, Pak. Saya harap njenengan lega setelah melihatnya. Maaf, saya harus mengganti baju. Tolong tinggalkan saya sendirian."Secara sadar, Pambudi telah diremehkan oleh gadis di depannya. Sebagai seorang camat, dia diusir secara halus. Namun, melihat apa yang dilakukan Jelita tadi, dia tersenyum. Walau belum dilihatnya sama sekali. "Baik, Bapak akan pergi. Terima kasih sudah memenuhi semua keinginan Bapak. Semoga kamu bisa menemukan seorang lelaki yang bisa menerima profesimu saat ini." Pambudi keluar ruangan itu dengan perasaan lega. Sepeninggal Pambudi, Jelita mulai melepaskan ornamen dan hiasan serta jepit yang terpasang pada tubuhnya. Dia melakukannya dengan cepat karena tak mau sang kekasih menunggu lama. Beberapa menit kemudian Jelita keluar. Berharap sang kekasih t
Happy Reading****Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan. "Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!""Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung. "Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa. Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama. "Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?""Pengen ke mana?""Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika
Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif
Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l
Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka